Friday, June 26, 2009

STAHDN - Beasiswa bagi Pinandita/Pemangku

Om Swastyastu,

Inggih matur suksma dahat majeng ring para semeton se Dharma Umat Hindu Nusantara sekalian, atas partisipasi, doa restu serta bantuannya dalam menyampaikan kabar gembira ini, bahwa STAH Dharma Nusantara Jakarta , Program Studi Pendidikan Agama Hindu telah ter-akreditasi dengan katagori Baik, nilai 351 , peringkat B, berlaku s/d 29-05-2014 sesuai SK Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi Nomor : 011/BAN-PT/Ak-XII/S1/V/2009 tentang Status, Peringkat, dan Hasil Akreditasi Program Sarjana di Perguruan Tinggi tertanggal 29 Mei 2009 dari 50 buah PTN/PTS seluruh Indonesia (Peringkat A = 6 buah PT : Peringkat B = 27 buah PT dan Perngkat C = 17 buah PT dengan catatan nilai /peringkat : 361 - 400 / A ; 301 - 360 / B ; 200 - 300 / C ; tidak terakreditasi < 200 ).

Ngiring mangkin sikiang kayune untuk nyarengin ngajegang tur meningkatkan peranan STAH DN Jakarta puniki, khususnya dalam penyiapan SDM Hindu yang profesional dengan Visi : Vidya-Vijnana-Vidvan. Sehingga uluran bantuan dan partisipasi nyata para semeton umat sedharma sangat kami tunggu-tunggu dan harapkan sekali, semoga segala tantangan dan hambatan-hambatan yang terjadi saat ini dapat teratasi dengan baik atas Kesadaran kita semua / Eling terhadap swadharma kita masing-masing dan berkat Asung Kerta Waranugraha Hyang Widhi Wasa.

Sebagai informasi lain,untuk tahun ajaran 2009/2010 STAH DN Jakarta telah membuka pendaftaran penerimaan mahasiswa baru gelombang pertama s/d tanggal 15 Agustus 2009, dan bagi para Pinandita/ Pemangku yang berkenan untuk ikut mendaftarkan diri, akan diberikan bea siswa (bebas SPP) yang dananya telah disediakan oleh Dirjen Bimas Hindu Depag sebagai bantuan mahasiswa BKM maupun non reguler.

Matur Suksma

Prof.Dr.Made Kartika D.,
atas nama Ketua STAH DN Jakarta.

Hidup Yang Serba Instan

Om Swastyastu

Salam Kasih

Di koran koran, di TV, di radio-radio, sungguh mudah sekali untuk menemukan berita-berita tentang bagaimana ketidaksabaran manusia-manusia modern telah membuat persoalan sepele menjadi berat.

Ada kejadian tentang bagaimana seorang pengendara motor menjadi begitu tidak sabar terhadap pengemudi mobil didepannya dan kemudian mengumpat dan menganiaya pengemudi tersebut hanya karena sang pengemudi agak terlambat bereaksi ketika lampu hijau menyala. Ada cerita tentang seseorang yang menjadi korban penipuan dukun pengganda uang hanya karena orang itu tidak sabar untuk segera menjadi kaya. Ada banyak cerita tentang ketidaksabaran yang membawa sengsara.

Bila kita coba menelusuri dimanakah hulu dari segala ketidaksabaran itu berasal, mungkin salah satunya adalah kecenderungan serba instan yang melanda kehidupan kita selama ini.

kecenderungan serba instan yang memangkas habis kemampuan untuk bersabar ini tampak jelas melalui iklan-iklan di TV, di koran-koran, di radio, dan juga melalui kemajuan teknologi yang semua itu berlomba-lomba menawarkan solusi serba instan kepada kita.

Para produsen minuman menawarkan minuman serba instan dan tidak lupa-tentu saja-diklaim tetap alami, dan kualitas no.1. Para produsen obat-obatan menawarkan obat flu, obat sakit kepala, obat batuk yang katanya mampu menyembuhkan penyakit seketika diminum, langusng bles ewes.....ewes....ilang penyakitnya.

Para paranormal di koran-koran dan tabloid kuning, dengan penuh percaya diri menawarkan solusi serba instan terhadap semua masalah dunia, seakan-akan tiada masalah yang tidak dapat mereka tangani: mengatasi lemah syahwat, cinta ditolak dukun bicara, memisahkan suami/istri dari WIL/PIL, jimat kekebalan, jimat pengelaris, jimat keperkasaan, pelet, susuk bertuah, bahkan sampai belajar kerohanian instan pun saat ini sudah ada dagangnya,.....untuk mengatasi segala masalah keluarga Anda..........

begitu merasuknya kecenderungan serba instan ini ke dalam setiap sel-sel otak kita, ke dalam setiap pori-pori kesadarn kita, hingga membuat kita tanpa sadar mulai menyepelekan proses. Memandang remeh tahapan-tahapan yang harus kita lalui dalam kehidupan ini. Kita mulai terbiasa untuk menjadi tidak sabar, sebab kesabaran yang kita miliki tak pernah terarah dalm kondisi serba instan ini.

Jadi bukan hanya ada mie instan
Dan jangan-jangan kita adalah termasuk orang yang sudah tidak sabar lagi manata hidup dan meniti kehidupan ini dengan bijak....?


Damai selalu

Shri Danu
=======
"Your Hand On Works But Your Heart On God "
=======

PERBEDAAN HINDU INDIA DAN HINDU INDONESIA (BALI)

by : Made Mariana (Abudhabi)


Om Swastyastu,

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah melahirkan banyak kemudahan bagi kehidupan manusia di berbagai bidang. Informasi dari berbagai Negara sangat mudah didapat dengan semakin majunya teknologi informasi. Kemudahan-kemudahan ini membantu kita untuk mendapatkan informasi adanya kebutuhan tenaga Kerja di Negara-negara tetangga dengan berbagai paket yang ditawarkan.

Keadaan ekonomi yang masih belum mapan di negeri kita mendorong banyak tenaga-tenaga professional hijrah dari Indonesia ke seluruh penjuru dunia. Dalam kesehariannya mereka berkomunikasi dengan berbagai macam budaya, agama, ras, suku bangsa dan bahasa.

Perbedaan yang ada menimbulkan banyak pertanyaan, hal ini wajar saja karena sifat manusia yang memang selalu ingin mengetahui lebih dalam tentang segala sesuatu hal. Salah satu pertanyaan yang sering kami terima dari temen-temen kerja terutama dari agama lain adalah, “Kenapa Hindu Indonesia (Bali) berbeda dengan Hindu India..?”.

