Monday, March 9, 2009

Kiprah Para Pandita di Bali


Oleh : Bhagawan Dwija

Centris dari kata Centralize berarti memusatkan sehingga Bali centris dalam tulisan ini diartikan sebagai suatu pandangan yang menempatkan budaya dan tradisi Hindu di
Bali sebagai pusat / acuan pelaksanaan dan tatanan hidup beragama bagi pemeluk Hindu di Indonesia. Di Bali budaya dan Agama telah menyatu karena keduanya saling mendukung.

Keinginan mengadakan reformasi di segala bidang akhir-akhir ini menimbulkan wacana yang berkembang, antara lain tentang bali centris yang ditolak oleh beberapa kalangan baik yang tinggal dan berasal dari Bali maupun yang di luar Bali. Hal
ini sebaiknya dikaji lebih dalam agar reformasi dilaksanakan dengan tepat dan berdampak positif bagi umat Hindu di tanah air.

Kajian diawali dengan meneliti sejarah perkembangan agama Hindu di Indonesia. Sebagaimana ditulis dalam buku Pengantar Agama Hindu untuk perguruan tinggi, Cudamani, 1990 ada tujuh Maha Rsi yaitu Grtsamada, Wiswamitra, Wamadewa, Atri,
Bharadwaja, Wasista, dan Kanwa yang menerima wahyu Weda di India sekitar 2500 tahun sebelum Masehi.

Mereka mengembangkan agama Hindu masing-masing menurut bagian-bagian Weda tertentu. Kemudian para pengikutnya mengembangkan ajaran yang diterima dari guru mereka
sehingga lama kelamaan terbentuklah sekta-sekta yang jumlahnya ratusan. Sekta-sekta yang terbanyak pengikutnya antara lain : Pasupata, Linggayat Bhagawata, Waisnawa, Indra, Saura, dan Siwa Sidhanta.

Sekta Siwa Sidhanta dipimpin oleh Maha Rsi Agastya di daerah Madyapradesh (India tengah) kemudian menyebar ke Indonesia. Di Indonesia seorang Maha Rsi pengembang
sekta ini yang berasal dari pasraman Agastya Madyapradesh dikenal dengan berbagai nama antara lain : Kumbhayoni, Hari Candana, Kalasaja, dan Trinawindu. Yang populer di Bali adalah nama Trinawindu atau Bhatara Guru, begitu disebut-sebut dalam lontar kuno seperti Eka Pratama.

Ajaran Siwa Sidhanta mempunyai ciri-ciri khas yang berbeda dengan sekta Siwa yang lain. Sidhanta artinya kesimpulan sehingga Siwa Sidanta artinya kesimpulan dari
Siwaisme. Kenapa dibuat kesimpulan ajaran Siwa? karena Maha Rsi Agastya merasa sangat sulit menyampaikan pemahaman kepada para pengikutnya tentang ajaran Siwa yang mencakup bidang sangat luas.

Diibaratkan seperti mengenalkan binatang gajah kepada orang buta; jika yang diraba kakinya, maka orang buta mengatakan gajah itu bentuknya seperti pohon kelapa; bila yang diraba belalainya mereka mengatakan gajah itu seperti ular besar.
Metode pengenalan yang tepat adalah membuat patung gajah kecil yang bisa diraba agar si buta dapat memahami anatomi gajah keseluruhan.

Bagi penganut Siwa Sidhanta kitab suci Weda-pun dipelajari yang pokok-pokok / intinya saja; resume Weda itu dinamakan Weda Sirah (sirah artinya kepala atau pokok-pokok). Lontar yang sangat populer bagi penganut Siwa Sidhanta di Bali antara lain Wrhaspati Tattwa. Pemantapan paham Siwa Sidhanta di Bali dilakukan oleh dua tokoh terkemuka yaitu Mpu Kuturan dan Mpu/Danghyang Nirartha.

