Tuesday, July 27, 2010

"Realisasi PANGRUWATING DIYU" dan Sejarah ” CUPU MANIK ASTAGINA ” (Bagian Akhir)

Disarikan kembali oleh : Pinandita Astono Chandra Dana

Tapa – nya ; Subali, Sugriwa Dan Retna Anjani

Kekuatan kasih yang yang tinggi dari resi Gotama, kepada putera-puterinya berat untuk dipisahkan di dalam tugas. Yang tadinya cintanya terpaut, terampas oleh isterinya, Dewi Windradi. Anak-anak hanyalah mendapat cinta yang sifatnya ”sisa” dari cinta kepada isterinya. Cinta kepada anak, lahir dari aliran sungai kecil dari sebuah samudera. Cinta sang ayah adalah bagian terkecil, karena cinta yang suci kepada anak anaknya yang seharusnya hadir sebelum anak-anaknya lahir itu, terbius oleh cinta segalanya kepada isterinya sendiri.

Namun saat itu sang Resi merasakan bahwa kehadiran cinta kepada anaknya, yang cukup lama terbius oleh kebesaran cinta kepada isterinya, muncul perasaan cinta yang suci kepada anak-anaknya dan tambah memuncak saat dirinya menyadari, betapa selama ini dirinya kurang memperhatikan anak-anaknya.

Ternyata asmara, ”jagad asmara”, mengeruhkan jagad cinta seorang ayah kepada anak-anaknya yang dilahirkan. Seandainya jagad cinta sang ayah memenuhi permukaan bathin seorang anak, sukar memindahkan cinta baru, cinta asmara baru kepada wanita lain. Karena kebeningan cinta seorang ayah kepada anak yang sesungguhnya itu, menghalangi sikap keangkuhan lelaki dalam melangkah di alam dunia ini, dalam mengisi alam dunia ini.

Kebeningan cinta sang Resi kepada anaknya, menggugat jiwa dan fikirannya, betapa dirinya akrab dengan harkat kelaki-lakiannya. Dan terlalu akrab dengan cinta egonya, kepada isterinya. Saat itu pula sang Resi merasa berdosa yang sangat, kepada putera puterinya.

Maka dirangkullah putera-puterinya, Subali, Sugriwa dan Retna Anjani.

”Anak-anakku, maafkanlah dosa ayahmu ini, yang telah lama menyimpan kebeningan cinta yang seharusnya ada, telah kuselipkan di ’gunung kemurkaan’ aku sebagai laki-laki, wahai anakku! Cinta yang bening kepadamu kusembunyikan di sela nafas kelaki-lakianku, di sela nafas syahwatku. Tak mungkin engkau kehilangan kebeningan cinta yang ada dalam dadaku, tak mungkin sirna, kalau aku tak mengejar-ngejar syahwat selama seabad. Karena itu anak-anakku, maafkanlah ayahmu”, kata resi Gotama.

”Ayahku, apapun dosa yang dirasakan, kesalahan yang dipanggul oleh punggung jiwamu, itu adalah bukan hak kami untuk menilai”, jawab Retna Anjani,
”Itu adalah hak engkau dengan jatidirimu dan dengan segala alam yang telah membesarkan kami semua.”
”Namun demikian, kami sebagai anak-anakmu, tak mampu mengelak untuk tidak memaafkan engkau, ayahku. Kami tidak akan mempersembahkan maaf kepadamu, tapi kami akan berikrar kepada Hyang Widhi, Hing Murbeng Agung. Bahwa engkau adalah ayah yang baik bagi kami semua. Engkau adalah ayah yang sempurna dan berharkat tinggi, telah membesarkan kami semuanya. Kami bersaksi, atas segala kebaikan yang telah engkau berikan kepada kami. Semoga alam pun bersaksi atas kebaikan engkau, wahai ayahku tercinta.”

”Ayahanda, tak mungkin kami menerima keluh kesah tentang dosa masa lalu, tentang keresahan kebeningan cinta yang tak mampu engkau ungkapkan, engkau ekspresikan kepada kami”, Subali menyambung kata-kata adiknya,
”Karena kami terlahir dari betapa cintanya engkau kepada ibuku. Tanpa cinta kepada ibuku, tak mungkin kami terlahir ke dunia ini. Dan biarlah, wahai ayahku, cintamu kepada ibu kami, sebagai pembelian kembali beningnya cinta engkau, untuk kami, dan menghantar ayahanda untuk melangkah ke Nirwana yang dituntun oleh para dewa. Tinggalkanlah kami wahai ayahanda, menuju keagungan singgasana maaf yang diberikan kepada ibu.”

Betapa sang ayah terharu mendengar kebesaran jiwa anak anaknya. Padahal sebelumnya, anaknya bertanya, ”Mengapa kami berwajah kera? Bertubuh monyet?”

Sang resi telah memberi kebanggaan nurani, bahwa rendah diri adalah kekuatan untuk mengalahkan keangkuhan dunia ini. Namun kali itu, anak-anaknya membutuhkan dirinya tentang ungkapan sebuah hati yang rendah diri. Dari buruk rupa dan jelek tubuh sang kera. Dan sang ayah merasa, kemanusiaan dirinya yang gagah, yang mampu bertapa, sakti mandraguna, merasa menjadi ”lelanang jagad.” Sirna sesaat oleh ungkapan kesucian, keikhlasan bathin anak-anaknya.

Manakala anak-anaknya selesai mengikrarkan itu semua, saat itu pula sang resi, moksa. Ilmunya kembali, tapanya satu abad hanya untuk meminta bidadari kepada Hyang Widhi, terhapus oleh rasa maaf yang sangat kepada isterinya. Dan dimaafkan oleh putera-puterinya. Kembali kepada jati diri yang paling bening dari jiwanya. Kembali kepada jati diri yang paling suci dalam hatinya. Maka beliau moksa pergi ke Suralaya.
Suralaya adalah puncak kebahagiaan, berbatasan dengan nirwana. Puncak yang diraih oleh Sastra Jendra dari Wisrawa dan isterinya. Suralaya adalah tempat surgawi yang sudah terisi energi ke-Widhi-an, tapi masih terhalang oleh pintu ”Sela Manangkep.”

Tatkala resi Gotama ke angkasa sambil menangis, tetes airmatanya membasahi ketiga putera-puterinya. Maka lenyaplah sang ayah dari pandang mata kepala putera-puterinya. Akhirnya masing-masing melaksanakan tapanya, sebagaimana di amanatkan sang ayah.

Subali menuju gunung Sunyapringga, melaksanakan ”tapa ngalong.”

Sugriwa ke hutannya Sunyapringga, melaksanakan ”tapa ngidang.”

Retna Anjani di telaga Nirmala, melaksanakan ”tapa nyantuka.”

SUBALI
Subali, dalam kesunyian tanpa cinta ibunda dan tanpa cinta sang ayah. Keheningan gunung Sunyapringga, menambah mencekamnya kerinduan cinta yang ditinggalkan oleh kedua orangtuanya.
”Wahai gunung, siapakah yang mengisi kekosongan cinta ini?”
”Aku sendiri hening dari kekayaan cinta kepada diriku sendiri, jangankan aku mencintai diri sendiri, aku ini pun terkoyakkan oleh cinta orangtua kami, wahai gunung Sunyapringga. Sempurnakanlah kesunyian kami, sempurnakanlah kekosongan cinta kami. Supaya kami, masuk ke alam rahasia, supaya kami masuk ke alam yang oleh dunia dirahasiakan. Ke alam yang oleh hutan dirahasiakan, ke alam yang oleh tumbuh-tumbuhan dirahasiakan. Wahai gunung, gunakanlah kesepian kami sesepi-sepinya, supaya kami melupakan diriku sendiri. Janganlah engkau biarkan tubuh kami, jiwa kami, dan fikiran kami, terpenjarakan oleh kesepian yang kepalang tanggung. Kesepian yang sempurna mampu membebaskan diriku dari rasa memiliki tubuh dan jiwa ini.”

Demikianlah Subali dalam ”tapa ngalong-nya”, kaki ke atas berpegangan pada dahan pohon dan kepala! Menghadap ke bumi.

Di puncak kesepian Subali yang paling pekat, sang daging seperti meninggalkan dirinya, bukan daging yang ditinggalkan oleh dirinya. Satu-persatu, tangannya meninggalkan dirinya, daging di perutnya, tulang di kakinya, satu-persatu organ tubuh meninggalkan dirinya, yang tersisa adalah jantung dan hati, yang terasa masih ada.