Kalo dilihat dari sisi luar, perbedaan antara Hindu Indonesia dengan Hindu India sangat kentara. Baik dari makanan yang dimakan, Pakaian sembahyang, Hari Suci yang dirayakan maupun hal-hal lain yang bisa dilihat dengan kasat mata. Sebagai contoh, rekan-rekan kerja kami yang berasal dari negeri anak benoa dimana Veda diwahyukan, mereka mayoritas vegetarian, sementara kami dari Indonesia mayoritas non vegetarian. Kami sembahyang tiga kali yang disebut dengan Tri Sandhya, mereka temen-temen dari India biasanya sembahyang dua kali pagi dan sore.

Sebenarnya seperti apakah spiritual Hindu itu…? Mari kita renungkan bersama.

“Being spiritual is being natural” ungkapan ini sangat sering kita dengarkan dari para penekun spiritual di berbagai negara. Benarkah seperti itu…? Bila ditelusuri lebih dalam, memang sesungguhnya kembali ke alam itu yang membuat kita menjadi damai dan tenang. Angin yang sejuk, hamparan tetumbuhan yang menghijau, gemericik air jernih sungai di pegunungan, kicauan burung yang merdu dengan beraneka lagu dan nada, tidak bisa kita pungkiri telah membangun kenyamanan, menciptakan ketengan pikiran dan kedamaian di hati.

Tak heran bila banyak para pelancong rela berkunjung ke Negara-negara yang jauh dari negerinya demi mendapatkan suasana baru, yang memberikan kenyamanan. “Back to the nature” katanya. Mungkin ini pula alasan kenapa Candi, Pura/Temple dibangun di tempat-tempat yang Indah dan hijau, dipuncak gunung, di tepi pantai, di pinggir sungai atau danau. Hal ini pun saya rasakan sendiri, ketika berada di pura luhur Lempuyang misalnya; melihat hamparan hutan menghijau yang luas, samudra yang membiru membentang di hadapan kita, langit yang cerah dengan sinar mentarinya yang demikian kuat menyapu kegelapan menerangi maya pada ini, membuat saya merasa sangat kecil, seluruh ego tersedot habis digantikan dengan perasaan lain yang sangat nyaman yang sangat sulit dilukiskan dengan kata-kata, mungkin ini yang disebut cinta dan kasih murni.

Demikian pula halnya Agama Hind, dalam setiap ajarannya selalu mengajarkan kedamaian, dekat dengan alam, mempersembahkan aneka hasil alam kepada Hyang Maha Kuasa, menghormati semua unsur di alam ini. Mulai dari tetumbuhan dengan adanya tumpek wariga, hewan ada tumpek kandang, alat-alat atau senjata/perkakas, tumpek landep, buku/pustaka ada hari saraswati, semua energi atau mahluk-mahluk bawahan yang tampak maupun tidak tampak yang dikenal dengan butha yadnya. Menjaga keharmonisan dengan Tuhan dengan upacara Deva yadnya, dengan menjalin harmonisasi dengan sesama manusia ada upacara Rsi Yadnya, Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya, melalui sila karma, pesantian, menyama braya. Ketiga hubungan harmonis ini di Bali dikenal dengan Tri Hita Karana, tiga keharmonisan yang membawa pada suasana kebahagiaan.

Keihlasan dalam segala aktivitas dan keharmonisan adalah inti dari semua aktivitas spiritual Hindu, Keharmonisan inipun terjalin dengan budaya local yang melahirkan senergi yang mampu menghadirkan kedamaian di setiap hati sanubari penganutnya. Agama Hindu Dharma total lebur dengan budaya local yang menghasilkan bentuk pemujaan yang berbeda-beda.

Kalo kita buka kembali pelajaran Agama Hindu, sesungguhnya agama kita memiliki tiga batang tubuh (tri kerangka dasar) yang terdiri dari:

1. Tatwa : Filsafat
2. Etika: Susila
3. Ritual: Upacara

Untuk Tattwa/filsafat dan Etika atau Susila, akan kita temukan kesamaan di seluruh penganut agama Hindu dimanapun mereka berada. Sumber utama dari Tattwa adalah Kitab Suci Veda. Kemudian dijelaskan dalam Upanisad, Dharmasastra, Itihasa/Wiracarita seperti Mahabharata dan Ramayana, Bhagavad Gita, Yoga Wasista, Wrehaspati Tattwa, Sarasammuccaya, Srimad Bhagavatam, dan lain-lain.

Di Bali ada lagi lontar-lontar yang ditulis oleh para Mpu yang telah mencapai tingkatan spiritual yang tinggi seperti: lontar sundari gama, lontar buana kosa, lontar sangkul putih, dan lain-lain.

Salah satu contoh kesamaan ajaran yang bisa dijumpai di berbagai daerah di Indonesia maupun di India adalah Lima Keyakinan yang dikenal dengan nama Panca Sradda yaitu:
1. Percaya dengan adanya Tuhan,
2. Percaya dengan adanya Atman,
3. Percaya dengan adanya Hukum Karma Phala,
4. Percaya dengan adanya Reinkarnasi/Punarbawa/Samsara,
5. Percaya dengan adanya Moksa.

Panca Sradda merupakan inti kepercayaan agama Hindu, dapat kita jumpai dengan berbagai bahasa sesuai dengan wilayah dimana penganutnya berada.

Dalam Etika yang merupakan perwujudan nyata dari aplikasi tattwa yang telah dipelajari, pun tampak kesamaan, semua orang Hindu akan berusaha untuk tidak menyakiti atau menyiksa mahluk lain (Ahimsa). Semua orang hindu berusaha memperlakukan manusia yang lain seperti saudaranya, “Vasudaiva Kutum Bakam” Semua mahluk dilahirkan bersaudara. “Tat Twam Asi” artinya; kamu adalah aku, aku adalah kami, bila aku menyakitimu, sama dengan aku menyakiti diriku sendiri. Selalu berkata jujur (Arjawa), Setia pada kata hati/nurani (Satya Hredaya), Setia pada janji (Satya Samaya), Setia pada perkataan (Satya Wacana), setia/ berani bertanggung jawab pada perbuatannya (Satya Laksana’), setia pada kawan (Satya Mitra). Menjaga pikiran, perbuatan dan perkataannya selaras, selalu terkondisi pada kebaikan (Tri Kaya Parisudha; Manacika =pikiran suci, Wacika=perkataan suci dan Kayika=perbuatan yang suci).

