Wednesday, March 11, 2009

MITOLOGI PENYU DALAM AGAMA HINDU DAN KAITAN FILOSOFIS PENYU SEBAGAI BINATANG SUCI



Oṁ Swastyastu

I.Pendahuluan

Penyu kini benar-benar mendapat perhatian dunia, khususnya penyu laut yang keadaannya
sangat kritis. Masyarakat dunia menyadari benar hal ini, oleh karenanya pada
Konvensi perdagangan Internasional Flora dan fauna (Convention of International
trade of Endangered Species, CITES) semua jenis penyu laut telah dimasukkan ke
dalam daftar apendik I CITES. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh produk/hasil
(baik daging, tempurung maupun telur penyu) dari semua jenis penyu laut yang
ada, tidak bolh diperdagangkan antarnegara. Indonesia sebagai salah satu negara
anggota CITES, juga membuat suatu perlindungan terhadap penyu laut, meliputi 5
dari 6 jenis penyu laut yang ada di Indonesia sudah dilindungi undang-undang.

Bagi masyarakat Bali, penyu memiliki arti yang sangat penting berkaitan dengan
upacara Yajña yang tergolong utama (umumnya yang menggunakan banten Catur),
karena kepala atau daging penyu diyakini merupakan salah satu unsur untuk
kelengkapan sarana upacara atau banten tersebut. di lain pihak, empas
(terapin/freshwater tortoise) yang disebut atau disamakan dengan Kūrma tidaklah
demikian memiliki arti yang penting dalam praktek keagamaan masyarakat Hindu di
Bali, walaupun di dalam susastra Hindu (Itihāsa dan Purāṇa), binatang ini
diyakini sebagai binatang suci penjelmaan Sang Hyang Viṣṇu.

Melihat bangsa penyu yang hidup dewasa ini, yang dibedakan menjadi:

a. Kura-kura darat (tortoises),
pada umumnya karapasnya berbentuk kubah tinggi dengan kaki seperti
kaki gajah untuk berjalan di darat. Gerakannya lambat Leher, kepala dan anggota
badan bisa dimasukkan untuk menyelamatkan diri dari ancaman bahaya.

b. Kura-kura air tawar (terrapin / freshwater turtle / freshwater tortoises), kakinya berselaput untuk berenang di sungai, danau, sawah dan bisa juga berjalan di darat. Tempurungnya lebih rendah dan lebih 'streamline' Jenisnya bervariasi antara bulus leher panjang (long -necked turtle), empas/labi-labi (soft-shelled turtle), dan
lain-lain. Leher, kepala dan anggota badan dapat dimasukkan ke dalam tempurung
tubuhnya.

c. Penyu laut (sea turtles),
kakinya berubah bentuk menjadi/seperti dayung. Leher,
kepala dan anggota badan tidak dapat dimasukkan ke dalam tempurung. Dari sekian
banyak jenis (spesies) yang jaman dahulu ada, kini tinggal hanya enam jenis
dari dua famili.

Berkaitan dengan topik makalah ini, muncul sebuah pertanyaan, apakah Kūrma, Kūrmarāja
atau Vadavānala ini sama dengan empas, penyu laut atau penyu pada umumnya, atau
juga penyu purba yang kemungkinan menjadi asal muasal penyu dewasa ini yang
telah punah di masa yang sangat silam (baca: Turtle evolution …. Little changed
since the age of the Dinosaurs, dok.WWF-Bali).

II. Beberapa istilah penyu dalam Susastra Sanskerta dan Jawa Kuno

Mengacu pada susastra Sanskerta dan Jawa Kuno sebagai sumber ajaran agama Hindu di
Indonesia, dapat kita jumpai beberapa nama yang berkaitan dengan penyu,
khususnya sumber berupa kitab-kitab Itihāsa dan Purāṇa. Itihāsa mengandung
makna sejarah, walaupun dalam beberapa bagian terselip juga mitologi dan
utamanya nilai-nilai pendidikan agama, sedang Purāṇa di dalamnya terdapat
unsur-unsur folklore, ceritera rakyat kuno, mitologi dan ceritra-ceritra yang
penuh pesan keagamaan.

