Wednesday, December 23, 2009

MAKNA PERSEMBAHAN

Oleh : Made Mariana (Abu Dhabi)

Inti dari semua aktivitas spiritual Hindu adalah untuk mencapai keharmonisan, kedamaian, keindahan dan keseimbangan. Untuk itu umat Hindu menjalani aktivitas spritualnya sehari-hari selaras dengan alam semesta.
“Being Spritual is Being Natural”

Untuk menciptakan dan menjaga keseimbangan dan keharmonisan. Upaya ini dilakukan dengan mengimplementasikan ajaran Tri Hita Karana (Tiga keharmonisan hubungan yang membawa pada kebahagiaan) yaitu:

1. Parahyangan. menjaga keharmonisan hubungan dengan Beliau-Beliau yang lebih tinggi dan sangat dihormati dan dimuliakan yaitu: Leluhurnya, Sinar Suci Tuhan (Dewa) dan Tuhan.

2. Pawongan: Menjaga keharmonisan hubungan dengan sesama manusia, “Tat Twam Asi” Kamu adalah aku. “Vasudaiva kutum bakam” Semua manusia dilahirkan bersaudara. Dengan saling mengembangkan sikap tepo seliro, hormat menghormati dan saling menghargai semua perbedaan yang dimiliki, dan menyadari bahwa manusia adalah mahluk social, satu sama lain saling mendukung dan membutuhkan guna pencapaian kesuksesan di bidang masing-masing

3. Palemahan: Menciptakan dan menjaga keharmonisan hubungan dengan alam samesta beserta isinya. Dengan tidak melakukan pencemaran, tidak melakukan polusi dengan tindakan, kata-kata dan pikiran. Menjaga kelestarian alam dan species-species tanaman dan hewan langka.

Salah satu aktivitas menuju Parahyangan (Beliau yang lebih tinggi) adalah dengan persembahan. Persembahan berasal dari kata “sembah” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan dari Diknas Indonesia yang artinya: pernyataan hormat dan khidmat (dinyatakan dng cara menangkupkan kedua belah tangan atau menyusun jari sepuluh, lalu mengangkatnya hingga ke bawah dagu atau dengan menyentuhkan ibu jari ke hidung) mengangkat -- , menghormat dengan sembah; 2 kl kata atau perkataan yg ditujukan kpd orang yg dimuliakan

“Persembahan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan artinya:per•sem•bah•an n 1 hadiah; pemberian (kpd orang yg terhormat)

Jadi inti dari persembahan adalah hadiah atau pemberian kepada yang dihormati, dalam hal ini adalah Persembahan Kepada Leluhur, Sinar Suci Tuhan (Dewa), Tuhan

Melakukan pemberian sesungguhnya adalah melakukan pengorbanan, apabila pemberian ini atau hadiah ini tanpa disertai dengan motif apapun (baca: ikhlas), maka ini disebut dengan Yadnya.

Landasan spiritual untuk melakukan persembahan ini dimuat dalam berbagai kitab yang dijelaskan sbb:

Dewanrsin manusyamsca pitrn grhyasca dewatah
pujayitwa tatah pascad
Grhastha sesabhugbha
(Manawa Dharmasastra III.117)

Maksudnya: Setelah melakukan persembahan kepada Dewa manifestasi Tuhan, kepada para Resi, leluhur yang telah suci (Dewa Pitara), kepada Dewa penjaga rumah dan juga kepada tamu. Setelah itu barulah pemilik rumah makan. Dengan demikian ia lepas dan dosa.

Dalam Bhagawad Gita III.13 dinyatakan, makanlah setelah melakukan yadnya. Dalam sloka Bhagawad Gita itu dinyatakan dengan istilah yadnyasistasinah, yang artinya “makanlah setelah beryadnya”. Yang makan setelah ber-yadnya akan lepas dan dosa.

Mereka yang makan tanpa ber-yadnya sebelumnya sesungguhnya makan dosanya sendiri.

Jadi apapun yang dimakan hendaknya dipersembahkan terlebih dahulu, bagi mereka yang memilih jalan vegetarian, persembahkanlah makanan vegetarian, demikian pula mereka yang memilih jalan non vegetarian persembahkanlah makanan yang non vegetarian, jangan makan sebelum dipersembahkan terlebih dahulu pada Tuhan yang mengkaruniakan makanan untuk kita semua.

Lebih lanjut dalam Maitri Upanisad (VI, 36) dikatakan, "Karena itulah seseorang semestinyalah Menghaturkan yajna di kuil dengan wirama suci, rempah, gehi, (kurban) daging, kue-kue, nasi yang sudah ditanak dan sebangsanya, dan juga dengan makanan minuman yang dimasukkan ke dalam mulut, karena memahami mulut sebagai api ahavaniya, supaya diberikan kelimpahan tenaga/kekuatan untuk merenungkan dunia kesucian dan untuk keabadian."

Kalo kita melihat dari sumber-sumber yang tersedia di nusantara kita akan dapati pula landasan ini pada Kakawin Râmâyana yang ditulis abad ke-9 di Jawa, yang sampai kini tetap dibaca dalam tradisi nyastra di Bali.

Dikisahkan Raja Dasaratha ber- yajnya untuk mendapatkan putra utama. Dia mengundang orang suci, Rsi Asrengga, menghaturkan sesajen kepada Tuhan. Bahan utama upacara yajnya tersebut dibuat dari sarana pilihan. Upakara-nya disyairkan sebagai berikut:

“Sajining yajnya ta humadang, sri wreksa samidha puspa ghanda phala, dadhi greta kresnatila madu, mwang kumbha kusagra wreti wetih”
(Sargah I : 24)
(Sesajen telah disediakan, kayu cendana kering, bunga-bungaan, harum-haruman, air susu, mentega, biji hitam, madu, tempayan, rumput alang-alang, dan gambar suci).

“Sang Hyang Kunda pinuja, caru makulilingan samatsya-mangsa dadi, kalawan sekul niwedya, inames salwiring marasa”
(Sargah I : 28).
{Dewa Agni dipuja dalam tungku pemujaan, dikelilingi caru (sesajen berupa makanan enak) yang terbuat dari ikan, daging, dan nasi. Sesajen itu diolah dengan bumbu yang menimbulkan nasa enak}.

“Ri sedeng Sang Hyang dumilah, niniwedyaken nikanang niwedya kabeh, osadi len phala mula, mwang kambang gandha dupadi”
(Sangah 1:29).
(Ketika api suci telah menyala, dipersembahkanlah semua sesajen. Obat-obatan, buah-buahan, umbi-umbian, bunga, harum-haruman, dupa, dan yang lainnya).

Caru, seperti dimaksud dalam bait kakawin Râmàyana tadi, adalah persembahan makanan enak, yakni nasi dengan lauk-pauk olahan sayuran, buah-buahan, umbi-umbian, daging ikan (matsya) dan daging hewan (mangsa) pilihan yang dimasak dengan berbagai bumbu. Mengingat kakawin Ràmàyana ditulis di Jawa abad ke-9, maka caru dimaksud boleh jadi adalah makanan khas Jawa Kuno. Ingat juga tumpengan. Adakah itu berhubungan dengan tradisi ngelawar dan macaru di Bali?

Dikisahkan pula, lungsuran istilah lainnya prasadam (caru atau sesajen yang telah dipersembahkan) itu kemudian disuguhkan guna dinikmati ketiga permaisuri Raja Dasaratha. Akibat mempersembahkan caru yang dipandang utama itu, dia berhasil memperoleh kerahayuan berupa putra utama: Ràmà, Bhàrata, Laksamana, dan Satrughna.

Persembahan dikatakan baik apabila bahan persembahan diperoleh dengan pandangan dan cara benar; lalu diproses dan dipersembahkan dengan pandangan dan cara benar; Disertai dengan niat tulus tanpa ada pamrih (ikhlas) dan kemudian terbukti pula bahwa hasil persembahan itu adalah kerahayuan.

Diperoleh dengan pandangan dan cara yang benar maksudnya: Sesuatu yang dipersembahkan tidak diperoleh melalui mencuri, merampok, korupsi, nepotisme, kolusi, menipu, dan lain-lain, melainkan melalui Kerja (usaha sendiri).

Diproses dan dipersembahkan dengan pandangan dan cara yang benar: Mengikuti aturan tradisi atau jalan (agama) yang ditempuh. Dengan niat yang tulus ikhlas tanpa ada tujuan untuk mencari keuntungan pribadi seperti: nama baik, kemenangan, kemasyuran, dll

Catatan tradisi Bali yang berisi ajaran tentang sistem bersaji dan ketentuan sarana sesajinya dapat ditemukan terutama dalam jenis lontar keagamaan yang tergolong lontar yajnya, disebut Kalpasastra, seperti Jadma Prawreti, Dewa Tattwa, Bhamakertih, Yama Tattwa, Yama Purwana Tattwa, Pelutuk Bebanten, dan lainnya.
Dalam lontar dimaksud disebut-sebut, sarana upacara dapat dibuat dari:
(1) mantiga (telur atau yang bertelor);
(2) mantaya (yang tumbuh atau tumbuh-tumbuhan); dan
(3) maharya (yang beranak-pinak atau binatang piaraan dan hasil buruan).

Dalam lontarWasistha Tattwa (sloka 38-41) dijelaskan, sang raja atau pemimpin sebelum bersantap diwajibkan sembahyang terlebih dahulu dengan:

“macarwa ring dewa mwang ring sarwa bhuta, nyata hamanggih suka sira, mwang wirya magong”
(mempersembahkan makanan enak kepada dewa dan kepada para bhuta. Dengan cara bakti demikian sang Raja dinyatakan akan mendapatkan kemakmuran dan kebahagian hidup).

Tradisi yang baik ini adalah untuk menjaga keharmonisan baik secara vertikal (Parahyangan dan Palemahan). Oleh karenanya kita sebelum menyantap makanan mesti melakukan persembahan, yang sering disebut dengan ngejot atau Banten saiban.

Adapun daging (makanan) yang baik dipersembahkan dan kemudian dimakan sang pemimpin dijelaskan:
“Nihan ikang sinangguh mangsa rahayu tadahen de sang prabhu, lwirnya, iwak tasik, bhawi, buron, tawon, wedhus, itik, bantiga “
(Ini adalah daging yang baik dimakan sang pemimpin, yaitu ikan laut, daging babi, daging binatang buruan, tawon, daging kambing, daging itik, dan telor).

Sementara daging yang dipandang nista - karena itu tidak baik dimakan sang pemimpin - adalah daging. tikus, kadal, ular, anjing, dan daging katak. Pimpinan itu teladan masyarakat. Jika makan daging itu baik atau buruk bagi pemimpin, tentu baik atau buruk pula bagi masyarakat.

Mempersembahkan sesajen dengan lauk-pauk olahan daging terdapat hampir di seluruh tradisi religius masyarakat di Nusantara.

Dan, upacara yajnya dengan mempersembahkan olahan daging jelas tersurat dalam kitab suci Weda. Rg. Weda I.161, mantra 1-22, misalnya, memuat amanat tentang kurban kuda aswamedha yajnya. Mantra 9-13 diterjemahkan sebagai berikut:

“Daging kuda yang dimakan lezat, atau yang melekat pada tonggak atau kapak, atau daging yang menempel pada tangan dan kuku pemotong, di antara dewa-dewa, juga semua sudah siap.”

“Kotoran yang keluar dari ususnya, dan bau daging mentah masih tercium, semua itu supaya dibersihkan oleh pelaksana kurban, dan menyiapkan makanan matang untuk persembahan”.

“Apa yang menetes dari daging yang sedang diguling di atas panggangan, jangan dibiarkan ada tercecer ke tanah atau di rumput, haturkan semua kepada dewa.”

“Mereka yang melihat daging kuda yang telah dimasak berseru: Baunya sedap, angkat. Dan, daging yang empuk ini siap dibagi. Mudah-mudahan semua ini memperlancar kerja kami.”

“Garpu untuk masak daging dikaldron, mangkok-mangkok tempat sop, pot-pot pemanas, tutup piring, centong, pinggan berukir, semua disiapkan untuk kurban kuda.”

Secara didaktis moralis, mempersembahkan binatang kurban adalah ungkapan simbolik yang mengandung makna yajnya (kurban suci), yakni mengurbankan sifat-sifat binatang yang secara potensial ada bila dibiarkan, ia cenderung berkembang biak, beranak pinak dalam diri setiap orang.

Hari Raya Galungan pada penampahan Galungan, banyak Babi yang dijadikan korban untuk persembahan. Babi memiliki sifat tamas dan rajas yang sangat kuat. Maknanya adalah sebelum persembahyangan dilakukan pada hari raya Galungan maka sifat-sifat tamas dan rajas itu harus dibunuh dan ditelan mulai dari Hari Penampahan.

Dalam konteks ini, yajnya juga berarti menumbuh-kembangkan karakter luhur. Caranya: menghindari perbuatan buruk (dalam pikiran, perkataan, dan tingkah laku), bergaul dengan orang-orang baik, tekun mendengarkan dan merenungkan makna wacana suci, serta selalu berusaha mengamalkan nilai-nilai luhur demi kebahagiaan bersama, baik dengan sesama maupun dengan lingkungan alam.

Dikatakan pula, itu hanya mungkin bila dalam diri kita masing-masing bertumbuh rasa cinta kasih. Kasih adalah citra Tuhan. Demikianlah cara yang dianjurkan agama. Maka, dengan senjata kasih itu pula orang dapat mengendalikan egonya.

Kasih dan Ego menempati satu bilik yang sama, Bila ego muncul maka kasih akan lenyap demikian sebaliknya.

Apasih Ego itu sesungguhnya…?

Secara sederhana Ego = Separateness bisa dimaknai sebagai merasa beda dengan orang lain. Bisa merasa lebih bagus ini menuju pada sombong dan angkuh, marah, lobha, yang memupuk sifat merendahkan orang lain. Memandang remeh orang lain, Mengambil hak orang lain

Ego dimana dia merasa lebih rendah dari orang lain akan menghasilkan sifat rendah diri, minder, grogi, gugup sehingga tidak bisa focus dan tidak bisa optimal dalam mencapai sesuatu.

Sri Kreshna lewat percakapan suci dengan Arjuna dalam Bhagawadgita XIV.21 mengajar, ada tiga wujud utama ego: (1) kàma (nafsu atau ambisi duniawi yang berlebihan); (2) krodha (kemarahan); dan (3) lobha (kerakusan).

Pada level tertentu dan terkendali Ego itu bermanfaat untuk memacu semangat untuk maju, untuk meraih prestasi. Namun perlu diketahui ego ini jangan sampai tidak terkendali, karena dia sungguh musuh yang sangat sakti mandra guna, bisa mewujudkan diri dalam berbagai bentuk dan rupa yang siap memberangus kita manusia.

Ego dapat dikendalikan dengan memupuk rasa toleransi dan tepo seliro, menghargai bahwa setiap orang itu adalah sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangannya. Menyadari bahwa kita adalah menempati rumah yang sama yaitu alam samesta. Dan peran serta kita dalam menjaga alam itu sama-sama pentingnya. Kita membutuhkan satu sama lain untuk mencapai sukses bersinergi meraih cita dan cinta.

Dengan melakukan pelayanan (Seva) tanpa memandang posisi dan jabatan dalam masyarakat pun bisa melatih untuk mengurangi pengaruh negative dari Ego.

Mengambil tanggung jawab atas apapun yang dipandang patut untuk dilakukan seperti: melihat halaman pura kotor, segera bersihkan, Melihat sampah berserakan di kantor atau di rumah segera bersihkan jangan tunggu pembantu atau cleaning service datang membersihkan. Mahatma Gandhi selalu mencontohkan dalam prilakunya seperti ketika dia melakukan perjalanan dari kota-ke kota lainnya di India, tiap kali dia melihat WC kotor dia selalu membersihkannya terlebih dahulu, katanya; WC kotor ini kan menjadi sarang penyakit bagi saudara-saudara kita, bagi anak dan generasi kita, juga bagi alam ini, tentu saja pada akhirnya datang pada kita.

Output nyata dari semua aktivitas spiritual itu akan tampak pada perkataan yang halus menyejukkan, tindakan dan sikap yang tepat tidak menyakiti mahluk lain, bermanfaat bagi diri dan mahluk lain serta alam samesta, pikiran yang bersih dan jernih.

Om Santih Santih Santih
http://singaraja.wordpress.com

Monday, December 7, 2009

RENCANA MUSYAWARAH NASIONAL LUAR BIASA (MUNASLUB) PINANDITA SANGGRAHA NUSANTARA 2010

Om Swastyastu,

Dengan telah turunnya Surat Pengakuan Resmi mengenai keberadaan Pinandita Sanggraha Nusantara (PSN) dari Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, maka pengurus PSN dituntut untuk lebih maksimal mendedikasikan waktu dan kiprahnya guna pengembangan organisasi dan khususnya yang menyangkut hal kepinanditaan.