Setiap orang hindu melakukan sembahyang memuja Tuhan dan Leluhur, melakukan puasa, melakukan punia (yadnya) tidak perduli entah dia orang India, orang Bali, orang Jawa, orang Sulawesi, orang Lampung, orang Lombok, orang Belgia, orang Amerika, ataupun orang Australia.

Perbedaan mulai tampak pada kerangka dasar yang ketiga yaitu yang disebut dengan Upacara atau Ritual dan Hari Raya. Di sini tradisi dari masing-masing wilayah mewarnai setiap upacara yang ada. Histori di setiap daerahpun berbeda, peristiwa-peristiwa yang telah terjadi dalam perjalanan juga tidak sama, sehingga melahirkan perayaan Hari Raya yang berbeda guna memperingati peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah kehidupan manusia yang pernah terjadi, yang nantinya bisa selalu diingat dan dijadikan suri teladan dalam mengarungi kehidupan di maya pada ini.

Jangankan Hindu India dan Indonesia, antara Hindu Bali dengan di Jawa saja ada banyak perbedaan, untuk memahami perbedaan-perbedaan ini mari kita tengok sejarah perkembangan Hindu di Bali seperti yang dituturkan oleh Ida Pandita Nabe Sri Bhagavan Dwija dalam karyanya: “Hindu dalam Wacana Bali Sentris”

Pengantar Agama Hindu untuk perguruan tinggi, Cudamani, 1990 ada tujuh Maha Rsi yaitu Grtsamada, Wiswamitra, Wamadewa, Atri, Bharadwaja, Wasista, dan Kanwa yang menerima wahyu Weda di India sekitar 2500 tahun sebelum Masehi.

Mereka mengembangkan agama Hindu masing-masing menurut bagian-bagian Weda tertentu. Kemudian para pengikutnya mengembangkan ajaran yang diterima dari guru mereka sehingga lama kelamaan terbentuklah sekta-sekta yang jumlahnya ratusan. Sekta-sekta yang terbanyak pengikutnya antara lain: Pasupata, Linggayat Bhagawata, Waisnawa, Indra, Saura, dan Siwa Sidhanta.

Sekta Siwa Sidhanta dipimpin oleh Maha Rsi Agastya di daerah Madyapradesh (India tengah) kemudian menyebar ke Indonesia. Di Indonesia seorang Maha Rsi pengembang sekta ini yang berasal dari pasraman Agastya Madyapradesh dikenal dengan berbagai nama antara lain: Kumbhayoni, Hari Candana, Kalasaja, dan Trinawindu. Yang populer di Bali adalah nama Trinawindu atau Bhatara Guru, begitu disebut-sebut dalam lontar kuno seperti Eka Pratama.

Ajaran Siwa Sidhanta mempunyai ciri-ciri khas yang berbeda dengan sekta Siwa yang lain. Sidhanta artinya kesimpulan sehingga Siwa Sidanta artinya kesimpulan dari Siwaisme. Kenapa dibuat kesimpulan ajaran Siwa? karena Maha Rsi Agastya merasa sangat sulit menyampaikan pemahaman kepada para pengikutnya tentang ajaran Siwa yang mencakup bidang sangat luas.

Diibaratkan seperti mengenalkan binatang gajah kepada orang buta; jika yang diraba kakinya, maka orang buta mengatakan gajah itu bentuknya seperti pohon kelapa; bila yang diraba belalainya mereka mengatakan gajah itu seperti ular besar. Metode pengenalan yang tepat adalah membuat patung gajah kecil yang bisa diraba agar si buta dapat memahami anatomi gajah keseluruhan.

Bagi penganut Siwa Sidhanta kitab suci Weda-pun dipelajari yang pokok-pokok / intinya saja; resume Weda itu dinamakan Weda Sirah (sirah artinya kepala atau pokok-pokok). Lontar yang sangat populer bagi penganut Siwa Sidhanta di Bali antara lain Wrhaspati Tattwa. Pemantapan paham Siwa Sidhanta di Bali dilakukan oleh dua tokoh terkemuka yaitu Mpu Kuturan dan Mpu/Danghyang Nirartha.

Di India wahyu Hyang Widhi diterima oleh Sapta Rsi dan dituangkan dalam susunan sistematis oleh Bhagawan Abyasa dalam bentuk Catur Weda. Pengawi dan ahli Weda I Gusti Bagus Sugriwa dalam bukunya: Dwijendra Tattwa, Upada Sastra, 1991 menyiratkan bahwa di Bali wahyu Hyang Widhi diterima setidak-tidaknya oleh enam Maha Rsi. Wahyu-wahyu itu memantapkan pemahaman Siwa Sidhanta meliputi tiga kerangka Agama Hindu yaitu Tattwa, Susila, dan Upacara. Wahyu-wahyu itu berupa pemikiran-pemikiran cemerlang dan wangsit yang diterima oleh orang-orang suci di Bali sekitar abad ke delapan sampai ke-empat belas yaitu :

1. DANGHYANG MARKANDEYA

Pada abad ke-8 beliau mendapat wahyu di Gunung Di Hyang (sekarang Dieng, Jawa Timur) bahwa bangunan palinggih di Tolangkir (sekarang Besakih) harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur-unsur emas, perak, tembaga, besi, dan permata mirah.

Setelah menetap di Taro, Tegal lalang - Gianyar, beliau memantapkan ajaran Siwa Sidhanta kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual: Surya sewana, Bebali (banten), dan Pecaruan. Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali maka ketika itu agama ini dinamakan Agama Bali.

Daerah tempat tinggal beliau dinamakan Bali. Jadi yang bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja, namun kemudian pulau ini dinamakan Bali karena penduduk di seluruh pulau melaksanakan ajaran Siwa Sidanta menurut petunjuk-petunjuk Danghyang Markandeya yang menggunakan bebali atau banten.

Selain Besakih, beliau juga membangun pura-pura Sad Kahyangan lainnya yaitu: Batur, Sukawana, Batukaru, Andakasa, dan Lempuyang.