Di dalam Veda kita jumpai kata Kūrma yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris
tortoise (penyu darat). Kata ini disebut cukup sering di dalam kitab-kitab Saṁhitā
akhir (seperti dalam Atharvaveda IX.4.16; Taittirīya II.6.3.3; V.2.8.4.5;
7,13,13,1; Maitrāyaṇī III.15.3; Vājasaneyi XIV.34 dan lain-lain) dan
kitab-kitab Brāhmaṇa (Śatapatha I.6.2.3; VI.1.1.12; dan lain-lain), tetapi kita
tidak menemukan karakter khusus dari binatang ini (Macdonell, I, 1982: 178).

Nama lainnya adalah Kaśyapa yang menunjukkan bintang yang sama (tortoise) beberapa
kali disebutkan dalam Atharvaveda (IV.20.7), Maitrāyaṇī (III.14.8); Vājasaneyi
XXIV.37 dan lain-lain) dan kitab-kitab Brāhmaṇa (Śatapatha VIII.5.1.5);
Aitareya II,6), dan lain-lain (Macdonell,I, 1982:144).

Sumber-sumber Sanskerta lainnya setelah kitab-kitab Veda adalah kitab-kitab Itihāsa dan Purāṇa.
Dalam kedua jenis kitab-kitab ini, disebutkan bahwa Sang Hyang Viṣṇu telah
turun menjelma (sebagai Avatāra) yang disebut dengan istilah Kūrmavatāra, Kūrmarāja
atau Badavàgni (Vālmiki Rāmāyana Bālakāṇda, Sarga 45; Māhabhārata, Ādiparva,
18; Bhāgavata Purāṇa VIII.7; Agni Purāṇa 3 dan lain-lain (Vettam Mani, 1989:
80). Di samping itu di dalam Varamihira Bṛhat Saṁhitā XIV dan Varamihira Yogayātrā
IX.4 kita juga jumpai nama atau istilah yang sama yakni Kūrma (William Monier,
1993: 300). Nama lainnya di dalam bahasa Sanskerta adalah Akūpāra (Bhāgavata Purāṇa,dan
lain-lain yang disebut sebagai kura-kura mitos yang menyangga bumi (William
Monier, 1993:2)

Di dalam Susastra Jawa Kuno, kita jumpai nama pās, juga empas) yang di dalam Ādiparva
(32) istilah Kūrmarāja diterjemahkan ratuning pās, juga 40; Agastya Parwa 372; Rāmāyana
16.31; Sutasoma 130, 2; Parthayajña 28.5; Tantri Kāmāndaka 170.110, Tantri
Demung 254, dalam Tantri Kadiri 4,39 disebutkan sbb: mangkana ta ling ikang
empas (Zoetmulder, II, 1995: 786)

Nama yang lainnya adalah peñu atau di baca penyu (yang diterjemahkan kura-kura oleh
Zoetmulder) dapat dijumpai dalam kakawin Rāmāyana 11.67; 15.26; Smaradahana
32.10; Sumanasātaka 10,8;20,11; Kidung Sundāyana 1.45; (II. 1995: 809).

Di samping nama-nama tersebut di atas, nama yang lain yang tidak kalah populernya
adalah Badavā atau Badavang atau Bādavaṅnala (dibaca Badawangnala) dapat
dijumpai dalam Bomakawya: 81.42; Partha Yajña 28.5; Nawaruci 40. Timbul
pertanyaan, kenapa Badavā menjadi Badavang dijelaskan secara logis oleh C.
Hooykaas, dalam bukunya Agama Tirtha, utamanya kata bilangan telu menjadi
telung (107), juga Koravāśrama 78; 132; 202.

Berdasarkan kutipan tersebut di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa terjemahan dari kata Kūrma atau Badavā adalah tortoise, yakni kura-kura darat yang secara tegas disebut pās atau empas.


