Monday, March 29, 2010

SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT PANGRUWATING DIYU (Bagian 2)

Disarikan kembali oleh : Pinandita Astono Chandra Dana (Sekum PSN Pusat)

Salah satu ilmu rahasia para dewata mengenai kehidupan di dunia adalah Serat Sastrajendra. Secara lengkap disebut Serat Sastrajendrahayuningrat Pangruwatingdiyu. Serat = ajaran, Sastrajendra = Ilmu mengenai raja. Hayuningrat = Kedamaian. Pangruwating = Memuliakan atau merubah menjadi baik. Diyu = raksasa atau keburukan. Raja disini bukan raja dalam artian harfiah, melainkan sifat yang harus dimiliki seorang manusia mampu menguasai hawa nafsu dan pancainderanya dari kejahatan. Seorang raja harus mampu menolak atau merubah keburukan menjadi kebaikan. Pengertiannya bahwa Serat Sastrajendra adalah ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk merubah keburukan mencapai kemuliaan dunia akhirat. Ilmu Sastrajendra adalah ilmu KEBATINAN yang menekankan sifat MENEGAKKAN KEBENARAN DARI SEGALA KEBATHILAN, sifat memimpin dengan amanah dan mau berkorban demi kepentingan rakyat.

Melalui ilmu Sastrajendra maka simbol sifat sifat keburukan raksasa yang masih dimiliki manusia akan menjadi dirubah menjadi sifat sifat manusia yang berbudi luhur.

Berikut kami sajikan kembali lanjutan ceriteranya :

”Wahai puteriku, jangan kalah, ngalirlah tetap. Kehidupan tetap mengalir.” Maka masuklah ke alam yang baru, lebih tinggi lagi. Di sana mereka tidak melihat masa lalu. Masa lalu tidak ada!

”Wahai Begawan, dimanakah aku waktu dilahirkan? Aku waktu remaja, saat bermanja pada Ayah dan Ibu?”

”Wahai Puteriku, masa lalumu tidak ada. Di sini tidak ada masa lalu, disini tidak ada bedanya. Masa lalu adalah kehidupan dunia. Di sini tidak ada masa lalu.”

”Wahai Begawan, manakah masa depanku?”

”Di sini tidak ada masa depan. Masa depan adalah kehidupan dunia, karena manusia dunia dirancang untuk bercita-cita, melihat masa depan. Dibangun oleh keinginan maka melihat masa depan, dibentuk oleh rencana kerja. Di sini Puteriku, tidak ada masa depan. Kita tidak ada lagi rencana keinginan, apa dan bagaimana. Di sini adalah keberadaan yang sesungguhnya. Bumi adalah bayang-bayang kita dalam kehidupan. Itulah Puteriku”, kata Begawan Wisrawa.

“Kalau demikian, wahai Begawan, apakah ’kerinduan’? Sedangkan aku merindukan masa depan yang lebih baik. Masa depan adalah kerinduan, dimanakah kerinduan. Ditempat ini tidak ada, wahai ayahku.”

”Wahai Puteriku, Kerinduan di sini tidak ada. Tapi ada dalam bathinmu dan jiwamu. Kerinduan akan sesuatu, ada dalam jiwamu. Dan dalam jiwamu lebih besar, lebih agung, lebih hebat dari alam ini, wahai anakku. Itulah Sastra Jendra. Sastra Jendra adalah kerinduan yang tersembunyi dalam bathin. Kerinduan bukan kepada anak isteri, kerinduan bukan pada suami, kerinduan bukan pada kekasih, kerinduan bukan pada harta dan kekuasaan. Kerinduan kepada sesuatu, dimana sesuatu itu pun kita tidak tahu. Itulah Sastra Jendra, wahai anakku.”

Maka, ”Wahai Puteriku, bila engkau merindukan sesuatu, jangan disini. Di sini tidak ada masa lalu dan masa depan. Di sini tidak ada keinginan dan harapan. Kembalilah kepada hati, wahai Puteriku. Hatimu yang ada kerinduan.”

”Masuklah kembali ke dalam hati, di sana ada kerinduan. Di sana ada kehidupan yang sesungguhnya, wahai Puteriku.”

Maka sang Dewi masuk ke dalam bathinnya sendiri, ke dalam perasaannya sendiri. Maka dijemputlah sang Dewi oleh cahaya gemilang, gemerlap sinar yang keindahannya melampaui cahaya matahari. Dan seluruh cahaya matahari di alam raya padam, tiada arti oleh cahaya yang datang dari bathinnya sendiri ”Wahai Begawan, cahaya apakah itu?”

”Itu adalah cahaya dari yang engkau rindukan. Itulah Sastra Jendra, wahai Puteriku.”
manakala cahaya tersibak, disana ada Kebijaksanaan, kebijaksanaan yang tersembunyi, kebijaksanaan yang tersimpan dari ribuan lapis perasaan hati. Kebaikan hati, keikhlasan, kepasrahan, itu adalah membentang rapat menutupi Kebijaksanaan.

”Wahai Puteriku, sibaklah hati pasrahmu, Puteriku, sibaklah hati kebaikanmu, sibaklah hati keikhlasanmu maka ada Kebijaksanaan. Kebijaksanaan ada di tempat yang paling dasar dari sibakan keikhlasan. Sibaklah hati yang baik.”

”Mengapa demikian wahai Begawan?”

”Karena kebijaksanaan adalah tetesan dari kesakitan yang tak mampu lagi menimbulkan luka. Dari kesakitan yang tidak lagi memberikan hujan duka. Dari tetesan kesenangan yang tak mampu lagi menggembirakan. Kegembiraan dan duka, punah! Itulah kebijaksanaan, wahai Puteriku. Itulah Sastra Jendra.”