Beliau juga mendapat wahyu ketika Hyang Widhi berwujud sebagai sinar terang gemerlap yang menyerupai sinar matahari dan bulan. Oleh karena itu beliau menetapkan bahwa warna merah sebagai simbol matahari dan warna putih sebagai simbol bulan digunakan dalam hiasan di Pura antara lain berupa ider-ider, lelontek, dll.

Selain itu beliau mengenalkan hari Tumpek Kandang untuk mohon keselamatan pada Hyang Widhi, digelari Rare Angon yang menciptakan darah, dan hari Tumpek Pengatag untuk menghormati Hyang Widhi, digelari Sanghyang Tumuwuh yang menciptakan getah.


2. MPU SANGKULPUTIH

Setelah Danghyang Markandeya moksah, Mpu Sangkulputih meneruskan dan melengkapi ritual bebali antara lain dengan membuat variasi dan dekorasi yang menarik untuk berbagai jenis banten dengan menambahkan unsur-unsur tetumbuhan lainnya seperti daun sirih, daun pisang, daun janur, buah-buahan: pisang, kelapa, dan biji-bijian: beras, injin, kacang komak.

Bentuk banten yang diciptakan antara lain canang sari, canang tubugan, canang raka, daksina, peras, panyeneng, tehenan, segehan, lis, nasi panca warna, prayascita, durmenggala, pungu-pungu, beakala, ulap ngambe, dll. Banten dibuat menarik dan indah untuk menggugah rasa bhakti kepada Hyang Widhi agar timbul getaran-getaran spiritual.

Di samping itu beliau mendidik para pengikutnya menjadi sulinggih dengan gelar Dukuh, Prawayah, dan Kabayan.

Beliau juga pelopor pembuatan arca/pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan batu, kayu, atau logam sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi.

Tak kurang pentingnya, beliau mengenalkan tata cara pelaksanan peringatan hari Piodalan di Pura Besakih dan pura-pura lainnya, ritual hari-hari raya : Galungan, Kuningan, Pagerwesi, Nyepi, dll.

Jabatan resmi beliau adalah Sulinggih yang bertanggung jawab di Pura Besakih dan pura-pura lainnya yang telah didirikan oleh Danghyang Markandeya.


3. MPU KUTURAN

Pada abad ke-11 datanglah ke Bali seorang Brahmana dari Majapahit yang berperan sangat besar pada kemajuan Agama Hindu di Bali.

Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud simbol palinggih Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, dan Pembangunan Pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu), dan Gelap (Siwa), serta Padma Tiga, di Besakih.

Paham Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal (pangider-ider).


4. MPU MANIK ANGKERAN

Setelah Mpu Sangkulputih moksah, tugas-tugas beliau diganti oleh Mpu Manik Angkeran. Beliau adalah Brahmana dari Majapahit putra Danghyang Siddimantra.

Dengan maksud agar putranya ini tidak kembali ke Jawa dan untuk melindungi Bali dari pengaruh luar, maka tanah genting yang menghubungkan Jawa dan Bali diputus dengan memakai kekuatan bathin Danghyang Siddimantra. Tanah genting yang putus itu disebut segara rupek.

5. MPU JIWAYA

Beliau menyebarkan Agama Budha Mahayana aliran Tantri terutama kepada kaum bangsawan di zaman Dinasti Warmadewa (abad ke-9).

Sisa-sisa ajaran itu kini dijumpai dalam bentuk kepercayaan kekuatan mistik yang berkaitan dengan keangkeran (tenget) dan pemasupati untuk kesaktian senjata-senjata alat perang, topeng, barong, dll.

6. DANGHYANG DWIJENDRA

Datang di Bali pada abad ke-14 ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Beliau mendapat wahyu di Purancak, Jembrana bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Bentuk bangunan pemujaannya adalah Padmasari atau Padmasana.

Jika konsep Trimurti dari Mpu Kuturan adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan horizontal, maka konsep Tripurusa adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan vertikal.

Danghyang Dwijendra mempunyai Bhiseka lain : Mpu / Danghyang Nirarta, dan dijuluki : Pedanda Sakti Wawu Rawuh karena beliau mempunyai kemampuan supra natural yang membuat Dalem Waturenggong sangat kagum sehingga beliau diangkat menjadi Bhagawanta (pendeta kerajaan).

Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang kehidupan rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan diatur, hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat silsilah leluhur tiap-tiap soroh/klan disusun. Awig-awig Desa Adat pekraman dibuat, organisasi subak ditumbuh-kembangkan dan kegiatan keagamaan ditingkatkan.

Selain itu beliau juga mendorong penciptaan karya-karya sastra yang bermutu tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung atau kekawin. Karya sastra beliau yang terkenal antara lain : Sebun bangkung, Sara kusuma, Legarang, Mahisa langit, Dharma pitutur, Wilet Demung Sawit, Gagutuk menur, Brati Sesana, Siwa Sesana, Aji Pangukiran, dll.

Beliau juga aktif mengunjungi rakyat di berbagai pedesaan untuk memberikan Dharma wacana.

Saksi sejarah kegiatan ini adalah didirikannya Pura-pura untuk memuja beliau di tempat mana beliau pernah bermukim membimbing umat misalnya : Purancak, Rambut siwi, Pakendungan, Hulu watu, Bukit Gong, Bukit Payung, Sakenan, Air Jeruk, Tugu, Tengkulak, Gowa Lawah, Ponjok Batu, Suranadi (Lombok), Pangajengan, Masceti, Peti Tenget, Amertasari, Melanting, Pulaki, Bukcabe, Dalem Gandamayu, Pucak Tedung, dll.

Ke-enam tokoh suci tersebut telah memberi ciri yang khas pada kehidupan beragama Hindu di Bali sehingga terwujudlah tattwa dan ritual yang khusus yang membedakan Hindu-Bali dengan Hindu di luar Bali.

Dari luar agama Hindu antar satu daerah dengan daerah yang lain tampak berbeda, namun sesungguhnya essensinya sama, bersumber dari ajaran mahaluhur yang universal untuk mewujudkan satyam = kebenaran, sivam=kedamaian dan sundaram=keindahan.