III. Mitologi penyu (Kūrma)

Secara khusus kita tidak menemukan di dalam Veda maupun susastra Veda (Hindu) lainnya, nama Kūrma yang diterjemahkan dengan turtle, melainkan pada umumnya selalu
tortoise, yang dimaksudkan tidak lain adalah empas (labi-labi), bukan bulus
atau kura-kura. Mitologi Kūrma selalu dikaitkan dengan Avatāra yang kedua dari
sang Hyang Viṣṇu ketika turun ke dunia untuk menyelamatkan umat manusia dari
kehancuran. Kata Avatāra dalam bahasa Sanskerta artinya: yang turun, yang turun
menyeberang dan yang dimaksud dengan istilah ini adalah Ia yang turun dari
sorga ke dunia, teristimewa adalah dewa-dewa menjelma menyelamatkan umat
manusia. Avatāra-Avatāra yang populer adalah Avatāra-Nya dewa Viṣṇu (Monier
Williams: 99). Tuhan Yang Maha Esa mengambil tiga jenis penjelmaan, yaitu: Pūrna
Avatāra, Āveśa Avatāra dan Aṁśa Avatāra. Pūrna Avatāra adalah Avatāra yang sempurna, seperti Śrī Kṛṣṇa. Āveśa Avatāra adalah hanya untuk waktu atau saat tertentu saja, misalnya Narasiṁha untuk menyelamatkan pemuja Tuhan Yang Maha Esa bernama Prahlada dan Aṁśa Avatāra, adalah Avatāra sebagaian saja. Aṁśa Avatāra-Nya tidak terbilang jumlahnya. Para ṛṣi, para Manu, para dewa dan putra-putra Manu adalah Aṁśa Avatāra Viṣṇu. Pūrna Avatāra jumlahnya 10 (Daśa Avatāra Viṣṇu) termasuk juga Baladeva, yang disebut juga Balarama atau Balabhadra. Baladeva menurut beberapa Purāṇa tidak dimasukkan ke dalam 10 Avātara. Menurut Viṣṇu Purāna, setelah Śrī Kṛṣṇa adalah Buddha, dan Kalki untuk masa yang akan datang.

Tentang 10 Avatāra ini dijelaskan dalam śloka Sanskerta berikut: Matsyaḥ Kūrmo Varāhaśca Narasiṁhaśca Vāmanaḥ, Rāmo Rāmaśca Rāmaśca Kṛṣṇaḥ Kalkir Janārdanaḥ. (Matsya
(ikan), Kūrma (empas), Varāha (babi hutan), Narasiṁha (manusia berkepala
singa),Vāmana (orang cebol), Rāma (Rāmaparaśu), Rāma (Śrī Rāma), Rāma (Balabhadra/Baladeva), Kṛṣṇa (Śrī Kṛṣṇa) dan Kalki di masa yang akan datang adalah Avatāra Janārdana, penjelmaan dewa Viṣṇu ( Vettam Mani: 1989: 79).

Viṣṇu yang mengandung makna yang meresapi segalanya, merupakan salah satu manifestasi
utama Tuhan Yang Maha Esa, yang merupakan sebab pertama dari segalanya, Jiwa
segalanya, berada dimana-mana, tidak terbatas. Sifat-Nya, aktivitas-Nya, dan
perwujudan kemahakuasaan-Nya, tidak terbatas. Sebagai perwujudan alam semesta,
Ia memasuki, membimbing dan mengatur segalanya. "Terciptakan oleh-Nya,
diserapi oleh-Nya (Taittirīya Upaniṣad I.2.6).

Sepanjang sejarah, bila saatnya terjadi kekacauan dunia, Tuhan Yang Maha Esa muncul dalam wujud-wujud individu tertentu guna membimbing kehidupan menuju suatu evolusi
dan tujuan sesuai dengan hukum penciptaan dalam anak wujud kehidupan. Ceritra
tentang turun-Nya, penjelmaan atau manifestasi-Nya sesungguh tidak terbatas.
Adalah tidak mungkin untuk menghitung sepenuhnya tentang penjelmaan dari Tuhan
Yang Maha Esa, yang menyerapi segalanya dalam wujud dunia materi.