Untuk penyempurnaan Organisasi yang meliputi Penyempurnaan AD/ART PSN, Penajaman Visi dan Misi PSN, Pengabsahan Kepengurusan PSN, Penyusunan Kode Etik/ SESANA Pinandita,serta Perumusan-perumusan Program Kerja PSN kedepan, maka pada hari Sabtu, 5 Desember 2009 bertempat di Pura Amertha Jati Cinere Jakarta Selatan, dalam rapat Pleno Pengurus PSN Pusat telah diputuskan :

1. PSN akan melaksanakan Kegiatan Musyawarah Nasional Luar Biasa (MUNASLUB) sesuai dengan AD/ART PSN saat ini.
2. Rencana kegiatan MUNASLUB PSN akan diselenggarakan tentative pada bulan Oktober 2010 yang akan datang.
3. Kegiatan MUNASLUB PSN akan diselenggarakan di Jakarta.
4. Diharapkan seluruh Korwil-Korwil PSN yang telah terbentuk di 22 Propinsi bisa mempersiapkan diri.
5. Bagi para Pinandita yang belum ada kepengurusan Korwilnya (+/- 9 Propinsi lagi) diharapkan segera menghubungi pengurus Parisada setempat atau para Pembimas wilayah setempat agar bisa difasilitasi pembentukan wadah PSNnya sehingga pada bulan Oktober 2010 sudah bisa ikut berpartisipasi didalam MUNASLUB tersebut.

Demikian informasi ini disampaikan kepada para pengunjung Blog PSN ini agar bisa disebar luaskan kepada para pinandita didaerahnya masing-masing.

Suksma

PENGURUS PUSAT PINANDITA SANGGRAHA NUSANTARA



PINANDITA IR. GUSTI MADE NGURAH SUYADNYA
Ketua Umum

SETAN, DOSA, DAN KUTUKAN Dalam Perspektif Hindu

Oleh : Jro Mangku Shri Dhanu


Ye tvā devosrikaṁ manyamānāḥ pāpā bhadram upajivanti pajrāḥ,

Na dūḍhye anu dadāsi vāmaṁ bṛhaspate cayasa piyārum.


Ṛgveda I.190.5

Wahai Guru Para Dewa, janganlah memberikan kekayaan terhadap

mereka yang bodoh, yang penuh dosa dan licik, dan hidup semata-mata

atas kemurahan-Mu, yang menganggap-Mu bagai sapi jantan tua.

Tetapi Engkau mendukung mereka yang

mengabdikan hidupnya kepada-Mu.



Pendahuluan

Topik tulisan di atas sepertinya sangat sulit dirangkai, dan khusus kata setan (satan) terjemahannya dalam bahasa Sanskerta adalah piśaca atau paiśaca. Kata yang maknanya sejenis dengan kata tersebut, di antaranya adalah rakṣasa. Di dalam bahasa Inggris disebut devil yang arinya setan. Kata devil berasal dari bahasa Yunani ‘diabolos’. Orang Barat dan Timur sama-sama percaya bahwa piśaca atau setan adalah musuh umat manusia, sekaligus juga musuh para Dewa (Mani, 1989:590).

Selanjutnya kata dosa, di dalam bahasa Sanskerta padannya adalah doṣa, pāpā, dan lain-lain yang maknanya sejenis dengan makna kata tersebut, sedang kata kutukan, padannya dalam bahasa Sanskerta adalah śapa atau śapatha di dalam Ṛgveda (X.87.15) pada mulanya berarti kutukan, dan bukan sumpah seperti sumpah dalam proses pengadilan (Macdonell & Keith, II, 1982:353).

Topik tulisan ini tampaknya seperti mendapat pengaruh dari agama-agama yang digolongkan dalam Abrahamic Religion atau Agama-Agama Semitik, yang di dalam Agama Hindu ketiga kata tersebut sangat sulit dirangkaikan, karena sumber ajaran teologi Hindu berbeda dengan ajaran teologi agama-agama tersebut di atas. Walaupun demikian tulisan ini mencoba mengetengahkan sumber, cerita atau makna dari istilah atau terminologi di atas.


Piśaca, Rakṣasa, dan Asura

Seperti telah dijelaskan di atas, di dalam bahasa Sanskerta tidak dikenal istilah atau kata setan (satan). Kata ini rupanya berasal dari bahasa Arab (setan) atau Ibrani (satan), yang maknanya sangat dekat atau mirip dengan kata paiśaca, rakṣasa, dan asura.

Kata setan (satan) di dalam The Student English-Sanskrit (Apte, 1987:408) adalah paiśaca (masculinum) dan paiśacī (femininum), paiśacagraṇī , paiśacanātha.

Di dalam Ṛgveda (I.133.5) disebut dengan nama paiśacī sedang di dalam Atharvaveda (II.18.4; IV.20.6, 9; IV.36.4; IV.37.10; V.29.4.5.14; VI.32.2; VIII.2.12; XII.1.50) maknanya sama dengan di dalam Ṛgveda, yakni nama dari sekelompok raksasa.

Di dalam Taittirī ya Saṁhitā (II.4.1.1, juga dalam Kāṭhaka Saṁhitā XXXVII.14) mereka diasosiasikan dengan para rakṣasa dan asura yang bermusuhan dengan para Dewa, manusia, dan leluhur.

Di dalam Atharvaveda (V.25.9) mereka digambarkan sebagai kravyād yang artinya ‘pemakan daging mentah’, yang mungkin mengandung pengertian etimologi dari kata paiśaca tersebut.

Hal ini sangat mungkin, bahwa paiśaca seperti diungkapkan oleh Grierson, merupakan musuh manusia, seperti suku asli di Barat Laut, yang sampai pada masa akhir disebut sebagai pemakan daging mentah (tidak mesti disebut kanibal, namun memakan daging manusia dalam rangkaian sebuah upacara ritual).

Demikian, walaupun tidak semuanya, sepertinya paiśaca aslinya berarti ‘setan’, yang tampak seperti suku asli, hal itu ditunjukkan dengan identitasnya yang dicemohkan. Satu cabang ilmu pengetahuan disebut paiśacavidyā yang populer muncul pada akhir zaman Veda, di antaranya ditemukan dalam kitab Gopatha Brāhmaṇa (I.1.10) (Macdonell & Keith , II, 1982:533).

Di dalam kitab-kitab Purāṇa, paiśaca dijelaskan sebagai berikut. Makhluk yang berhati dengki yang merupakan perwujudan yang jahat. Setiap orang, di mana saja di bumi ini, sejak baru terjadinya alam semesta dipercaya telah hadir roh yang jahat.

Menurut Mahābhārata (Ādiparva I) paiśaca merupakan ciptaan Dewa Brahmā. Pada masa awal Brahmā menciptakan 18 prajāpati yang dipimpin oleh Dakṣa, Gandharva, dan Paiśaca. Seperti halnya dalam Mahābhārata, dalam kitab-kitab Purāṇa juga merupakan ciptaan Brahmā. Paiśaca merupakan penghasut segala bentuk kejahatan dan memegang peranan penting di dalam kitab-kitab Purāṇa dan Mahābhārata. Paiśaca tinggal di istana Dewa Kubera dan memuja-Nya (Sabhāparva XI.49). Paiśaca tinggal di Gokarṇatī rtha dan memuja Dewa Śiva (Vanaparva LXXXV.25). Paiśaca adalah pemimpin roh-roh jahat. Ṛṣi Marī ci dan ṛṣi yang seperti beliau menciptakan roh-roh jahat (Vanaparva CCLXXII.46). Minuman para paiśaca adalah darah dan makanannya adalah daging (Droṇaparva L.9). Para bhūta (roh-roh jahat) menjadikan Ravaṇa raja mereka (Vanaparva CCLXXV.88). Dalam perang Bhāratayuddha, kuda yang menarik kereta raksasa Alambuṣa adalah para paiśaca (Droṇaparva CLXVII.38). Paiśaca bertempur melawan Karṇa dan ia berpihak menolong Ghaṭotkaca (Droṇaparva CLXXV.109). Arjuna mengalahkan paiśaca saat terbakarnya hutan Khāndava (Karṇaparva XXXVII.37). Paiśaca muncul saat pertempuran Arjuna dengan Karṇa (Karṇaparva XXXVII.50). Paiśaca memuja Dewi Parvatī dan Parameśvara yang sedang bertapa di puncak gunung Muñjavān (Aśvamedhaparva VIII.5). Pada masa berlangsungnya perang Bhāratayuddha banyak paiśaca menjelma menjadi raja (Aśramavāsikaparva XXXI.6) (Mani, 1989:590).

Di dalam susastra Jawa Kuno kata paiśaca ditulis dengan paiśāca yang artinya tidak jauh dengan makna di dalam Veda dan susastra Sanskerta, yakni nama jenis makhluk halus, mungkin disebut demikian karena kegemarannya akan daging (piśa untuk piśita) atau karena warnanya yang kekuning-kuningan; setan, iblis, raksasa, jin, makhluk yang berarti dengki atau jahat.

Di dalam Ādiparva (30) dinyatakan: saṅ Mṛgi makānak piśāca gaṇa bhūta........; kata ini dapat juga dijumpai dalam Bhīṣmaparva 109; Agastyaparva 378; 385; Rāmāyaṇa 8.128; 20.3; 23.29; Sumanasantaka 147.10; Sutasoma 125.11 (Zoetmulder II,1995:826).

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka di dalam kitab suci Veda, kitab-kitab Purāṇa, setan dapat diidentikkan dengan paiśaca, bhūta, rakṣasa, daitya, dan asura yang menghasut atau mendorong terjadinya kejahatan, dapat merasuki setiap orang dan bahkan menjelma menjadi raja sebagai pemimpin sebuah negara, dan lain-lain.


Doṣa, Pāpa, dan Puṇya

Doṣa, pāpa, dan puṇya adalah 3 buah kata yang tampak saling berkaitan. Doṣa dan pāpa atau pāpā di dalam bahasa Inggris diterjemahkan ke dalam kata sin, dan dalam bahasa Sanskerta adalah pāpam, pātakam, kalmaṣam, duritam, agham, duṣkṛam, vṛjinam, aṁhas, kilbiṣam, dan lain-lain (Apte, 1987:427). Kata-kata tersebut di dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan kata dosa yang sama artinya dengan doṣa dalam bahasa Sanskerta. Berlawanan dengan kata doṣa dan pāpā dalam bahasa Sanskerta adalah kata puṇya yang terjemahannya dalam bahasa Inggris merit. Padanan kata lainnya dalam bahasa Sanskerta adalah guṇaḥ, yogyata, pātrata, utkarṣa, puṇyam, dharma, śreṣṭhata, viśeṣaḥ, sukṛtam, śreyas (Apte, 1987:286).

Dalam susastra Jawa Kuno, kata doṣa berarti: (1) dosa, kesalahan, pelanggaran; (adj.) bersalah. Lihat juga istilah daṇḍadoṣa, guṇadoṣa, nirdoṣa, paridoṣa, sadoṣa, sthānadoṣa, sodoṣa. Terminologi tersebut terdapat dalam Virātaparva 94; Udyogaparva 103; Uttarakaṇḍa 25; 68; Ślokāntara 30.10; Arjuna Vivāha 35.6; Ghaṭotkacāśraya 38.3; 42.3; Bhomakavya dan Kidung Harsavijaya 6.46 (Zoetmulder I, 1995:225).

Kata pāpa dalam bahasa Jawa Kuno mengandung arti yang lebih luas, yakni: (1) dosa, kebiasaan buruk; kejahatan, kesalahan, hukuman/siksaan karena dosa. Terminologi ini dapat dijumpai pada Ādiparva 47; 81; Udyogaparva 9, Brāhmāṇḍapurāṇa 52; Rāmāyaṇa; Sutasoma 34.8: nora pāpa kadi pāpa niṅ anak atiduṣṭa riṅ yayah. (2) kemalangan, kesusahan, kesukaran, kesukaran, keadaan yang tidak menyenangkan, kesengsaraan. Dapat dijumpai dalam Virātaparva 75; manahên pāpa; Agastyaparva 366; Arjuna Vivāha 16.9: lêhêṅa juga ṅ pêjah saka ri pāpa pāpa anahên iraṅ lawan lara.Smaradahana 24.8, (3) jahat, buruk, jelek, nakal, celaka, malang, sengsara, orang jahat, penjahat, orang yang berdosa. Lihat juga: atipāpa, mahā pāpa, mahātipāpa. Virātaparva 31; Bhīṣmaparva 111; Uttarakaṇḍa 44; Sutasoma 35.7; Kidung Harsavijaya 3.95: woṅ pāpa kawêlas hyun (Zoetmulder I, 1995:758).

Agama Hindu pada dasarnya sangat konservatif, dan banyak aturan yang digunakan termuat di dalam kitab suci Veda dan masih efektip diikuti untuk aktivitas rutin sehari-hari oleh jutaan umat Hindu. Beberapa di antaranya adalah ajaran Karmamārga (jalan kerja). Agama Hindu seperti agama-agama tradisi lainnya, selalu mengingatkan pada pentingnya penekanan pada pelaksanaan etika dan moralitas yang masih terpelihara, tetapi juga selalu diperbaiki. Gagasan terhadap hukuman dan pertobatan terhadap dosa menempati posisi yang luas dalam kehidupan kebanyakan umat Hindu.

Upacara siklus hidup yang disebut saṁskāra menunjukkan hal itu, tidak hanya diikuti oleh anggota ke dalam tingkatan hidup selanjutnya, tetapi juga mengembangkan kekuatan spiritual mereka dan meyakini kebutuhan personal mereka (Klostermaier, 1990:146).

Di dalam Bhasmajabalopanisad (165) yang merupakan Upaniṣad yang bersifat Śaivaistik, dijelaskan pahala bagi mereka yang mempergunakan atribut (lakṣaṇa) yang berkaitan dengan sekta ini, di antaranya tripuṇḍra, yang merupakan tiga garis sejajar dioleskan pada dahi sebagai bentuk penghormatan kepada Dewa Śiva yang terbuat dari abu. Di dalam Upaniṣad tersebut dijelaskan tentang keutamaan dan kesucian penggunanan abu (vibhuti) yang dibuat dari kotoran sapi, dan bagaimana abu tersebut digunakan.

“Untuk para Brāhmaṇa mengenakan bhasma (abu) merupakan perilaku yang baik dan benar. Tanpa menggunakan tanda-tanda tersebut, seseorang tidak dapat minum atau mengerjakan sesuatu. Hendaknya ia menggunakan tanda-tanda (dari abu) itu dengan diikuti pengucapan gāyatri-mantra atau mempersembahkan sesajen pada api suci. Dengan menggunakan tanda-tanda itu seseorang berjalan di jalan yang benar untuk menghancurkan semua dosa dan mencapai keselamatan (mokṣa)….. Ia yang menggunakan tanda-tanda dari abu tersebut pada pagi-pagi benar, yang bersangkutan akan dibebaskan dari segala dosa yang dilakukan pada malam sebelumnya, termasuk juga dosa yang berasal karena mencuri emas.

Ia yang melakukan (dosa) pada siang hari dan bermeditasi kepada matahari, dibebaskan dari dosa akibat menikmati minuman yang memabukkan, mencuri emas, membunuh Brāhmaṇa, membunuh sapi, membunuh kuda, membunuh gurunya, dan membunuh bapak dan ibunya. Dengan memohon perlindungan melalui abu suci itu tiga kali sehari, ia memperoleh pahala dari belajar Veda, ia memperoleh kemuliaan (jasa baik) karena menyucikan diri di seluruh 35.000 patī rthan (pura tempat air suci), ia mencapai kesempurnaan hidup”(Klostermaier, 1990:153).

Di dalam kitab Chāndogya Upaniṣad (V.10.9-10) dinyatakan bahwa: “Ia yang mencuri emas, yang minum minuman keras, yang tidak menghormat tempat tidur gurunya, ia yang membunuh Brāhmaṇa, keempat orang itu jatuh dalam dosa (mahāpātaka), dan yang kelima adalah yang bergaul dengan mereka. Tetapi, orang yang tidak ternoda oleh kejahatan, walaupun iam bergaul dengan orang yang demikian. Ia menjadi suci, bersih, mencapai dunia kebajikan (puṇyaloka), ia yang mengetahui hal ini, sungguh ia mengetahuinya” (Radhakrishan, 1990:434).

Selanjutnya Manusmṛti (VIII.381) menyatakan: “Tidak ada perbuatan kriminal yang lebih besar dari perbuatan membunuh Brāhmaṇa, karena itu hendaknya jangan sekali-sekali terpikir di dalam hati untuk melakukan hal itu”(Pudja & Sudharta, 2004:429).

Di dalam kitab yang sama (VIII.350-251) dinyatakan: “Seseorang boleh membunuh seorang pembunuh, tanpa ragu-ragu yang dengan maksud membunuh apakah ia seorang guru, anak-anak, orang yang sudah berumur, atau seorang Brāhmaṇa yang akhli di dalam Veda. Dengan membunuh seorang pembunuh, pembunuhnya tidak berbuat salah (dosa), apakah ia lakukan di depan umum atau terang-terangan dalam hal itu kemarahan melawan kemarahan (Pudja & Sudharta, 2004:422). Di dalam Vaśiṣtha Dharmasūtra (III.15-18) dinyatakan bahwa seorang yang melakukan pembunuhan terhadap pelaku sad ātatāyi (ātatāyin) maka pembunuh itu tidak dianggap melakukan dosa (Kane, II.1, 1974:149).