Di India wahyu Hyang Widhi diterima oleh Sapta Rsi dan dituangkan dalam susunan sistematis oleh Bhagawan Abyasa dalam bentuk Catur Weda. Pengawi dan ahli Weda I Gusti Bagus Sugriwa dalam bukunya: Dwijendra Tattwa, Upada Sastra, 1991
menyiratkan bahwa di Bali wahyu Hyang Widhi diterima setidak-tidaknya oleh enam Maha Rsi. Wahyu-wahyu itu memantapkan pemahaman Siwa Sidhanta meliputi tiga kerangka
Agama Hindu yaitu Tattwa, Susila, dan Upacara. Wahyu-wahyu itu berupa pemikiran-pemikiran cemerlang dan wangsit yang diterima oleh orang-orang suci di Bali sekitar abad ke delapan sampai ke-empat belas yaitu :

1. DANGHYANG MARKANDEYA
Pada abad ke-8 beliau mendapat wahyu di Gunung DiHyang (sekarang Dieng, Jawa Tengah) bahwa bangunan palinggih di Tolangkir (sekarang Besakih) harus ditanami panca datu
yang terdiri dari unsur-unsur emas, perak, tembaga, besi, dan permata mirah.

Setelah menetap di Taro, Tegal lalang - Gianyar, beliau memantapkan ajaran Siwa Sidhanta kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual : Surya sewana, Bebali (banten),
dan Pecaruan. Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali maka ketika itu agama ini dinamakan Agama Bali.

Daerah tempat tinggal beliau dinamakan Bali. Jadi yang bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja, namun kemudian pulau ini dinamakan Bali karena penduduk di
seluruh pulau melaksanakan ajaran Siwa Sidanta menurut petunjuk-petunjuk Danghyang Markandeya yang menggunakan bebali atau banten.

Selain Besakih, beliau juga membangun pura-pura Sad Kahyangan lainnya yaitu : Batur, Sukawana, Batukaru, Andakasa, dan Lempuyang.

Beliau juga mendapat wahyu ketika Hyang Widhi berwujud sebagai sinar terang gemerlap yang menyerupai sinar matahari dan bulan. Oleh karena itu beliau menetapkan bahwa
warna merah sebagai simbol matahari dan warna putih sebagai simbol bulan digunakan dalam hiasan di Pura antara lain berupa ider-ider, lelontek, dll.

Selain itu beliau mengenalkan hari Tumpek Kandang untuk mohon keselamatan pada Hyang Widhi, digelari Rare Angon yang menciptakan darah, dan hari Tumpek Pengatag untuk
menghormati Hyang Widhi, digelari Sanghyang Tumuwuh yang menciptakan getah.

2. MPU SANGKULPUTIH
Setelah Danghyang Markandeya moksah, Mpu Sangkulputih meneruskan dan melengkapi ritual bebali antara lain dengan membuat variasi dan dekorasi yang menarik untuk
berbagai jenis banten dengan menambahkan unsur-unsur tetumbuhan lainnya seperti daun sirih, daun pisang, daun janur, buah-buahan: pisang, kelapa, dan biji-bijian: beras,
injin, kacang komak.

Bentuk banten yang diciptakan antara lain canang sari, canang tubugan, canang raka, daksina, peras, panyeneng, tehenan, segehan, lis, nasi panca warna, prayascita,
durmenggala, pungu-pungu, beakala, ulap ngambe, dll.
Banten dibuat menarik dan indah untuk menggugah rasa bhakti kepada Hyang Widhi agar timbul getaran-getaran spiritual.

Di samping itu beliau mendidik para pengikutnya menjadi sulinggih dengan gelar Dukuh, Prawayah, dan Kabayan.

Beliau juga pelopor pembuatan arca/pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan batu, kayu, atau logam sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi.

Tak kurang pentingnya, beliau mengenalkan tata cara pelaksanan peringatan hari Piodalan di Pura Besakih dan pura-pura lainnya, ritual hari-hari raya : Galungan,
Kuningan, Pagerwesi, Nyepi, dll.

Jabatan resmi beliau adalah Sulinggih yang bertanggung jawab di Pura Besakih dan pura-pura lainnya yang telah didirikan oleh Danghyang Markandeya.

3. MPU KUTURAN
Pada abad ke-11 datanglah ke Bali seorang Brahmana dari Majapahit yang berperan sangat besar pada kemajuan Agama Hindu di Bali.

Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud simbol palinggih Kemulan Rong
Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, dan Pembangunan Pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu), dan Gelap (Siwa), serta Padma Tiga, di Besakih.