Penerapan agama Hindu agar berhasil harus disesuaikan dengan tujuan (Iksha), kemampuan (Sakti), aturan setempat (Desa) dan waktu (Kala). Namun dalam pelaksanaannya tidak boleh bertentangan dengan Tattwa atau kebenaran Veda. Hal inilah yang menyebabkan Hindu di India dan Hindu di Bali atau di mana saja selalu berbeda-beda bentuk penampilan luarnya. Lima pertimbangan ini sebagaimana dutuliskan dalam Manawa Dharma Sastra:

Karyam so'veksya saktimca
Desakaala ca tattvatah
Kurute dharmasiddhiyartham
Visvaruupam punah punah.
(Manawa Dharmasastra VIII.10)

Maksudnya:
Setelah mempertimbangkan iksha (tujuan), sakti (kemampuan), desa (aturan setempat), kala (waktu) dan tattwa (kebenaran) untuk menyukseskan tujuan agama (Dharmasiddhiyartha) maka ia wujudkan dirinya dengan bermacam macam wujud.
Di Bali sinergi Agama Hindu dengan budaya Bali mampu meningkatkan dan mengembangkan kualitas budaya Bali. Dalam sinergi itu tampak Agama Hindu sebagai titik sentral (pusat) yang menjiwai semua aspek budaya Bali.

Agama Hindu bersinergi melalui:
(1) Sistem bahasa, yakni Bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno.
(2) Sistem pengetahuan.
(3) Sistem sosial seperti Desa Pakraman dan Subak.
(4) Sistem peralatan hidup dan teknologi.
(5) Sistem mata pencaharian masyarakat.
(6) Sistem religi, Agama Hindu menghargai kepercayaan lokal, dan
(7) Sistem kesenian seperti Seni Wali (sakral), Seni Bebali (dapat berfungsi sebagai seni sakral dapat pula untuk kegiatan profan), dan Seni Balih-Balihan (hanya untuk hiburan) .

Upacara hendaknya lahir dari hati yang tulus, ikhlas melaksanakan semua aktivitasnya, ikhlas untuk mengorbankan waktu, tenaga, materi dan pikiran. Bentuk aturan/sesajen yang dipersembahkan hendaknya berasal dari keringat sendiri, bukan dari hasil mencuri, meminta atau menipu.

Pelaksanaan aktivitas spiritual sifatnya sangatlah pribadi dan bergantung pada individu masing-masing. Walaupun yang dipelajari sama tapi pengertian dan pemahaman setiap orang itu sangatlah unik, satu sama lain tidak sama, karena manusia memiliki pengalaman yang berbeda, pengetahuan yang berbeda, dibesarkan dalam lingkungan keluarga dan tempat yang berbeda, latar belakang pendidikan yang berbeda, memiliki bakat dan minat yang berbeda pula, pendek kata memiliki guna dan karma yang tidak sama.

Kemerdekaan setiap individu yang merupakan anugrah Hyang Widhi dalam Hindu sangatlah dijaga baik dalam berfikir, berkata dan berbuat. Hindu Dharma tidak pernah menuntut sesuatu pengekangan yang tidak semestinya terhadap kemerdekaan dari kemampuan berpikir, kemerdekaan dari perasaan dan pemikiran manusia. Ia memperkenalkan kebebasan yang paling luas dalam masalah keyakinan dan pemujaan. Hindu Dharma adalah suatu agama pembebasan. Ia memperkenalkan kebebasan mutlak terhadap kemampuan berpikir dan perasaan manusia dengan memandang pertanyaan-pertanyaan yang mendalam terhadap hakekat Tuhan Yang Maha Esa, jiwa, penciptaan, bentuk pemujaan dan tujuan kehidupan ini.

Hindu Dharma tidak bersandar pada satu doktrin tertentu ataupun ketaatan akan beberapa macam ritual tertentu maupun dogma-dogma atau bentuk-bentuk pemujaan tertentu. Ia memperkenalkan kepada setiap orang untuk merenungkan, menyelidiki, mencari dan memikirkannya, oleh karena itu, segala macam keyakinan/Sraddha, bermacam-macam bentuk pemujaan atau Sadhana, bermacam-macam ritual serta adat-istiadat yang berbeda, memperoleh tempat yang terhormat secara berdampingan dalam Hindu Dharma dan dibudayakan serta dikembangkan dalam hubungan yang selaras antara yang satu dengan yang lainnya

Hindu Dharma sangatlah universal, bebas, toleran dan luwes. Inilah gambaran indah tentang Hindu Dharma. Seorang asing merasa terpesona keheranan apabila mendengar tentang sekta-sekta dan keyakinan yang berbeda -beda dalam Hindu Dharma; tetapi perbedaan-perbedaan itu sesungguhnya merupakan berbagai tipe pemahaman dan tempramen, sehingga menjadi keyakinan yang bermacam-macam pula. Hal ini adalah wajar. Hal ini merupakan ajaran yang utama dari Hindu Dharma; karena dalam Hindu dharma tersedia tempat bagi semua tipe pemikiran dari yang tertinggi sampai yang terendah, demi untuk pertumbuhan dan evolusi mereka. (Svami Sivananda,1988:134).

Hindu Dharma mempunyai banyak kamar untuk setiap keyakinan dan Hindu Dharma merangkum semua keyakinan tersebut dengan toleransi yang sangat luas. (Max Muller)
Agama Hindu menyerupai sebatang pohon yang tumbuh perlahan dibandingkan sebuah bangunan yang dibangun oleh arsitek besar pada saat tertentu. (Dr. K.M. Sen)
Perbedaan adalah sesuatu yang sangat alamiah sifatnya. Sangatlah wajar bila ada perbedaan antara satu wilayah dengan wilayah yang lain dalam satu negara, apalagi dalam teriorial yang lebih besar, antara Hindu India dan Hindu Indonesia. Namun hendaknya perbedaan ini janganlah dipertentangkan, ini dipahami sebagai sesuatu yang alami. Perbedaan ini merupakan bukti nyata betapa alamiahnya Agama Hindu, sangat sesuai dengan pernyataan awal “Being spiritual is being natural”.

Untuk mengakhiri karya kecil ini perkenankanlah saya mengutip pernyataan dari tokoh agama kita Mahatma Gandhi (2004:166)

“Aku tidak ingin setiap sisi rumahku tertutup tembok dengan jendela serta pintu yang terkunci. Aku ingin budaya dari semua negeri berhembus ke dalam rumahku sebebas mungkin. Yang ada padaku bukanlah suatu agama yang seperti penjara”


Sumber:
1. www.parisada.org
2. www.babadbali.com
3. www.stitidharma.org
4. www.iloveblue.com
5. www.hindu-indonesia.com



Om Santi Santi Santi Om

HUBUNGAN HINDU DAN BUDDHA

Oleh : Made Mariana (http://www.singaraja.wordpress.com)


Om Swastyastu,

Dalam Hindu, Buddha dipandang sebagai avatara ke-9. Setelah masa Krisna. Ia adalah perwujudan dari Visnu untuk menegakkan kembali kebenaran yang telah banyak dinodai oleh kebatilan. Beliau lahir dari seorang ayah yang beragama Hindu (Sanathana Dharma) dan meninggalpun sebagai seorang penganut Sanathana Dharma.