"Api, matahari, angin, sang Pencipta, Pemelihara dan Tuhan Yang Melebur segalanya,
intelektualitas alam semesta, prinsip penjadian individu, lima prinsip element
alam semesta, kehidupan jiwa, seluruh pangejawantahan kedewataan termanifestasi
melalui kekuasaan ilusi-Nya" (Yoga-trayānanda, Śrī Rāmāvatārakathā, hal.116)

"Seperti wujud danau yang amat luas yang tak habis-habisnya mengalirkan ribuan sungai ke segala penjuru, demikian jugalah wujud Sang Hyang Hari (Yang Melenyapkan
Penderitaan), yang menjadi kenyataan, datang terus menerus berbagai wujud
penjelmaan-Nya. Para Ṛṣi agung, peletak dasar hukum kebenaran, para dewata, ras
umat manusia, yang menciptakan, semuanya itu adalah bagian dari pada-Nya (Bhāgavata
Purāṇa 1.3.26-27).

Kapanpun, sekelompok umat manusia dan bahkan satu individu, dan berbagai wujud
pengetahuan adalah merupakan essensi kebutuhan umat manusia yang merupakan
tujuan spiritual dan terjadi di luar pencapaian, dan oleh karena itu kehidupan
umat manusia gagal di dalam mencapai tujuan hidupnya, yang realisasinya, hanyalah
Sang Hyang Viṣṇu yang menganugrahkan kembali pengetahuan itu, dan pengetahuan
itu diwedarkan lagi sebagai pengganti pengetahuan sebelumnya, oleh karenanya Ia
kembali menjelma dalam sebuah siklus dunia yang baru untuk menerima sabda-Nya.

"Untuk melindungi dunia, dewata, para pendeta, orang-orang suci, dan kitab suci,
kebenaran dan kemamuran, Tuhan Yang Maha Esa mengambil wujud'' (Bhāvata Purāṇa
8.24.5.) Sejarah penciptaan alam semesta terbentang dalam 10 siklus utama
penjelmaan-Nya, yang disebut Yuga Avatāra seperti disebutkan dalam Matsya Purāṇa
285.67 yang terdiri dari sepuluh penjelmaan masing-masing sebagai: "ikan,
kura-kura, babi hutan, manusia-singa, orang kerdil, Paraśu Rāma, Rāma (yang
sangat menawan), Kṛṣṇa, Buddha dan Kalki". Kalki disebut belum turun dan
di antara sepuluh Avātara itu, Kṛṣṇa diyakini sebagai sang Pūrṇāvatāra oleh
para Vaiṣṇava.

Kitab Varāha Purāṇa (15.9-18) menyebutkan tentang 10 Avatāra, Bhāgavata Purāṇa
(1.3.6-25) menyebutkan 22 Avatāra dan Ahirbudhnya Saṁhitā (5.50-57) menyebutkan
39 Avatāra. Munurut Bhāgavata Purāṇa, 22 Avātara yang merupakan penjelmaan Sang
Hyang Viṣṇu adalah: (1). Kumara atau Sanatkumara, Yang Muda Abadi, (2). Varàha,
babi hutan, (3). Mahaṛṣi Nārada, (4). Ṛṣi Agung Nara dan Nārāyaṇa, (5). Mahaṛṣi
Kapila., (6). Dattātreya (Sang Hyang Trimūrti dalam satu badan), (7). Yajña,
korban, (8). Ṛṣbha, raja yang sangat jujur, (9). Pṛthu, Pengatur Hukum Pertama,
(10). Matsya, ikan, (11), Kūrma, kura-kura, (12). Dhanvantari, tabib kahyangan,
(13). Mohinī, yang mempesona, (14). Narasiṁha, manusia berkepala singa, (15). Vāmana,
manusia kerdil, (6). Paraśu Rāma, Rāma bersenjata kapak, yang menghancurkan
para Kśatrìya, (17). Veda Vyàsa, penyusun kitab suci Veda, (18). Rāma,
perwujudan kebajikan, (19). Bala-Rāma, perwujud rahmat-Nya (20). Kṛṣṇa,
perwujudan cinta kasih, (21). Buddha, perwujudan kehancuran, dan (22). Kalki,
yang memenuhi keinginan.

