Saturday, March 7, 2009

AGAMA, RADIKALISME, DAN TERORISME


Oleh:
I Wayan Sudarma (Shri Danu Dharma Patapan)


“Agama bukanlah untuk memisahkan seseorang dengan orang lain,
agama bertujuan untuk menyatukan mereka. Adalah suatu
malapetaka bahwa saat ini agama telah sedemikian
terdistorsi sehingga menjadi penyebab
perselisihan dan pembantaian”

Mahatma Gandhi, 2004:170
Pendahuluan
Tanggal 1 Oktober 2005 ketika bangsa Indonesia memperingati hari Kesaktian Pancasila dan dunia memperingati hari lahirnya Mahatma Gandhi sebagai bapak anti kekerasan, pada hari yang sama dunia dikejutkan lagi dengan meledaknya bom bunuh diri di Kuta dan Jimbaran, Bali. Peristiwa ini menjadi keprihatinan semua orang, karena terjadinya pengkhianatan terhadap nilai kemanusiaan dan kekerasan di bumi Nusantara yang terkenal masyarakatnya taat beragama dan cinta perdamaian. Peledakan bom tersebut mengakibatkan cita Negara Kesatuan Republik Indonesia bergeser dan citra bangsa Indonesia di mata dunia semakin terpuruk. Syukur, tidak begitu lama setelah peristiwa bom Kuta dan Kedonganan, gembong teroris internasional, Dr. Azahari dapat dihentikan aksinya dan terbunuh di Batu, Malang, Jawa Timur serta anak buahnya sebagian sudah ditangkap dan kini dalam proses pemeriksaan oleh pihak berwenang. Namun demikian, satu pentolan teroris lagi yakni Nurdin M. Top masih dalam perburuan dan semoga tidak terlalu lama, yang bersangkutan dapat diringkus dan kekuatannya dapat dilumpuhkan untuk selanjutnya dimusnahkan.
Bila terorisme tidak dapat diatasi di Indonesia, bangsa ini akan terjerembab lebih dalam ke dalam krisis multidimensional. Pembangunan di bidang ekonomi akan semakin sulit dilaksanakan dan penderitaan rakyat akan semakin berat. Hal ini disebabkan para investor maupun wisatawan asing tidak akan datang ke Indonesia. Indonesia disebut sebagai sarang teroris akan menjadi stigma yang sulit untuk dihapuskan. Semua umat beragama yang memiliki pikiran yang jernih tidak akan menerima bila agama yang dianutnya itu dikaitkan dengan teroris, walaupun teroris sendiri menganggap perbuatannya sebagai salah satu bentuk ibadah untuk menegakkan ajaran agama yang dianutnya. Permasalahannya sekarang adalah bagaimana tokoh-tokoh agama membina umat beragama untuk tidak sampai memahami agama yang dianutnya itu dijadikan motivasi untuk melakukan perbuatan anarkis dan bertindak sebagai teroris. Tulisan singkat ini mencoba menganalisa agama, radikalisme dan terorisme dari perspektif Agama Hindu.


Agama Universal dan Usaha Mencari Titik Temu Agama-Agama
Semua agama mengklaim atau diklaim oleh umatnya sebagai agama universal, dan memang ajaran yang sifatnya universal terdapat pada semua agama. Walaupun agama itu universal, tetapi ada pula ajaran yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdhatul Ulama K. H. A. Hasyim Muzadi dalam Temu Nasional Pemuka Umat Beragama Indonesia, tanggal 13-14 Januari 2003 bertempat di Hotel Sahid, Makassar, Sulawesi Selatan menyatakan, apa-apa yang sama dalam masing-masing agama jangan dibeda-bedakan dan apa yang berbeda-beda dalam agama masing-masing jangan disama-samakan. Pendapat ini logis, karena memandang sesuatu dari sudut yang berbeda tentu tidak akan menemukan titik persamaan. Perbedaan agama akan semakin mendalam bila dilihat dari ajaran atau akidah masing-masing, tetapi bila dikaitkan dengan hal-hal yang berhubungan dengan nilai-nilai kemanusiaan (human values) akan ditemukan banyak persamaannya. Bila semua orang memiliki pandangan yang sama bahwa semua agama adalah ciptaan-Nya dan penganut masing-masing agama itu dituntut untuk mengamalkannya dengan sebaik-baiknya maka kerukunan umat beragama, kedamaian, dan kesejahtraan hidup bersama akan dapat diwujudkan. Untuk dapat memahami bahwa semua agama adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa diperlukan studi yang mendalam terhadap masing-masing agama, dan studi semacam itu telah dilakukan oleh Mahatma Gandhi (Ellsberg, 2004:166) yang menyatakan.
“Aku tidak ingin setiap sisi rumahku tertutup tembok dengan jendela serta pintu yang terkunci. Aku ingin budaya dari semua negeri berhembus ke dalam rumahku sebebas mungkin. Yang ada padaku bukanlah suatu agama yang seperti penjara”