Paham Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal (pangider-ider).

4. MPU MANIK ANGKERAN
Setelah Mpu Sangkulputih moksah, tugas-tugas beliau diganti oleh Mpu Manik Angkeran. Beliau adalah Brahmana dari Majapahit putra Danghyang Siddimantra.

Dengan maksud agar putranya ini tidak kembali ke Jawa dan untuk melindungi Bali dari pengaruh luar, maka tanah genting yang menghubungkan Jawa dan Bali diputus dengan
memakai kekuatan bathin Danghyang Siddimantra. Tanah genting yang putus itu disebut segara rupek.

5. MPU JIWAYA
Beliau menyebarkan Agama Budha Mahayana aliran Tantri terutama kepada kaum bangsawan di zaman Dinasti Warmadewa (abad ke-9).

Sisa-sisa ajaran itu kini dijumpai dalam bentuk kepercayaan kekuatan mistik yang berkaitan dengan keangkeran (tenget)dan pemasupati untuk kesaktian senjata-senjata alat perang, topeng, barong, dll.

6. DANGHYANG DWIJENDRA
Datang di Bali pada abad ke-14 ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Beliau mendapat wahyu di Purancak, Jembrana bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya
sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Bentuk bangunan pemujaannya adalah Padmasari atau Padmasana.

Jika konsep Trimurti dari Mpu Kuturan adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan horizontal, maka konsep Tripurusa adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan vertikal.

Danghyang Dwijendra mempunyai Bhiseka lain : Mpu /Danghyang Nirarta, dan dijuluki : Pedanda Sakti Wawu Rawuh karena beliau mempunyai kemampuan supra natural yang
membuat Dalem Waturenggong sangat kagum sehingga beliau diangkat menjadi Bhagawanta (pendeta kerajaan).

Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang kehidupan rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan diatur, hukum dan peradilan
adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat silsilah leluhur tiap-tiap soroh/klan disusun. Awig-awig Desa Adat pekraman dibuat, organisasi subak
ditumbuh-kembangkan dan kegiatan keagamaan ditingkatkan.

Selain itu beliau juga mendorong penciptaan karya-karya sastra yang bermutu tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung atau kekawin. Karya sastra beliau yang terkenal
antara lain : Sebun bangkung, Sara kusuma, Legarang, Mahisa langit, Dharma pitutur, Wilet Demung Sawit, Gagutuk menur, Brati Sesana, Siwa Sesana, Aji Pangukiran, dll. Beliau juga aktif mengunjungi rakyat di berbagai pedesaan untuk memberikan Dharma wacana.

Saksi sejarah kegiatan ini adalah didirikannya Pura-pura untuk memuja beliau di tempat mana beliau pernah bermukim membimbing umat misalnya : Purancak, Rambut siwi,
Pakendungan, Hulu watu, Bukit Gong, Bukit Payung, Sakenan, Air Jeruk, Tugu, Tengkulak, Gowa Lawah, Ponjok Batu, Suranadi (Lombok), Pangajengan, Masceti, Peti Tenget, Amertasari, Melanting, Pulaki, Bukcabe, Dalem Gandamayu, Pucak Tedung, dll.

Ke-enam tokoh suci tersebut telah memberi ciri yang khas pada kehidupan beragama Hindu di Bali sehingga terwujudlah tattwa dan ritual yang khusus yang membedakan
Hindu-Bali dengan Hindu di luar Bali.

Di bidang tattwa misalnya, ciri khas yang paling menonjol adalah penyembahan Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Trimurti dan Tripurusa dalam bentuk palinggih Kemulan
Rong Tiga dan Padmasana yang dikembangkan masing-masing oleh Mpu Kuturan dan Mpu/Danghyang Nirartha.

Di bidang ritual ciri khas Hindu-Bali yang terpenting adalah adanya bebali atau banten yang dikembangkan oleh Danghyang Markandeya dan Mpu Sangkulputih.