Beliau adalah seorang pangeran dan pertapa Hindu yang berhasil mencapai pencerahan (Buddha). Beliau mengejawantahkan inti sari pati Veda. Beliau sangat dekat dengan rakyat dan kaum miskin. Bahasa yang digunakan dalam penyebaran ajaran-ajaran Beliau, menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh kaum fakir miskin. Beliau menolak ketika murid-murinya yang dari kaum Brahmana memohon ujin untuk menterjemahkan dalam bahasa Sanskertha.

Bahkan suatu ketika Beliau rela menukar nyawanya dengan seekor domba saat ada orang yang ingin mengorbankan domba untuk persembahan, Beliau mengatakan: “Bila dengan membunuh domba engkau bisa mencapai realisasi, maka bunuhlah aku dengan mengorbankan manusia tentu engkau akan mendapatkan tempat yang lebih mulia”..

The Buddha’s teaching formed an integral part of Hinduism, which “owes on eternal debt of gratitude to that great teacher,” who was “one of the greatest Hindu reformers,” a “Hindu of Hindus.” He never rejected Hinduism but broadened its base. He made some of the words of the Vedas yield meanings more relevant to the age. (Mahatma Ghandi)

Ghandi memandang Buddha adalah Hindu of Hindus, Beliau tidak pernah menolak Hindu, tetapi Beliau menafsirkan Hindu dengan sudut pandang yang berbeda yang lebih luas. Beliau menjelaskan Veda dengan kata-kata yang sesuai dengan Jamannya.

Beliau memiliki cinta kasih yang luar biasa, tak terbatas oleh ruang dan waktu. Senantiasa memberikan contoh nyata dalam kehidupan, Beliau mengajrkan pada kita bagaimana menjadi seorang Karma Yogi sejati. “Do Good Be Good” Lakukan yang baik dan jadilah orang baik, salah satu nasehat Beliau pada umat manusia untuk melepaskan diri dari keterikatan.

Buddha mengajak kita jangan terlalu mudah percaya pada segala sesuatu, tetapi selalu melakukan penyelidikan untuk mengetahui kebenarannya. Bila sesuatu itu bermanfaat bagi dirimu dan orang lain serta dunia, nah itulah yang kamu terima dan jalani. Tapi kalo hal itu menyebabkan penderitaan bagi dirimu dan orang lain, hindarilah hal itu.

Menurut tradisi Buddha, tokoh historis Buddha Siddharta Gautama dilahirkan dari suku Sakya pada awal masa Magadha (546–324 SM), di sebuah kota, selatan pegunungan Himalaya yang bernama Lumbini. Sekarang kota ini terletak di Nepal sebelah selatan. Ia juga dikenal dengan nama Sakyamuni (harafiah: orang bijak dari kaum Sakya").

Setelah kehidupan awalnya yang penuh kemewahan di bawah perlindungan ayahnya, raja Kapilavastu (kemudian hari digabungkan pada kerajaan Magadha), Siddharta melihat kenyataan kehidupan sehari-hari dan menarik kesimpulan bahwa kehidupan nyata, pada hakekatnya adalah kesengsaraan yang tak dapat dihindari. Siddharta kemudian meninggalkan kehidupan mewahnya yang tak ada artinya lalu menjadi seorang pertapa. Kemudian ia berpendapat bahwa bertapa juga tak ada artinya, dan lalu mencari jalan tengah (majhima patipada ). Jalan tengah ini merupakan sebuah kompromis antara kehidupan berfoya-foya yang terlalu memuaskan hawa nafsu dan kehidupan bertapa yang terlalu menyiksa diri.

Di bawah sebuah pohon bodhi, ia berkaul tidak akan pernah meninggalkan posisinya sampai ia menemukan Kebenaran. Pada usia 35 tahun, ia mencapai Pencerahan. Pada saat itu ia dikenal sebagai Gautama Buddha, atau hanya "Buddha" saja, sebuah kata Sansekerta yang berarti "ia yang sadar" (dari kata budh+ta).

Untuk 45 tahun selanjutnya, ia menelusuri dataran Gangga di tengah India (daerah mengalirnya sungai Gangga dan anak-anak sungainya), sembari menyebarkan ajarannya kepada sejumlah orang yang berbeda-beda.

…Shaakya Muni himself was a monk, and it was his glory that he had the large heartedness to bring out the truths from the hidden Vedas and throw them broadcast all over the world. He was the first being in the world that brought missionarising into practice- nay; he was the first to conceive the idea of proselytising.

The great glory of the Master lay in his wonderful sympathy for everybody, especially for the ignorant and the poor. Some of his disciples were Brahmins. When Buddha was teaching, Sanskrit was no more the spoken language in India. It was then only in the books of the learned. Some of Buddha’s Brahmin disciples wanted to translate his teachings into Sanskrit, but he distinctly told them, "I am for the poor, for the people; let me speak in the tongue of the people." And so to this day the great bulk of his teachings are in the vernacular of that day in India.

Whatever may be the position of philosophy, whatever may the position of metaphysics, so long as there is such a thing as death in the world, so long as there is such a thing as weakness in the human heart, so long there is a cry going out of the heart of man in his very weakness, there shall be a faith in God…. (Buddhism, The fulfillment of Hinduism, By Swami Vivekananda, The first disciple of Sri Ramakrishna Paramhansa

Talk delivered at the Parliament of Religions, Chicago, 26-09-1893)

Dr. Radhakrishnan. Dalam bukunya ''Indian Religious'', ia menulis: 'Agama Buddha tidak mulai sebagai agama yang baru dan berdiri sendiri. Agama Buddha adalah bagian kepercayaan kuno agama Hindu...''(hal.104).