Dengan adanya pandangan yang terbuka terhadap agama-agama, maka kesadaran bahwa agama berasal dari Tuhan Yang Maha Esa akan menumbuh-kembangkan saling pengertian, tenggang rasa dan kerukunan umat beragama. Tentang hal ini Sarvepali Radhakrishnan (2002:35) menyatakan.

“Dengan mengingat kebenaran yang agung memakai baju dengan berbagai warna dan berbicara dengan lidah-lidah yang lain-lain, Hinduisme mengembangkan sikap kedermawanan yang menyeluruh dan sama sekali bukan keimanan fanatik terhadap ajaran yang kaku”.

Pandangan Gandhi ataupun Radhakrishnan tersebut kiranya mendapat inspirasi dari kitab suci Veda dan Bhagavadgītā yang menyatakan :
“Hendaknya mereka yang memeluk agama yang berbeda-beda dan dengan mengucapkan bahasa yang berbeda-beda pula, tinggal bersama di bumi pertiwi ini, hendaknya rukun bagaikan satu keluarga, seperti halnya induk sapi yang selalu memberikan susu kepada anaknya, demikian bumi pertiwi memberikan kebahagiaan kepada umat manusia” (Atharvaveda XII.1.45).

“Dengan jalan atau cara apa pun orang memuja Aku, melalui jalan itu Aku memenuhi keinginannya, Wahai Arjuna, karena semua jalan yang ditempuh mereka adalah jalan-Ku” (Bhagavadgītā IV.11).

Agama-agama merupakan berbagai jalan yang bertemu pada satu titik yang sama. Apa yang menjadi masalah bila kita mengambil jalan yang berbeda sepanjang kita mencapai tujuan yang sama? Dalam kenyataan jumlah agama adalah sebanyak jumlah manusia yang ada di dunia ini. Demikian Mahatma Gandhi dalam Hind Swaraj menyatakan di tahun 1946 (Prabhu: 1996: 33). Pandangan Mahatma Gandhi sejalan dengan pandangan seorang Sufi kontemporer Frithjof Schuon (2003:11) dalam bukunya Transcendent Unity of Religions, dengan kata pengantar oleh Huston Smith dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Mencari Titik Temu Agama-Agama menggambarkan semua agama menuju Tuhan Yang Maha Esa baik dalam tataran esoteric maupun exoteric, seperti berbagai jalan menuju ke satu puncak gunung, seperti sketsa berikut.


Tuhan Yang Maha
*


esoteric

exoteric




Christianity Indigenous Judaism Hinduism Buddhisme Islam


Lebih jauh tentang agama sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa dan tafsir terhadap agama tersebut dilakukan oleh manusia dengan berbagai keterbatasannya, dinyatakan oleh Mahatma Gandhi (Prabhu, 1996:35) sebagai berikut :
“Semua agama adalah anugrah Tuhan Yang Maha Esa tetapi bercampur dengan sifat manusia yang tidak sempurna karena agama itu memakai sarana manusia. Agama sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa di luar jangkauan bahasa manusia. Manusia yang tidak sempurna menyampaikan agama itu menurut kemampuan bahasa mereka, dan kata-kata mereka ditafsirkan lagi oleh manusia yang tidak sempurna juga. Tafsiran siapa yang harus dipegang sebagai tafsiran yang tepat. Setiap orang adalah benar dari sudut pandangannya sendiri, namun bukanlah mustahil juga bahwa setiap orang adalah salah. Maka dari itu dibutuhkan toleransi yang bukan berarti acuh terhadap kepercayaannya sendiri, melainkan dibutuhkan toleransi yang lebih mengandalkan akal sehat dan kasih sayang yang lebih murni. Toleransi akan memberikan kita pandangan rohani yang jauh dari sikap fanatisme seperti jauhnya jarak antar Kutub Utara dengan Kutub Selatan. Pengetahuan yang benar tentang agama meruntuhkan dinding-dinding pemisah antar agama yang satu dengan agama yang lain dan sekaligus memupuk toleransi. Pemupukan toleransi terhadap agama lain akan memberikan kepada kita pemahaman yang lebih mendalam tentang agama kita sendiri”