”Mengapa jantung dan hati tidak mau pamit dariku? Bukankah karena engkau, aku merasa memiliki tubuh ini? Bukankah karena engkau, aku merasa memiliki denyut daging dan getar syaraf? Bukankah karena engkau, wahai hati, aku dapat memandang dengan mataku pesona dunia ini? Cepatlah engkau berjalan! Tinggalkan aku.”

Hati dan jantung menjawab :
”Bukan aku tak mau berpamitan kepadamu, namun katakanlah, bahwa aku pernah hadir dalam dirimu, dalam memperkenalkan dunia ini dengan isinya. Tanpaku, engkau tak mengerti arti duniawi, tanpa kami, engkau tak mampu bercengkerama dengan dunia. Izinkanlah kami pamit dan isilah jejak kami oleh dirimu. Dan suatu saat kami akan datang lagi mengisi tempat ini.”

Maka jantung dan hati pamitan tanpa kesedihan dan kegembiraan. Subali pun melepas organ tubuhnya yang terakhir.

Manakala hati dan jantung meninggalkan dirinya. Saat itu pula seluruh pohon-pohon di hutan Sunyapringga berbicara menyampaikan rahasia dirinya. Menyampaikan rahasia dirinya. Menyampaikan rahasia alam ini dan menyampaikan rahasia para dewa.
Hingga setiap pohon bercerita, aku ditakdirkan berbuah sampai sekian. Berapa yang gugur, berapa yang matang dan berapa yang dimakan ulat. Kami ditakdirkan berdaun sekian, dari pucuk pertama dan daun terakhir yang gugur.

Dan hewan-hewan pun, bercerita tentang kerahasiaan dirinya secara sempurna.

Maka telinga-telinga dari bathinnya, mendengar semua suara yang ada di dunia ini. Penglihatan mata bathinnya, tembus membelah samudera, masuk ke langit. Subali mulai masuk ke alam kebahagiaan bertemankan rahasia-rahasia. Dikatakan rahasia, karena terhalang oleh daging. Namun saat itu bukan rahasia lagi. Ternyata di balik daging, ada keindahan yang lebih sempurna, dari syahwat itu sendiri, dari indera itu sendiri, dari fikiran itu sendiri.

Subali menuju alam pertapaan yang sangat ramai. Sendiri dalam kesepian tetapi ramai dalam kehidupan. Subali dalam ”tapa ngalong-nya” menyaksikan kehidupan dunia. Setiap manusia terlihat takdimya. Tingkah laku, gerak tubuh yang menghasilkan problematik hidup setiap individu manusia, jelas di saksikan. Persoalan umat pun dilihatnya secara sempurna.

Maka pengetahuan-pengetahuan, ilmu, bukan datang dari pelajaran-pelajaran yang didapatkan dari ayahandanya. Semua memberikan pelajaran, semuanya yang dilihat memberikan pengertian. Dunia bukan lagi sekedar benda. Dunia adalah kalam Widhi yang bergerak-gerak. Dunia adalah ungkapan wahyu Hyang Widhi yang bercerita. Sabda-Nya mengalir tanpa perantara. Sabda yang bukan melalui malaikat, tapi sabda yang berasal dari isyarat alam, sebagai perwakilan-perwakilan sang Maha Kuasa.

SUGRIWA
Sugriwa di dalam ”tapa ngidang-nya”, tak seperti Subali. Kalau Subali, dalam ”tapa ngalong-nya”, ditinggalkan oleh seluruh organ tubuhnya. Maka yang dialami Sugriwa adalah organ tubuhnya tetap dirasakan utuh, tapi dirinya ditinggalkan oleh fikirannya.

Yang pertama kali meninggalkan dirinya adalah illusinya, ”Selamat tinggal wahai diriku”, kata ilusi,
”Aku akan mengangkasa dan akan kembali ke alamku sendiri, di awang-awang jagad raya, di mega-mega yang tak bersisi. Karena kami bercerita tanpa ada awal dan akhir, karena kami mengungkap masalah tanpa judul. Dan engkau mengenal aku, karena rekayasa perasaamu sendiri. Yang sesungguhnya, aku tidak ada. Aku adalah embun yang kembali kepada embun. Aku adalah asap yang kembali kepada awan. Aku tidak memiliki judul, kalaupun berjudul, bukan aku yang membuat. Tapi engkau yang membuat judul atas angan-anganmu tentang kehidupan ini.”

”Selamat jalan daya khayalku. Engkau terlalu kucintai, dan engkau jangan terlalu jauh melayang-layang di angkasa. Tanpa engkau, aku tidak mampu memahami dunia ini. Tanpa engkau, aku akan terpenjara oleh kenyataan hidup. Tapi engkau membebaskan diriku dari keterpenjaraan kehidupan yang sesungguhnya. Engkau adalah memberikan kemerdekaan semantara kepadaku”, demikian Sugriwa.

Perpisahan ini adalah tangisan, walau daya khayal dari illusi, tetapi tetap ditangisi, dan perpisahan ini terasa menyakitkan.

”Tanpamu, aku kehilangan diriku sendiri. Karena aku dikatakan sebagai manusia karena dirimu, yang telah hadir dalam diriku sebelum aku dilahirkan di muka bumi ini.”
Maka setelah kepergian daya cipta illusi, daya lamun, berpamitan pada logika. Logika berkata tentang atas dan bawah, sisi dan ujung, jumlah, matematika, sebab akibat, analisa-analisa, kesimpulan-kesimpulan, penjelasan mengapa begini, mengapa begitu, mengapa demikian.

”Selamat tinggal wahai Sugriwa. Aku matematika harus berpisah dari fikiranmu. Engkau sering resah karena perhitungan-perhitungan dariku. Engkau sering bergulana, karena aku menari dalam hitungan jumlah, dan engkau sakit oleh kekurangan-kekurangan. Dan engkaupun sering gembira manakala aku menambah. Engkau dipenjarakan olehku, dari sebuah sebab akibat. Yang paling menggoda kekhawatiran adalah aku, Sugriwa. Namun ingatlah aku, kenanglah aku! Tanpa aku, engkau tidak akan dapat mengerti, mengapa engkau harus mengejar-ngejar Cupu Manik Hayuningrat, karena aku, engkau dipicu dalam usaha dan ikhtiar.”

”Selamat jalan, wahai sebab akibat, suatu saat aku merindukanmu.”

”Ya! Aku akan datang manakala sang dewa telah mensucikan engkau. Dan akupun akan datang dengan sebab akibat dan matematika, jumlah dan kurang. Namun aku akan berbakti kepada ’kesucian’ engkau, yang telah disucikan dalam pertapaan yang panjang.”

”Berilah aku keleluasaan untuk mencari rahasia-rahasia alam, untuk mencari rahasia-rahasia mega-mega mengangkasa. Supaya manakala aku kembali, bila engkau mengenal aku 3+2=5, tapi 3+2 adalah 5+x+n+n, aku adalah kaya. Kalau pun aku matematik, tapi mampu membelah rahasia gaib, kalau engkau menambah kesucian dirimu. Karena aku harus diperkosa oleh kesucian dirimu. Bukan aku yang memperkosa dirimu, wahai Sugriwa”, demikian kata logika.

Yang terakhir pamit adalah fikirannya :
”Aku pamit Sugriwa. Telah lama aku bercokol dalam ruang-ruang fikiranmu. Aku adalah rencana yang panjang dari dirimu. Penggalan- penggalan kamar yang telah kau isi dari rencana kerja itu adalah aku. Biarlah aku kembali kepada pusat perencanaan Yang Maha Sempurna, Sang Pencipta Rencana itu sendiri, Hyang Agung Mahesa. Hing Murbeng Mahesa, adalah tempat aku kembali karena di sana ada rencana Yang Maha Sempurna. Aku adalah bayangan-bayangan kecil dari rencana-Nya. Aku adalah wayang dari rencana, dan engkau mau menggapai rencana dalam bayangan dirimu sendiri. Aku mengucapkan salam kepada dirimu. Dan aku pun, terima kembali suatu saat, manakala engkau telah membuat ’Istana kesucian’ di dalam fikiranmu. Fikiranmu adalah rukh, fikiranmu adalah sayap-sayap yang ku isi. Tanpa rukh, aku tak mampu hadir dalam sayap rukh. Kau kembali kepada jati yang tersuci dari rukhmu sendiri. Hewan tanpa rukh, aku pun tak mampu hadir di alam mereka.”

Maka menangislah Sugriwa dalam tapanya. Betapa kesepian panjang tanpa perhitungan, tanpa rencana, tanpa obsesi. Obsesi adalah kenakalan alam fikiran, gejolak alam fikiran akibat rencana yang diperhitungkan secara rinci dan sangat matematis. Sangat berfungsi dalam matematik dan pengetahuan alam.