Selanjutnya Beliau menulis: Buddha meninggalkan jejak kakinya di atas tanah India dan capnya pada jiwa negara tersebut dengan berbagai kebiasaan dan keyakinannya. Pada saat ajaran Buddha mengambil bentuk-bentuk khusus di berbagai negara lain di dunia dalam penegasan tradisi-tradisi mereka di sini, di rumah Buddha, ajaran tersebut telah meresap dan menjadi bagian utuh budaya kita. Para Brahmana dan Sramana diperlakukan sama oleh Buddha dan kedua tradisi tersebut berangsur-angsur bercampur. Dalam artian Buddha adalah pencipta agama Hindu modern.

Dalam kata pengantarnya, Bhupendra Kumar Modi menulis, ''Perlu ditekankan bahwa Bhagavan Buddha adalah bagian tradisi keagamaan Hindu dan tidak terlepas dari agama Hindu. Bhagavan Buddha lahir sebagai orang Hindu dan sampai meninggal beliau tetap seorang Hindu yang menafsirkan agama Hindu dari sebuah sudut pandang yang baru.''
(Resensi Buku dengan judul: Agama Hindu Kebenaran Universal, Penyusun : Dr.Bhupendra Kumar Modi, Alih Bahasa: Dr. Somvir & Eka Savitri)

…Hinduism cannot live without Buddhism, nor Buddhism without Hinduism. Then realise what the separation has shown to us, that the Buddhists cannot stand without the brain and philosophy of the Brahmins, nor the Brahmin without the heart of the Buddhist. This separation between the Buddhists and the Brahmins is the cause of the downfall of India.. (Buddhism, The fulfillment of Hinduism, By Swami Vivekananda, The first disciple of Sri Ramakrishna Paramhansa, Talk delivered at the Parliament of Religions, Chicago, 26-09-1893)

Hinduisme tidak bisa hidup tanpa Buddhisme, demikian pula sebaliknya Buddhisme tidak bisa hidup tanpa Hinduisme. Kemudian menyadari apa yang memisahkan yang terlihat oleh kita, bahwa Budhisme tidak dapat berdiri tanpa otak dan filsafat dari para Brahmin, demikian pula para Brahmin tidak dapat berdiri tanpa hati Buddhisme. Pemisahan antara Buddhisme dan Brahmin inilah penyebab kemerosotan India.

Di Indonesia, Hindu dan Buddha telah melebur menjadi satu melahirkan sebuah Negara yang kuat dimasa keemasan Prabu Hayam Wuruk (Hindu) dengan patihnya Gajah Mada (Buddha). Mpu Tantular dalam karyanya Sutasoma menuliskan: “Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrua” lebih lengkapnya:


Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5. Bait ini secara lengkap seperti di bawah ini:

Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

Terjemahan:

Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecah belahlah itu, tetapi satu jualah itu.
Tidak ada kerancuan dalam kebenaran

Om Santi Santi Santi Om


Sumber:
1. http://www.hinduism.co.za/buddhism.htm#Buddhism,%20The%20fulfillment%20of%20Hinduism
2. http://wirajhana-eka.blogspot.com/2008/02/sidhartha-gautama-buddha-hindu-hindu.html
3. http://www.iop.or.jp/0414/anand.pdf
4. www.wikipedia.com





Om Santi Santi Santi Om

Wednesday, June 24, 2009

STAH Dharma Nusantara Jakarta Lulus AKREDITASI

Om Swastyastu
atas waranugraha Hyang Widhi astungkara sayaberitahukan kepada umat Hindu bahwa satu2nya PERTI Hindu di Ibu Kota Negara telah berhasil melewati satu tahapan uji publik dengan hasil yang sangat baik.

telah berhasil meraih Akreditasi dari BAN PT dengan predikat B+, dengan nilai 351
kepada semua pihak yang telah membantu STAH DNJ baik secara moril dan material kami atas nama Pribadi dan selaku bagian dari STAH DNJ mengucapkan Banyak terima kasih
semoga Hyang Widhi memberkati kita semua
semoga Hindu semakin jaya

OSSSO

I Wayan Sudarma

Friday, June 19, 2009

Mengmbangkan SADHANA [ DISIPLIN SPIRITUAL ]

Shri Danu. D.P (I W Sudarma)


Para bakta sedharma yang terkasih dalam lindungan Sang Hyang Widhi Wasa,


Om Swastyastu ‘.

Kehidupan manusia akan sangat sempurna bila dijadikan sebuah sadhana, setiap saat adalah hari yang baik untuk memulai sadhana, sadhana harus mampu memperluas pandangan, memperkaya pengalaman dan menggembirakan jivatman untuk bersatu dengan paramatman.
Mungkin sering timbul pertanyaan berikut ini ; Mengapa Beliau tak terlihat? Itu pertanyaan yang bagus; Beliau adalah laksana keju dalam susu, pada setiap tetesnya dengan sempurna. Apabila ingin melihat rupa keju, maka proses tertentu harus dilakukan, yaitu; direbus dahulu, dibekukan, ditumbuk dan seterusnya. Begitu pula dalam sadhana, dengan mengucapkan berulang – ulang nama Tuhan, Dia yang bersemayam didalam hati dapat dilihat. Dan tentunya sadhana ini harus disertai dengan vairagya yaitu kewajiban tanpa pamrih.

Apabila membuat sumur bor untuk mendapatkan air dari perut bumi, maka pipa harus dibuat hampa udara, sehingga air dapat memancur keluar dari perut bumi. Apabila tidak hampa udara maka air tak dapat keluar. Begitu juga, pastikanlah agar sadhana bersih dari keterikatan duniawi, agar sadhana tidak dapat dirusak olehnya. Cinta kasih tak akan muncul apabila kenikmatan indriawi dan kebanggaan diri telah menguasai pikiran

Ada tiga hal yang perlu diperhatikan oleh seseorang, yaitu ;

a. Aku tidak akan memikirkan sesuatu selain Tuhan

b. Aku tidak akan melakukan sesuatu tanpa seizin Tuhan

c. Perhatian kita sepenuhnya dipusatkan pada Tuhan.

Sadhana untuk memusatkan kepada Tuhan baik melalui pikiran, perkataan, dan perbuatan sama sekali tidak dipengaruhi oleh asrama dharma maupun varna dharma. Namun keduanya akan mempengaruhi mereka yang hidup diatas kesadaran bahwa badan dianggap sebagai Kenyataan dan bertindak seolah – olah dunia ini mutlak dan kekal.