Dalam kenyataannya, tidak semua orang memiliki kemampuan untuk memahami agama lain yang mengakibatkan sikap tidak toleran terhadap agama lain. Demikian pula halnya dengan fanatisme buta yang hanya didasarkan kepada solidaritas dari suatu komunitas atas sesuatu yang sangat diyakini tanpa pembuktian yang memadai, baik melalui bidang fisika maupun metafisika, apalagi ditunjang oleh dogma-dogma kaku yang sengaja diciptakan untuk kepentingan golongan tertentu sehingga akhirnya akan membatasi setiap gerak dan penalaran yang cenderung mudah sekali memicu terjadinya gesekan dan benturan kepentingan kecil di satu pihak dengan kepentingan universal di pihak lainnya. Dalam kejamakan kepentingan dalam satu dunia yang sedang dilanda kebingungan, mudah sekali setiap pribadi yang tidak memiliki cukup pertahanan diri untuk terseret dalam arus provokasi yang justru tidak akan pernah memberikan keuntungan bagi siapapun, hanya kehancuran yang akan menimpanya.
Seperti telah disebutkan di atas, dalam hal-hal yang berhubungan dengan kemanusiaan, nilai-nilai kemanusiaan (human values) atau dalam rangka mewujudkan kemakmuran bersama, banyak hal yang merupakan titik temu dari agama-agama. Titik temu tersebut antara lain : untuk hidup harmonis dengan sesama umat manusia, untuk menghormati ciptaan-Nya, saling tolong menolong, mewujudkan kerukunan hidup, toleransi dan sebagainya. Dalam usaha meningkatkan kerukunan intra, antar, dan antara umat beragama ini, dikutipkan pernyataan Svami Vivekananda pada penutupan sidang Parlemen Agama-Agama sedunia, seratus dua belas tahun yang lalu tepatnya tanggal 27 September 1893 di Chicago, karena pernyataan yang disampaikan oleh pemikir Hindu terkenal akhir abad yang lalu itu senantiasa relevan dengan situasi saat ini. Pidato yang mengemparkan dunia, dan memperoleh penghargaan yang tinggi seperti ditulis oleh surat kabar Amerika sebagai berikut: “An orator by divine right and undoubted greatest in the Parliament of Religion” (Walker,1983:580). Kutipan yang amat berharga itu diulas pula oleh Jai Singh Yadav (1993), dan diungkapkan kembali oleh I Gusti Ngurah Bagus (1993), sebagai berikut.

“Telah banyak dibicarakan tentang dasar-dasar umum kerukunan agama. Kini saya tidak sekedar mempertaruhkan teori saya. Namun, jika ada orang yang berharap bahwa kerukunan ini akan tercapai melalui kemenangan dari suatu ajaran agama terhadap penghancuran agama lainnya, maka kepadanya saya akan katakan: “Saudara harapan anda itu hanyalah impian yang mustahil”.

“Jika seseorang secara eksklusif memimpikan kelangsungan agamanya dan kehancuran agama lainnya, saya menaruh kasihan padanya dari lubuk hati yang paling dalam, dan menunjukkan bahwa melalui spanduk setiap agama akan ditulis, walaupun sedikit ditentang, “Saling menolong dan tidak bermusuhan, berbaur tidak akan menghancurkan, harmonis dan damai serta tidak saling berselisih” (Mumukshananda, 1992:24).