Maka keheningan mengiringi Sugriwa, dan di puncak kesepiannya Sugriwa melihat perhitungan lain. Sugriwa mengetahui jauhnya bumi dengan bulan, mengetahui berapa banyak energi matahari yang selama ini telah mengalir ke bumi, berapa usia dunia ini dengan matematika yang tanpa batas logika. Bulan pun bercerita telah berapa kali mengelilingi bumi ini dan mengelilingi matahari. Matahari pun bercerita berapa jumlah energi panas yang disimpan dalam tubuhnya. Oksigen dan hidrogen menari-nari, memberikan informasi tentang eksis dirinya.

Maka rahasia jumlah dari hari dan tahun yang telah terlalui oleh alam ini, dari berapa jumlah yang akan lahir dari tahun dan bulan, diketahuinya dalam jumlah. Rencana pun teraba, kapan kiamat, kapan gunung hancur, kapan planet bertemu planet, meteor dengan meteor, komet dengan komet. Dan berapa jumlah planet yang ada di cakrawala ini, diketahui dengan pasti dan sistematis. Karena rukh, ternyata sumber logika yang paling murni. Yang terpandai dari otak. Otak ternyata jagad terkecil dari transfer fikiran, kepandaian rukh itu sendiri.

Sugriwa dalam tapa ngidangnya, menemukan rahasia jumlah dan perencanaan, mengetahui sebab dan akibat, awal dan akhir dari sesuatu proses.

Subali mata bathinnya bertambah tajam dalam dialog dengan alam dan sifatnya.

Sugriwa kepandaian rukhnya, menghitung dan membuat rencana dari sisi jumlah dan dimensi.

Subali adalah makna sifat yang dimensional dari fisik alam ini.

Sugriwa adalah dimensi jumlah dari fisik sifat alam ini.

Tapa ini ”wajib” bagi makhluk di muka bumi. Karena adalah tanggung jawab kepercayaan Hyang Widhi kepada manusia. Manusia sebagai perawat dunia dengan bermodalkan dua faktor tersebut di atas. Tanpa modal dua faktor ini, adalah tinja yang ada di bumi, kotoran yang menodai bumi ini.

Sabda Batara Narada dari Nirwana :
”Cucuku, Subali dan Sugriwa. Engkau pantas merawat dunia, engkau pantas mencintai bumi ini, pantas sebagai penghuni yang syah dari alam yang Tuhan telah ciptakan. Engkau adalah jagad, dimana dunia akan bersekutu dengan jagad dirimu. Bukan engkau yang bersekutu dengan bumi. Tapi bumi kembali bersekutu ke dalam jagad rukh dan jiwamu. Karena Hing Murbeng Agung, Sang Hyang Wenang, tak mungkin memberikan kepercayaan kepada penghuni yang namanya manusia, kalau tidak lebih mulia dari alam dan isinya.”

RETNA ANJANI
Retna Anjani, tapa nyantuka, seperti kodok yang berendam di air Sumala. Air kehidupan yang sudah keruh. Retna Anjani dalam kesunyian.

Kesunyian hatinya, kesunyian jiwanya, tambah mencekam dengan dinginnya telaga Sumala. Malam hari bertemankan kodok-kodok yang bernyanyi, menambah kerinduan dan keharuan kepada bundanya. Gigil tubuh Retna Anjani dan dinginnya air keruh Sumala, menghantar dirinya pada puncak kesempurnaan dari kesepiannya. Retna Anjani, tidak seperti Subali dan Sugriwa, yang diperlihatkan seluruh rahasia alam ini. Di puncak kesempurnaan kesepiannya, Retna Anjani :
- fisiknya tidak lagi memberikan perasaan,
- fikirannya tidak lagi memberikan pengertian, namun
- jiwanya sebagai wanita yang feminim, yang lembut, yang penuh kebijaksanaan, terbuka.
- jagad kesucian seorang wanita, pintunya terbuka.

Retna Anjani, masuk ke jagad cinta yang tertinggi. Dan dijemput oleh sebentuk cinta.
”Selamat datang Ratu Retna Anjani, aku adalah kerinduanmu. Tanpa aku, engkau tidak akan merindukan sesuatu, tidak akan merindukan apapun. Mengapa aku ada dalam jagad dirimu? Mengapa aku bertemu dengan dirimu? Padahal aku sering, aku tak pernah memperkenalkan diri kepada penghuni bumi yang namanya wanita. Karena aku tersembunyi, bisa di rasakan tak mungkin di raba. Bisa dihayati tak mmgkin di fikirkan. Karena aku, tersembunyi dalam emosi. Kalau pun aku datang memperkenalkan diri, membentuk diriku sendiri di hadapanmu, karena engkau telah masuk, mengalami terpaksa, hadir di dalam Cupu Manik Hayuningrat. Hayuningrat menyebabkan ketersem-bunyian aku di dalam emosimu sebagai wanita, tak kuasa tidak menjelmakan diri di hadapanmu.”

Hayuningrat :
- mampu menjelmakan sesuatu nilai-nilai menjadi nyata,
- sesuatu perasaan menjadi benda,
- sesuatu khayal menjadi teraba.

”Dan kerinduan yang engkau rasakan, karena aku adalah kerinduan kepada kesejukan kasih sayang ibu. Dan semua manusia merasakan kesejukan kasih sayang ibu, dan kenyataan perlindungan ayah. Dan untukmu wanita, merindukan perlindungan ksatria seorang lelaki. ltu adalah aku, kerinduan.”

”Selamat berjumpa wahai kerinduan, maafkan aku. Karena seusai tragedi aku menjadi kera, kerinduan apapun tak pernah hadir lagi dari jiwaku. Kalaupun kau ada dan memperkenalkan diri kepadaku, akupun terpaksa mengucapkan selamat datang, wahai kerinduan. Wahai kerinduan, ajaklah aku kepada misteri yang ada dalam jagad cinta. Jagad cinta wanita yang ada dalam jiwaku.”

Maka kerinduan, memperkenalkan perasaan lain, datanglah rasa nyaman, rasa terlindungi.
”Siapakah engkau?”, kata Retna Anjani.

”Aku adalah rasa tenteram karena kenyamanan, rasa aman karena perlindungan.”

”Siapa dirimu?”

”Aku adalah Hawa. Karena aku, terlahir generasi manusia. Karena aku manusia mewariskan cinta kepada keturunannya. Tanpa aku, manusia akan meninggalkan keturunannya. Aku adalah ’hawa kasih sayang’ yang tersembunyi dalam rasa aman, yang diam di dalam kerinduan. Dan aku sebenarnya cahaya dari perlindungan Hyang Widhi. Kerinduan kepada orang tua, kepada anak, kepada kekasih itu pun anak-anak yang dariku, Hawa. Dan aku adalah percik cahaya dari rasa aman yang datang dari Sang Hyang Widhi, kepada makhluk-Nya”, demikian sang kerinduan memperkenalkan dirinya.
Dan kerinduan tidak akan berfungsi. Kerinduan akan mati, manakala kerinduan hanya sampai kepada suami, hanya sampai kepada isteri, manusia. Hanya sampai kepada anak-anak dan kekasih. Kerinduan yang terhenti, adalah memotong cinta yang panjang dari makhluk kepada Penciptanya.

”Wahai ratu, jangan engkau terhenti di belokan cinta, terhenti di tikungan cinta. Karena engkau akan diperbudak oleh kerinduan itu sendiri. Kerinduan seperti itu meresahkan dan menyiksa, karena kerinduan belum usai, belum pulang kembali kepada sumbernya, Sang Hyang Widhi. Maka jadikanlah aku, Hawa, sebagai jembatan cahaya yang panjang. Supaya engkau melaju, mengalir menuju sumber Cinta. Bawalah cinta engkau kepada orangtuamu bersama aku, kembalikan dengan cahayaku kepada sumbemya. Bawalah cinta asmaramu kepada ksatria, idamanmu, memakai perahu cahaya yang mengalir di samudera yang panjang. Menuju pulau-pulau Sumber Cahaya Cinta Sang Hyang Murbeng Asih. Jangan engkau biarkan, dirimu dalam cinta, tenggelam dalam samudera cinta yang terseok-seok di bawah samudera asmara. Namun asmara akan menjadi lebih indah, manakala aku mengisinya dengan cahaya yang panjang sebagai jembatan cinta kepada sumbernya, Hing Murbeng Asih, Tuhan Yang Maha Esa.”

”Wahai Hawa”, kata Retna Anjani, ”Adakah dibalik engkau yang aku ingin kenal padanya?”