Di dalam Bhagavadgītā (XVI.21) disebutkan adanya tiga pintu gerbang neraka yang merupakan doṣa atau pāpa yang mengantarkan ke tiga pintu gerbang neraka, yakni: kāma (moha), lobha, dan krodha. Ketiga perbuatan buruk (pāpakṛt) merupakan pāpa atau doṣa yang mesti dihindari oleh setiap orang, terutama yang ingin sukses menempuh jalan rohani (Tri Mārga).

Kitab Ślokāntara 75-78 membedakan 4 macam dosa, yakni doṣa pātaka, doṣa upapātaka, doṣa mahāpātaka, dan doṣa atipātaka yang masing-masing disebut dosa kecil, dosa menengah, dosa besar, dan dosa terbesar, masing-masing sebagai berikut:

(1) doṣa pātaka meliputi: bhrunahā, menggugurkan kandungan, puruṣaghna, membunuh manusia lainnya, seperti sastrawan dan hartawan, kanyācora, melarikan gadis dengan paksa, agrayajaka, yang kawin mendahului saudaranya yang lebih tua,

(2) doṣa upapātaka meliputi: govadha, membunuh sapi, yuwatī vadha, membunuh perempuan muda, bālavadha, membunuh anak-anak, vṛddhavadha, membunuh orang tua, āgāravadha, membakar rumah dan penghuninya.

(3) doṣa mahāpātaka, meliputi: brāhmavadha, membunuh Brāhmaṇa, surāpāna, minum minuman keras atau yang memabukan, suvarṇasteya, mencuri emas, kanyāvighna, memperkosa seorang gadis sampai gadis itu mati, guruvadha, membunuh guru.

(4) doṣa atipātaka, meliputi: svaputrī bhajana, memperkosa putri sendiri, matṛbhajana, memperkosa ibu sendiri, dan liṅgagrahaṇa, merusak tempat suci atau tempat pemujaan (Sudharta, 2003:252-259).

Demikian kitab Ślokāntara yang merupakan ajaran moralitas berupa teks berbahasa Sanskerta dan terjemahan dalam bahasa Jawa Kuno. Lebih lanjut tentang puṇya dapat dijelaskan sebagai berikut. Kata puṇya di dalam bahasa Inggris adalah merit yang padanannya dalam bahasa Sanskerta antara lain: guṇa, yogyata, utkarṣa, śreṣṭhatā, dharma, sukṛtam, śreyaḥ, dan yang sejenis dengan itu (Apte, 1987:286).

Di dalam Manavadharmaśāstra atau Manusmṛti (XII.105-106) dinyatakan: “Seseorang yang ingin memperoleh penyucian dari dharma (dharmaśuddhi) seharusnya menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan. Hanya mereka yang menguasai ‘tarka’ (kemampuan untuk menganalisis sesuatu) dan tidak mempertentangan susastra Veda (Vedaśāstra) dengan ajaran suci Veda, yang merupakan ajaran dharma yang diajarkan oleh para ṛṣi, yang akan menguasai dharma, tidak yang lain”.

Lebih jauh di dalam kitab yang sama (IV.175-176) juga dinyatakan: “Oleh karena itu seseorang hendaknya selalu bergembira melaksanakan kebenaraan, taat kepada ajaran suci (Veda), bertingkah laku terpuji, sebagai orang yang mulia, selalu suci hati……Suatu perbuatan yang bila pada akhirnya tidak memberikan kebahagiaan dan sangat dikutuk di dunia ini (lokavikruṣṭha) bukanlah Dharma dan harus ditinggalkan”. Hal yang sama juga diungkapkan dalam Yajñavalkya Smṛti (VI.156).

Selanjutnya tentang penguasaan ajaran suci Veda, Śrī Kṛṣṇa di dalam Bhagavadgītā (XVI.24) menyatakan: “Oleh karena itu jadikanlah kitab suci menjadi pegangan hidupmu untuk menentukan yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Dengan mengetahui ajaran suci (Veda) tersebut, hendaknya engkau melakukan kegiatan kerja di dunia ini”. Penjelasan tersebut sejalan dengan terjemahan mantra dari Śatapatha Brāhmaṇa (XI.5.7.1) berikut. “Belajar dan menyiarkan ajaran suci Veda.Dia yang mengetahui hal ini mencapai pikiran yang terpusat. Dia tidak menjadi budak nafsunya. Keinginannya akan menjadi kenyataan, dan ia hidup menikmati kebahagiaan. Sesungguhnya dia menjadi penyembuh dirinya sendiri. Dirinya terkendali, penuh bhakti, dengan pikiran yang bijaksana. Dia mencapai kemashyuran dan berbuat baik di dunia ini”. Berdasarkan kutipan tersebut, jelaslah pula bagi kita bahwa ajaran suci Veda hendaknya dapat dijadikan pedoman kebajikan (puṇya) dalam hidup dan kehidupan ini.


Śapatha (Kutukan)

Seperti telah disebutkan pada bagian pendahuluan, kata Śapa atau Śapatha pada berarti kutukan dan bukan sumpah dalam proses pengadilan, seperti dinyatakan dalam Ṛgveda X.87.15. Pengertian yang terakhir ini rupanya muncul belakangan, seperti ditunjukan oleh Atharvaveda III.9.5; IV.9.5; IV.18.7; IV.19.7, dan Ṛgveda VII.104.15, yang menyatakan bahwa Vasiṣṭha terkutuk dan memperoleh kematian bila ia melakukan kejahatan (menyihir orang), dan kematian bagi musuh-musuhnya bila ia tidak melakukan hal itu.

Tentang kutukan atau orang yang mengalami kutukan, informasinya sangat banyak dapat dijumpai dalam kitab-kitab Itihāsa (Rāmāyaṇa dan Mahābhārata) maupun dalam kitab-kitab Purāṇa. Di dalam Rāmāyaṇa karya Vālmī ki terdapat ceritra dikutuknya dewi Ahalyā menjadi batu oleh suaminya sendiri Mahārṣi Gautama, karena dewa Indra menggodanya yang datang ke pertapaan dengan manyamar sebagai Mahārṣi Gautama sendiri. Ahalyā bebas dari kutukan (pariśuddha) setelah kaki Śrī Rāma menyentuh batu tersebut, dan Ahalyā kembali menjadi suci (Mani, 1989:17).

Demikian pula ceritra dikutuknya putra-putra raja Sagara oleh Mahārṣi Kapila dalam kisah turunnya sungai Gaṅgā. Putra-putra raja Sagara berhasil mencapai mokṣa Mahārṣi setelah mendapat siraman air suci Gaṅgā (Mani, 1989:17). Di dalam kitab-kitab Purāṇa sangat banyak ceritra tentang kutukan, bahkan para Dewa juga mengalami hal yang sama.

Vijayalakṣmī berubah menjadi Laṅkalakṣmī , karena kutukan Dewa Brahmā. Vijayalakṣmī adalah salah satu dari Lakṣmī penjaga kekayaan Dewa Brahmā. Suatu hari, salah satu dari padanya lalai melaksanakan tugasnya. Dewa Brahmā sangat marah dan mengutuknya, “Kamu pergi ke tempatnya Rāvaṇa dan jaga menaranya!”. Ia dengan kerendahan hati memohon untuk mengampuni kutukan tersebut. Brahmā bersabda: “Pada saat inkarnasi Śrī Rāma, seorang pahlawan kera bernama Hanumān akan menuju Laṅka dalam usaha mencari istri Śrī Rāma, yang telah diculik oleh Rāvaṇa, dan ia akan menabrakmu. Pada saat itu kamu akan dibebaskan dari kutukan dan kamu akan segera kembali kemari!” Menurutnya, Vijayalakṣmī lahir di Laṅka dengan nama Laṅkalakṣmī . Ketika Hanumān terbang menuju Laṅka, ia mencegahnya, dan saat itu Hanumān menabraknya jatuh ke bumi (Kaṁpa Rāmāyaṇa, Sundara Kāṇda) (Titib, 2004:184)

Suatu hari Brahmā memuja Sang Hyang Śiva dan memohon kesediaannya untuk menjadi putranya sendiri. Sang Hyang Śiva tidak berkenan atas permintaan tersebut. Śiva marah dan mengutuk, “Saya akan menjadi anak anda. Tetapi saya akan menebas wajah anda yang ke-5”. Sejak saat itu Dewa Brahmā hanya memiliki 4 wajah (Caturmukha) (Titib, 2004:199). Demikian cukup banyak śapatha yang dapat ditemukan dalam kitab-kitab Purāṇa.

Śapatha atau kutukan dapat ditemukan tidak hanya dalam karya sastra. Dalam prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh para raja baik di India, di Nusantara, termasuk di Bali ditemukan informasi tentang kutukan tersebut. Bahkan dalam lontar-lontar babad (ceritra-ceritra leluhur) di Bali ditemukan juga hal itu dan umumnya disebut dengan bhī ṣama yang juga di dalamnya terdapat śapatha. Śapatha dapat diakhiri dengan berbagai upacara (ritual, seperti prayaścitta, nilapati atau daṇḍakalêpasan) dan pertapaan (termasuk pula berbagai bentuk puasa) yang dilakukan dengan tekun.


Penutup

Demikian uraian singkat tentang setan, dosa, dan kutukan dalam perspektif Hindu tentunya masih banyak lagi yang perlu diperdalam dan hal yang terpenting bahwa setan jangan mempengaruhi pikiran kita, sehingga tidak melakukan dosa, apalagi perbuatan yang dianggap terkutuk oleh masyarakat.



Daftar Pustaka

Apte, Shivram Vaman.1987. The Student English-Sankrit Dictionary. New Delhi, India: Motilal Banarsidass.

Dvivedi, K.D. 1990. The Essennce of the Vedas. Gyanpur, Varanasi: Vishva Bharati Research Institute.

Kane, P.V.1974. History of Dharmasastra Vols. II. 1, Poona India: Bandarkar Oriental Series.

Klostermaier, Klaus K. 1990. A Survey of Hinduism. New Delhi, India: Munshiram Manoharlal.

Macdonell, A.A. & Keith, A.B.I-II.1982. Vedic Index of Names and Subjects. New Delhi, India: Motilal Banarsidass.

Mani, Vettam.1989. Puranic Encyclopaedia. New Delhi, India: Motilal Banarsidass.

Maswinara, I Wayan. 2003. Bhagavadgita, Teks dan Terjemahan Inggris dan Indonesia. Surabaya: Penerbit Paramita.

Pudja, G. & Sudharta, Tjokorda Rai. 2004. Manawa Dharmasastra, Weda Smrti, Kompedium Hukum Hindu. Surabaya: Penerbit Paramita.

Radhakrishan, Sarvepali.1990. Principal Upanisads. Bombay-New Delhi, India: Oxford University Press.

Sudharta, Tjokorda Rai.2003. Slokantara, Untaian Ajaran Etika, Teks, Terjamahan dan Ulasan. Surabaya: Penerbit Paramita.

Titib, I Made. 2004. Purana, Sumber Ajaran Hindu Komprehensif. Surabaya: Penerbit Paramita.

Titib, I Made.2003. Veda, Sabda Suci: Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Penerbit Paramita.

Zoetmulder, P.J.,1995.Kamus Jawa Kuna-Indonesia. 2 Jilid. Terjemahan Darusuprapta, Sumarti Suprayitna, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

=======

" sathyamvada dharmacara-sampaikan kebenaran dengan cara yang benar"

Thursday, November 26, 2009

Leak Pakai Panca Aksara

Oleh : Wayan Sudarma

Bentuk Endih Leak

Leak merupakan suatu ilmu kuno yang diwariskan oleh leluhur Hindu di Bali.
Pada zaman sekarang ini orang bertanya-tanya apa betul leak itu ada?, apa betul leak itu menyakiti? Secara umum leak itu tidak menyakiti, leak itu proses ilmu yang cukup bagus bagi yang berminat. Karena ilmu leak juga mempunyai etika-etika tersendiri. Tidak gampang mempelajari ilmu leak. Dibutuhkan kemampuan yang prima untuk mempelajari ilmu leak. Di masyarakat sering kali leak dicap menyakiti bahkan bisa membunuh manusia, padahal tidak seperti itu. Ilmu leak juga sama dengan ilmu yang lainnya yang terdapat dalam lontar-lontar kuno Bali.

Dulu ilmu leak tidak sembarangan orang mempelajari, karena ilmu leak merupakan ilmu yang cukup rahasia sebagai pertahanan serangan dari musuh. Orang Bali Kuno yang mempelajari ilmu ini adalah para petinggi-petinggi raja disertai dengan bawahannya. Tujuannya untuk sebagai ilmu pertahanan dari musuh terutama serangan dari luar. Orang-orang yang mempelajari ilmu ini memilih tempat yang cukup rahasia, karena ilmu leak ini memang rahasia.

Jadi tidak sembarangan orang yang mempelajari. Namun zaman telah berubah otomatis ilmu ini juga mengalami perubahan sesuai dengan zamannya. Namun esensinya sama dalam penerapan. Yang jelas ilmu leak tidak menyakiti. Yang menyakiti itu ilmu teluh atau nerangjana, inilah ilmu yang bersifat negatif, khusus untuk menyakiti orang karena beberapa hal seperti balas dendam, iri hati, ingin lebih unggul, ilmu inilah yang disebut pengiwa. Ilmu pengiwa inilah yang banyak berkembang di kalangan masyarakat seringkali dicap sebagai ilmu leak. Seperti yang dikatakan diatas leak itu memang ada sesuai dengan tingkatan ilmunya termasuk dengan endih leak. Endih leak ini biasanya muncul pada saat mereka lagi latihan atau lagi bercengkrama dengan leak lainnya baik sejenis maupun lawan jenis. Munculnya endih itu pada saat malam hari khususnya tengah malam. Harinya pun hari tertentu tidak sembarangan orang menjalankan untuk melakukan ilmu tersebut.

Mengapa ditempat angker? Ini sesuai dengan ilmu leak dimana orang yang mempelajari ilmu ini harus di tempat yang sepi, biasanya di kuburan atau di tempat sepi. Endih ini bisa berupa fisik atau jnananya (rohnya) sendiri, karena ilmu ini tidak bisa disamaratakan bagi yang mempelajarinya. Untuk yang baru-baru belajar, endih itu adalah lidahnya sendiri dengan menggunakan mantra atau dengan sarana. Dalam menjalankan ilmu ini dibutuhkan sedikit upacara. Sedangkan yang melalui jnananya (rohnya), pelaku menggunakan sukma atau intisari jiwa ilmu leak. Sehingga kelihatan seperti endih leak, padahal ia diam di rumahnya. Yang berjalan hanya jiwa atau suksma sendiri. Bentuk endih leak ini beraneka ragam sesuai dengan tingkatannya. Ada seperti bola, kurungan ayam, tergantung pakem (etika yang dipakai). Ilmu ini juga memegang etika yang harus dipatuhi oleh penganutnya.

Endih leak ini tidak sama dengan sinar penerangan lainnya, kalau endih leak ini biasanya tergantung dari yang melihatnya. Kalau yang pernah melihatnya, endih berjalan sesuai dengan arah mata angin, endih ini kelap-kelip tidak seperti penerangan lainnya hanya diam.

Warnanya pun berbeda, kalau endih leak itu melebihi dari satu warna dan endih itu berjalan sedangkan penerangan biasanya warna satu dan diam. Karena endih leak ini memiliki sifat gelombang elektromagnetik mempunyai daya magnet. Ilmu leak tidak menyakiti. Orang yang kebetulan melihatnya tidak perlu waswas. Bersikap sewajarnya saja. Kalau takut melihat, ucapkanlah nama nama Tuhan. Endih ini tidak menyebabkan panas.

Dan endih tidak bisa dipakai untuk memasak karena sifatnya beda. Endih leak bersifat niskala, tidak bisa dijamah.

Leak Shoping di Kuburan

Pada dasarnya, ilmu leak adalah ilmu kerohanian yang bertujuan untuk mencari pencerahan lewat aksara suci. Dalam aksara Bali tidak ada yang disebut leak. Yang ada adalah “liya, ak” yang berarti lima aksara (memasukan dan mengeluarkan kekuatan aksara dalam tubuh melalui tata cara tertentu). Lima aksara tersebut adalah Si, Wa, Ya, Na, Ma.

* Si adalah mencerminkan Tuhan
* Wa adalah anugrah
* Ya adalah jiwa
* Na adalah kekuatan yang menutupi kecerdasan
* Ma adalah egoisme yang membelenggu jiwa

Kekuatan aksara ini disebut panca gni (lima api). Manusia yang mempelajari kerohanian apa saja, apabila mencapai puncaknya dia pasti akan mengeluarkan cahaya (aura). Cahaya ini keluar melalui lima pintu indria tubuh yakni telinga, mata, mulut, ubun-ubun, serta kemaluan. Pada umumnya cahaya itu keluar lewat mata dan mulut. Sehingga apabila kita melihat orang di kuburan atau tempat sepi, api seolah-olah membakar rambut orang tersebut.