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka pernyataan Mahatma Gandhi pada bagian awal dari tulisan ini kiranya dapat diterima dan bila terjadi distorsi, bahkan pembantaian serta terorisme, bukanlah kesalahan ajaran agama itu melainkan adalah pemahaman yang keliru terhadap agama yang dianutnya. Lebih jauh tentang pengembangan agama (misionaris) (Radhakrishnan, 2002:36) menyatakan bahwa Hinduisme dapat disebut sebagai contoh pertama di dunia dari agama misionaris. Hanya saja sifat misionaris-nya berbeda dengan yang diasosiasikan dengan kepercayaan-kepercayaan yang menarik orang-orang untuk masuk dan menjadi pemeluk. Hinduisme tidak menganggap sebagai panggilan untuk membawa manusia kepada suatu kepercayaan. Sebab yang diperhitungkan adalah perbuatan dan bukan kepercayaan.
Tentang misionaris yang mengarahkan seseorang untuk konversi agama, Mahatma Gandhi seperti dinyatakan oleh Robert Ellsberg (2004:168) berikut. Pandangan Gandhi terhadap konversi dan perubahan agama harus dipahami dalam konteks politisasi yang berkaitan dengan perubahan-perubahan agama di India “Tidak mungkin bagiku untuk berdamai dengan diriku sendiri terhadap gagasan perubahan keyakinan apa pun bentuknya yang terjadi di India dan di mana pun saat ini,” tulisnya. Misi-misi Kristen di India datang bersamaan dengan kekuasaan eksploitatif dari kerajaan. Sebelum orang-orang Inggris, serangkaian kerajaan Muslim India membawa misi-misi Islamnya. Di tahun 1920-an ada usaha-usaha Hindu, dipelopori oleh Pendeta Arya Samaj untuk mengubah kembali agama, atau dengan kata lain memurnikan (śuddhi) yang sebelumnya telah berubah agamanya menjadi Islam, bahkan pada beberapa abad sebelumnya. Maka diskusi-diskusi Gandhi tentang konversi ditujukan untuk menentang semua bentuk perubahanan agama. “Aku menentang pengubahan agama, sekali pun dikenal sebagai śuddhi oleh umat Hindu, Tabligh oleh umat Islam atau Konversi oleh umat Kristen. Perubahan keyakinan adalah proses hati yang hanya diketahui oleh Tuhan”. Bagi Gandhi, perubahan agama juga dilandasi pada apa yang disebutnya sebagai pandangan yang rapuh tentang superioritas satu agama terhadap agama lain. “Tidaklah masuk di akal, bahwa seseorang akan menjadi baik atau memperoleh keselamatan cukup hanya dengan memeluk suatu agama Hindu, Kristen, atau Islam. Kemurnian karakter dan keselamatan tergantung pada kemurnian hati”. Dan katanya lagi, “Akan menjadi puncak intoleransi, dan intoleransi adalah sejenis kekerasan, jika Anda percaya bahwa agama Anda superior terhadap agama lain dan bahwa Anda akan dibenarkan ketika Anda menginginkan orang lain berpindah mengikuti keyakinan Anda”.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, Agama Hindu sangat menekankan kemurnian atau kesucian hati sebagai wujud transformasi diri, karena sesungguhnya akhir dari pendidikan agama adalah perubahan karakter, dari karakter manusia biasa menuju karakter manusia devatā, yakni manusia berkeperibadian mulia (dari manava menuju madhava). Usaha untuk menyucikan diri merupakan langkah menuju kesatuan dengan-Nya, yang berarti juga menumbuhkan kesadaran persaudaraan sejati terhadap semua makhluk ciptaan-Nya, karena dalam pandangan kesatuan ini (advaita) semua makhluk adalah bersaudara (vasudhaivakutumbhakam).