”Ada, di belakangku adalah dirimu yang sejati. Diri sejati yang merindukanmu yang ingin memberikan cinta kasih kepada semua yang ada. Tidak saja ksatria yang engkau berikan cinta, tidak saja ayah ibumu yang engkau berikan cinta. Tapi alam raya dan isinya, menunggu dengan sangat, dari abad ke abad, berjuta tahun, alam raya dan isinya, menunggu belaian kasih sayang dari jati dirimu sebagai wanita.”

Manakala Hawa tersibak, tampaklah di belakangnya. Dimana Retna Anjani rasanya seperti mengaca di kaca yang besar, segalanya persis. Persis wajah, sama persis tubuhnya. Sebagaimana Retna Anjani sendiri.

”Ucapkanlah salam kepada dirimu sendiri. ltu bukan bayangan, itu adalah dirimu yang sesungguhnya, wahai Retna Anjani”, kata Hawa.

Retna Anjani membanding-banding dirinya, dengan tubuh yang ada di depannya. Mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki, ternyata ada bedanya. ”Mengapa payudara yang di depanku bersinar terang?”

”Oh Retna Anjani”, kata Hawa, ”Cahaya itu adalah warisan dari cinta sebening kaca, cinta yang sempurna, yang telah disimpan oleh Bundamu yang telah melahirkanmu. Dan engkau pun akan mewariskan cahaya itu, memberikan kehidupan kepada anak-anak manusia. Beribu bayi bergantung kepada cahaya dari payudara, karena kesaktian alam berkumpul dalam cahaya itu. Memberikan vitamin dan kesegeran (air susu), kepada setiap bayi yang dilahirkan. Dan engkau telah menghisap kesaktian ibumu sendiri dengan keikhlasan yang sempurna. Cinta ibumu, membuat iri semua dewi di Kahyangan. Karena mereka tak memiliki cahaya dari payudara. Yang mereka miliki adalah keagungan nilai dari payudara, yang tidak bisa memberikan susu kepada bayi-bayi. Kalau pun bidadari diturunkan ke dunia, matilah setiap bayi, karena tak mampu memberikan susu. Berbahagialah engkau, wahai Retna Anjani, sebagai manusia yang berharkat bidadari.”

”Bisakah aku bertemu ibuku di payudara yang bercahaya?”

”Bisa, wahai Retna Anjani, mengapa tak kau panggil kalau rindu pada ibu?”

”Karena aku tak mampu, tak sempat mengungkapkan maaf dan terima kasih.
Bahwa aku telah dilahirkan, pernah dikandung dan telah dibesarkan. Tragedi Cupu Manik Hayuningrat, menyebabkan aku tak sempat mengungkapkan terimakasih dan sujudku kepada bundaku.”

”Wahai ratu, panggillah bundamu”, kata Hawa.

Maka dipanggil bundanya. Susu yang bening dan bercahaya itu, seperti alam yang di dalamnya ada bundanya. Dewi Windradi tersenyum.

”Peluklah aku, anakku.”

Maka dengan tangisan yang menjerit, dipeluknya ibunya. Namun yang ada hanya bayangan sinar saja. Ternyata Retna Anjani meninggalkan tubuhnya sendiri, kembali kepada dirinya yang sejati.

Retna Anjani berjalan dan berjalan semakin jauh, di jagat dirinya yang sungguhnya. Maka sampailah kembali kepada dirinya yang sedang bertapa.

Ternyata perjalanan Retna Anjani di dalam jagad dirinya yang sesungguhnya, terlihat sebagai cahaya yang gemilang. Maka cahaya gilang gemilang ini adalah cahaya yang mengeluarkan kasih sayang, cahaya yang menebarkan serta merangsang kerinduan semua alam yang menebarkan rasa kasihan yang tinggi. Rasa kasihan yang tinggi ini, sampai ke Marcapada, menembus perbatasan Sela Manangkep, Suralaya dan terus sampai ke Kahyangan.

Para dewa gempar! Cahaya apa ini?

Dan sebagaimana biasa, Batara Narada berdialog dengan adiknya, Batara Guru.
”Dinda Batara Guru, engkau mengerti apa dan bagaimana cahaya ini. Sepertinya cahaya ini bukan milik nirwana, datang dari luar nirwana. Tapi mengapa memberikan benderang yang lebih gemilang dari cahaya yang ada di nirwana?”

”Aku pun tak melihat cahaya ini datang dari puncak nirwana.”

”Wahai Dindaku, ikutilah cahaya itu, darimana datangnya.”

Batara Guru mengikuti cahaya itu yang ternyata sampai ke bumi, yang kemudian sampailah kepada sumbemya, Retna Anjani. Maka terharulah Batara Guru. Cinta yang sempurna yang ada dalam bathin Batara Guru, hampir dikalahkan oleh pesona cinta yang datang dari Retna Anjani.

Proses kembalinya suatu cinta kepada sumbernya.

”Retna Anjani”, sabda Batara Guru, ”Keangkuhanku yang menyebabkan lelaki di lahirkan, goyah dan hampir kalah oleh cahaya yang datang dari dirimu. Kukatakan, engkau kucintai dan engkau kumiliki.”

Batara Guru, muncul kecintaan yang mendalam, melampaui keindahan nirwana.

Dan bersabda Batara Guru :
”Terimalah cintaku ini, cahaya yang sebenarnya belum saatnya ada di bumi. Namun cahaya yang keluar dari dirimu ’mempercepat proses’ untuk segera cahaya ini hadir di muka bumi ini. Dan terimalah bagian dari diriku ini, dan berubah ujud menjadi ’ron jati malela’, daun jati malela.”

Retna Anjani, dalam ”tapa Nyantuka-nya”, memakan makanan apa saja yang mendekati dirinya. Buah yang mengambang, daun yang mengambang. Dan minumnya adalah uap-uap udara, embun pagi. Ron jati malela mengambang, dan masuk ke dalam mulutnya.

Begitu di telan oleh Retna Anjani, dirinya merasakan keindahan yang mempesona. Sebagaimana yang dirasakan oleh Dewi Sukesih sewaktu melayang-layang di puncak kenikmatan cinta dan puncak kebahagiaan di perbatasan kahyangan. Cinta, kerinduan, kerinduan yang tadi memperkenalkan diri, menemukan siapa yang dirindukan.

”Izinkanlah wahai Batara Guru, ternyata engkau kurindukan. Bayanganmu telah lama hadir dalam jiwa ini. Saat aku kecil, bayanganmu seringkali hadir di telaga hatiku. Dan engkau menjadi kenyataan di telaga Sumala ini.”

Sabda Batara Guru :
”Engkau akan mengandung anak kita. Anak kita, bukan lahir dari syahwat. Diukir bukan dari cinta kerinduan, bukan dari ’hawa’, bukan cinta dari jatidirimu sendiri. Tapi perpaduan Hayuningrat yang sudah engkau sucikan di Sumala, bersekutu dengan cahaya yang kubawa dari kahyangan.”

”Telaga Sumala, telaga kehidupan yang kotor, yang cemar. Kini suci kembali, kesucian yang datang dari dirimu dan yang datang dari cahaya permata surgawi. Maka anak kita, menjelma dari kekuatan keduanya.”

Tatkala sang bayi lahir, Batara Guru datang lagi dari nirwana, menaiki Lembu Andhini. Begitu Lembu Andhini melihat Retna Anjani dan bayinya, Lembu Andhini lari kembali ke nirwana, dan mendobrak Sela Menangkep!

Batara Guru terkejut!
”Wahai Andhini. Engkau kurang ajar! Mengapa tanpa izinku engkau kembali ke nirwana? dan engkau menghancurkan Sela Menangkep!”

Maka terdengarlah sabda Batara Narada :
”Dindaku, Andhini adalah kesempurnaan cinta yang tidak pernah berkata-kata, biarlah aku mewakili Andini. Tahukah engkau? Andhini merasa, bahwa Retna Anjani secepatnya dibawa sebagai penghuni nirwana. Dan Andhini kecewa, dan berontak. Mengapa anak sesuci dan seagung itu harus lahir sebagai kera. Andhini tak mampu membendung kemarahan, dari kenyataan seperti ini, kekaguman yang sangat kepada pribadi sang bayi, dikecewakan oleh wajah kera.”

Batara Guru memahami itu semua, dan menghampiri Retna Anjani.
”Isteriku, penghuni nirwana, termasuk tungganganku Lembu Andhini, merindukan kehadiranmu. Karena penderitaamu sudah pindah pada bayimu. Anakmu akan menanggung semua deritamu dalam pertapaan yang panjang. Engkau usailah! Bangunlah wahai isteriku dari tapamu yang panjang. Dosa-dosamu, karena ambisi memiliki Cupu Manik Hayuningrat. Di bawa oleh anakmu, karena dia mampu menghabiskan dan menghilangkan semua dosa.”