Pada prinsipnya, ilmu leak tidak mempelajari bagaimana cara menyakiti seseorang. Yang dipelajari adalah bagaimana mendapatkan sensasi ketika bermeditasi dalam perenungan aksara tersebut. Ketika sensasi itu datang, maka orang itu bisa jalan-jalan keluar tubuhnya melalui ngelekas atau ngerogo sukmo. Kata ngelekas artinya kontaksi batin agar badan astra kita bisa keluar. Ini pula alasannya orang ngeleak. Apabila sedang mempersiapkan puja batinnya disebut angeregep pengelekasan. Sampai di sini roh kita bisa jalan-jalan dalam bentuk cahaya yang umum disebut endih. Bola cahaya melesat dengan cepat. Endih ini adalah bagian dari badan astral manusia (badan ini tidak dibatasi oleh ruang dan waktu)

Di sini pelaku bisa menikmati keindahan malam dalam dimensi batin yang lain. Jangan salah, dalam dunia pengeleakan ada kode etiknya. Sebab tidak semua orang bisa melihat endih. Juga tidak sembarangan berani keluar dari tubuh kasar kalau tidak ada kepentingan mendesak. Peraturan yang lain juga ada seperti tidak boleh masuk atau dekat dengan orang mati. Orang ngeleak hanya shoping-nya di kuburan (pemuwunan). Apabila ada mayat baru, anggota leak wajib datang ke kuburan untuk memberikan doa agar rohnya mendapat tempat yang baik sesuai karmanya. Begini bunyi doa leak memberikan berkat :

Ong, gni brahma anglebur panca maha butha, anglukat sarining merta. mulihankene kite ring betara guru, tumitis kita dadi manusia mahatama. ong rang sah, prete namah.

Sambil membawa kelapa gading untuk dipercikan sebagai tirta. Nah, di sinilah ada perbedaan pandangan bagi orang awam. Dikatakan bahwa leak ke kuburan memakan mayat, atau meningkatkan ilmu. Kenapa harus di kuburan? Paham leak adalah apa pun status dirimu menjadi manusia, orang sakti, sarjana, kaya, miskin, akan berakhir di kuburan.

Tradisi sebagian orang di India tidak ada tempat tersuci selain di kuburan. Kenapa demikian? Di tempat inilah para roh berkumpul dalam pergolakan spirit. Di Bali kuburan dikatakan keramat, karena sering muncul hal-hal yang menyeramkan. Ini disebabkan karena kita jarang membuka lontar tatwaning ulun setra. Sehingga kita tidak tahu sebenarnya kuburan adalah tempat yang paling baik untuk bermeditasi dan memberikan berkat doa. Sang Buda Kecapi, Mpu Kuturan, Gajah Mada, Diah Nateng Dirah, Mpu Bradah, semua mendapat pencerahan di kuburan.

Di Jawa tradisi ini disebut tirakat. Leak juga mempunyai keterbatasan tergantung dari tingkatan rohani yang dipelajari. Ada tujuh tingkatan leak. Leak barak (brahma). Leak ini baru bisa mengeluarkan cahaya merah api. Leak bulan, leak pemamoran, leak bunga, leak sari, leak cemeng rangdu, leak siwa klakah. Leak Siwa klakah inilah yang tertinggi. Sebab dari ketujuh cakranya mengeluarkan cahaya yang sesuai dengan kehendak batinnya.

Setiap tingkat mempunyai kekuatan tertentu. Di sinilah penganut leak sering kecele, ketika emosinya labil. Ilmu tersebut bisa membabi buta atau bumerang bagi dirinya sendiri. Hal inilah membuat rusaknya nama perguruan. Sama halnya seperti pistol, salah pakai berbahaya. Makanya, kestabilan emosi sangat penting, dan disini sang guru sangat ketat sekali dalam memberikan pelajaran. Selama ini leak dijadikan kambing hitam sebagai biang ketakutan serta sumber penyakit, atau aji ugig bagi sebagian orang. Padahal ada aliran yang memang spesial mempelajari ilmu hitam disebut penestian. Ilmu ini memang dirancang bagaimana membikin celaka, sakit, dengan kekuatan batin hitam.

Ada pun caranya adalah dengan memancing kesalahan orang lain sehingga emosi. Setelah emosi barulah dia bereaksi. Emosi itu dijadikan pukulan balik bagi penestian. Ajaran penestian menggunakan ajian-ajian tertentu, seperti aji gni salembang, aji dungkul, aji sirep, aji penangkeb, aji pengenduh, aji teluh teranjana. Ini disebut pengiwa (tangan kiri).

Kenapa tangan kiri, sebab setiap menarik kekuatan selalu memasukan energi dari belahan badan kiri. Pengiwa banyak menggunakan rajah-rajah (tulisan mistik). Juga pintar membuat sakit dari jarak jauh, dan dijamin tidak bisa dirontgent di lab. Yang paling canggih adalah cetik (racun mistik). Aliran ini bertentangan dengan pengeleakan. Apabila perang, beginilah bunyi mantranya, ong siwa gandu angimpus leak, siwa sumedang anundung leak, mapan aku mapawakan segara gni…bla…bla…..

Ilmu Leak ini sampai saat ini masih berkembang karena pewarisnya masih ada, sebagai pelestarian budaya Hindu di Bali dan apabila ingin menyaksikan leak ngendih datanglah pada hari Kajeng Kliwon Enjitan di Kuburan pada saat tengah malam.

Sumber: Lontar Panestian: koleksi pribadi



=======

" sathyamvada dharmacara-sampaikan kebenaran dengan cara yang benar"

Friday, November 13, 2009

Apakah semua orang Kristen pergi ke Sorga?

Ditulis atas inspirasi dari kehidupan serta tulisan Stephen Knapp

Sebuah Pesan Agar umat Hindu tak Mudah Meninggalkan Agamanya



Kebanyakan orang Kristen merasa bahwa mereka pasti pergi ke sorga hanya karena mereka percaya bahwa Kristus mati untuk dosa mereka. Hal ini adalah salah satu prinsip-prinsip dasar Kekristenan, yang merupakan gagasan yang dicetus oleh Paulus.

Sebagai seorang keturunan Yahudi yang terlahir dan dibabtis sebagai seorang Kristen, Stephen Knapp dengan serius belajar Teologi Kekristenan selama 20 tahun dari hidupnya. Menurutnya, kebanyakan orang- Kristen berpikir, dan beberapa bahkan berkata, bahwa sekalipun mereka tidak bisa menghilangkan kebiasaan-kebiasaan mereka yang penuh dosa, yang harus mereka perbuat hanyalah percaya akan Yesus dan bahwa Yesus telah mati untuk dosa mereka, dan mereka akan diselamatkan. Hal ini sangat sederhana.

Maka ketika mereka membandingkan Kekristenan dengan agama-agama yang lain, mereka akan mengatakan bahwa agama Kristen adalah yang paling mudah dari pada agama lainnya. Terutama sekali mereka melakukan hal ini ketika berkhotbah pada pemeluk Hindu atau Budha untuk mengkonversi mereka menjadi Kristen. Namun, kepercayaan akan Yesus dan penyalibannya yang mendasari ajaran Kekristenan saat ini adalah suatu hal yang sangat kontroversial.

Tidak semua Injil-Injil yang beredar ketika Perjanjian Baru itu dikompilasi dan menyetujui bahwa penyaliban adalah satu tindakan tobat. Demikian juga jika anda benar-benar belajar tentang ajaran pemikiran elementer Yesus yang salah satu diantaranya adalah tidak membunuh dalam 10 ajaran Yesus. Tentunya hal ini adalah hal yang lebih sulit dari pada sekedar parcaya pada Yesus dan tentang penebusan dosanya.

Yang pertama orang perlu menyadari bahwa Yesus adalah seorang Yahudi yang pesan-pesannya terutama untuk orang-orang Yahudi. Dalam Matius (10.5-6), Yesus mengatakan kepada dua belas muridnya untuk pergi berkhotbah, tetapi bukan kepada orang non-Yahudi (nonjews), maupun kepada orang Samaria, tetapi pergi ke domba yang hilang di rumah di Israel. Hal ini menunjukkan kepada siapa pesannya disampaikan.

Demikian juga pada Matius (15.22-24), seorang wanita memohon kepada Yesus dan meminta kemurahan hatinya karena putrinya diganggu oleh setan. Tetapi Yesus berkata tidak satupun baik dia dan muridnya, yang adalah Yahudi, memintanya untuk mengutusnya pergi karena dia menangis. Jadi jelas bahwa Yesus datang ke dunia hanya untuk domba yang hilang dari Israel. Misinya hanya untuk membantu orang-orang Yahudi. Hanya karena permohonan yang sangat dari seorang ibu, Yesus akhirnya menyembuhkan putri si ibu tersebut.

Jadi ini juga menunjukkan bahwa minat utama Yesus ada Bangsa Yahudi; namun, Bangsa Yahudi sepenuhnya menolak Yesus. Mereka tidak menerima keilahian Yesus sebagai juru selamat. Dan ketika ia disalib oleh bangsa Roma, hal ini mengindikasikan bahwa Yesus bukanlah mesias yang digambarkan di dalam ramalan kitab-kitab suci Yahudi. Meskipun begitu, orang-orang non-Yahudi menerima doktrin Kekristenan dan sekarang percaya bahwa mereka akan diselamatkan oleh darah dari Kristus, yang merupakan konsep yang digagas oleh Paulus. Anda tidak akan menemukan ajaran ini sebelum Paulus menyisipkan pemikiran dan tulisannya sendiri ke dalam Kekristenan.

Apakah semua orang Kristen akan pergi ke sorga? Jika anda belajar dan memahami Perjanjian Baru, Yesus meninggalkan perintah spesifik yang harus diikuti sebagai pintu masuk ke sorga. Dalam Matius (10.37), Yesus berkata bahwa jika siapapun mencintai dirinya atau ayahnya, ibu, putra, atau putri lebih dari dirinya tidaklah pantas memilikinya. Dan dalam Matius (15.4), Tuhan memerintah agar seseorang harus menghormati ayah dan ibunya, dan ia yang menghinakan ayah atau ibunya harus mati. Jadi Anda harus menghormati orang tua anda, tetapi tidak lebih dari anda mengasihi Yesus atau anda tidak akan memperoleh sorga.

Yesus juga menjelaskan dalam Martius (12.36) bahwa setiap kata-kata bohong yang dikatakan manusia akan dihitung pada hari pengadilan nanti. Jadi anda juga harus menjaga mulut anda dari kebohongan dan gosip. Hal ini bukanlah hal yang mudah bagi sebagian besar orang. Kebanyakan orang yang mengaku Kristen yang saya kenal sama sekali tidak berusaha menahan kecenderungan ini. Lebih lanjut dalam Martius (16.23-28) Yesus menjelaskan bahwa setiap manusia harus mengekang dirinya dari keinginan atau kesenangan-kesenang an dan mengangkat salib dan mengikutinya jika dia benar-benar berkeinginan mencari kerajaan Tuhan. Hal ini tentu saja menunjukkan tidak saja keyakinan/keimanan yang harus dimiliki oleh orang Kristen, tetapi berapa banyak dia dapat mengekang dirinya dari nafsu dan keinginan dan mengangkat salib!

Dalam Matius (18.34-35), Yesus berkata bahwa Tuhan akan menghukum anda jika anda tidak mengampuni kesalahan setiap orang terhadap anda. Dan kembali pada Matius (25.35-46) kita menemukan bahwa diharapkan seorang Kristen yang baik harus memberi makan dan pakaian pada yang miskin, dan menerima tunawisma, meskipun mereka adalah orang asing, untuk sejumlah yang anda lakukan bagi mereka, anda juga melakukannya untuk Yesus. Dan jika anda mengabaikan seseorang, hal ini juga berarti anda mengabaikan Yesus, dan anda akan memperoleh hukuman kekal.

Sekarang kita dapat melihat bahwa persyaratan untuk bisa mencapai sorga tidaklah semudah yang dikira. Tetapi tunggu dulu, dalam Matius (19.20-30) dikatakan bahwa seorang manusia datang kepada Yesus dan ingin menjadi pengikutnya, tetapi Yesus berkata kepadanya agar pertama-tama menjual segala hal yang ia miliki dan memberikan uangnya kepada yang miskin. Namun, orang itu tidak bisa berbuat demikian dan dengan segera pergi. Yesus menjelaskan kepada murid-muridnya bahwa lebih sulit bagi orang kaya untuk dapat masuk sorga; adalah lebih mudah bagi seekor unta untuk melewati lubang jarum. Lalu muridnya menjadi kagum dan bertanya, dalam kasus ini, siapakah yang dapat diselamatkan? Yesus menjawab bahwa segala sesuatu mungkin bagi Tuhan, tetapi mereka yang sudah meninggalkan rumah, ayah, ibu, istri, anak-anak, atau harta miliknya, tekun dalam memuji nama-Nya akan mencapai kehidupan kekal. Sehingga kesimpulannya adalah jika anda tidak bisa mengubah pola pikir, pandangan dan tingkah laku anda, maka meski anda mengaku Kristen, anda tidak akan mencapai sorga atau kehidupan kekal di sisi Tuhan.

Demikian juga dalam Lukas (6.20, 24-30), Yesus berkata diberkatilah yang miskin, karena mereka akan mencapai Kerajaan Tuhan, dan celakalah yang kaya, celakalah mereka yang berlebihan karena mereka akan lapar, dan celakalah mereka yang tertawa sekarang karena mereka akan berdukacita. Anda harus mengasihi dan berbuat baik pada musuh-musuh anda dan mereka yang benci anda, berikan pipi kanan jika mereka menampar pipi kiri anda, jangan melarang siapapun untuk mengambil mantel anda, dan jangan meminta kebaikan anda akan dikembalikan oleh orang yang pernah anda tolong/beri. (Hal ini merupakan perbedaan yang sangat besar dibandingkan dengan tindakan kaum misionaris yang dengan semangat gospel-nya telah membunuh atau menyiksa siapa saja yang menolak untuk menjadi Kristen.)

Dalam Lukas (9.61-62), terdapat kisah tentang seorang laki-laki yang datang pada Yesus dan meminta untuk mengikutinya, hanya untuk mengucapkan selamat tinggal pada keluarganya. Tetapi Yesus menolaknya dan berkata bahwa tidak ada manusia, yang menaruh kepalanya pada bajak dan melihat ke belakang yang sesuai untuk Kerajaan Tuhan. Dan dalam Lukas (9.59-60), Yesus menyuruh seseorang untuk mengikutinya, tetapi orang itu meminta Yesus agar pertama-tama mengizinkan dia menguburkan jasad ayahnya. Namun, Yesus berkata biarlah orang mati menguburkan kematiannya sendiri, dan pergi berkhotbah tentang Kerajaan Allah.

Dalam Matius (5.21-22), Yesus menjelaskan bahwa jika seseorang membunuh orang lain maka ia pasti berada dalam bahaya penghakiman. Tetapi lebih lanjut dia menjelaskan bahwa menjadi marah pada orang lain tanpa sebab jelas juga akan berada dalam bahaya penghakiman. Dan dalam (Matius 5.20) terkecuali jika kebenaranmu sendiri melebihi ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, anda sama sekali tidak dapat masuk kedalam Kerajaan Tuhan.

Dengan demikian jelaslah bahwa tidaklah cukup mengatakan bahwa dengan dibaptis dan menyatakan diri sebagai Kristiani dan mempercayai Yesus sebagai Tuhan yang kematiannya di kayu salib sudah pasti akan membawa anda mencapai Surga. Masih terdapat hukum sebab akibat dan aturan-aturan lain yang diajarkan Yesus yang harus dilaksanakan.

Apa yang akan terjadi pada mereka yang tidak dapat mengikuti aturan standar Yesus sebagaimana yang dituliskan dalam Al-Kitab setelah mereka meninggal? Dalam Matius (13.41-42), Yesus berkata bahwa Tuhan akan mengutus para malaikatnya yang akan berkumpul ke luar segala sesuatu dan menyerang orang-orang yang kejahatan/kebengisan dan memasukkan mereka ke dalam suatu tungku perapian yang akan menjadi ratapan luar biasa dan mengertakkan gigi.

Jika semua aturan Yesus ini harus diikuti dengan sempurna, beserta dengan semua perintahnya agar semua orang Kristen mencapai surga, tungku perapian yang panas dan membara itu mungkin haruslah lebih besar. Tapi Tuhan seperti apakah yang tega membiarkan mahluknya menderita selamanya di neraka, karena kesalahan singkatnya di dunia? Apa lagi dalam teologi Kristen kehidupan hanya dikatakan sekali, dalam kehidupan satu kali ini seseorang harus sempurna untuk mencapai sorga, atau akan disiksa selamanya di neraka. Apa nilai dari hukuman ini sementara sang jiwa tidak pernah mendapat kesempatan untuk memperbaiki perbuatannya walaupun untuk kesempatan yang kedua kalinya? Kenapa Tuhan menciptakan mahluk hidup yang memang cenderung berbuat salah dan mengirim mereka ke neraka abadi jika tidak mengikuti aturan-aturannya, terutama dalam Al-Kitab dengan tepat?

Apakah Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang akan mengancam dan memeberikan teror terhadap mahluknya dengan Neraka abadi? Karena itu konsep Ketuhanan semacam ini perlu dipertanyakan karena hukuman yang diberikan tidak memberikan kesempatan untuk rehabilitasi, tetapi didasarkan oleh sikap kemarahan dan balas dendam. Kenapa Tuhan bisa seperti ini jika memang beliau adalah Yang Maha Pemurah, Pengasih dan penyayang? Kenapa Tuhan menghabiskan waktunya hanya untuk memunculkan tirani kemarahan dan balas dendam? Tentunya Beliau memiliki hal yang lebih baik daripada menyebar teror kemarahan dan tirani. Dan ketika kita lihat dalam konsepsi Veda, Tuhan dengan sifat-sifat- Nya sebagaimana digambarkan dalam kitab-kitab Purana, kita akan menemukan sangat banyak perbedaan dari apa yang diuraikan dalam kitab-kitab Abrahamik dan dengan sifat-sifat- Nya yang sangat mulia sebagaimana yang seharusnya dimiliki oleh yang maha mutlak.