Radikalisme dan Terorisme
Radikalisme agama menjadi pembicaraan yang tidak pernah berhenti selama satu dekade ini. Bentuk-bentuk radikalisme yang berujung pada anarkisme, kekerasan dan bahkan terorisme memberi stigma kepada agama-agama yang dipeluk oleh terorisme. Dalam hal ini Frans Magnis Suseno (Jawa Pos, 2002:1) menyatakan, “Siapa pun perlu menyadari bahwa sebutan teroris memang tidak terkait dengan ajaran suatu agama, tetapi menyangkut prilaku keras oleh person atau kelompok. Karena itu, cap teroris hanya bisa terhapus dengan prilaku nyata yang penuh toleran”.
Menurut Ermaya (2004:1) radikalisme adalah paham atau aliran radikal dalam kehidupan politik. Radikal merupakan perubahan secara mendasar dan prinsip. Secara umum dan dalam ilmu politik, radikalisme berarti suatu konsep atau semangat yang berupaya mengadakan perubahan kehidupan politik secara menyeluruh, dan mendasar tanpa memperhitungkan adanya peraturan-peraturan /ketentuan-ketentuan konstitusional, politis, dan sosial yang sedang berlaku. Ada juga menyatakan bahwa radikalisme adalah suatu paham liberalisme yang sangat maju (Far Advanced Liberalism) dan ada pula yang menginterpretasikan radikalisme sama dengan ekstremisme/fundamentalisme. Pendeta Djaka Sutapa (2004:1) menyatakan bahwa radikalisme agama merupakan suatu gerakan dalam agama yang berupaya untuk merombak secara total suatu tatanan sosial /tatanan politis yang ada dengan menggemakan kekerasan. Terminologi “radikalisme” memang dapat saja beragam, tetapi secara essensial adanya pertentangan yang tajam antara nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kelompok agama tertentu di satu pihak dengan tatanan nilai yang berlaku saat itu. Adanya pertentangan yang tajam itu menyebabkan konsep radikalisme selalu dikaitkan dengan sikap dan tindakan yang radikal, yang kemudian dikonotasikan dengan kekerasan secara fisik. Istilah radikalisme berasal dari radix yang berarti akar, dan pengertian ini dekat dengan fundamental yang berarti dasar. Dengan demikian, radikalisme berhubungan dengan cita-cita yang diperjuangkan, dan melihat persoalan sampai ke akar-akarnya. Demikian juga halnya dengan fundamentalisme, berhubungan dengan cita-cita yang diperjuangkan, dan kembali ke azas atau dasar dari suatu ajaran.
Ada beberapa sebab yang memunculkan radikalisme dalam bidang agama, antara lain, (1) pemahaman yang keliru atau sempit tentang ajaran agama yang dianutnya, (2) ketidak adilan sosial, (3) kemiskinan, (4) dendam politik dengan menjadikan ajaran agama sebagai satu motivasi untuk membenarkan tindakannya, dan (5) kesenjangan sosial atau irihati atas keberhasilan orang lain. Prof. Dr. H. Afif Muhammad, MA (2004:25) menyatakan bahwa munculnya kelompok-kelompok radikal (dalam Islam) akibat perkembangan sosio-politik yang membuat termarginalisasi, dan selanjutnya mengalami kekecewaan, tetapi perkembangan sosial-politik tersebut bukan satu-satunya faktor. Di samping faktor tersebut, masih terdapat faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan kelompok-kelompok radikal, misalnya kesenjangan ekonomi dan ketidak-mampuan sebagian anggota masyarakat untuk memahami perubahan yang demikian cepat terjadi.
Radikalisme agama terjadi pada semua agama yang ada. Di dalam Hindu munculnya radikalisme tampak sebagai respon ketika Mogul Emperor menaklukkan India, di samping juga ketika penjajahan Inggris menguasai India yang diikuti oleh konversi dari Hindu ke Kristen yang dilakukan oleh para misionaris saat itu. Respon itu antara lain dalam gerakan radikal adalah munculnya Bajrangdal, Rashtriya Svayam Sevak (RSS) dan sebagainya. Di samping gerakan yang bersifat radikal, sesuai dengan karakter pemimpinnya muncul usaha untuk mengantisipasi gerakan konversi dengan lahirnya organisasi keagamaan yang satu di antaranya populer sampai saat ini adalah Arya Samaj (himpunan masyarakat mulia) yang didirikan oleh Svami Dayananda Sarasvati (1875) dengan pengikutnya yang tersebar di seluruh pelosok India. Svami Dayananda Sarasvati di kalangan umat Hindu dipahami juga sebagai seorang yang radikal, karena mentasbihkan mereka yang termarginalisasi (kaum Paria yang menurut Mahatma Gandhi disebut Harijan/pengikut atau putra-putra Tuhan) dan sudah pernah beralih agama kembali menjadi Hindu dan bagi mereka yang mau mempelajari kitab suci Veda dan melaksanakan ritual Veda (seperti Agnihotra) diinisiasi menjadi Brāhmaṇa (dengan memberi kalungan benang Upavita). Svami Dayananda Sarasvati melakukan terobosan dengan mengembalikan kepada ajaran suci Veda tentang penggolongan masyarakat atas tugas dan kewajibannya yang disebut varna (pilihan profesi) dan bukan istilah kasta sebagai bentuk penyimpangan varna tersebut. Pembagian masyarakat profesional (anatomi masyarakat) ini sifatnya abadi dan tidak berdasarkan kelahiran atau diwariskan secara turun temurun, melainkan atas dasar bakat (guṇa) dan pekerjaannya (karma). Tindakan Svami Dayananda Sarasvati ini ditentang oleh kelompok ortodok yang hanya berpegangan kepada tradisi dan bertentangan dengan kitab suci. Radikalismenya Svami Dayananda Sarasvati tidak sampai berbentuk anarkis, apalagi sampai mengarah kepada perbuatan teroris.