”Wahai isteriku, setiap anak yang lahir membawa dosa orang-tuanya dan mampu membuangnya. Namun, karena anak kebanyakan lahir dari dosa, bagaimana bisa membuangnya? Anakmu lahir dari kesucian hatimu, mampu membawa, membuang dan sekaligus melenyapkan dosa, tanpa bekas.”

”Manusia, sekali berdosa, maka dosa itu akan dibawa oleh mereka yang mencinta. Sekali berdosa, maka akan disebarkan oleh yang kau cinta. Sekali berdosa akan diturunkan kepada anak-cucumu. Maka dosa pun bertambah panjang. Hanya Hayuningrat yang mampu mengakhiri.”

”Anak kita, bayimu Hanoman. Mampu melenyapkan dosa turunan, dosa yang dibawa oleh yang dicintainya. Pangruwating Diyu, tak mampu mengakhiri dosa. Hanya memperkecil dosa. Demikianlah wahai isteriku”, sabda Batara Guru.

”Hanoman, anak kita itu. Berilah nama sesuatu yang agung, hatinya seagung gunung yang bening. Kesucian hatinya melampaui, keagungan gunung yang agung. Berilah nama Giri Suci. Keikhlasannya sebening air Sumala, air keruh yang menjadi sebening air surgawi.”

”Ia memiliki kewibawaan. Wibawa dalam jiwanya mampu mengalahkan kewibawaan samudera.

Katakanlah namanya, Jaladri Prawat.”

”Budinya lebih terang dari semua mentari, lebih cemerlang dari semua cahaya cakrawala. Tutur katanya, selembut cahaya yang tak terlihat. Berilah sebuah nama, Surya Sasangka.”

”Rasa juangnya sangat tinggi, tak pernah menyerah kalah, tak mau menyerah, tak mau mengakui akan segala penderitaannya. Penderitaan adalah pengakuan. Anak kita tak pernah mengakui akan rasa kekalahan. Sekali menentukan sikap, seperti angin prahara yang tak mampu dibendung oleh apapun juga. Sebutlah Anita Tanu.”

”Dan apabila saatnya tiba, anak kita harus kembali kepada alam, bergaul dengan penghuni hutan ini. Engkau harus kembali kepada kesempurnaan Hayuningrat, yang sudah menunggu di kahyangan.”


Para pembaca yang budiman demikianlah kisah cerita mengenai Realisasi dari Pangruwating Diyu serta Sejarah Cupu Manik ASTAGINA, yang kami sarikan kembali dari beberapa sumber dan kami sajikan menjadi rangkaian ceritera bersambung.

Semoga kita semua mampu menangkap intisari dan hakikat dari Ajaran Adiluhung SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT, serta mampu mengimplementasikannya dalam setiap langkah kehidupan kita. Om Awighnamastu dumogi bermanfaat.


Ksamaswamam,

Astono Chandra Dana

Tuesday, July 13, 2010

"Realisasi PANGRUWATING DIYU" dan Sejarah ” CUPU MANIK ASTAGINA ” (Bagian 6)

Disarikan kembali oleh : Pinandita Astono Chandra Dana

Cupu Manik Hayuningrat dilemparkan oleh rasa dikhianati dan rasa kecemburuan pada Batara Surya. Cupu Manik pun melayang di udara dengan derasnya dan jatuh di suatu tempat dalam keadaan terpisah. Tutupnya masuk ke dalam suatu hutan sedangkan badannya jatuh di lain tempat, di negeri Ayodya.

Tutup Cupu manik Hayuningrat menjadi telaga Sumala, sedangkan badan dari Cupu Manik Hayuningrat menjadi telaga Nirmala. Dan cahaya yang ada di dalamnya memancar membias, menghiasi angkasa bumi ini. Menghiasi seluruh cakrawala dan isinya.

Ternyata cahaya ini meradiasi Alam Raya ini dan intinya masuk ke dalam diri isterinya, Dewi Windradi.

Sang Dewi diam, bungkam, dan menjadi batu! Menjadi Arca! Menjadi patung!
Manakala Dewi Windradi menjadi arca. berarti tugas dirinya membawa Hayuningrat untuk meruwat suaminya dan melahirkan anak-anaknya, selesai sudah. Dewi Windradi dengan cintanya pergi ke Nirwana dan meninggalkan syahwatnya di bumi ini. Pernikahan Agung dirayakan kembali dengan para dewa. Dewi Windradi hidup dengan bahagia yang sempurna di Nirwana.

Resi Gotama, walaupun sudah membuang Cupu Manik Hayuningrat beban emosinya masih dirasakan begitu berat. Maka arca dari Dewi Windradi ini dipukulnya, diinjak dengan segala kemarahannya. Tidak hanya sampai di sini, sang resi pun mengerahkan segala ilmunya, segala kesaktiannya. Patung Dewi Windradi dilemparkannya! Patung Dewi Windradi melayang tinggi sekali hingga membelah awan dan akhirnya jatuh, di negeri Alengka.

Cupu Manik Hayuningrat :

Tutupnya jatuh di sebuah hutan, kemudian berubah menjadi telaga Sumala. Yang berisi air kehidupan dunia yang keruh. Keruh oleh berbagai polusi nafsu manusia di dunia.

Cupunya jatuh di negeri Ayodya, berubah menjadi telaga Nirmala. Yang berisi air kesucian. Perpaduan air kehidupan dunia dengan ”sinar permata surgawi.”

Manakala Dewi Windradi menjadi patung, saat itu pula sang Dewi sempurna fisik yang berdarah dan berdaging, dan fisik ”Atma-nya” hadir di Nirwana bertemu dengan suami tercinta Batara Surya. Pernikahan Agung dirayakan kembali, para Dewa sebagai saksi, sampai menikmati kebahagiaan yang paling sempurna.

Dalam waktu yang bersamaan, saat sang Dewi menjadi patung. Tubuh Dewi Windradi yang di penjara di bawah istana ayahnya, hilang! Moksa. Manakala sang ayah datang seperti biasa, menengok anaknya. Sang Dewi lenyap tanpa bekas. Maka menangislah sang ayah dengan penyesalan yang dalam dan jerit permohonan ampun kepada para dewa. ”Betapa mulianya anakku, moksa, tak berbekas.”

Jadi definisi dari ”moksa” adalah, seperti yang terjadi demikian. Moksa adalah kembalinya tubuh, jiwa dan rukh anak manusia ke alam yang lebih suci dari bumi ini. Tanpa mensisakan daging tubuhnya sebagai mayat. Hal ini sering terjadi di kalangan Pendeta, para Resi, di abad-abad yang telah lalu.

Resi Gotama setelah melempar patung isterinya, Dewi Windradi, emosinya yang semula bergemuruh mulai mereda. Sang Resi mencari-cari anak-anaknya, namun ketiganya sudah tidak ada. Ternyata anak-anaknya mengejar-ngejar Cupu Manik Hayuningrat yang dilempar oleh ayahnya sendiri.

Guarsa dan Guarsi mengejar Cupu Manik Hayuningrat, hingga masuk ke dalam sebuah hutan, sampai di sebuah telaga. Telaga Sumala.

Demikian pula dengan Retna Anjani yang mengejar Cupu Manik Hayuningrat, telah sampai di satu telaga. Telaga Nirmala.

Guarsa dan Guarsi melihat ikan-ikan membawa benda yang sedang diburu oleh keduanya. Maka Guarsa dan Guarsi, dari sisi yang berbeda, menceburkan dirinya ke dalam telaga itu.

”Wahai ikan, bukan hakmu, Cupu Manik itu. Itu hakku.”

Ternyata dalam pandangan keduanya, ikan-ikan yang ada di telaga itu, di mulutnya membawa-bawa Cupu Manik Hayuningrat. Padahal ikan itu ada dalam ”energi Cupu Manik Hayuningrat” yang berubah menjadi telaga.

Karena bayang-bayang Cupu Manik Hayuningrat terus menerus menggoda ketiganya maka Guarsa dan Guarsi yang masuk ke telaga Sumala, dari tempat yang berbeda berenang terus mengejar ikan hingga ke dasar telaga. Keduanya tenggelam di telaga Sumala yang keruh.

Pun demikian dengan Retna Anjani, di tempat yang lain, tenggelam berenang di telaga Nirmala, telaga air kesucian.