Sejarah kemudian membuktikan bahwa walaupun di Nusantara telah berkembang Agama lain seperti Islam dan Kristen, Bali tetap dapat bertahan pada Hindu karena agama Hindu
telah membudaya mewujudkan jati diri orang-orang Bali yang mengagumkan dunia sehingga tokoh-tokoh dunia memberikan julukan yang menakjubkan antara lain :
J.P. Nehru menyatakan Bali is the morning of the world;
Hickman Powell menyatakan Bali is the paradise island;
Gregory Bateson dan Margaret Mead menyatakan Bali is the steady state; dan masih banyak lagi julukan-julukan domestik seperti : pulau Dewata, pulau Kahyangan, pulau
Kesenian dll.

Bahkan di Eropa sejak abad ke 19 telah berkembang slogan : see Bali before you die yang mula-mula diungkapkan oleh Ni Ketut Tantri dalam bukunya Revolt in Paradise. Ini
membuat orang-orang Bali bangga tetapi tetap berjiwa sederhana karena keterikatan dengan filsafat-filsafat Agama Hindu yang dituturkan turun temurun oleh tetua mereka.

Zaman berubah menuju era globalisasi, dunia yang tanpa batas, pengaruh budaya luar terus menerus menghantam ketahanan orang-orang Bali.

Bermula dari perubahan nama Agama di era Orde Baru, di mana Agama Hindu-Bali dirubah menjadi Agama Hindu Dharma. Ini membawa dampak positif dan negatif. Positif, karena
sebagian kecil penduduk dari suku-suku : Batak Karo, Dayak, Banten, Jawa, dll. mendapat pengakuan pada keyakinan spiritualnya di luar Agama yang sudah ada, menjadi tertampung dalam Hindu Dharma.

Di samping itu dapat dikatakan segi positif karena prosentase pemeluk Hindu di Indonesia meningkat walaupun masih tetap menjadi golongan minoritas.

Dampak negatif perubahan nama dari Hindu-Bali menjadi Hindu Dharma adanya gejala orang Bali kehilangan ke-Baliannya, yang akhir-akhir ini nampak semakin serius karena
berkembangnya wacana universalisme Hindu yang arahnya dapat saja mengeliminir perbedaan-perbedaan tattwa, susila, dan ritual Hindu antar etnis pemeluk Hindu.

Jika ini berkembang terus bukankah akan mengaburkan nilai-nilai budaya Hindu-Bali yang telah diwariskan oleh para leluhur terutama tentang hal-hal yang sudah di-"Bhisama"-kan oleh keenam tokoh suci di atas?

Jika membaca buku I Gde Pitana : Dinamika masyarakat dan kebudayaan Bali, Bali Post, 1994 mungkin ada benarnya pendapat kelompok pesimistis yang menyatakan lambat laun
Bali akan kehilangan ke-Bali-annya, seperti yang dikemukakan oleh Picard, 1990, Sujana, 1989, Artadi, 1993. Hanya waktu sajalah yang akan membuktikan benar tidaknya pendapat itu.
Pesimisme itu digelitik lagi dengan berkembangnya wacana yang tidak menginginkan Bali Centris atau disebut : Non Bali Centris. Wacana ini diterjemahkan sebagai ingin
melaksanakan Agama Hindu tidak seperti di Bali, terutama dalam bidang ritualnya. Jika wacana itu berkembang dan terlaksana di luar Pulau Bali, masih mungkin namun dalam batasan nalar dan logika yang perlu dikaji. Misalnya tentang acuan yang
lengkap dalam bidang tattwa, susila, dan upacara lokal dari etnis lain yang tidak berbau Bali.

Salah satu contoh adalah mengenai bentuk bangunan pemujaan Hyang Widhi, yang di luar Bali hanya menggunakan palinggih Padmasana. Seperti yang diuraikan di atas, Padmasana
pertama kali ada di Bali dipelopori oleh Mpu/Danghyang Nirarta setelah menerima wahyu di Purancak pada abad ke-14.

Padmasana hanya digunakan oleh pemeluk Hindu di Bali, tidak ada di zaman Majapahit apalagi di India. Sejarah membuktikan hal ini, misalnya situs-situs Hindu di Jawa antara lain Candi Prambanan, tidak memiliki palinggih Padmasana.
Kemudian jika di luar Bali menggunakan Padmasana pertanyaan beruntun tiba misalnya tentang ritualnya apakah tidak menggunakan papendeman panca datu, lalu bentuk caru
dan proses ngelinggihang Hyang Widhi di Padmasana bagaimana.