Penjelmaan-Nya sebagai babi hutan, kura-kura dan ikan, pada tulisan yang lebih kuno,
kadang-kadang digambarkan sebagai manifestasi dari Sang Hyang Prajàpati atau
Brahmā, pencipta alam semesta. "Tiga langkah" Sang Hyang Viṣṇu
dihubungkan dengan mitologi penjelmaan-Nya sebagai Vāmana, di samping juga
mengandung makna astronomi dan kesemestaan. Di dalam Mahābhārata, Viṣṇu adalah
dewata yang sangat berperanan di antara para dewa, dan ditunjukkan pula oleh
beberapa penjelmaan-Nya, namun di dalam kitab-kitab Purāṇa digambarkan secara
lengkap.

Dalam hukum penciptaan-Nya, keberadaan planet-planet di alam raya terlebih dahulu
kehadirannya dibandingkan dengan mahluk-mahluk hidup penghuni planet-planet
tersebut. Ditegaskan latar belakang keberadaan Tribhuwana (tiga dunia) yang di
dalamnya keberadaan individu berkembang. Tiga alam tersebut sebagai sebab
tingkat kehidupan yang sangat dekat dengan kedewataan, dan dari pandangan
manusia, hal itu dapat dianggap sebagai bentuk kedewataan. Planet-planet itu
dihubungkan dengan penjelmaan-penjelmaan Sang Hyang Viṣṇu.

"Janārdana (Viṣṇu sebagai pemberikan anugrah), mengambil wujud sebagai planet, memberikan tempat untuk menikmati pahala dari tindakan (karma) bagi setiap mahluk hidup.

Dengan demikian tindakan ritual atau Yajña yang senantiasa diganggu oleh para
raksasa, dan dikembangkan kekuasaan para dewatà, hal inilah yang ditegakan dan
planet yang memberikan kemurahan senantiasa muncul setelah kemunculan yang lain
sebelumnya. Rāma adalah inkarnasi Sūrya (matahari), Kṛṣṇa adalah inkarnasi dari
Chandra (bulan), Narasiṁha addalah inkarnasi dari Mars, putra Bhumì. Buddha
adalah inkarnasi Merkurius, putra dewi Candrà, Vāmana adalah yang terpelajar,
guru para dewata, sepeerti Bṛhaspati (Jupiter), Paraśu Rāma dalah inkarnasi
dari Venus, yang lahir dari api Homa (Bhṛgu), Kūrma adalah Saturnus, putra Sūrya,
Varāha adalah inkarnasi dari Kāla Rahu (yang menyebabkan gerhana), Matsya
adalah inkarnasi Ketu (cahaya/komet). Inkarnasi apapun yang mungkin muncul,
muncul pula ruang yang amat luas. Pada setiap mahluk hidup, kehidupan spiritualnya
sangat berperanan yang mengembara di alam sorga, dan di planet, mahluk hidup
didominasi oleh unsur kehidupan (Bṛhat Parāśara Horā I.26.31). "Oleh
karena itu planet-planet memiliki suatu kesadaran, memiliki kemampuan untuk
berbuat dan mereka tunduk kepada dewa-dewa yang mendahuluinya. Mereka
memberikan pahala perbuatan setiap mahluk hidup, apakah baik atau buruk (Karapātrì,
"Śṛi Viṣṇu Tattva", Siddhānta, V.1944-45).