Tokoh radikal lainnya adalah Mahatma Gandhi, yakni seorang yang sangat radikal dalam tata pikir, namun santun dalam tindakan yang pemahamannya terhadap Agama Hindu sangat mendalam dan mampu merealisasikannya. Bahkan R.C. Zaehner (1993:206) mempersamakan Gandhi dengan Yudhisthira. Dilema Gandhi sama dengan dilema Yudhisthira. Mahatma Gandhi sangat menekankan Ahiṁśa (nir kekerasan). Tokoh-tokoh lainnya sebagai pembaharu Hindu adalah Aurobindo, Vivekananda dan lain-lain yang memberi pencerahan tidak hanya kepada umat Hindu, tetapi juga umat manusia di seluruh dunia.
Seperti telah disebutkan di atas, beberapa pembaharu Hindu dipandang juga sebagai seorang radikal dalam arti radikal dalam tata pikir dan lembut dalam tata laku. Walaupun demikian, radikalisme yang berujung pada anarkisme dan terorisme terjadi juga di kalangan umat Hindu di India, yakni terbunuhnya Mahatma Gandhi yang ditembak oleh orang dari kelompok Rashtriya Sevayam Sevak (RSS), demikian pula ditembaknya Indira Gandhi oleh pasukan pengawalnya dari pengikut Sikh, dan terakhir terbunuhnya Rajiv Gandhi melalui bom bunuh diri yang diduga dari kelompok Tamil Eelam menunjukkan terorisme terjadi juga di kalangan umat Hindu, walaupun motivasinya tidak murni dan bahkan tidak terkait dengan ajaran Agama Hindu.
Pengertian atau batasan tentang teror dan teroris diuraikan di dalam surat kabar Kompas 15 Oktober 2002, tiga hari setelah bom Bali 1 (Wahid, et.al.,2004:22) sebagai berikut.Kata ‘teroris’ (pelaku) dan ‘terorisme’ (aksi) berasal dari bahasa Latin ‘terrere’ yang berarti membuat gemetar atau menggetarkan. Kata ‘teror’ juga berarti bisa menimbulkan kengerian. Tentu saja kengerian di hati dan dalam pikiran korbannya. Pada dasarnya istilah ‘terorisme’ merupakan sebuah konsep yang memiliki konotasi yang sangat sensitif karena terorisme menyebabkan terjadinya pembunuhan dan penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa. Lebih jauh di dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dinyatakan bahwa, terorisme adalah perbuatan melawan hukum secara sistematis dengan maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara dengan membahayakan bagi badan, nyawa, moral, harta benda, dan kemerdekaan orang atau menimbulkan kerusakan umum atau suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, sehingga terjadi kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, kebutuhan pokok rakyat, kebudayaan, pendidikan, perekonomian, teknologi, perindustrian, fasilitas umum, atau fasilitas internasional.
Terorisme di Indonesia sering dan selalu mengatasnamakan agama seperti pengakuan pelaku bom Bali 1 dan 2 yang sudah sangat banyak memakan korban yang memilukan semua orang. Pandit Vamadeva Shastri (ketika belum diinisiasi bernama Dr. David Frawley) seorang intelektual Hindu yang bermukim di Amerika Serikat, dalam tulisannya Bagaimana Hindu Menjawab Terorisme? Yoga, Ahiṁśa dan Serangan Teroris (2005:52) menyatakan. “Jalan Kṣatriya sebagaimana diamanatkan di dalam kitab suci Bhagavagita yang mengajarkan aspek spiritual dari Yoga secara sangat rinci, diajarkan di medan pertempuran, selama perang saudara. Sementara beberapa orang akan mengatakan bahwa peperangan luar ini (peperangan jasmani, outer battle) adalah sebuah metaphora bagi satu perjuangan di dalam (pergulatan batin), yang benar bahwa peperangan luar juga sungguh-sungguh terjadi adalah jelas dan banyak catatan bukti-bukti sejarah India Kuno. Krishna, sang mahaguru Yoga mendorong muridnya Arjuna, seorang pejuang besar untuk bertempur, sekali pun Arjuna enggan dan ingin mengikuti jalan non kekerasan. Mengapa Krishna mendorong Arjuna untuk bertempur? Ada dua hal yang utama dari Ahiṁśa di dalam tradisi Yoga.Yang pertama adalah Ahiṁśa sebagai satu prinsip spiritual, yang diikuti oleh para yogi, bikhu, sadhu, dan sannyasi yang meliputi non kekerasan pada semua level. Yang kedua adalah Ahiṁśa sebagai salah satu prinsip politik, Ahiṁśa dari para pejuang atau Kṣatriya, yang diikuti oleh mereka yang memerintah dan melindungi masyarakat, yang diijinkan untuk melawan kekuatan-kekuatan jahat di dunia ini, termasuk melindungi orang-orang spiritual yang sering tidak dapat membela diri mereka sendiri dan menjadi target manusia keduniawian. Krishna menganjurkan Kṣatriya Ahiṁśa ini kepada Arjuna bagi kepentingan generasi yang akan datang, seperti Rishi Visvamitra yang mengajar Rāma dan Lakṣamaṇa untuk menghancurkan kekuatan-kekuatan jahat yang mengganggu dan membunuh orang-orang spiritual. Hal ini merupakan tradisi India yang sangat tua”.
Lebih jauh Pandit Vamadeva Shastri (2005:54) menambahkan, sementara sebuah jawaban keras kepada terorisme mungkin perlu dalam jangka pendek, satu reorientasi dharma yang lebih besar dari masyarakat kita adalah satu-satunya solusi jangka panjang. Ini mensyaratkan tidak hanya mengalahkan teroris, tetapi mengadopsi satu cara hidup yang lebih bertanggung jawab dan kembali kepada kepada satu keselarasan yang lebih besar dengan alam maupun kemanusiaan. Itu berarti menyelesaikan masalah-masalah global yang lebih besar yang meliputi tidak hanya terorisme dan fundamentalisme agama, tetapi kemiskinan, kekurangan pendidikan, kelebihan penduduk, penghancuran lingkungan alam”.