Selain itu di luar Bali tidak dijumpai palinggih Kemulan atau Padma-tiga yang dikembangkan oleh Mpu Kuturan. Bila hanya menggunakan Padmasana, berarti hanya memuja
Hyang Widhi dalam kedudukan vertikal saja, sedangkan pemujaan beliau dalam kedudukan horizontal (pangider-ider) belum dilaksanakan karena tidak ada palinggih Kemulan atau
Padma-tiga. Mengherankan juga karena Pura-pura Jagatnatha di Bali ikut-ikutan tidak dilengkapi dengan Kemulan atau Padma-tiga.

Pura Jagatnatha dapat dikatakan sebagai pengembangan baru (sekitar 1960-1970), yang tidak mengacu pada lontar Gong Besi. Oleh karena itu ada baiknya lebih berhati-hati
menggunakan istilah "Non Bali centris". Bagi umat Hindu di Bali rasanya aneh jika turut mengembangkan wacana non Bali centris karena mereka tidak mungkin bisa leluasa
meninggalkan ke-Bali-annya. Sulit untuk tidak mentaati Bhisama-bhisama para leluhur dan keenam tokoh suci di atas.

Reformasi memang perlu, namun hendaknya diinventarisir terlebih dahulu butir-butir mana dari pelaksanaan tattwa, susila, dan ritual yang perlu direformasi. Reformasi
perlu diarahkan misalnya pada hal-hal yang "meracuni" Agama Hindu di Bali, antara lain :
1. Feodalisme
2. Dresta yang bertentangan dengan inti ajaran Agama Hindu-Bali

Feodalisme berkembang pesat di Bali sejak pendudukan Majapahit pada tahun 1350 M. Kasta stelsel dihidupkan, meniru India di abad ke-5 ketika kaum elit yaitu Raja
dan Brahmana berkolusi mempertahankan status quo sehingga filosofi "varna" berubah menjadi "kasta" padahal yang menamakan kasta (aslinya : caste) itu justru orang-orang
Portugis yang melihat tatanan masyarakat India yang berkelas dan berjenjang.

Caste kemudian berkembang di Eropa yang ketika itu masih agraris. Majapahit memakai strategi itu di Bali di mana kaum elit pendatang dari Majapahit digolongkan Triwangsa
dan penduduk Bali Aga yang dikalahkan menjadi Sudra padahal diantaranya ada yang masih keturunan Danghyang Markandeya dan keturunan Warmadewa.

Feodalisme dengan ciri khas berupa kasta stelsel makin dikokohkan oleh Belanda karena ini menguntungkan politik divide et impera atau politik memecah belah pribumi
yang dijajahnya. Dampak feodalisme sangat terasa pada tatanan kehidupan beragama di Bali, misalnya adanya kesenjangan antara Sulinggih dengan rakyat.

Kesenjangan yang mengarah pada gap communication berabad-abad mengakibatkan rakyat kebanyakan tidak tahu banyak tentang tattwa agama. Rakyat menghayati Hyang Widhi
hanya melalui dua jalur yaitu Karma marga dan Bhakti marga.
Kini kaum muda yang rata-rata sudah terdidik di Perguruan Tinggi tidak puas beragama hanya melalui kedua Marga itu. Mereka ingin menginjak ke Jnana marga, bahkan ke Yoga
marga.

Kedua marga terakhir ini dahulu ditabukan bagi kaum kebanyakan dengan ancaman : Aje wera. Kehausan kaum muda pada tattwa agama menyuburkan berkembangnya sampradaya-sampradaya. Kini sudah waktunya (dapat dikatakan belum terlambat benar) bagi para Sulinggih untuk meninggalkan pikiran feodalisme, kemudian mengadakan pendekatan yang lebih akrab kepada umat Hindu agar mereka tidak kehilangan pegangan.

Para Sulinggih hendaknya bersatu tanpa membeda-bedakan dari mana asal-usul keturunannya. Pandangan yang menganggap sulinggih keturunan Danghyang Nirarta dan Danghyang Astapaka lebih tinggi statusnya dari sulinggih-sulinggih keturunan
Danghyang Markandeya, Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Saguna, Danghyang Kepakisan, Arya dan yang lain-lain perlu diluruskan karena bertentangan dengan kaidah-kaidah Agama
Hindu. Hal ini perlu disosialisasikan seluas-luasnya ke masyarakat.