Disiplin spiritual, misalkan dengan menggiatkan japa, dhyana, seva dan sankirtan semuanya ini menghasilkan tujuan yang sama untuk menghindarkan masyarakat manusia tenggelam dalam kubangan hewani. Meletakan harapan sepenuhnya pada nasib dan tetap diam berarti mengurangi usaha. Dengan usaha dan doa, nasib yang baru akan dapat dicapai. Tanpa usaha dan doa, nasib dan berkah tidak dapat diperoleh. Karena itu lakukan sadhana, yaitu disiplin spiritual.

Orang ragu – ragu memasuki lapangan sadhana, meskipun mereka mengharapkan untuk memetik kegembiraan. Banyak yang enggan menggunakan tenaga sedikit juapun, tetapi berharap moksa jatuh dari ke atas pangkuannya. Mereka ingin memiiki pandangan Ketuhanan yang disuntikan tanpa rasa sakit di otaknya. Ada suatu cerita, ketika Maitreyi diberi harta benda yang banyak jumlahnya oleh Yājñavalkya dalam bentuk emas dan ternak, ketika ia meninggalkan tanah dan tempat tinggalnya, demi pencarian spiritualnta, Maitreyi bertanya kepadanya, apakah barang – barang tersebut berguna baginya dalam pencariannya itu? Dan suaminya menjawab bahwa barang – barang itu hanya bersifat sementara dan sangat murah bila dibandingkan dengan kekayaan pengalaman spiritual, akhirnya Maitreyi mengesampingkannya dan berusaha mendapatkan kekayaan dengan tapa dan sraddha.

Itulah angan – angan tinggi dari seorang Maitreyi dan ia berhasil menggapainya. Banyak manusia yang berangan-angan tinggi tapi tidak berusaha untuk mencapai ketinggian tersebut. Banyak orang orang yang memasuki toko dan memilih kain untuk bahan celananya atau kemeja dan memilih yang warna hitam, apa alasan memilih warna yang hitam dan tidak menyukai yang putih? Karena yang hitam mampu menyembunyikan kotoran. Keinginan tidak diusahakan untuk menyisihkan kotoran, tetapi menyembunyikannya dari pandangan. Inilah yang merupakan kelemahan menyeluruh. Orang-orang malu karena kotoran tetapi tidak berusaha untuk membuangnya yaitu dengan sadhana.
Berkah Tuhan merupakan curahan air hujan, laksana sinar matahari. Untuk menggapainya harus melaksanakan sadhana. Seperti musik yang disiarkan oleh pemancar radio, semuanya berada di sekitarmu tetapi harus menghidupkan dan menyetel pesawat radio penerima pada gelombang yang benar sehingga dapat mendengarkan dan menikmatinya.

Seorang Svami di India mengatakan, dimanapun kamu berada, apapun yang kamu kerjakan, lakukan itu sebagai tindakan bakti, sebagai pengabdian, pemujaan Tuhan, sebagai pemberi inspirasi, sebagai saksi Yang Maha Kuasa. Janganlah membagi kegiatan menjadi ‘ini untuk kepentinganku ‘ dan ‘ ini untuk kepentingan Tuhan ‘. Apabila kita mempersembahkan semua kegiatan di bawah kaki Tuhan dengan membebaskannya dari bekas-bekas sisa rasa kemilikan, akibatnya tidak akan mengikat kita dan kita dibebaskan dan mendapat moksa.

Ada 4 hal di mana setiap orang harus memperhatikannya :

1. Siapakah diriku ini?

2. Dari manakah asal mula diriku ini?

3. Akan kemanakah aku ini pergi?

4. Untuk berapa lamakah aku berada disini?

Kitab Catur Veda memberikan jawaban terhadap keempat pertanyaan tersebut. Dan semua pertanyaan – pertanyaan spiritual dimulai dengan keempat pertanyaan itu dan usahakan untuk mendapatkan jawabannya. Andaikata ada surat dimasukan ke dalam kotak surat tanpa alamat kemana surat tersebut harus dikirim atau dari mana surat itu berasal; surat itu tidak akan sampai dimana-mana. Merupakan pengorbanan atau kesia-siaan untuk menulisnya. Surat itu akan dikumpulkan sebagai surat-surat buntu. Demikian juga keadaannya, merupakan suatu hal yang sia-sia untuk lahir kedunia ini, apabila tidak mengetahui dari mana asal kita datang, kemana kita akan pergi. Sang jiwa atau atma akan terperangkap dalam siklus lahir mati dan tak akan pernah menemukan dirinya. Untuk mendapat jawaban yang benar, sadhana, sangatlah penting. Jawaban ini harus merupakan bagian dari
pengalaman. Jadi jangan hanya memperoleh jawaban dari membaca saja tapi carilah jawaban itu dari pengalaman.

Bila kita hendak menyambung listrik dari pusat listrik ke tempat tinggal untuk menerangi rumah, maka harus didirikan tiang-tiang pada jarak yang teratur dan menghubungkan rumah dengan pusat tenaga dengan kabel. Begitu juga bila kita ingin memperoleh karunia Tuhan, sadhana harus dilakukan dengan teratur dan hubungkan dirimu dengan Tuhan memakai kabel smaranam, japa, dhyana atau yang lainnya.

Kita harus percaya bahwa Tuhan selalu menopang kita. Apabila Tuhan tidak menopang kita maka jatuhlah kita. Apapun yang kita kerjakan, dimanapun kita ditempatkan, maka harus percaya bahwa Tuhan telah menempatkan kita disana untuk pekerjaan itu, kemudian itu akan merupakan suatu pendidikan yaitu suatu sadhana. Setiap hari dengan setiap kegiatan, setiap pikiran, setiap ucapan, harus mendekat lagi kepada Tuhan, yang akan menganugerahi dengan kebahagiaan tertinggi. Kenalilah pada setiap makhluk, setiap manusia, seorang saudara, sebagai anak Tuhan dan buanglah segala pikiran yang terbatas dan prasangka yang didasarkan atas status, warna dan klas, daerah dan kasta.

Semoga tulisan singkat yang tidak sempurna ini dapat memberikan setitik cahaya bagi kemajuan penghayatan kita terhadap keuniversalan Weda dan keutamaan kita sebagai manusia.

Ya Tuhan semoga setiap hari
Semua mahluk mendapatkan kebahagiaan
Semoga semua mahluk mendapatkan kedamaian
Semoga semua mahluk bersatu dalam kebenaran
Semoga semuanya tiada yang menderita
Om Shantih Shantih Shantih Om