Maka terdengarlah sabda dari Nirwana, dari Dewa yang tidak memperkenalkan eksis nama dan identitas namanya.

Bersabda kepada Guarsa, Guarsi dan Retna Anjani :

”Wahai anak-anak manusia yang berani! Keberanianmu itulah, ombak yang akan mengubur dirimu sendiri. Dan ingatlah! Ketampananmu, kecantikanmu, akan ditelan oleh kegelapan malam.”

Dan ikan-ikan pun bernyanyi bersama :
”Oh! Dua anak manusia”, ditujukan kepada Guarsa dan Guarsi,”Dunia akan kegirangan menjemput kedatanganmu,sebagai dua ekor kera.”

Ternyata Guarsa dan Guarsi gagal menemukan Cupu Manik Hayuningrat, walau keduanya telah menyelami telaga Sumala hingga ke dasamya. Maka keduanya keluar, naik dari telaga, dari sisi yang berbeda. Masing-masing tidak merasa dan tidak menyadari telah berubah menjadi kera.

Pada saat keduanya bertemu :

”Siapa dirimu wahai Kera?”, kata Guarsa.

”Engkau yang kera!” kata Guarsi.

”Kamu yang kera!”

Air keruh telaga Sumala ternyata memberikan perasaan kepada anak manusia, kepada penduduk bumi. Untuk saling berprasangka buruk diantara sesamanya. Warisan air noda kehidupan dunia yang ada dalam Cupu Manik Hayuningrat. Maka keduanya mewarisi ”saling curiga.”

Terdengarlah suara dari Nirwana :
”Wahai engkau berdua! Berkacalah kepada air yang sedang bercanda dengan cahaya mentari.”

Begitu keduanya mengaca di atas air. Kagetlah, keduanya!

”Mengapa aku menjadi kera? Mengapa engkau adikku, menjadi kera?”

”Mengapa engkau menjadi kera, Kakanda?”

Maka keduanya pun berpelukan, berangkulan sambil menangis. Bagaimana pun cinta sebagai adik dan sebagai kakak tetap utuh dalam diri keduanya.”Mengapa kita menjadi kera?”

Terdengar kembali suara dari Nirwana :
”Wahai Guarsa, Guarsi, Engkau kini memiliki nama.Guarsa sebagai Subali dan Guarsi sebagai Sugriwa.”

”Duhai dewa! Kenapa melaknat kami,yang tidak berdosa menjadi kera?”

Para dewa menjawab dari nirwana :
”Engkau harus bersyukur, wahai Subali dan Sugriwa. Jiwa serakahmu sebagai manusia, akan disucikan kembali oleh Hayuningrat. Ketidak mengertianmu untuk memahami dalam mengejar-ngejar Cupu Manik Hayuningrat. Itu akan disucikan oleh Hayuningat syahwatmu yang menggelegar sebagai lelaki, akan disimpan dulu oleh Hayuningrat. Dan semua batas-batas kamar syahwat, batas-batas keserakahan, batas-batas kamar saling ingin mengalahkan diantara sesamamu sebagai manusia. Batas-batas itu diambil alih oleh kami, para dewa. Karena ada cahaya Hayuningrat di telaga Sumala tersebut. Dan keindahan wajahmu, adalah alat dalam membawa keserakahan, rayuan-rayuan syahwat. Hanya ingin nikmat saja, menolak duka. Menggapai harap akan lebih jelas oleh keindahan wajahmu. Karena itu engkau menjadi kera. Supaya habis semua ambisi sebagai manusia di bumi.”

Dalam pada itu, di tempat yang lain. Retna Anjani sedang menangis, menangisi dirinya sendiri. Karena dirinya pun ternyata menjadi kera juga, walaupun tidak seluruh tubuhnya sebagaimana Subali dan Sugriwa, kakaknya. Retna Anjani wajahnya tetap utuh, tapi badannya adalah badan kera. Karena Retna Anjani berenang di telaga Nirmala, di mana air dunia yang suci bercampur dengan Hayuningrat. Retna Anjani menjadi wanita yang tabah dan mempesona.

Sementara itu Resi Gotama, lari-lari mencari anak-anaknya. Dan dalam pencarian itu, sang dewa bersabda kepada resi Gotama :
”Anakku resi Gotama, engkau telah membuang patung isterimu. Batu yang keras, arca yang diam. Jelmaan dari isterimu. Jelmaan dari yang kau cintai. Tahukah engkau, wahai anakku? arca itu adalah egomu. Isterimu engkau perkosa dengan kelamin syahwatmu, menjadi batu! Kesucian dan kelembutan daging dari isterimu, terampas energinya, karena keserakahan seksmu, hingga ampasnya menjadi batu. Dan engkaupun tidak menerima isterimu yang cantik menjadi batu. Bukan persoalan menerima atau tidak, tetapi engkau menangisi syahwatmu, mengapa isterimu menjadi batu, karena engkau tidak mampu lagi melampiaskan cinta dan syahwatmu.

Ketahuilah, wahai resi Gotama. Dan engkaupun membuang korbanmu sendiri. Namun demikian, wahai resi, syahwatmu telah di bawa oleh batu arca ke Alengka. Dan engkau wariskan syahwatmu ini kepada anak-anak Wisrawa. Terutama kepada yang berwajah sepuluh, Dasamuka, Rahwana. Batu dari isterimu yang jatuh di Alengka, menyebarkan energi syahwat yang sempurna. Berarti engkau terbebas dari syahwat yang sempurna. Berarti engkau terbebas dari syahwat kelaki-lakianmu, yang dipuja, dipuji dalam seratus tahun dalam tapamu. Mengapa demikian? Karena engkau telah di ruwat oleh isterimu sendiri, Dewi Windradi. Dengan Hayuningrat”, demikian kata dewa dari Nirwana.

Maka berkata-katalah, dalam sabda para dewa, ilmunya mengalir. Wejangan-wejangan para dewa, yang ilmunya tak mampu di tulis. Berkumpul dalam nurani sang resi. Akhirnya tahulah, mengertilah sang resi. Mengapa dan apa, anak-anaknya sampai demikian.

Resi Gotama pun akan mencari anak-anaknya, yang sudah diketahuinya telah berubah jadi kera. Akhirnya, bertemulah ayah dan anak dalam satu tangis yang indah dan haru.

Kesempurnaan kasih sayang bapak, menyempurnakan Hayuningrat putera puterinya.

”Ayah, mengapa aku menjadi kera?”, bertanya Retna Anjani.

”Anak-anakku”, kata resi Gotama, ”Zaman telah menjadi tua dan waktu telah lelah. Tapi manusia dan turunannya selalu bisa dilahirkan dengan cepat. Semakin lelah waktu, semakin cepat turunan manusia dilahirkan. Dan waktu pun akan membawa anak manusia kembali melalui gerbang kematiannya. Dalam membawa bekunya sebuah hati dari syahwat yang tak terjaga. Dalam membawa bekunya sebuah jiwa dari ambisi yang belum selesai. Engkau anak-anakku, terbebas dari semua itu. Karena engkau merasa malu dengan wajah dan badan kera-mu.”

”Oh dunia! Bersinarlah karena penderitaan anak-anakku. Wahai dunia! Teguklah airmata mereka, anak-anakku. Supaya kamu semua dapat keberkahan dari Hayuningrat, yang ada dalam diri kami dan anak-anakku.” Wahai dunia! jemputlah airmata-airmata kami, sisa dari kebenaran yang nyata, yang sukar ada dan jelas di muka bumi.Dunia akan semakin kokoh dengan sedu-sedan anak-anak manusia. Penderitaan umat manusia mengokohkan zaman dan mengangkuhkan, ’harga diri’. Namun api-api itu! semoga air mata kami bisa, menghabiskan panasnya jiwa-jiwa yang serakah. Kau akan melihat dunia dengan isinya melalui Cupu Manik Hayuningrat, tapi ingatlah! Kesaktian tak dapat di rebut dengan begitu saja.”

”Wahai anak-anakku, Cupu Manik Hayuningrat, yang kalian perebutkan adalah sebuah pergulatan yang panjang dalam mencapai buah yang nikmat. Mana mungkin engkau dengan mudah meraihnya, anak-anakku. Namun atas kemurahan sang dewa, engkau menjadi kera, karena jagad ambisi yang ada dalam dirimu itu adalah warisan dariku selama bertapa seratus tahun. Maafkanlah ayahmu ini, wahai anak-anakku.”