Para Sulinggih agar bahu membahu mengejar ketertinggalan dalam mengemban tugas suci membimbing dan mengayomi umat Hindu secara proaktif.

Dresta yang bertentangan dengan inti ajaran agama Hindu. Sebagaimana diketahui ada catur dresta yaitu : Desa, Loka, Kuna, dan Sastra dresta. Tiga dresta yaitu desa, loka, dan kuna dresta tidak bersumber pada sastra atau kitab suci. Sumbernya tidak jelas kecuali bisa dijawab dengan singkat : "mula keto" (memang demikian).

Pengaruh negatif ketiga dresta ini pada kehidupan beragama di Bali antara lain melambungnya biaya upakara. Bebali atau banten yang dikembangkan oleh Danghyang Markandeya dan Mpu Sangkulputih mulanya sederhana. Tanpa diketahui sumber sastranya yang jelas banten dewasa ini menjadi beragam dan sangat banyak. Para Sulinggih dan tukang banten mengajarkan pada umat membuat banten tanpa penjelasan apa dasar
sastranya dan apa arti simbol-simbol setiap jenis banten.

Tradisi : gugon tuwon dan aje wera menyuburkan perkembangan volume, bentuk, dan jenis banten menurut selera dan keinginan masing-masing. Tidak jarang pembuatan
banten menjadi sumber nafkah memperkaya Sulinggih dan tukang banten. Ironisnya banyak rakyat yang menjadi miskin karena terpaksa menjual sawah-ladangnya untuk upacara ngaben. Bebali atau banten yang rumit dan mahal inilah yang "menakutkan" para pemeluk Hindu di Bali dan di luar Bali.

Kini orang Bali sudah berpikir kritis, realistis, dan ekonomis. Biaya upakara yang tinggi dipertanyakan. Para Sulinggih sekali lagi perlu membuat terobosan yang berani
untuk menghemat biaya upakara agar jangan sampai umat takut me-yadnya gara-gara biaya yang tinggi.

Sebenarnya dilema ini akan dapat diatasi jika umat Hindu di Bali sadar untuk berubah dan berani menilai mana yang benar dan mana yang tidak benar. Masalahnya feodalisme di Bali sudah berurat berakar yang pada gilirannya menumbuhkan fanatisme kuat dalam memilih pemuput karya, tingkatan/besar kecilnya upacara dan bebali yang dibuat.

KESIMPULAN :
Bali centris perlu dipertahankan karena koleksi tattwa, susila, dan upacara di Bali lengkap, sementara saudara-saudara kita se-dharma di luar Bali masih mencari bentuk yang pas karena sudah ratusan generasi ada yang meninggalkan Hindu atau tidak bersentuhan dengan Hindu atau ke-Hindu-annya tidak berkembang seperti di Bali.

Walaupun demikian segi-segi negatif seperti feodalisme dan dresta yang tidak sesuai tidak perlu ditiru. Bali sendiri perlu berbenah menuju Hindu-Bali yang direformasi
artinya dikembalikan pada nilai-nilai luhur yang diwariskan paling tidak oleh keenam tokoh suci yang disebutkan di atas.

Dengan mohon maaf bila pada tulisan ini ada hal-hal yang tidak berkenan di hati beberapa pembaca, maka tulisan ini diakhiri dengan doa semoga umat sedharma senantiasa diberikan pikiran terang untuk melaksanakan ajaran-ajaran-Nya menuju kepada moksartham jagattita ya caiti dharmah.

Om Santi, Santi, Santi, Om

1 comment:

  1. mohon panduannya,
    apakah setiap Rumah HARUS dan WAJIB mendirikan sanggah dengan Rong Tiga?
    kalau seandainya saya memiliki 5 rumah, apakah tiap rumah saya wajib didirikan Rong Tiga?dan kalau ketika saya menikah dan keluar dari keluarga saya, apakah yang terjadi selanjutnya (dalam hal ini tidak ada saudra yang meneruskan untuk keturunannya tinggal d Rumah)?
    Terima kasih atas panduannya

    ReplyDelete