Sang Hyang Viṣṇu pada penjelmaan-Nya yang ke-2 berwujud seekor empas (Kūrma), untuk
menemukan kembali sesuatu yang hilang pada saat banjir besar. Para dewata dan
raksasa mengaduk lautan susu, menggunakan ular naga (Vāsuki) sebagai tali
pemutarnya, dan gunung Mandara sebagai porosnya. Mereka kemudian memperolehnya
ketika Sang Hyang Viṣṇu menjelma sebagai seekor kura-kura sebagai landasan
pendukung gunung Mandara (Bhāgavata Purāṇa 8.7). Dari pengandukan Kûira Arnava
(lautan susu) muncul kemudian tìrtha Amåta (nectar), sebagai intisari
kehidupan, Dhanvantari, tabib para dewata yang membawa cupu Amṛta. Selanjutnya
muncul dewi Lakśmì (dewi keberuntungan), Vāruṇi (dewi yang memabukkan), Soma
(minuman persembahan), Apsara (bidadari), Uccaiāśrava, kuda kedewataan,
Kaustubhamaṇi (permata Kaustubha), Pārijāta, Surabhi (lembu yang memenuhi
keinginan manusia), Airāvata (kuda kahyangan), Pàñcajanya (sangka atau terompet
kerang), Śàròga (busur), dan Hālāhala (racun) seperti dinyatakan dalam Mābhārata
1.18.48-53; Bhāgavata Purāṇa 8.8; Rāmāyaṇa I.45 (juga dalam A.L.Basham,
1992:304)

"Tuhan Yang Maha Esa, sebagai sang Pencipta menjelma dalam wujud-Nya sebagai empas,
menurunkan ciptaan-Nya. Ia menciptakan seluruh ciptaan-Nya, oleh karenanya
melakukan Karma, maka ia menjelma menjadi Kūrma" (Śatapatha Brāhmaṇa
7.5.1.5). Mārkaṇdeya Purāṇa (58.47) menggambarkan anak benua India sebagai
tempat yang permanen yang didukung oleh kura-kura raksasa yang tidak lain
adalah jelmaan Sang Hyang Viṣṇu (hal yang sama dijelaskan pula oleh John
Dowson, 1987:5)..

Terdapat sedikit perbedaan versi dalam kitab-kitab Brāhmaṇa. Di dalam kitab Jaiminìya Brāhmaṇa III.272; dan Śatapatha Brāhmaṇa VII.5.1.1, Prajāpati adalah Akśpāra, yakni kura-kura darat (empas) yangmendukung alam semesta. Tidak disebutkan kaitannya dengan Sang Hyang Viṣṇu seperti pada kitab-kitab Brāhmaṇa yang lain atau dalam epik. Di dalam kitab-kitab Purāṇa (seperti misalnya dalam Nṛsiṁha Purāṇa) kita
jumpai penjelasan tentang turunnya Sang Hyang Viṣṇu dalam wujud-Nya sebagai
seekor Kūrma yang menopang (mendukung) gunung Mandara pada saat pemuteran
lautan susu. Kata 'Akśpāra' berarti 'yang tak terbatas/tak berhingga' (seperti
juga disebutkan di dalam Ṛgveda V.39.2; X.1009.1). Di dalam Bhaviśya Purāṇa
dinyatakan bahwa ' Akśpāra ' menjadi empas yang mendukung bumi. Kūrma menjadi
salah satu penjelmaan (Avatāra) Viṣṇu pada jaman kitab-kitab Purāṇa (Sukumari
Bhattacharji, 1988: 289).

Penjelmaan sang Hyang Viṣṇu turun ke bumi tidak terlepas dari missi-Nya untuk
menyelamatkan umat manusia. Bila di dalam Veda (Puruśa Śūkta dan Nasadiya Śūkta
dari Ṛgveda) Tuhan Yang Maha Esa di dalam proses penciptaan melalui pengorbanan
diri-Nya sebagai manusia kosmik, maka dalam perkembangan kitab-kitab Purāṇa,
posisi dewa Indra yang sangat dominan di dalam Veda diambil alih oleh Viṣṇu
sebagai Nārāyaṇa meyelamatkan umat-Nya. Penjelmaan sebagai Kūrma dalam
kitab-kitab Purāṇa, walaupun tidak secara langsung berhubungan dengan (berasal
dari) kitab suci Ṛgveda, namun benang merah untuk itu tampak jelas dari
kitab-kitab Veda yang disusun belakangan seperti dalam kitab Śatapatha Brāhmaṇa
(VII.5.1.1; VII.5.1.5; VII.5.1.7 dan lain-lain). Kūrma diidentifikasikan dengan
Prajāpati (pemimpin/pencipta jagat raya), Sūrya (Ātma/sumber hidupa seluruh
mahluk dan alam semesta), Prāṇa (sumber energi dan lain-lain). Dalam proses
penciptaan, Prajāpati mengambil wujud sebagai seekor Kūrma dan bergerak di
samudra alam semesta…….. Konsepsi bahwa Viṣṇu adalah Jiwa Yang Paling Agung dan
Meresapi segalanya dapat kita kembalikan pada mantra Ṛgveda X.82.6 (Jyotsna
Chawla,1990:123).