Konsep Ketuhanan dalam Kristen adalah bahawa kita harus takut pada Tuhan. Hal ini ditunjukkan dalam kitab Keluaran (20.5) yang menyatakan Tuhan berkata bahwa Dia adalah Tuhan yang pencemburu. Hanya saja pada kenyataannya seseorang akan memperlihatkan kecemburuannya atau marah jika ia takut kalah, merasa lemah, sedang bersaing dengan orang lain atau tidak mendapatkan sebagaimana yang ia inginkan. Jadi kenapa Tuhan yang merupakan pencipta, penguasa dan pengatur segala sesuatu bisa menjadi pencemburu? Sifat-sifat pencemburu, kegelisahan, rasa tidak aman, marah atau sikap balas dendam adalah sikap yang bisa ditemukan pada kebodohan dan nafsu. Hal seperti ini seharusnya tidak menjamah Tuhan yang maha segalanya.

Dalam Bhagavad-gita (9.18), Sri Krishna berkata bahwa Dia adalah pencipta, dasar dari segala sesuatu, pendukung, tujuan, tempat perlindungan, tuan, dan juga sahabat. Hal ini menunjukkan pemahaman yang lebih mendalam tentang Tuhan. Secara alamiah, Dia harus dapat sebagai seorang kawan yang terhormat karena kita merupakan bagian dari energi spiritual-Nya.

Hal yang membuat seakan-akan terdapat kekuatan yang menentang Tuhan, sebagaimana setan yang dilukiskan dalam ajaran agama-agama Abrahamik hanyalah karena ketidaktahuan akan pengetahuan rohani yang sejati. Bagaimana Tuhan yang maha mutlak tidak mampu mengalahkan setan yang merupakan ciptaannya? Kenapa Tuhan sampai hati menguji ciptaannya dan menjebloskan mereka yang tidak kuat godaan ke neraka abadi selamanya? Kenapa Tuhan sibuk akan hal konyol seperti itu? Tidakkah Tuhan Maha Penyayang? Kalau ya, seharusnya Tuhan tidak menciptakan setan yang selalu mengoda manusia menjadi jahat, sehingga dengan demikian semua manusia menjadi baik dan bahagia dalam surga abadi. Kekonyolah dan Kesalahpahaman konsepsi seperti inilah yang harus diluruskan.

Tuhan tidak memiliki musuh, beliau menyayangi semua mahluk ciptaannya dan menurunkan kitab suci kepada kita sebagai panduan akan siapa diri kita yang sejati, dimana kebahagiaan yang abadi dan kemana hidup ini harus di arahkan! Veda sendiri melalui jalan bhakti menuntun kita untuk mengembangkan sikap cinta kasih dan bhakti kepada Tuhan. Anda tidak akan dapat menyayangi dan mencintai Tuhan jika anda takut dengan-Nya, ketakutan dan kasih sayang adalah suatu hal yang bertentangan. Oleh karena itu seseorang yang secara rohani menyayangi dan mencintai Tuhan, tidak akan pernah bisa menerima bahwa Tuhan sebagai sosok yang pemarah, pencemburu dan pendendam sebagaimana yang diuraikan dalam Alkitab maupun ajaran agama-agama Abrahamik lainnya.

Kenapa Tuhan marah dan cemburu pada kita jika memang benar Tuhan telah menciptakan hukum alam yang mengatur segala tingkah laku dan konsekuensi tindakan kita?

Semua mahluk hidup sejatinya adalah Atman/Jiwa yang merupakan bagian dari Tuhan dan diberikan kebebasan untuk merasakan kehidupan di alam material atau tetap di alam rohani. Tuhan sendiri melalui kitab suci sudah menjelaskan bagaiaman keadaan alam material ini, hanya saja sifat Jiwa yang pengen tahu menuntunnya untuk mencoba mengaruhi dunia material. Berkat kasih sayang dan keadilan-Nya, Tuhan memberikan sang jiwa fasilitas kehidupan dan dengan jenis kehidupan yang diinginkannya. Ada yang memilih badan manusia, ada yang memilih badan tumbuhan, binatang bahkan bakteri. Kenapa Jiwa tidak memilih badan manusia/dewa yang posisinya baik? Nah, kita tidak bisa mengatakan mana yang baik dan buruk disini, semuanya tergantung dari mindset anda. Karena anda manusia dan pernah membaca kitab suci, maka anda mungkin mengatakan bahwa manusialah yang paling baik, mungkin malaikat/dewa di sana akan berpikir bahwa merekalah yang paling baik, demikian juga dengan elien atau mahluk hidup lainnya akan berpikir kalau merekalah yang paling unggul.

Untuk menjamin keharmonisan 8.400.000 jenis kehidupan di alam material ini, Tuhan telah menetapkan hukum alam yang memberikan punishment atau reward secara adil dan atas cinta kasihnya selalu memberikan kesempatan rehabilitasi untuk setiap kesalahan ciptaannya lewat proses reinkarnasi.


Disarikan Oleh : Jro Mangku Shri Dhanu
=======
"Your Hand On Works But Your Heart On God "

Wednesday, November 11, 2009

Sasmita Narendra Nusantara ; GEMPA PADANG

Oleh : Tri Budi Marhaen Darmawan

Rabu sore 30 September 2009 jam 17.16 wib Ranah Minangkabau (Padang sekitarnya) digoyang gempa bumi yang menghancurkan dengan kekuatan 7,6 skala richter. Kejadian ini memakan begitu banyak korban jiwa baik yang tewas maupun luka-luka, dan entah berapa lagi yang masih belum diketemukan karena tertimbun puing-puing reruntuhan bangunan dan tanah longsor. Singkat kata, Padang luluh lantak dalam sekejap dan hingga kini meninggalkan kepedihan yang sangat memilukan. Kembali kenyataan ada di hadapan kita sebuah musibah tragis kembali terjadi dari sekian banyak rangkaian bencana yang melanda negeri ini sejak kejadian Tsunami Aceh di penghujung tahun 2004. Ada hakekat apa di balik ini semua ? Dalam kurun waktu ini apakah kita telah belajar dari segala musibah yang terjadi sebagai buah introspeksi diri ? Atau jangan-jangan kita telah terbiasa dengan segala musibah yang ada. Rasa empati, duka dan kesedihan hanya berlangsung selayang pandang untuk kemudian merasa biasa-biasa saja kembali tanpa ada hikmah bagi perubahan sikap moral kita ?

Kembali perlu digarisbawahi sebagai pengingatan kembali kita semua di dalam memandang kejadian-kejadian di hadapan kita. Sejatinya “Tidak ada yang namanya Kebetulan. Semua kejadian di dalam kehidupan ini sekecil apapun adalah merupakan Ketetapan yang Ditetapkan-Nya.” Segala apa yang terjadi pada diri dan juga di hadapan diri adalah merupakan Potret atau Citra diri, baik itu personal individu, keluarga, lingkungan masyarakat, institusi, bangsa atau negara, dan bahkan jagad dunia. Dalam hal ini lebih menunjuk kepada Potret atau Citra Batin yang merupakan Pancaran Batin. Karena yang bersifat lahir selalu dapat menipu daya, sedangkan sifat batin selalu apa adanya. Baik akan terlihat baik dan buruk akan terlihat buruk. Sesuatu yang lahir dapat didekati dengan yang lahir (tetapi nisbi). Namun batin tidak akan mampu didekati dengan yang lahir. Sebaliknya batin akan mampu mendekati dan menembusi baik yang lahir maupun batin (bersifat mutlak). Dan Batin inilah Sang Pemimpin Diri. Sehingga untuk tiap-tiap tingkatan lingkungan (jagad kecil – jagad besar) yang terpancar adalah Citra atau Potret “Sang Pemimpin”.

Gempa yang terjadi di Padang adalah Sasmita Nusantara. Padang dalam bahasa Jawa berarti “Terang atau Bercahaya.” Jika saat ini Padang hancur, maknanya tidak ada Terang alias Gelap. Bahkan dari kejadian akibat gempa itu merupakan gambaran Kegelapan yang memilukan dan menimbulkan berbagai kesulitan. Hari Rabu 30 September 2009 jam 17.16 wib dimana bencana itu datang, dalam perhitungan Jawa telah memasuki hari Kamis (Respati) Pahing 1 Oktober 2009, lambang wukunya (Julungwangi) adalah Betara Kala (letaknya Barat), Dasawaranya adalah Raja/pemimpin dengan lambang Sanghyang Rudra (menghancurkan), Paarasannya Lakuning Bumi, dan Pancasudanya adalah Lebu Katiup Angin (hidup serba kekurangan dan kesulitan, jauh dari keberuntungan).

Dan ingatkah kita bahwa tanggal itu merupakan hari Kesaktian Pancasila ? Ini merupakan bukti gambaran bahwa Burung Garuda sebagai pusaka negeri ini telah murka karena Pancasila sebagai “pedoman hidup” bangsa tidak ditegakkan di negeri Nusantara ini, bahkan telah disia-siakan dan disalahgunakan. Sehingga bangsa ini diibaratkan sudah tidak lagi memiliki pedoman hidup (bhs Jawa : Pepadang) dan artinya ada di dalam kegelapan. Seseorang dalam kegelapan karena tidak memahami hidupnya. Hidup sekedar hidup-hidupan (Jawa : Urip-uripan). Hidupnya hanya terjebak kepada rutinitas hidup yang lebih berorientasi lahiriah. Begitu pula yang terjadi pada bangsa di negeri ini (baca : Sasmita Narendra Nusantara – Mbah Surip dan WS Rendra). Pada akhirnya yang terasa adalah sangat jauh dari Ridho Allah Azza wa Jalla, karena telah “ditinggalkan” oleh Sang Maha Hidup.

Minang Kabau adalah melambangkan Tanduk Kerbau. Minang berarti taji yang tajam dan runcing. Dan kerbau adalah merupakan kendaraan dari Dewa Rudra, yaitu dewa penghancur. Ini berarti sasmita budak angon tengah menggiring 18 kerbau dari selatan ke utara mulai menjadi kenyataan. Selatan ke utara merupakan lambang yang gaib atau sirr menjadi wujud atau menampak. Angka 18 merupakan lambang 8 penjuru mata angin dan 1 adalah pancernya. Namun yang terdengar hanya suara gentanya saja. Hal ini bermakna seperti angin, dari mana dan kapan datang perginya kita semua tidak tahu. Setidaknya ada suatu gambaran dengan kehancuran yang terjadi di Ranah Minangkabau merupakan perlambang bahwa Kerbau-kerbau telah mengamuk memainkan tanduknya yang mematikan. Waspadalah.. Dan ini bermakna bahwa yang mampu mengendalikan kerbau-kerbau ini adalah “Budak Angon” (seperti yang tertulis di dalam Uga Wangsit Siliwangi : “orang sunda dipanggil-panggil.., orang sunda memberi ampunan..”).

Di balik kejadian ini dari semua uraian di atas mengandung suatu makna pesan pada bangsa negeri ini sama hakekatnya dengan kehadiran Nabi Isa di jamannya. “Barangsiapa percaya kepada Allah, ia tidak akan dihukum. Barangsiapa tidak percaya Allah, ia telah berada di bawah hukuman. Karena ia tidak percaya.. Inilah hukuman itu.. Terang telah datang ke dalam dunia. Tetapi manusia lebih menyukai kegelapan dari pada terang. Sebab perbuatan-perbuatan mereka jahat. Sebab barangsiapa berbuat jahat, membenci terang. Dan tidak datang kepada terang itu. Supaya perbuatan-perbuatan-Nya yang jahat itu tidak nampak. Tapi barangsiapa melakukan yang benar, ia datang kepada terang. Supaya jadi nyata bahwa perbuatannya dilakukan dalam Allah.”

Dan Gempa Padang merupakan lambang pesan yang menyiratkan bahwa “Terang” (Pepadang atau Cahaya Ilahiah) itu telah turun di bumi Nusantara ini guna menuntun dan memberi petunjuk bagi hamba yang sadar dan berada di jalan Kebenaran (wong kang eling lan waspada). Namun sebaliknya Cahaya Kasih Terang itu akan menyilaukan bahkan menghancurkan hamba-hamba sombong (Sumbar) yang berada di dalam Kegelapan.

Akhirnya dengan kejadian musibah Gempa Padang ada baiknya kita renungkan ayat-ayat yang menjelaskan maksud pesan kejadian itu, yaitu QS 16. An Nahl : 90 s/d 100, dan QS 10. Yunus : 93 s/d 103. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada para “Pemimpin” kita semua. Amin.

(Sang Raja Paksi “Garuda” telah turun ke bumi dari swargaloka menyusul sang majikan Sanghyang Ismoyo yang terlebih dahulu datang di Alas Sunyaruri. Namun kepakan sayapnya yang kuat meleburkan segala sesuatu yang dilalui. Saat ini Sanghyang Narayana telah berdiri tegak di tempatnya berpijak di tiga alam (tri loka) dengan membawa Kitab Suci di tangan kanan dan senjata Trisula Gana Suci di tangan kiri. Itulah tanda segala Pancer dari seluruh unsur telah menyatu dalam satu Kedhaton : Sri Bima Punta Narayana Mandura Suradipati.)

Selasa (Anggara) Pahing, 6 Oktober 2009

Sasmita Narendra Nusantara ; Mbah Surip dan WS Rendra

Oleh : Tri Budi Marhaen Darmawan


Mbah Surip (Urip Ahmad Riyanto) dan WS Rendra (Wahyu Sulaeman Rendra) merupakan bahasa alam (simbol) dg hakekat yg amat sangat tinggi utk bangsa ini. Sastra Jendra Hayuningrat, wujud karya SENI (SENtuhan rohaNI) yg dikumandangkan oleh kelompok SENIMAN Sejati negeri ini sbg manifestasi “SENtuhan rohaNI MANusia Sejati” di abad ini.

Bukti Tuhan Maha Pemurah dan Maha Kasih kpd semua hamba Nya. Tuhan Maha Adil menggunakan media pesan Nya yg dpt diketahui dan dikenali oleh segenap bangsa ini tanpa terkecuali. Bebas dari hijab atau sekat apapun. Sejatinya Sasmita Narendra ditujukan kepada para raja atau pemimpin (ulama dan umaro’) sebagai kritik membangun guna pembenahan implementasi kebijakannya dallm memimpin rakyat. Tapp tidak ada salahnya di era sekarang ini kita sebagai rakyat biasa berupaya mengenalinya. Karena para pemimpin di jaman ini sudah tidak lagi memiliki kearifan dalam kepedulian dan tanggap akan sasmita alam. Semua Petunjuk Tuhan berupa ayat-ayat suci yang tertulis di semua kitab suci dan ayat-ayat suci yang terbentang di alam nyata maupun gaib diperuntukkan bagi hamba-hamba Nya yg sadar (eling dan waspada) dan mau berpikir atau merenung.

Banyak hakekat yang bisa dibedah dari sosok seniman yang tengah besar namanya seperti Mbah Surip dan “raja seniman sastra/teater” WS Rendra yang telah besar namanya sejak dulu hingga kini. Yang pasti mereka sebagai sosok seniman melambangkan “Kebebasan Sejati”. Orang-orang yang ingin Merdeka dalam hidupnya, tidak terikat oleh apapun dan siapapun. Bahkan tidak ingin terjajah oleh segala penindasan dan bahkan hawa nafsunya sendiri.

Mereka adalah lambang orang-orang yang “Apa Adanya” dalam melakoni hidup. Yang mereka ekspresikan hanyalah “Keindahan” semata, baik yang tengah dirasakan maupun ingin dirasakan menjadi sebuah pengharapan. “Jamillun min jamalullah. Inallaha wa yahibuj jamal”. Segala keindahan adalah milik Tuhan, oleh karena Tuhan Maha Indah. Sampai-sampai demi sebuah keindahan yang ingin diungkapkan dan digapai, seringkali mereka melupakan dirinya. Ini nampak dari rambutnya yang dibiarkan panjang bahkan bergimbal.

Kalau meminjam istilah di dalam Tasawuf, semua yang melekat pada sosok “seniman sejati” adalah lambang “Ketawadhu’an” (rendah hati), Kezuhudan (tidak ingin diikat dan terikat dengan dunia), Qona’ah (menerima apa adanya), Jujur, Sabar dan Ikhlas, serta Istiqomah (setia dan konsisten menjalani jalan hidupnya).” Secara hakekat inilah yg menjadi harapan Tuhan kepada segenap hamba Nya tanpa terkecuali sesuai dengan titah dan kodratnya.