Peningkatan Kualitas Pendidikan Nasional
Menanggulangi radikalisme dan teriorisme mengatas namakan agama memerlukan perhatian semua komponen nasional. Dengan disahkan Undang-Undang tentang Guru dan Dosen tanggal 6 Desember 2005 lalu diharapkan mutu pendidikan benar-benar dapat ditingkatkan, setidaknya mengejar ketertinggalan dibandingkan
negara-negara ASEAN seperti Vietnam, yang baru saja melepaskan diri dari pergolakan perang yang berkepanjangan. Belum lagi ketinggalan kita dengan negara tetangga terdekat Malaysia dan Singapura. Memang timbul pertanyaan, kenapa di Malaysia terorisme dapat dicegah dengan baik, sementara di Indonesia hal itu sangat sulit dilakukan dan otak terorisme di Indonesia adalah warga negara Malaysia. Gembong terorisme ini telah mengobok-obok negara, mengapa hal ini sulit diatasi? Pertanyaan ini menjadi bahan renungan lebih jauh, dan menurut hemat kami, jawabannya yang mendasar adalah meningkatkan kualitas pendidikan nasional dalam arti yang sesungguhnya. Pendidikan agama yang merupakan bagian yang integral dengan pendidikan nasional hendaknya dapat mengembangkan pendidikan agama yang inklusif, yang menghargai perbedaan, yang menjunjung tinggi kebenaran dari masing-masing agama, mengukuhkan toleransi dan kerukunan hidup antar sesama umat beragama dalam rangka merekatkan persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam hubungan ini, dari perspektif Hindu diketengahkan model pendidikan agama yang inklusif yang diajarkan oleh Sri Sathya Narayana (23-11-2003), seorang yogi besar dewasa ini, seorang guru spiritual yang menekankan kembali betapa pentingnya 5 (lima) dasar nilai-nilai kemanusiaan, yang terdiri dari:
1) Satya: kebenaran (truth), seseorang hendaknya berpegang teguh kepada ajaran agama yang dianutnya.
2) Dharma: tindakan yang benar (right conduct), seseorang hendaknya senantiasa berbuat baik dan benar.
3) Prema: cinta kasih (love), seseorang hendaknya senantiasa mengembangkan cinta kasih kepada semua makhluk dan alam semesta ciptaan-Nya.
4) Śānti: kedamaian (peace), seseorang hendaknya dapat mewujudkan kedamaian hati dan membuat suasana sejuk terhadap lingkungannya.
5) Ahiṁśa: tanpa kekerasan (non violence), seseorang hendaknya tidak melakukan tindakan kekerasan, tidak menyiksa apalagi sampai membunuh seseorang.
Lebih jauh dalam pergaulan hidup bermasyarakat, seseorang hendaknya dapat merealisasikan/mengaktualisasikan 10 (sepuluh) prinsip hidup) yaitu.
1) Cinta dan bhakti kepada tanah air, tumpah darah tempat kita dilahirkan, jangan membenci atau merugikan tanah air sendiri dan tanah air orang lain.
2) Hormati semua agama dengan rasa hormat yang sama, setiap agama adalah jalan menuju Tuhan Yang Maha Esa.
3) Cintai semua orang tanpa membeda-bedakan, karena semua manusia adalah satu komunitas yang tunggal.
4) Pelihara kebersihan dan ketentraman rumah tangga dan lingkungan, maka kesehatan dan kebahagiaan masyarakat akan dapat diwujudnyatakan.
5) Jadilah dermawan, jangan buat sesuatu yang menjadikan seseorang menjadi pengemis. Bantulah orang yang memerlukan sesuai kebutuhan dan menjadikan mereka mandiri.
6) Jangan menggoda seseorang dengan menawarkan/memberi hadiah atau merendahkan diri dengan menerima suap.
7) Jangan membenci, dengki, irihati dengan alasan apapun.
8) Jangan bergantung pada siapapun, usahakan untuk melaksanakan sendiri sebanyak mungkin, walaupun seseorang kaya raya dan memiliki banyak pembantu, tetapi pelayanan masyarakat (seva) agar dilaksanakan langsung sendiri. Jadilah pelayan bagi diri sendiri dan orang lain.
9) Jangan sekali-kali melanggar hukum yang berlaku di negara kita. Patuhilah peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadilah warga negara teladan.
10) Cintailah Tuhan Yang Maha Esa, dan segenap ciptaan-Nya dan jauhilah dosa dan perbuatan buruk.