”Wahai anak-anakku, kesaktian bukan dari usaha manusia. Kesaktian bukan dari usaha pengorbanan apapun. Kesaktian adalah datang tanpa di sadari, dari sebuah hati yang tak mampu lagi merasa berkorban. Kesaktian akan datang manakala manusia sudah tidak rindu lagi untuk dipuja dan dipuji. Karena kesaktian datang tanpa melalui ucapan salam, tapi hadir dalam jiwa manusia. Kesaktian tidak ada dalam dunia ramai, karena kesaktian, wahai anak-anakku, hanya datang kepada mereka yang teraniaya. Maka engkau mendapat kesaktian, wahai anak-anakku, dari rasa rendah diri sebagai kera. Terimalah itu semua. Anak-anakku jangan duka dan sedih, sebab penderitaan sangat di inginkan oleh dunia. Supaya dunia terbebas dari penderitaan yang sia-sia dari umat manusia, supaya Sang Dewata Hing Murbeng Agung menerima. Dan engkau secara tidak langsung mendapat ’titah’ dari Sang Dewata Hing Murbeng Agung, Tuhan Yang Maha Esa. Dan engkau sebenarnya diangkat harkatnya, oleh rasa rendah diri sebagai kera.”

”Tengoklah wahai anak-anakku. Di seberang sana anak manusia berpesta pora dalam kesombongan, berpesta pora dalam syahwat. Siapa yang kuat itu yang menang! Seolah-olah kekuatan adalah miliknya. Seolah mereka mendapat ’titah’, padahal bukan. Tetapi hawa nafsunya sendiri yang mengatas namakan dewa. Dan engkau menjadi kera anakku, kesombongan akan punah. Kesombongan akan sirna. Akan hilang dan musnah. Karena di jiwamu hadir rasa bersalah dan rasa rendah diri sebagai kera. Kerendah-dirian takkan mungkin hadir dalam diri manusia, manakala manusia masih merasa memiliki sesuatu kelebihan, dalam wajahnya, dalam perasaannya juga dalam ilmunya. Demikianlah wahai anak-anakku”, demikian resi Gotama.

”Wahai ayahku”, berkata Subali, ”Kenapa kami ditakdirkan jadi kera? Dimanakah keadilan? Di manakah keadilan jagad raya ini?”

”Anak-anakku, kera adalah ’titah’ yang merindukan kesempurnaan menjadi manusia. Berjuta kera bergelayut di hutan-hutan, beribu kera menangis pilu, karena merindukan jadi manusia. Dan kera-kera itu di ciptakan oleh Hyang Widhi untuk menghantar lahirnya manusia. Dan engkau akan menunggu. Menanti kelahiran manusia suci, yang berangkat dari kera.”

”Engkau menjadi kera karena menunggu kelahiran kesucian manusia yang akan sempurna. Yang harkatnya melebihi harkat para dewa. Para kera selalu prihatin, dengan keprihatinan supaya di angkat kesempurnaan, sebagai kerinduan akan kesempurnaan. Kera merindukan ’limitnya pipi yang berbulu’. Dalam pikirannya itu adalah kesucian manusia yang harkatnya tinggi. Wahai anakku, para kera tidak tahu, bahwa limitnya pipi dan indahnva wajah manusia itu adalah topeng-topeng keangkuhan, yang di pinjam dari api-api neraka. Bahagialah anak-anakku, karena kerinduan itu hadir dalam hatimu dan jiwamu.”

”Dan engkau telah mengambil alih kerinduan para kera dan kerinduan para kera yang sia-sia, yang tak mungkin menjadi manusia. Tetapi dalam dirimu, menjadi keagungan yang akan mengangkat harkat umat manusia, dan menjadikan dirimu sebagai bunga di surgawi kelak.”

”Anak-anakku, namamu terukir sebagai bunga di surga yang paling indah. Pergilah engkau bertapa, wahai anak-anakku. Bermati-ragalah kamu. Tinggalkanlah perasaan dirimu sebagai kera yang buruk rupa. Bawalah kepasrahan pada Hyang Widhi, cinta dari ayah ibumu, simpanlah sebagai kekuatan dalam jiwamu, wahai anakku.”

”Dan ingatlah, ibumu kini kembali ke surga. Dan suatu saat kelak kau menziarahi makamnya, aku menyimpan arca ibumu di Alengka, dalam menjunjung harkat. Peperangan mempertahankan keadilan, menumpas keangkara-murkaan, yang nanti akan dibangun oleh Rahwana. Engkau akan menemukan panutan yang datang dari surgawi, sujud patuhlah pada panutan itu. Karena panutan itu Batara Guru, yang sementara waktu membawa Cupu Manik Astagina. Dia lahir sebagai Rama.”

”Anak-anakku, berbahagialah engkau menjadi kera yang berhati manusia, daripada manusia yang berhati kera.”

Setelah berpamitan pada ayahandanya, maka berangkatlah Subali, Sugriwa dan Retna Anjani bertapa, hidup dalam keheningan mati raga.

Subali pergi ke puncak gunung Sunyapringga, melaksanakan ”tapa ngalong.” Kaki di atas berpegangan pada kayu jati dan kepala menghadap ke bumi. Manakala Subali tapa ngalong, maka terlihatlah kesedihan para kera yang merindukan ingin menjadi manusia.

Sugriwa tapa seperti laku kijang (kidang/menjangan/rusa), disebut ”tapa ngidang.” Berakrab-akrab dengan bumi yang diam. Maka Sugriwa merasakan bagaimana bumi yang selalu memberi makan tanpa beban, kepada manusia. Bagaimana bumi selalu melahirkan buah-buahan dan bunga-bunga untuk kenikmatan manusia dan selalu melindungi manusia dari ”angkara murka.”

Retna Anjani bertapa seperti katak (kodok). Sang Dewi masuk ke dalam Cupu Manik Hayuningrat, jiwanya dalam angkasa keindahan cakrawala, dan tubuhnya, berendam, seperti katak, di telaga Sumala ”tapa nyantuka.”


Bersambung..........

Wednesday, July 7, 2010

"Realisasi PANGRUWATING DIYU" dan Sejarah ” CUPU MANIK ASTAGINA ” (Bagian 5)

Disarikan kembali oleh : Pinandita Astono Chandra Dana


Dan manakala sang Dewi menerima Cupu Manik Hayuningrat.
Batara Surya berkata :
”Wahai Dindaku menikahlah engkau dengan seorang lelaki di bumi. Engkau pun, akan punya anak tiga. Menikahlah dengan seorang lelaki Lelanang Jagad, Mandra Guna, Ksatria yang sakti, yang kini sedang bertapa. Namanya Resi Gotama. Engkau menikahlah dengan ksatria tersebut. Hiduplah sebagaimana seorang isteri, sebagaimana wanita yang dicintai oleh suami.

Dan manakala suamimu meminta tubuhmu, berikanlah. Manakala benih suamimu hadir dalam rahimmu, terimalah sebagai anakmu yang akan lahir di muka bumi. Namun aku minta, anakmu yang akan hadir di perutmu, isilah dengan Hayuningrat.

Suamimu Resi Gotama, biarkanlah, lepaskanlah dari Hayuningrat, karena sang Resi bertapa bukan mencari nilai. Sudah seratus tahun ksatria ini bertapa mohon pada sang Dewa agar diutus seorang isteri, bidadari dari Kahyangan. Maka hadirlah sebagai bidadari dari Kahyangan. Jangan berikan Hayuningrat pada suamimu karena sang Resi khusuk, berdoa, mohon pada sang Hyang Widhi, dalam tapa seratus tahun, untuk kepentingan syahwatnya, akan kerinduan kecantikan wanita surga.

Tugasmu hanya satu, ruwatlah suamimu! ’angruwating Diyu’, keangkuhan lelakinya, dalam bertapa ruwatlah oleh engkau, wahai Dindaku”, demikian Batara Surya.

Sang Dewi pun berpamitan pada suaminya, Batara Surya, kepada para dewa yang berada di Nirwana. Turun dengan segala keindahan kecantikan. Seluruh kecantikan wanita yang dilahirkan di bumi, cahayanya di ambil alih ke dalam wajah rupawan dan keagungan dari Dewi Windradi ini.

Hari terakhir dari seratus tahun tapanya Resi Gotama. Pada hari jum’at jam l6.00, sore hari, terdengarlah sabda dari Batara Narada :

”Anakku Resi Gotama, tapamu di terima oleh kami. Terimalah persembahan kami, ini, telah datang dari Nirwana, Dewi Windradi.”

Selama seratus tahun, satu abad! Sang Resi tak pernah membuka matanya, namun saat itu, manakala matanya dibuka. Bersimpuhlah seorang wanita cantik di hadapannya.