Lebih jauh Mohammad Ishaq Siddiqi dalam bukunya Mythical Geography of the Hindus, is
North Polar Origin (1984), menyatakan: Idea bahwa bumi berbentuk Kūrma dapat
dijumpai dalam banyak negara, seperti India, China, Jepang dan Amerika. Di
dalam Hindu sangat populer bumi digambarkan sebagai kubah angkasa (penggambaran
yang keliru sebagai bumi), ditunjukkan merupakan tempat empat ekor gajah di
belakang punggung penyu pada setiap penjuru. Kūrma itu mengambang di permukaan
air, diikat oleh seekor ular. Di sini jelas bagi kita, bahwa Kūrma melambangkan
bumi dan ular melambangkan laut, yakni pula di Kutub Utara di samudra
Antartika.

Dalam perkembangan belakangan, dipercaya bahwa bumi terletak di atas seekor
kura-kura (empas) yang disebut Akùpàra. Idea yang sama dapat juga dijumpai di
Amerika Utara dan Indian Amerika, bahwa mereka percaya terhadap gempa bumi yang
disebabkan oleh gerakan kura-kura (empas) yang diyakini sebagai pendukung
(sebagai landasan) dari bumi kita.

Lebih jauh untuk mendapatkan Amṛta (nektar keabadian) para dewa dan raksasa
melaksanakan pemuteran (mengaduk) lautan susu. Sang Hyang Viṣṇu menjelma
sebagai empas untuk mendukung (sebagai landasan gunung Meru) yang dipakai
sebagai tongkat pengaduk. Naga Vāsuki digunakan sebagai tali pemutar tongkat
gunung tersebut. Untuk dapat mengerti makna mitos ini, kami menginterpretasikan
simbol-simbol utama, sebagai berikut:

a. Samudra Susu …………..Samudra Antartika (yang selalu membeku)

b. Gunung Meru ………….Gunung Kutub Utara

c. Kūrma(empas) .………… Pulau di kutub Utara

d. Vāsuki ………….Konstelasi (kumpulan bintang) Draco

Mitologi ini adalah penggambaran ketika gunung Meru meletus, gunung berapi yang aktif
(telah tenggelam pada jaman purba). Bencana alam ini sesuai dengan kedudukan
bintang kutub Utara pada posisi alpha Draconis. Idea pemuteran diambil
(dipinjam) dari perubahan yang mendadak bintang-bintang yang mengelilingi
bintang kutub (Pole Star). Mitologi ini sangat menyerupai mitologi Jepang Kuno
tentang mitos penciptaan (1984: 100).