Harapan
Semoga bangsa Indonesia yang dipuji-puji karena kehidupan beragamanya di masa yang silam seperti dinyatakan oleh Lee Khoon Choy (Muhammad, 2004:6) “Nowhere in the world do we find the country in which religion plays such an important role in the lives of people............... Wether they are Christians, Buddhists, Hindus, Muslims, Confucianists or Taoists, they have to believe in One God. There is no place for atheists”, dapat segera menuntaskan masalah radikalisme dan terorisme yang mengataskan agama ini.

Daftar Pustaka

Bagus, I Gusti Ngurah.1993. Kehadiran Agama Hindu di Indonesia, dan Peranannya Dalam Pembangunan Nasional, Makalah pada 100 Tahun Parlemen Agama-Agama sedunia, dan Kongres Nasional I Agama-Agama di Indonesia, Yogyakarta, 11-12 Oktober 1993.

Ellsberg, Robert. 2004. Gandhi on Christianity. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara.

Ermaya Suradinata, 2004. Radikalisme dan Masa Depan Bangsa, Makalah Seminar Nasional Masa Depan Bangsa dan Radikalisme Agama. Diselenggarakan oleh Fakultas Ushuluddin, IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung, tanggal 17 Juni 2004.

Muhammad, Afif. 2004. Radikalisme Agama Abad 21. Makalah Seminar Nasional Masa Depan Bangsa dan Radikalisme Agama. Diselenggarakan oleh Fakultas Ushuluddin, IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung, tanggal 17 Juni 2004.

Mumukshananda, Svami. 1992. The Complete Works of Svami Vivekananda,I, Calcuta: Advaita Ashram.

Prabhu, R.K. & U. R. Rao. 1967. The Mind of Mahatma Gandhi. Ahmedabad, India: The Navajivan Trust.

Radhakrishan, S. 2002. Hindu Dharma, Pandangan Hidup Hindu, Terjemahan Agus Mantik, Jakarta: Manikgeni.

Radhakrishan, S.1949: The Bhagavadgītā, George Allen and Unwin Ltd. London.

Sutapa, Pendeta Djaka. 2004. ‘Radikalisme dan Masa Depan Bangsa’. Makalah Seminar Nasional Masa Depan Bangsa dan Radikalisme Agama. Diselenggarakan oleh Fakultas Ushuluddin, IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung, tanggal 17 Juni 2004.

Schuon, Frithjof. 2003. Mencari Titik Temu Agama-Agama. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Suseno, Frans Magnis.2002. Harian Jawa Pos, hal.1, tanggal 30 Desember 2002.

Titib, I Made. 1996. Veda, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Paramita.

Vamadeva Shastri, Pandit. 2005. Bagaimana Hindu Menjawab Terorisme? Yoga, Ahiṁśa dan Serangan Teroris. Jakarta: Media Hindu, Majalah Bulanan, Desember 2005.

Visvananda, Svami.1937. Unity of Religions, dalam The Religions of the World, Sri Ramakrishna Centenary Parliament of Religions, Calcuta: Sri Ramakrishna Mission Publications.

Wahid, Abdul, Sunardi, Muhammad Imam Sidik.2004. Kejahatan Terorisme: Perspektif Agama, HAM dan Hukum. Kata Pengantar K. H. A. Hasyim Muzadi, Bandung: PT. Refika Aditama.

Walker, Benyamin. 1983. Hindu World, Vol.II. New Delhi: Munshiram Manoharlal.

Zaehner, Robert C. 1993. Kebijaksanaan dari Timur, Beberapa Aspek Pemikiran Hinduisme. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

No comments:

Post a Comment