”Sujud simpuhku, wahai Dewa Agung di Nirwana. Engkau mendengar jeritan kerinduan hatiku pada Bidadari Surga. Engkau memberikan penghormatan kepada kami wahai dewa-dewa Agung. Puji syukur untuk-Mu.” Maka bersujudlah Resi Gotama.

Begitu sang Resi bangkit dari sujudnya :

”Selamat datang wahai isteriku.”

”Tidak perlu mengucapkan selamat datang”, jawab sang Dewi, ”Karena aku hadir lebih dulu. Dari dulu pun aku datang ke hadapanmu. Aku datang, terundang keyakinanmu. Engkau, suamiku dan aku, isterimu. Dekaplah aku, wahai suamiku.”

Menikahlah Dewi Windradi dengan Resi Gotama, Tatkala sang Dewi dipeluk oleh Resi Gotama, maka munculah cahaya yang indah keluar memancar dari dalam diri kedua orang ini. Dan cahaya-cahaya ini, cahaya yang berasal dari Cupu Manik Hayuningrat, menggulirkan anak-anak manusia, dalam perut sang Dewi, walaupun belum bersenggama dengan suaminya. Tiga anak sekaligus hadir dalam rahim sang Dewi, dan langsung diberi nama oleh sang ayah, Batara Surya, di surgawi.

”Wahai Dindaku, anak kita telah hadir berilah nama Retna Anjani, Guarsa dan Guarsi.”

Kemudian Lahirnya Guarsa (Subali), Guarsi (Sugriwa), Dan Retna Anjani.

Hayuningrat, cahayanya menggelora. Cinta kasih dan syahwat sang Resi tertolak oleh cahaya Hayuningrat. Tetapi cinta yang dibawa dari surga, cinta kepada Batara Surya diterima oleh jagad bathin sang Dewi. Maka dalam rahimmya menetes benih-benih anak manusia.

Sang Dewi pun mengandung, disinari oleh cahaya Hayuningrat. Namun sang Resi merasa itu semua adalah anak kandungnya. Cinta pun menggelora, mengiringi dalam membesarkan ketiga anaknya. Perempuan satu, laki-laki dua. Yang paling besar Guarsa, kedua Guarsi dan Retna Anjani sebagai anak bungsu.

Dan manakala saat bersenggama dengan suaminya, sang Dewi pun memberikan tubuhnya. Yang berarti, tubuh Dewi Windradi yang sedang di penjara bawah tanah, dibawah Istananya sendiri. Pindah tempat ke peraduan di ranjang sang Resi, dan setelah selesai dengan suaminya maka tubuh sang Dewi pun, raganya, kembali ke penjara. Sang Ayah pun tetap melihat bahwa anaknya masih ada di penjara, di bawah istana.

Meskipun sang Dewi memberikan tubuhnya pada suaminya saat bersenggama namun tubuh Atma sang Dewi berkumpul kembali di Nirwana dengan suami sejatinya, Batara Surya. Atau masuk ke dalam Cupu Manik Hayuningrat, karena dalam cupu manik ini ada alam raya dan isinya, termasuk alam Nirwana bersama para Batara dan para Dewa.

Demikianlah Dewi Windradi menjalani hidupnya, menjadi isteri yang dicintai oleh suaminya Resi Gotama, dan memberikan tubuh aslinya (tubuh yang di lahirkan) manakala kewajiban sebagai isteri memanggilnya dalam persenggamaan dengan sang Resi. Dan manakala sang Dewi merindukan suami sejatinya, Batara Surya, Sang Dewi masuk ke dalam Cupu Manik Hayuningrat, menjelajahi alam raya, bersua dengan para dewa termasuk suaminya. Hingga anak-anaknya dewasa. Hingga suatu saat, Dewi Windradi merindukan suami sejatinya, Batara Surya.

Namun manakala masuk ke dalam Cupu Manik Hayuningrat, Cupu Manik terkunci dari dalam! Kerinduan yang tak tertahankan kepada Batara Surya, tak mampu diekspresikan karena Cupu Manik rapat terkunci dari dalam. Maka sang Dewi pun mengangkasa, melalui jalur yang jauh. Di puncak kegelisahannya, sang Dewi menggenggam Cupu Manik Hayuningrat ini, di bawa ke taman. Padahal selama ini tak ada yang tahu kalau sang Dewi memiliki Cupu Manik Hayuningrat. Karena Cupu Manik Hayuningrat ini oleh sang Dewi disimpan di jagad bathinnya.

Namun saat itu, saat dilanda kegelisahan karena sang Dewi rindu kepada Batara Surya, Cupu Manik Hayuningrat dikeluarkannya dari jagad bathin, digenggam dan dibawa ke taman. Dan tanpa dikehendakinya, anak perempuannya, Retna Anjani yang sedang bermain-main di taman. Melihat keindahan cahaya yang sedang digenggam oleh Ibunya.

”Apakah itu, Ibu?”

”Ini adalah benda pusaka warisan Dewa.”

”Pinjamilah aku, Ibu.”

”Jangan anakku, ini milik Sang Dewi, bukan milik ibu.”

”Tapi berikanlah padaku, ibu”, Retna Anjani mulai merajuk.

”Jangan anakku.”

Retna Anjani adalah anak yang sedang lucu-lucunya. Maka dengan segala kelucuan dan kamanjaan rengekan seorang anak, Retna Anjani merebut pusaka dari tangan Ibunya. Dewi Windradi tak mampu melepaskan diri dari rasa kasih sayang seorang Ibu, kelucuan sang anak melonggarkan tangan dalam menggenggam Cupu Manik Hayuningrat.

Bagi seorang Ibu yang sudah berputra, dapat merasakan hal ini. Kelucuan dan rengekan anak ternyata menggoyahkan apa saja. Keangkuhan, kebanggaan seorang ayah dan ibu akan goyah oleh lucunya sang anak. Termasuk hal prinsip yang sedang digenggam dengan kokoh.

Pun demikian yang terjadi pada Dewi Windradi. Cupu Manik Hayuningrat lepas dari genggaman tangannya, karena kalah oleh rayuan lucu dari sang anak, Retna Anjani. Cupu Manik Hayuningrat dibawa bermain-main oleh Retna Anjani. Dan tanpa sengaja, terbukalah Cupu Manik Hayuningrat, sang anak pun masuk ke dalamnya (tersedot)
Retna Anjani mengangkasa, langit demi langit, alam dami alam dilaluinya hingga sampai ”Sela Menangkep” di Kahyangan dan bertemu dengan para Dewa.

Maka terdengarlah sabda dari Hing Murbeng Agung :
”Wahai para Dewa ! jangan engkau terpesona oleh kelucuan anak ini. Hai para Dewa ! betapa engkau melihat, betapa indah anak ini lebih indah daripada kenikmatan Nirwana dan cepat kembalikan ke bumi. Belum saatnya anak ini menikmati, akan merusak keindahan ”angkasa Nirwana”. Jangan biarkan anak ini menggagalkan keindahan Nirwana. Karena keindahan lucu anak-anak hanya milik mereka, manusia bumi. Tidak kuberikan kepadamu, wahai para Dewa.”

Retna Anjani pun turun kembali ke bumi dan keluar dari Cupu Manik Hayuningrat. Maka dimain-mainkan kembali Cupu Manik ini. Tatkala Retna Anjani tengah memainkan Cupu Manik ini datanglah kakak-kakaknya Guarsa dan Guarsi.

”Hai! Apa itu?”

Terjadilah perebutan diantara ketiganya. Masing-masing ingin memiliki, tidak ada yang mau mengalah, sampai salah seorang mengadu kepada ayahnya.

Sang Ayah, Resi Gotama, juga merasa aneh terhadap benda yang diperebutkan anak-anaknya. Maka ia pun bertanya kepada isterinya :

”Dindaku, benda apakah itu? Jangankan anak-anak kita, aku pun terpesona oleh benda itu.”

Sang isteri, Dewi Windradi tidak berkata-kata. Diam seribu bahasa.

”Wahai isteriku, berkatalah, jangan bungkam seperti itu. Benda apakah ini?”

”Ayah”, tiba-tiba Retna Anjani berkata pada ayahnya, ”Tadi aku telah pergi ke Nirwana. Aku bertemu dengan Dewa yang bernama. Batara Surya, katanya dia suami Ibu.”

Resi Gotama adalah seorang yang sangat sakti dan seorang yang teguh dalam kemauan. Cepat menangkap apa makna dari semua ini. Maka muncullah kecemburuan, merasa dikhianati, merasa dihancurkan sendi-sendi kehidupannya sebagai suami. Di puncak emosinya sang Resi melemparkan Cupu Manik Hayuningrat.


Bersambung.........