Tentang makna Kūrma atau empas dalam mitologi Hindu, C. Hooykaas mengutip pendapat I
Ketut Sukrata yang termuat dalam majalah dwibulanan Kāa-Wṛtta dengan topik Arti
Lambang-lambang (Simbol) dalam Agama Hindu-Bali yang mengambil sumber manuskrip
Dharmastava yang menyatakan bahwa Badawangnala, raja empas, yang karena lebar
punggungnya menyangga keseimbangan bumi (1964:105). Kini timbul pula
pertanyaan, makna apakah yang terkandung dari latar belakang mitologi tersebut.
Tentang makna mitologi, Sri Swami Śivananda, dalam bukunya All About Hinduism
(1998) dan kini telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul
Intisari Agama Hindu (Paramita Surabaya) menyatakan: Di balik mitologi kuno
ajaran Hindu terdapat kebenaran yang hakiki dan anda tak dapat tidak
menghiraukan sesuatu hanya karena ia memakai pakaian mitologi. Jangan membantah
dan diamlah. Biarlah kecerdasan anda, pada jarak yang sepantasnya apabila anda
mempelajari mitologi. Buanglah kesombongan dan keangkuhan anda. Usahakanlah
kasih sayang untuk gambaran-gambaran itu. Duduklah seperti seorang anak dan
bukalah hati anda sebebas-bebasnya. Anda akan memahami kebenaran hakiki yang
dinyatakan oleh mitologi tersebut. ……. Jadi mitologi memiliki manfaat dan
keuntungan tersendiri. Ia mengukir pikiran yang dalam, ajaran-ajaran Veda yang
abstrak dan halus, melalui ceritra-ceritra mitos yang mengandung ajaran dan
wejangan-wejangan yang mencerahi, dan meratakan jalan bagi umat manusia untuk
menapak kehidupan ke-Tuhan-an, mencapai kesempurnaan, kemerdekaan dan kekekalan
(1993: 153).

Mitologi penciptaan dunia atau alam semesta, menurut S. Radhakrishnan berimplikasi bahwa hidup muncul dari benda material, bintang-binatang hidup atau muncul dari
tumbuh-tumbhan dan memberikan kebangkitan pada waktunya bagi alasan
kemanusiaan. Mitologi yang sangat terkenal, Amṛtamantana (pemuteran lautan
susu), yakni para dewa mendapatkan Amṛta, menurut interpretasi S. Radhakrishan
adalah pemuteran kehidupan spiritual yang pada akhirnya dari padanya muncul
kesucian hati (Klaus K.Klostermaier, 1990: 122).

Berkaitan dengan pendapat S. Radhakrishnan tersebut di atas, V. A. K. Aiyar menambahkan:
Memulai jalan kerohanian, seorang Sadhaka diajarkan untuk melaksanakan
introspeksi dan analisis diri sendiri setiap hari untuk menemukan kelemahannya.
Setelah menemukan cukup banyak kecenderungan atau sifat yang jahat (jelek),
bahkan kadang-kadang nampak sebagai hal atau ajaran yang suci. Kebajikan mesti
dibangun sebagai fondasi untuk meminimalkan, walaupun sama sekali tidak bisa
dilenyapkan. Seseorang yang memiliki tekad untuk menyucikan diri terdorong
tidak untuk menghindarinya tetapi seperti seseorang yang terjun ke medan perang
untuk memperoleh kemenangan. Untuk mengatasinya, tidak lain dengan teguh
melakukan pertapaan, mengkonsentrasikan untuk mengikat pikirannya sendiri
sebagai pemutartiang berupa kemampuan intelektualitas membedakan yang baik dan
buruk ke luar dari samudra Vasana di dalam dirinya, untuk memperoleh nektar
(air kehidupan) dan rakhmat yang abadi, dan melalui Puruśārtha yakni usaha
sendiri, ia mampu menguasai dirinya sendiri seperti halnya batu karang yang
sangat kuat mendukung intelektualitas, yang membimbing dan membantu, seperti
halnya Kūrmāvatāra mendukung gunung Mandara sebagai tiang pengaduk, selama para
dewa dan rakssa mengaduk samudra susu tersebut (1983: 62).

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka tidaklah dapat diragukan lagi bahwa empas atau Kūrma yang dimaksud adalah Kūrma mitos yang sangat besar (disebut pula Kūrmarāja) yang kemungkinan di masa yang sangat purba ada dan telah punah. Ceritra
kebesaran binatang purba ini dikaitkan pula dengan bencana alam, meletusnya
sebuah gunung yang pada umumnya selalu di dahului, bersamaan dan diikuti oleh
gempa bumi dan untuk mengembalikan keseimbangan alam ini, tentunya Kūrma
sebagai binatang mitos, wujud Tuhan Yang Maha Agung sangat berperanan.

Oṁ Śāntiḥ Śāntiḥ Śāntiḥ Oṁ

Shri Danu D.P ( I Wayan Sudarma)

No comments:

Post a Comment