Semua itu ditujukan bagi “Kebahagiaan Hidup” agar terlepas dari jebakan kerusakan moral yang memuncak saat ini. Urip berarti Hidup. Ahmad (Muhammad) berarti Terpuji atau Beradab. Dan ini adalah hakekat Syahadat. Dzat yg menghidupkan segala dzat adalah Allah. Dan Muhammad (Nur Muhammad / Nur Ahmad) adalah segala apa yang tercipta dari Sabda Nya. Jika manusia mampu memahami hakekat Syahadat, lebih dari sekedar ucapan saja, maka Insya Allah akan mampu menemukan Kebahagiaan alias RIYANg To.., Enak to.., Mantep to.. Hidup Terpuji dan Beradab.. Karena mencapai kesadaran bahwa kita manusia ini sejatinya “digèndhong” oleh Hidup itu sendiri. Kalau sudah tidak “digèndhong” alias ditinggal pergi oleh Hidup, ya.. tidak ada sebutan.. alias “Mati”. Mati indrawi, mati hati, mati rasa, akhirnya mati raga menjadi mayat. Meninggalkan kesia-siaan, kebusukan, bahkan musibah bagi yang ditinggalkan. Beruntunglah Harimau mati meninggalkan kulit belangnya, dan Gajah mati meninggalkan gadingnya. Seperti halnya Mbah Surip dan WS Rendra yang mewariskan “Keberkahan” bagi yang ditinggalkan.

Perlambang ini lebih telak lagi karena kita disuruh mengingat dan merenungkan kisah Nabi Sulaeman dan Ratu Balqis. Singkat cerita dimana pada akhirnya Ratu Balqis sebagai lambang “hawa buruk” awalnya, kemudian tunduk kepada Nabi Sulaeman setelah menerima surat yang bertulis kata : “Bismillahirrohmanirrohim”. Setelah itu Ratu Balqis tersadar dari kezalimannya dan mengajak para pembesarnya untuk patuh dan berserah diri kepada Allah SWT. Dan yang lebih dalam tersirat dari hakekat sasmita/perlambang ini adalah bagi siapa saja yang mengabaikan atau menolak bahkan mengingkari pesan ini, maka resiko dan konsekuensinya adalah “tidak akan digèndhong” alias akan ditinggalkan “hidup sejati”nya. Kalau sudah begitu jadinya maka ya akan tersesat di jalan, dan merasakan ketidaknyamanan dari yang semestinya. Karena sejatinya kita ini semua hanya “numpang” hidup, numpang lewat dalam kehidupan di dunia ini. Orang Jawa bilang : “Urip mung sekedar mampir ngombé” (hidup hanya sekedar mampir minum). Jadi bisa dibayangkan jika kita meninggalkan atau melupakan kepada yang memberi tumpangan kita. Dlm hal ini Mbah Surip menawarkan diri untuk menggèndhong daripada kita naik ojek, taxi, dan pesawat sekalipun supaya tidak kesasar karena ditipu daya bahkan kedinginan. Jangan meremehkan Mbah Surip. Kenali dulu siapa Mbah Surip ? Jangan keburu kita terjebak melihat casing luarnya (sosok penampilan luar) untuk kemudian merendahkannya. Waspadalah.. Karena sejatinya Mbah Surip adalah hakekat lambang Urip atau Hidup yang menggèndhong kita selama ini kemana-mana. Haaa… Haaa… Haaa… Sadarkah kita ? Dan Mbah Surip hanya mampu tertawa menertawakan “kelucuan” polah tingkah manusia yang pada tertipu daya dan kesasar karena mengabaikan dan tidak mau memahami Mbah Surip.. èèhh.. HIDUP.. maksudnya.. Haaa… Haaa… Haaa…

( Luar biasa cara Eyang Semar atau Kaki Sabdo Palon dalam “bercanda” (guyon parikeno) menandai kehadirannya kembali di Tanah Jawa atau Nusantara (Jazirah al Jawi) ini pd tgl 5 Agustus 2009, hari Rabu (Buda) Kliwon (Syiwa), wuku Shinta, dan lambangnya Sanghyang Yamadipati (malaikat pati). Budak Angon tengah menggiring 18 Kerbau berjalan dari Selatan ke Utara. Dan yang terdengar hanya suara gentanya saja… Haaa… Haaa… Haaa… Tholé… Tholé… )

Senin (Soma) Kliwon, 10 Agustus 2009

Saturday, November 7, 2009

Jnana Punya 6

Irihati … Tembok Penghalang Kesuksesan


Hari itu adalah bulan purnama, langit sangat cerah, cahaya bulan menyapu sang rau menerangi alam samesta. Cahayanya yang lembut menyapa siapa saja yang menatap kepadanya. Binatang malampun ikut bersuka ria, kunang-kunang beterbangan saling berkejaran, menari membentuk lingkaran-lingkaran yang sedap di pandang mata. Jengkrikpun tidak mau ketinggalan berlomba melantungkan tembang-tembang yang membuat suasana malam itu begitu semarak.

Di dalam bale agung, Guru Jati sedang asyik berdiskusi dengan para muridnya. Mereka melanjutkan pembahasan enam tembok penghalang kesuksesan. Yang terdiri dari: Keinginan, Kemarahan, Loba, Bingung, Mabuk dan Iri Hati. Kelima dari enam tembok tersebut telah mereka diskusikan. Malam itu mereka mendiskusikan tembok yang ke-enam yaitu Irihati.

Seorang murid mengacungkan tangannya, “Salam sejahtera Guru (Om Swastyastu), pertama-tama perkenankanlah hamba mengungkapkan kegembiraan hamba telah berada di sini selama beberapa hari, mendengarkan wejangan-wejangan Guru, mengikuti disiplin/latihan pengendalian diri dan konsentrasi. Sungguh hamba sangat beruntung.

Hamba sangat tertarik dengan ungkapan guru bahwa, musuh yang paling hebat bukan di di luar diri, sesungguhnya mereka di dalam diri, untuk mengenalinya sangatlah sulit. Berarti hamba harus bisa mengenali diri hamba sendiri terlebih dahulu. Guru telah mengajari kami cara untuk mengenali diri sendiri dengan rajin melakukan komtemplasi, melakukan perenungan, instropeksi diri, mencintai diri sendiri, memperhatikan dengan seksama setiap proses dalam diri, datang dan perginya segala rasa seperti, takut, sedih, senang, marah, kesel, gembira, dll. Guru mengajari kami tentang enam tembok penghalang kesuksesan, secara detail telah guru jabarkan lima dari enam tembok tersebut, untuk melengkapi pengetahuan kami, mohon sudi kiranya Guru menjelaskan kepada kami tembok yang ke-6?

“Baiklah anakku.. tembok yang ke-6 adalah Irihati (Matsarya), Iri hati adalah suatu sifat yang tidak senang melihat kelebihan/rejeki yang didapat oleh orang lain dan cenderung berusaha untuk menyainginya. Sifat ini ada pada diri manusia. Kalo tidak dikendalikan akan merusak kehidupan sosial dan menjadi racun dalam diri. Orang yang dikuasai oleh sifat Iri hati tidak akan tenang melihat kesuksesan orang lain.

Kita harus menyadari bahwa sebagai manusia pasti ada kelebihan dan ada kekurangan, setiap orang tidak lepas dari suka dan duka, rejeki dan penyakit. Tidak setiap orang mendapatkan rejeki pada waktu dan jumlah yang sama.

Sesuai dengan hukum karma, Apapun yang dilakukan akan mendatangkan hasil. Bila Ananda rajin melakukan hal-hal yang baik (berfikir, berkata dan bertindak) maka hanya kebaikan yang akan ananda peroleh baik berupa rejeki, pekerjaan, harta, teman, kemasyuran/nama baik, martabat, dll. Sebaliknya bila ananda rajin menuai hal-hal yang buruk, jangan pernah heran dengan keburukan yang menghampiri, musibah, petaka, penyakit, penghinaan, kehilangan teman/saudara, kehilangan martabat/kedudukan.

Menyadari bahwa setiap orang memetik karmanya sendiri artinya dia mendapat rejeki lebih baik dari kita karena usaha yang dilakukannya, entah yang kita saksikan atau yang kita tidak saksikan. Demikian pula kadang kita mendapatkan rejeki lebih karena usaha kita, janganlah sombong.

“Guru yang kami muliakan, dalam kehidupan ini seringkali dia datang tiba-tiba tanpa bisa kita control, bila mana Irihati itu datang muncul pada diri kami, apa yang harus kami lakukan, seperti yang kita ketahui bersama kekuatan energi yang dilahirkan oleh iri hati ini cukup besar…?”

“Ananda benar sekali, kekuatan yang lahir dari sifat iri hati ini besar, kekuatan ini bisa kita manfaatkan untuk kemajuan kita. Rubah energi negative produk irihati menjadi energi perubah menuju kemajuan. Dengan menggali potensi diri, kenali diri dengan baik, apa kelebihan dan kekuranganmu. Management modern memperkenalkan SWOT Analysis. SWOT = Strength (kekuatan/kelebihan), Weakness (Kelemahan/kekurangan), Opportunity (kesempatan) dan Threats (Tantangan/Rintangan).

Mengasah kelebihan, memanfaatkannya untuk meningkatkan produktifitas, mengurangi atau menghilangkan kelemahan dengan belajar, pelatihan, diskusi, dll. Memanfaatkan setiap kesempatan yang datang. Menciptakan kesempatan-kesempatan dengan memperbanyak usaha misalnya; melalui media masa, media elektronik, kampus, teman, datang langsung ke tempat-tempat yang memungkinkan untuk memberikan kesempatan. Sehingga rejeki, nama baik/kedudukan, teman akan menjadi teman setia, seperti kodok, burung, capung, yang mendatangkan dirinya ke telaga yang jernih…”

Ananda sekalian, bila hati kita riang, canda, tawa, nyanyian akan muncul dengan sendirinya. Apakah ananda sedang senang hari ini…?

“Tentu saja guru…” Jawab para murid serempak seperti ada yang memberikan komando.

“Bagaimana kalo kita bernyanyi…?
“Setuju…….”

“Ananda sejak jaman dahulu pabila orang itu senang dia akan bernyanyi, baik dalam hati ataupun bernyanyi keras-keras. Nyanyian juga kadang digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan moral, jangan heran ananda akan temukan hampir diseluruh bumi persada ini,
para tetua kitapun dahulu kala mengingatkan kita melalui lagu/tembang macapat, marilah kita lantunkan kembali tembang sinom dalam bahasa Bali:

Dabdabang dewa dabdabang
Mungpung dewa kari alit
Melajah ningkahang awak
Dharma Patute Gugonin
Eda pati iri hati
Duleg teken anak lacur
Eda bonggan teken awak
Lagute kaucap ririh
Eda sumbung
Manyumbungang awak bisa

Artinya:

Anakku persiapkanlah dirimu
Selagi usiamu masih muda
Belajarlah membawa diri
Ajaran Kebenaran/Kesucian/Agama itu yang patut dipercaya
Jangan sekali-sekali Ananda Irihati
Kurangajar pada fakir miskin
Jangan terlalu bangga pada diri sendiri
Oleh karena Ananda telah dikatakan pandai/cerdas
Jangan sombong
Menyombongkan diri telah mampu.

Dengan berakhirnya tembang macapat (sekar alit) pupuh sinom ini, berakhirlah uraian tentang enam tembok penghalang kesuksesan, semoga karya kecil ini memberikan maanfaat bagi mereka yang menyempatkan diri untuk membaca. Apabila ada kata yang tidak berkenan itu murni karena kelemahan penulis, pabila ada kata yang bermanfaat itu adalah anugrah Hyang Maha Agung Tuhan Yang Maha Esa.

Ruwais – Abu Dhabi, 07 November 2009

Made Mariana

Friday, November 6, 2009

PENCIPTAAN JAGAT RAYA MENURUT HINDU DAN RESPON TERHADAP TEORI-TEORI ILMIAH BARU

Oleh : Jro Mangku Shri Dhanu


“In the beginning, there was but the Absolute Self alone.
Nothing else was. Brahman willed, Let me create the world”

Aitareya Upaniṣad I.1.1.



Pendahuluan

Teori tentang penciptaan jagat raya bersumber kepada kitab suci Veda dan susastra Hindu. Kitab suci Veda merupakan wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang terdiri dari kitab Ṛgveda, Yajurveda, Samaveda dan Atharvaveda. Masing-masing kitab itu disebut Samhita dan keempatnya disebut Catur Veda Samhita. Masing-masing Samhita tersebut memiliki kitab-kitab Brahmana, Aranyaka dan Upaniṣad yang jumlahnya cukup banyak. Seluruh kitab-kitab tersebut digolongkan ke dalam kitab-kitab Sruti atau wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Kitab-kitab Upaniṣad juga disebut kitab-kitab Vedānta atau bagian akhir yang merupakan semacam kesimpulan atau intisari Veda.

Di samping sumber utama tersebut di atas, sumber lainnya adalah kitab-kitab yang digolongkan ke dalam kitab-kitab susastra Hindu, yaitu kitab-kitab Itihasa seperti Ramayana dan Mahabharata, juga kitab-kitab Purāṇa yang jumlahnya sebanyak 18 buah. Kitab-kitab tersebut menguraikan tentang penciptaan alam semesta, makhluk hidup di dalamnya dan bagaimana proses penciptaan tersebut terjadi. Khusus kitab-kitab Purāṇa, sampradaya atau kelompok keagamaan Hindu Vaiṣṇava memasukkannya ke dalam kitab Veda atau sruti, yakni wahyu Tuhan Yang Maha Esa dan meyakini mahārṣi Vyasa sebagai penyusun kitab-kitab tersebut juga sebagai avatara-Nya (Penjelmaan Tuhan Yang Maha Esa).


Penciptaan menurut kitab suci Veda

Di dalam kitab suci Veda terdapat dua Sūkta (himne) yang secara khusus menguraikan tentang penciptaan jagat raya yang dikenal dengan sebutan Nasadiyasūkta dan Puruṣasūkta. Yang pertama menjelaskan asal atau kejadian alam semesta dan yang kedua merupakan dasar filosofis Veda yang menyatakan bahwa segala sesuatunya berasal dari Yajña, yakni pengorbanan Tuhan Yang Maha Esa yang mesti diikuti oleh umat-Nya sebagai usaha untuk menjaga kelangsungan dan harmoni alam semesta. Berikut dikutipkan terjemahan Nasadiyazūkta (Terjadinya Alam Semesta)(Ṛgveda X.129.1-7) tersebut.

‘Pada waktu itu, tidak ada mahluk (eksistensi) maupun non makhluk (non eksistensi); pada waktu itu tidak ada atmosfir dan juga tidak ada lengkung langit di luarnya. Pada waktu itu apakah yang menutupi, dan di mana ? Airkah di sana, air yang tak terduga dalamnya (1)’

‘Waktu itu, tidak ada kematian, pun pula tidak ada kehidupan. Tidak ada tanda yang menandakan siang dan malam. Yang Esa bernafas tanpa nafas menurut kekuatannya sendiri. Bernafas menurut kekuatan-Nya sendiri. Di luar Dia tidak ada apa pun juga (2)’

‘Pada mula pertama kegelapan ditutupi oleh kegelapan. Semua yang ada ini adalah keterbatasan yang tak dapat dibedakan. Yang ada waktu itu adalah kekosongan dan yang tanpa bentuk. Dengan tapas (tenaga panas) yang luar biasa lahirlah kesatuan yang kosong (3)’

‘Pada awal mulanya keinginan menjadi bermanifestasi. Yang merupakan benih awal dan benih semangat. Para Ṛṣi setelah meditasi dalam hatinya menemukan dengan kearifannya hubungan antara eksistensi dan non eksistensi (4)’

‘Sinar-Nya terentang ke luar, apakah ia melintang, apakah ia di bawah atau di atas. Kemudian ada kemampuan memperbanyak diri dan kekuatan yang luar biasa dahsyatnya, materi gaib ke sini dan energi ke sana (5)’

‘Siapakah yang sungguh-sungguh mengetahui dan memapar-kannya di sini, dari manakah datangnya alam semesta yang menjadi ada ini? Orang-orang bijaksana lebih belakang dari ciptaan alam semesta ini, karena itu siapakah yang mengetahui dari mana munculnya (ciptaan) ini (6)’

‘Sesungguhnya Dia yang telah menciptakan alam semesta ini, serta mengendalikannya (di dalam kekuasaan-Nya). Dia yang mengawasi alam semesta ini berada di atas angkasa yang tak terhingga, sesungguhnya Dia mengetahui alam semesta ini seluruhnya dan Wahai Manusia! Janganlah mengakui eksistensi lain yang mana pun sebagai Pencipta alam semesta ini (7)’

Dari terjemahan mantram Ṛgveda di atas dapat diketahui pandangan yang mendasar tentang misteri dari alam semesta ini. Sūkta di atas menjelaskan tentang asal alam semesta dan Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan asal dari alam semesta tersebut. Sūkta pertama menjelaskan bahwa pada mulanya adalah kosong, tidak ada apa pun benda material. Sūkta kedua menjelaskan eksistensi Tuhan Yang Maha Esa yang bernafas dengan kekuatan-Nya sendiri. Sūkta ketiga menjelaskan bahwa pada mulanya adalah kekosongan, tidak ada sesuatu apa pun dan tanpa bentuk. Disebutkan pula dari pada-Nya tenaga panas (energi) muncul yang merupakan proses awal penciptaan. Dari keinginan-Nya muncul penciptaan dan hal ini dapat diketahui oleh para Ṛṣi yang bermeditasi kepada-Nya (Sūkta 4). Sūkta kelima menjelaskan terciptanya benih-benih kehidupan. Sūkta keenam dan ketujuh menjelaskan terjadinya alam semesta.

Klaus K. Klostermaier (1990:110) mengemukakan beberapa kata kunci untuk memahami proses penciptaan menurut Nasadiyasūkta di atas, yaitu: tapas, panas, kekuatan seorang Yogi (Ṛṣi) yang disebut sebagai yang bertanggung jawab pertama dalam proses penciptaan. Kama, keinginan atau dorongan nafsu (keinginan untuk mencipta) yang menyebabkan keserbaragaman dan yang melekat dalam ketidakabadian. V. Madhusudan Reddy (1991:186) menyatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa dengan kekuatan-Nya yang sangat unik dengan pemusatan pikiran, mewujudkan kekuatan anima (salah satu kekuasaan-Nya menjadikan diri-Nya sangat halus tidak tertangkap oleh indra penglihatan) menciptakan dunia dan alam semesta yang tidak abadi dan berbagai keserbaragaman. Tuhan Yang Maha Esa mengejawantah dalam berbagai hal, dan juga menjadi dasar yang mengatur semua, menyatukan dan mengharmonisasikannya, seperti dinyatakan dalam terjemahan mantra Ṛgveda V.81.2 berikut:

‘Tuhan Maha Pencipta, Yang memancarkan cahaya-Nya dalam berbagai wujud, dan yang selalu menganugrahkan kebajikan kepada semua ciptaan-Nya. Yang Maha Bercahaya menerangi jagat raya, sorga, dan selalu bercahaya di luar Fajar’.

Tuhan Yang Maha Esa yang memancarkan cahaya gemerlapan, menyinari segalanya dan memberikan kesadaran kepada alam semesta. Ia adalah api kedevataan, maha mengetahui dan merupakan nafas hidup dari jagat raya, yang tanpa batas, yang kekuatan tapa-Nya tiada habisnya, bagaikan mentega dan nektar keabadian. Lebih jauh di dalam Ṛgveda III.26.7 dinyatakan bahwa:

Segala sesuatunya merupakan ekspṚṣi pancaran Cahaya dari segala cahaya. Ia yang muncul dari keadaan Gelap (Malam Brahma). Ia yang sangat mengagumkan, Ia yang membentang sangat jauh dan mengejawantahkan diri-Nya.

Di dalam Ṛgveda I.113.1 dinyatakan bahwa alam semesta sebagai Wujud Yang Agung (Supreme Form). Hal tersebut merujuk kepada tiga kondisi Yang Maha Suci, yaitu status caratham, jagatas tasthusas dan amritam martyam, yakni yang tidak bergerak dan kekal abadi dan yang berubah-ubah, yang tidak terbatas dan yang terbatas, dan yang hidup abadi dan yang fana (Reddy, 1991:188).

Demikian pula dinyatakan bahwa kekuatan aktif yang bersinar terang benderang merupakan kuasa Tuhan Yang Maha Esa, bermanifestasi melalui hukum-Nya yang abadi, tercipta bersama dengan kausa material alam semesta, dari sana malam (sesudah alam tercipta berlangsung) diciptakan. Dari sana pula samudra atmosfir yang mengandung prinsip-prinsip kosmik menjadi terwujud (Ṛgveda X.190.1).

Berdasarkan uraian singkat di atas dapat dinyatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa melalui kekuatan tapas, memancarkan energi (cahaya) dari kegelapan yang pekat dan kosong, kemudian atas kehendak-Nya berlangsung proses penciptaan yang berasal dari energi atau cahaya-Nya yang maha dahsyat tersebut.

Tentang penciptaan alam semesta lebih jauh dinyatakan dalam Puruṣasūkta (Yajña Tuhan Yang Maha Esa) (Ṛgveda X.90.1-16) yang terjemahannya dikutipkan sebagai berikut:

‘Puruṣa (Manusia Kosmos) berkepala seribu, bermata seribu, berkaki seribu, memenuhi jagat raya, pada semua arah, mengisi seluruh angkasa (1)’

‘Sesungguhnya Puruṣa adalah semua ini, semua yang ada sekarang dan yang akan datang, Dia adalah raja keabadian yang terus membesar dengan makanan (2)’

‘Demikian hebat kebenarannya. Dan Puruṣa bahkan lebih besar dari ini. Semua wujud ini adalah seperempat dari diri-Nya. Tiga perempat lagi adalah keabadian ada di sorga (3)’

‘Tiga perempat dari Puruṣa pergi membubung jauh. Seperempat lagi lagi berada di alam ini yang berproses terus menerus berselang-seling dalam berbagai wujud yang bernyawa dan yang tidak bernyawa (4)’.

‘Dari Dia Viraj (Dia Yang Bercahaya) lahir dan dari Virāj Dia kembali. Segera setelah Dia lahir Dia mengembang ke seluruh penjuru, mengembang mengatasi alam semesta (5)’

‘Ketika para Dewa mengadakan upacara kurban dengan Puruṣa sebagai persembahan, maka minyaknya adalah musim semi, kayu bakarnya adalah musim panas dan sajian persembahannya adalam musim gugur (6)’

‘Mereka mengorbankan sebagian korban pada rumput. Puruṣa yang lahir pada awal kejadian alam semesta. Pada Dia para Dewa dan semua Sadhya dan para Ṛṣi mempersembahkan kurban (7)’

‘Dari korban Puruṣa dipersembahkan keluarlah dadih dan mentega yang sudah bercampur. Kemudian Dia jadikan binatang-binatang yang padanya berbeda. Baik binatang buas maupun binatang jinak (8)’

‘Dari korban Puruṣa yang dipersembahkan, Ric (Ṛgveda) dan Sama (Samaveda) muncul. Dari Dia lahirnya metrik. Dari Dia lahirnya Yajus (Yajurveda) (9)’

‘Dari Dia lahirlah kuda dan binatang apa saja yang mempunyai gigi dua baris. Sapi lahir dari Dia. Dari Dialah lahirnya kambing dan biri-biri (10)’.

‘Ketika mereka menjadikan Puruṣa persembahan, menjadi berapa bagiankah Dia? Dan apakah mereka sebut paha kaki-Nya? (11)’

‘Dari mulut-Nya muncul Brahmana, dari lengan-Nya muncul Rajanya (Ksatriya), dari paha-Nya muncul Vaisya, dan Sudra muncul dari kaki-Nya (12)’

‘Bulan muncul dari pikiran-Nya, matahari dari mata-Nya, Indra dan Agni muncul dari mulut-Nya, dan Vayu dari nafas-Nya (13)’.

‘Dari pusar-Nya cakrawala ini muncul, dari kepala-Nya muncul langit, dari kaki-Nya muncul bumi, dari telingap-Nya lahir keempat penjuru mata angin, demikianlah Dia membentuk alam semesta ini (14)’.

‘Tujuh pagar kelilingnya upacara korban itu, tiga kali enam potong kayu bakar disiapkan, ketika para Dewa mempersembahkan upacara itu yang menjadikan Puruṣa sebagai kurban (15)’

‘Dewa-dewa dengan mengandakan upacara korban memuja Dia (Manusia Kosmos) yang juga merupakan upacara korban itu. Dia yang agung mencapai sorga yang mulia tempat para Sadhyas, Dewa-Dewa zaman dahulu (16)’

Puruṣasūkta adalah sebuah Sūkta (himne) yang menjelaskan kondisi sebelum penciptaan dan pengejawantahan-Nya. Kondisi tersebut merupakan dua kondisi berubah dan kekal abadi, jagatas tasthusas. Hal tersebut merupakan proses abadi yang dari padanya Ia Yang Tidak Terbatas menjadi terbatas. Sūkta tersebut merupakan perubahan bentuk yang direncanakan dari Wujud Manusia Tertinggi (Supreme Person) dan proses terciptanya alam semesta. Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Sempurna dikenal oleh para mahārṣi (orang-orang suci). Mereka menggambarkan Tuhan Yang Maha Esa sebagai Yang Bercahaya seperti cahaya ribuan matahari, yang terletak di samping Kegelapan. Pengetahuan tentang Tuhan Yang Maha Tunggal, dinyatakan oleh para mahārṣi yang membebaskan pencari kebenaran dari segala keterikatan dan menjadikannya kekal abadi (Reddy, 1991: 175).

Puruṣa bukanlah semata-mata Manusia Kosmos, tetapi juga merupakan aspek personal dari seluruh realitas. Konsep manusia meliputi esensi hubungan internal. Segala sesuatunya merupakan bagian dari Yang Esa dan unik yakni Puruṣa. Dari Puruṣa, Viraj, emanasi kedewataan yang pertama menampakkan diri dan berproses. Makhluk yang tidak terciptakan, yang keberadaan-Nya berfungsi sebagai media dalam proses penciptaan, meningkatkan dan juga turun kepada semua makhluk, dan juga kepada keseluruhan aktivitas, Dia juga mengandung aspek feminin, tidak hanya dalam kaitannya dengan gender, tetapi juga dalam hukum-Nya (Panikkar, 1989:73).

Menurut Puruṣasūkta di atas, Tuhan Yang Maha Esa sendiri yang mengorbankan diri-Nya untuk menciptakan jagat raya ini, yang penampakkan-Nya di alam semesta dalam wujud materi hanya seperempat bagian sedang tiga perempat lainnya tidak terjangkau oleh umat manusia.

Seluruh jagat raya berasal dari pada-Nya melalui Viraj, proses alam semesta dan segala isi di dalamnya berlangsung. Proses penciptaan (sristi atau utpati) dan pemeliharaan (stiti) alam semesta ini berlangsung selama Tuhan Yang Maha Esa menghendakinya dan tentunya juga akan berakhir ketika Dia menghendakinya pula.

Proses tercipta, terpelihara, dan peleburan (pralaya) kembali alam semesta berserta seluruh isinya disebut Trikona, tiga titik kulminasi yang berlangsung terus. Proses tersebut juga dinamakan lila atau krida Tuhan Yang Maha Esa. Menurut A.L.Basham (1992:3240 motivasi penciptaan seperti tersebut, yakni berupa lila atau krida dari Jiwa Alam Semesta dapat dianalogikan dengan hasil karya seni yang muncul dari pikiran seorang artis.

Di samping mantra-mantra tentang peenciptaan seperti telah disebutkan di atas terdapat juga mantra yang menjelaskan tentang bibit abadi berupa telur berwarna keemasan (Hiranyagarbha) yang kemudian dari pada-Nya terciptalah seluruh jagat raya seperti dinyatakan dalam Ṛgveda X.121.1 berikut:

Pada awalnya terlahirlah Hiranyagarbha, Dia yang demikian menunjukkan eksistensinya, menjadi raja dari semua makhluk, Dia yang menyangga bumi dan sorga.

Di dalam kitab suci Veda dijelaskan tentang awal penciptaan alam semesta ini dan yang pertama eksis adalah Tuhan Yang Maha Esa sendiri, kemudian menjadikan diri-Nya sendiri sebagai Yajna dan kemudian berpikir “aham bahu syam”, “Saya ingin menciptakan yang banyak”. Sejak saat itu mulailah penciptaan alam semesta. Pertama-tama tercipta air. Di sanalah telur Hiranyagarbha berada. Telur itu kemudian pecah menjadi dua bagian, yaitu satu bagian menjadi bumi dan bagian yang lain menjadi angkasa. Segala proses penciptaan alam semesta baru dimulai setelah telur yang mengandung air itu pecah (Somvir, 2001:34-35).

Berdasarkan kutipan terjemahan mantra-mantra Veda di atas, maka penciptaan alam semesta menurut kitab suci Veda dimulai dengan tapas yang memancarkan cahaya (energi), selanjutnya Tuhan Yang Maha Esa berkehendak dan melaksanakan Yajña dan yang terakhir dari pada-Nya pula lahir bibit berupa telur keemasan (Hiranyagarbha) yang di alam semesta tampak plenet-planet yang demikian banyak jumlahnya berwujud sebagai telor dan berwarna keemasan.


Penciptaan menurut kitab-kitab Upaniṣad (Vedānta)

Seperti disebutkan di atas, kitab-kitab Upaniṣad juga disebut sebagai sruti (wahyu Tuhan Yang Maha Esa). Kitab-kitab Upaniṣad juga disebut kitab-kitab Uttara Mimaýúa atau Vedānta yang kemudian berkembang menjadi sistem filsafat yang artinya akhir dari Veda (vedasya antah), kesimpulan maupun tujuan Veda (Radha- krishnan, 1990:24). Di dalam kitab-kitab Upaniṣad, kata yang dipergunakan untuk mengartikan Yang Nyata Maha Tinggi, Ma Pencipta adalah Brahman. Kata ini berasal dari akar kata brh yang berarti berkembang, timbul atau muncul ke mana-mana. Kata turunannya berarti meluap ke luar, berbuih ke luar, perkembangan yang tidak habis-habisnya, brihattvam. Menurut Sankara, Brahman berasal dari akar kata brihati, melampaui, atisayana, kebadian, murni. Menurut Madhva, Brahman adalah oknum yang seluruh sifatnya ada dalam kesempurnaan, brihanto hy asmin gunah. Yang nyata bukanlah suatu abstraksi yang redup, melainkan sangatlah hidup dan dengan vitalitas yang kuat (Radhakrishan, 1990:52).

Di dalam Brihadaranyaka Upaniṣad (II.1.1-20) dinyatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta semua makhluk. Itulah sesungguhnya yang harus dimengerti. Brahman adalah Satyasya Satyam. Yang Nyata dari Yang Nyata, sumber dari semua benda-benda yang ada. Di dalam Katha Upaniṣad (II.50) dinyatakan bahwa api setelah memasuki alam semesta mengambil semua bentuk. Di dalam Chandogya Upaniṣad (VI.8.4) dinyatakan bahwa api yang muncul pertama dari Makhluk Pertama, dan dari api muncullah air, dari air muncullah tanah. Pada saat peleburan kembali, tanah dilebur pada air, air pada api, dan api pada Makhluk Pertama.

Mandukya Upaniṣad menyatakan bahwa Brahman adalah catus-pat, berkaki empat atau memiliki empat azas, yaitu: Brahman (Impersonal), Isvara (Personal), Hiranyagarbha (bibit seperti telur berwarna keemasan yang melahirkan Brahmanda-Brahmanda, telor-telor Brahman atau planet-planet di alam raya) dan Viraj (energi yang bercahaya). Radhakrishnan (1990:65) menyatakan adanya empat macam status dari Yang Nyata Abadi, yaitu (1) Brahman Yang Mutlak, (2) Isvara, yakni Jiwa yang berkemampuan (Creative Spirit), (3) Hiranyagarbha (Jiwa alam semesta), dan (4) Alam Semesta.

Dalam perkembangan selanjutnya ketika kitab-kitab Upaniṣad dirumuskan menjadi sebuah sistem filsafat yang dikenal dengan nama Vedānta, maka muncullah kitab Vedāntasara atau Vedāntasutra yang disusun oleh mahārṣi Vyasa. Kitab ini diduga sudah ada sebelum 5.000 tahun yang lalu. Sekitar 5.000 tahun yang lalu muncul kitab Srimadbhagavatam atau Bhagavata Purāṇa yang memberi ulasan terhadap Vedāntasutra. Setelah itu kitab ini dijelaskan oleh beberapa acarya atau guru-guru suci.

Ulasan Sankaracarya (sekitar abad delapan Masehi), merupakan ulasan dari perguruan impersonal dan monistik (advaita).

Ulasan Ramanujacarya (sekitar abad sebelas Masehi) dari perguruan keesaan khusus (vasistadvaita).Ulasan Nimbarkacarya (sekitar abad dua belas sampai empat belas Masehi) adalah ulasan keesaan dan dualisme (dvaitadvaita) dan

Ulasan Madhvacarya (abad tiga belas Masehi) adalah perguruan dualisme (Bhaktisvarupa, 2003:4).

Menurut Bhaktisvarupa Damodara Svami (2003:35) Vedānta merupakan bentuk risalat ilmiah dan keagamaan yang paling maju dari warisan kultural dan spiritual India. Makna dasar dari kata Vedānta adalah pengetahuan kebenaran yang tertinggi. Vedānta tidak hanya merujuk kepada Vedāntasutra melainkan juga kepada semua pustaka Veda, yang menjelaskan kesimpulan-kesimpulan dari Veda, khususnya Bhagavadgìtā, Srimadbhagavatam, kitab-kitab Upaniṣad, dan lain sebagainya.

Di dalam sutra (aforisme) 1.1.2 dari Vedāntasutra dinyatakan: janmadyasya yatah, yang terjemahannya adalah: Brahman, Kebenaran Mutlak atau Tuhan Yang Maha Esa adalah yang dari Siapa penciptaan, pemeliharaan, dan peleburan alam semesta ini berasal. Secara singkat dapat dinyatakan Tuhan Yang Maha Esa adalah pencipta, pemelihara dan pelebur alam semesta.

Perwujudan alam semesta ini sebagai energi material dipisahkan dengan Tuhan Yang Maha Esa melalui Kala, waktu yang merupakan segi impersonal Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan Yang Maha Esa adalah sumber asli dan sebab dari segala sesuatu sarva karana karanam. Dalam Bhagavadgìtā (X.8), Tuhan Yang Maha Esa, Sri Krisna memberi tahu Arjuna, teman dan penyembah-Nya, “Akulah sumber dari semua dunia spiritual dan material. Segala sesuatu memancar dari-Ku (Bhaktisvarupa, 2003:52).



Penciptaan menurut kitab-kitab Purāṇa

Isi pokok kitab-kitab Purāṇa umumnya dikenal dengan Pancalaksana, yang terdiri dari: (1) Sarga (ciptaan alam semesta yang pertama/yang sangat halus), (2) Pratisarga (penghancuran dan penciptaan kembali alam semesta), (3) Manvantara (masa dan perubahan Manu-Manu pada setiap masa), (4) Vamsa (cerita dinasti raja-raja yang berkuasa di bumi, dan (5) Vamsanucarita (dinasti raja-raja & Ṛṣi-Ṛṣi dan raja yang akan datang). Dalam uraian ini dibatasi hanya pada sarga dan pratisarga sebagai berikut.

1) Sarga (ciptaan alam semesta yang pertama/yang sangat halus)

Sarga adalah (proses) penciptaan (yang halus) berupa lima unsur (Panca Mahabhuta), obyek-obyek indriya, organ indriya dan pikiran, ego (ahamkara) dan prinsip kecerdasan kosmik (mahat), selanjutnya terganggunya keseimbangan dari sifat-sifat alam (guna/bhuta-matendriya-dhiyam janmasarga udaritah).

Di kitab-kitab Purāṇa yang lain digambarkan sebagai “evolusi mahat, karena terganggunya keseimbangan Triguna selanjutnya mendorong yang tidak termanifestasikan, avyakrita, yakni unsur materi yang pertama atau Prakriti), dari tiga lapis Ahamkara (keakuan dari Mahat) dan (tiga lapis Ahamkara) dari 5 unsur alam (Bhuta), (sebelas) organ indriya (Panca Budhiriya, Karmendriya dan pikiran) dan obyek-obyek indriya.

Penciptaan ada dua jenis, yaitu: (1). Alaukika (kedevataan) dan (2) Laukika (keduniawian).

Penciptaan Alaukika/kedevataan merupakan penciptaan yang terdiri dari 33 devata, saat itu Tuhan Yang Maha Esa dalam bentuk Yajna-Varaha, mewujudkan diri-Nya sebagai seekor babi hutan untuk menyelamatkan dunia. Penggambaran penjelmaan Tuhan Yang Maha Esa sebagai seekor babi hutan (yang membunuh raksasa Hiranyaksa) tidak lain maksudnya adalah untuk selamatnya umat manusia, dan hal ini juga menggambarkan ajaran Karma Marga (jalan perbuatan).

Penciptaan Laukika (keduniawian), dimaksudkan adalah penciptaan yang menggambarkan evolusi dari alam semesta yang terdiri dari 28 unsur, empat unsur materi/alam (bhuta) dan waktu (kala). Episode yang menguraikan ajaran Kapila (dan istrinya) dalam kitab Bhagavata Purāṇa menggambarkan jalan pengetahuan (Jnana Marga)(Tagare, Vol. Part 5, 1989: XXIV).

Di dalam kitab Bhagavata Purāṇa (XII.7.11) diuraikan sepintas tentang penciptaan ini ke dalam beberapa topik antara lain evolusi Mahat (prinsip dasar dari kecerdasan kosmik), dari bergejolak dan terganggunya keseimbangan dari Triguna yang belum termanifes (Prakriti, unsur materi/bahan yang permulaan), memimpin evolusi Triguna selanjutnya (tipe-tipe Vaikarika atau Sattvika, Rajasa dan Tamasa, tergantung dari dominasi masing-masing guna), evolusi berlaut pada unsur-unsur alam (bhuta), alat indriya, dan obyeknya (seperti unsur yang kasar dan devata yang bersemayam pada masing-masing organ indriya (Loc.Cit).

Lebih jauh tentang penciptaan ini digambarkan dalam kitab Agni Purāṇa (17.1-16), sebagai berikut:

Agni bersabda:

Aku akan menjelaskan sekarang penciptaan alam semesta, yang merupakan dari krida (lila) Sang Hyang Visnu (dalam Samkhya disebut Brahma). Beliaulah yang menciptakan sorga dan lain-lain. Pada permulaan ciptaan dan dilengkapi dengan sifat-sifat dan tanpa sifat-sifat (1).

1) Brahma, yang tidak menampakan diri, sesungguhnya Yang Ada. Saat itu tidak ada langit, siang atau malam, dan lain-lain. Sang Hyang Visnu masuk ke-dalam Prakriti (unsur materi) dan ke dalam Puruṣa (unsur kesadaran) dan menggerakkannya(2).

2) Pada saat penciptaan yang pertama kali terpencar adalah intelek (kecerdasan budi/mahat). Kemudian terwujudlah ego (ahamkara), selanjutnya disusul pertama dari keadaan natural (Vaikarika), kilauan cahaya (taijasa) unsur-unsur alam, dan sebagainya dan kegelapan (tamasa/yang menciptakan kebodohan(3).

3) Kemudian meluaplah ether (akasa) yang merupakan unsur dasar suara (sabda) dari ego (ahamkara). Kemudian angin (vayu) merupakan unsur dasar sentuhan (sparsa) dan api (teja) sebagai unsur dasar warna (rupa) menjadi ada dari padanya(4).

4) Air (apah) sebagai unsur dasar rasa (rāsa/menjadi ada) dari padanya. Tanah (prithivi) sebagai unsur bau (gandha). Dari kegelapan lahirlah ego, indriya (menjadi ada) yang nampak berkilauan(5).

5) Evolusi selanjutnya adalah terciptanya 10 kahyangan dan pikiran, sebelas indriya selanjutnya munculah Sang Hyang Svayambhu (yang ada dengan sendirinya), yakni Sang Hyang Brahma yang berkeinginan menciptakan berbagai tipe mahluk hidup(6).

6) Sang Hyang Brahma menciptakan air yang pertama. Air berhubungan dengan (disebut) sebagai narah, karena hal itu merupakan ciptaan spirit yang Tertinggi(7).

7) Dari pergerakkannya yang pertama dari semuanya itu, karenanya Ia disebut Narayana. Kemudian tergeletak (mengambang) telur di atas air yang warnanya keemasan(8).

8) Dari pada itu, Sang Hyang Brahma lahir dengan keinginannya sendiri, oleh karenanya kita mengenal sebagai yang lahir dengan sendirinya (Svayambhu). Hidup (di dalamnya) sepanjang tahun, karenanya disebut Hiranyagarbha, kemudian menjadikan telur itu dua bagian, yaitu menjadi sorga dan bumi. Di antara kedua bagian itu, Tuhan Yang Maha Esa menciptakan langit (9-10).

9) Sepuluh penjuru menyangga bumi yang mengambang di atas air. Kemudian Sang Hyang Prajapati (Brahma yang merupakan pencipta mahluk hidup dan alam semesta) berkeinginan mencipta, menciptakan waktu, pikiran, perkataan, keinginan, kemarahan, keterikatan dan yang lain-lain. Dari cahaya Ia menciptakan petir dan mendung, bianglala, dan burung-burung. Ia pertama menciptakan Parjanya (Indra, dewa hujan). Kemudian menciptakan Ṛgveda (Rcah), Yajurveda (Yajumsi), dan Samaveda (Samani) untuk menyelesaikan Yajña-Nya (11-13).

10) Mereka yang ingin menyelesaikan (Yajña), memuja para devata dengan (merapalkan) mantra-mantra tersebut. Mahluk hidup yang tinggi dan rendah diciptakan-Nya. Ia menciptakan Sanatkumara dan Rudra, yang lahir dari kemarahan-Nya (14).

11) Kemudian Ia menciptakan para Ṛṣi Marici, Atri, Angirasa, Pulastya, Pulaha, Kratu, Vasistha, yang diyakini sebagai putra-putra yang lahir dari pikiran Sang Hyang Brahma (15).

12) Oh, Yang Mulia! Para Ṛṣi tersebut melahirkan (banyak) mahluk hidup, membagi diri-Nya atas dua bagian, separo menjadi laki-laki dan saparoh lagi menjadi perempuan. Selanjutnya Brahma melahirkan anak-anak-Nya melalui separoh bagiannya yakni bagian yang perempuan (16/Gangadharan, Vol.27, Part I, 1984: 39-41).

Pada bagian lain, kitab Agni Purāṇa (20.9.1-8) menjelaskan lebih terperinci proses penciptaan alam semesta yang digambarkan sebagai berikut:

1) Ciptaan pertama adalah intelek atau kecerdasan budi (mahat) dari Brahma. Ciptaan yang kedua adalah unsur materi yang sangat halus (tanMatra) yang dikenal dengan nama Bhutasarga (penciptaan elemen alam semesta/pañca mahabhuta (1).

2) Ciptaan yang ketiga adalah evolusi (vaikarikasarga) yakni penciptaan organ indriya (aindriyasarga). Ciptaan tersebut adalah ciptaan pertama (prakritasarga) yang ke luar dari intelek (kecerdasan budi) (2).

3) Ciptaan yang keempat adalah ciptaan dasar/utama (mukhyasarga). Sesuatu yang tidak bergerak dikenal sebagai dasar (penciptaan). Penciptaan kelima disebut penciptaan kualitas yang lebih rendah (tiryaksrota) yang dinamakan sebagai ciptaan mahluk di bawah manusia (seperti binatang, burung-burung, dan lain-lain (3).

4) Ciptaan yang keenam adalah mahluk-mahluk yang lebih tinggi (urdhvasrota) dikenal sebagai ciptaan kahyangan. Penciptaan yang ketujuh disebut ciptaan menengah (arvaksrota), yakni terciptanya umat manusia (4).

5) Ciptaan yang kedelapan adalah Anugrahasarga (kasih sayang devata), disusun dari karakter (Sattvika dan Tamasika). Kelima ciptaan yang terakhir dikenal dengan Vaikritasarga (ciptaan subyek yang akan berubah). Ciptaan yang kesembilan disebut Kaumarsarga (penciptaan Sanatkumara, dan lain-lain). demikianlah sembilan ciptaan sang Hyang Brahma yang merupakan dasar terciptanya alam semesta (5-6).

6) Bhrigu dan lain-lain mengawini Khyāti dan putri-putri yang dari Daksa. Ciptaan terdiri dari tiga jenis disebut orang, yaitu yang selalu (biasa) berlangsung (nitya), penciptaan yang menimbulkan ciptaan yang lain (naimittika) dan yang berlangsung setiap hari (dainandinì). Ciptaan yang sedang berlangsung ketika masa peleburan disebut Dainandinì. Penciptaan yang selalu berlangsung (tiada hentinya) disebut nitya (7-8).

Teori penciptaan alam semesta (sarga) yang dikenal dengan sembilan ciptaan Sang Hyang Brahma diuraikan pula secara sistematis dan terinci dalam kitab Brahmanda Purāṇa, yang dapat diringkas (direkapitulasi), sebagai berikut.

1) Ciptaan pertama

(1). Mahat (ciptaan kesadaran yang tinggi)

(2). Tanmatra (ciptaan disini disebut juga Bhutasarga)

(3). Vaikarika (ciptaan Aindriyasarga)

Seluruh ciptaan di atas adalah ciptaan Prakrita (dari kata Prakriti), sebagai awal ciptaan.

1) Penciptaan yang kedua

(4). Mukhyasarga (ciptaan yang tidak bergerak)

(5). Tiryaksrota (ciptaan mahluk rendahan dan binatang)

(6). Urdhvasrota (ciptaan berupa dewa-dewa dan mahluk-mahluk sorga).

(7). Arvaksrota (ciptaan umat manusia)

(8). Anugrahasarga (baik Sattvika maupun Tamasika)

Kelimanya (4-8) tersebut di atas disebut Vaikrita (ciptaan kedua) dan fungsi mereka tanpa kesadaran atau bagian depan (sebelum) pengetahuan (a-budhi-purvaka).

2) Penciptaan (setelah) kedua (?)

(9). Kaumarasarga (penciptaan putra-putra yang lahir dari pikiran). Ketika Sanatkumara dan yang lain-lain menjadi seorang Yogi dan tidak melahirkan putra-putra, Sang Hyang Brahma (I.1.5.70-76) menciptakan putra-putra yang lahir dari pikiran-Nya kembali, maka lahirlah: Bhrigu, Angirasa, Marìci, Pulastya, Pulaha, Kratu, Daksa, Atri dan Vasistha dari berbagai bagian badan-Nya (Tagare, Vol.22, Part I, 1993: XXXIV).

G. V. Tagare dalam terjemahan kitab Vayu Purāṇa, pada bagian kata pengantarnya (XXIII) menyatakan bahwa tentang penciptaan alam semesta (Sarga) bahwa di dalam kitab-kitab Purāṇa ditemukan tiga teori tentang penciptaan alam semesta, yakni (1). Teori Samkhya-Vedānta, (2). Teori Purāṇa dan (3). Teori Samkhya. Berikut dijelaskan ketiga teori tersebut:

1) Teori Samkhya-Vedānta. Penciptaan mulai dengan prinsip dasar yang disebut Mahat dan berakhir dengan Visesa, yakni perbedaan antara lima unsur yang sangat halus dan yang kasar (kasat mata) yang disebut Pañca Mahabhuta dan Pañca Tanmatra. Sumber alam semesta adalah Brahman yang abadi, tanpa awal dan tanpa akhir, tidak dilahirkan, dan tidak dapat dibandingkan dengan apapun. Pada awalnya adalah kegelapan dan Ia yang meresapi seluruh alam semesta yang diselubungi dalam kegelapan (Ia yang tidak termanifest), saat itu Guna dalam keadaan seimbang. Brahman juga disebut Atman. Pada awal penciptaan Ksetrajña (Devata Tertinggi) memimpin Pradhana, menggerakkan Guna dan prinsip dasar Mahat berkembang. Ketika Guna Sattva menjadi sangat dominan di dalam Mahat, unsur spirit yang sangat halus pada jasmani berkembang dan dipimpin oleh Ksetrajña.

Kitab-kitab Purāṇa memberikan etimologi yang populer dari sinonim Brahman, Ksetrajña, dan lain-lain, semacam Samanvaya dan perbedaan istilah dan teori. Ketika Mahat didorong (oleh keinginan Tuhan Yang Maha Esa), terciptalah alam semesta yang besar, Samkalpa (kekuatan pikiran) dan Adhyavasaya (kebulatan/tekad) dalam 2 tendensi (Vritti-dvayam/ I.1.4,16). Teori sintese Samkhya-Vedānta tentang penciptaan ini dapat dijumpai dalam beberapa Purāṇa, antara lain: Agni Purāṇa XVII.2-26, Brahmanda Purāṇa I.1.3.6, dan Kurma Purāṇa I.2.3.

2) Teori Purāṇa. Ksetrajña disebut Brahma yang bangkit dari telur kosmos. Ia adalah mahluk yang pertama mengambil wujud (yang berwujud pertama kali). Ia pencipta dari seluruh Pañca Mahabhuta (baik unsur material maupun mahluk hidup). Hiranyagarbha (Brahman) dalam empat wajah adalah Ksetrajña, baik pada saat penciptaan maupun pada saat Pralaya (penghancuran) alam semesta. Telur kosmos terdiri dari tujuh dunia, bumi dengan tujuh benua, samudra-samudra dan segala sesuatunya termasuk matahari, bulan, bintang-bintang, Loka (Saptaloka) dan Aloka (Saptapatala). dari luar telur kosmos ini dilapisi oleh tujuh lapisan (I.1.1.44-45). Empat yang pertama terdiri dari 4 elemen, yaitu: air, api, angin dan ether (akasa), masing-masing selubung 10 kali lebih besar dibandingkan selubung yang pertama (sebelumnya/yang ditengahnya) dan tiga selubung lainnya terdiri dari Bhutadi, Mahat dan Pradhana yang tidak termanifest. Avyakta (yang tidak termanifest) disebut Ksetra dan Brahma disebut Ksetrajña. Prakrita-sarga dipimpin oleh Brahma. Penciptaan berlangsung tanpa pra-rencana (abuddhipurvaka) seperti halnya kerdipan cahaya (I.1.4.68.-78).

3) Teori Samkhya. Teori Vedānta, Samkhya dan Purāṇa dipadukan dalam teori ini. Analisis yang terang ditunjukkan bahwa Prakrita Sarga adalah penciptaan dari Prakriti. Teori Samkhya yang teistik dapat lebih dijelaskan secara lebih ekplisit dinyatakan dalam uraian (II.5.104) sebagai berikut: “Sebelum penciptaan alam semesta adalah kondisi laya (keseimbangan) dari semua Guna. dalam wujudnya yang Avyakta (tidak termanifestasi), secara potensial terbentang seperti minyak susu (ghee) di dalam susu. Tuhan Yang Maha Agung, dengan kekuatan Yoga-Nya, menciptakan ketidak-seimbangan dari Tri Guna dan terciptalah Tiga Devata Utama (Tri Murti), Brahma (dari Rajas), Api atau Rudra (dari Tamas) dan Visnu (dari Sattva). Sesungguhnya Tuhan Yang Maha Esa yang membagi diri-Nya ke dalam 3 fungsi utama itu”.