”Kebijaksanaan”, kata Sang Begawan, ”Seperti malam bersayap siang, seperti siang berparuh malam. Seperti kematian yang berkafankan kehidupan. Seperti kehidupan yang berselimutkan kematian. Rembulan di siang hari, matahari di malam hari, itulah kebijaksanaan. Itulah Sastra Jendra, wahai Puteriku.”

Sang Dewi pun tenggelam dalam kebijaksanaan. Di alam itu, sang Dewi muncul lagi rasa sengsara yang tak bertepi. Rasa duka yang luar biasa, Namun, manakala rasa kesakitan yang tinggi, muncul dalam jiwanya, tiba-tiba, tanpa proses. Tenang…senang yang melonjak! …..Terus demikian! Antara sakit dan senang diubah tiba-tiba. Proses psykologi yang tak mampu menampung perubahan yang sangat hebat. Dari sakit ke senang, dari duka ke tenang, dari resah ke aman, tiba-tiba. Terus demikian berganti-ganti.

”Wahai Begawan, apakah ini?”

”Ini adalah tangga-tangga menuju jagad raya, yang tak bertepi. Kita datang ke suatu tempat, Sumber Pencipta Alam Raya ini. Anakku, tangga-tangganya berlapis kesengsaraan yang tidak terhingga dan kebahagiaan yang tak terhingga.” Sang Dewi pun masuklah.

Manakala jiwanya tak terkecoh oleh duka dan senang, oleh rasa dan tenteram. Masuklah ke suatu alam, dimana di alam ini semuanya tidak ada lagi proses permulaan dari kejadian. Proses awal dan akhir. Maka Sang Dewi merasa malu kepada dirinya sendiri. Yang tadinya bangga dengan dirinya, bangga dengan kecantikanya. Saat itu, sang Dewi malu pada dirinya sendiri dan malu kepada alam, keadaan alam saat itu.

”Wahai Begawan, aku malu pada diriku.”

”Wahai Puteriku, manakala engkau malu pada dirimu berarti engkau kembali kepada kehidupan yang sesungguhnya. Manakala engkau malu pada alam ini, engkau sebenarnya kembali pada sumber awal kehidupan. Engkau berangkat dari sini, wahai anakku, dilahirkan ke bumi.”

”Aku pun malu yang tidak mengerti”, berkata sang Dewi.

”Wahai Puteriku, pengertian malu adalah malu pada Penciptamu. Ada disini Pencipta kita, kita tidak bisa melihat. Tapi kita ada dalam genggaman sang Maha Pencipta. Kita sedang berenang di Samudera keillahian, wahai Puteriku.”
Tidak lama kemudian, Dewi Sukesih menemukan keindahan, keindahan sebuah permulaan. Dimana segala sesuatu tidak lagi melalui pengertian. Pengertian yang tidak perlu dipelajari.

Pengertian tidak perlu dipelajari, perasaan-perasaan rasa tidak lagi harus dibuat. Dia sampai pada puncak keindahan tiada tara.

”Wahai anakku, kita sudah sampai pada puncak kebahagiaan. Tiada lagi kebahagiaan selain di tempat ini, wahai anakku. Kebahagiaan yang tak bisa dipetik dengan ilmu. Kebahagiaan ini, tak bisa dipetik, dipanen dari amal ibadah. Kebahagiaan yang bukan dipetik dari pengorbanan. Itulah puncak kebahagiaan.”

”Wahai Begawan, bilamana kebahagiaan ini yang bukan dipetik dari pengorbanan, apakah itu?”

”Itu adalah ’Hayuningrat’ anakku, Sastra Jendra Hayuningrat. Hayuningrat adalah kebahagiaan bukan yang dirintis dari keinginan berbuat baik, tapi Hayuningrat adalah

“Pangestu Hyang Widhi”’ dalam memberikan sesuatu. Bukan keinginan kita, bukan jerih payah kita, Kehendak-Nya. Itulah Sastra Jendra Hayuningrat, wahai anakku.”
Hayuningrat adalah penyerahan diri total. Kebahagiaan yang begitu meresap ke dalam jiwa sang Dewi. Maka muncul kebahagiaan baru yang berlapis-lapis. Tambah mengangkasa tambah indah. Ternyata kebahagiaan pun berlapis-lapis tak bersisi, kebahagiaan yang tak ada limitnya.

”Wahai Begawan, kita menuju kemana?”

”Kita arungi kebahagiaan yang tak bertepi.”

”Apakah…..apakah ada tempat puncak?”

”Ada, puncak kebahagiaan.”

”Bagaimanakah cara sampai ke sana, wahai Begawan”,

”Wahai Puteriku, adakah sisa perasaan dalam hatimu untuk dipersembahkan?”

”Ada.”

”Apa?”

”Aku rindu kepada Tuhan.”

Dewi Sukesih merasakan, kebebasan sebebas-bebasnya tanpa rasa kekangan dari perasaannya sendiri. Artinya, setiap manusia mengalami himpitan dalam mengarungi kehidupan. Namun saat itu, Dewi Sukesih terbebas dari apapun yang menghambat dalam perasaannya. Dia terbang di alam Yang Maha Merdeka, Maha Sentosa, Gemah Ripah Loh Jinawi. Angkasa kebebasan yang sangat demokrasi.

”Wahai Puteriku, terbanglah sejauh-jauhnya, kepakkan sayapmu.”

Maka Dewi Sukesih terbang yang sebebas-bebasnya, seperti merpati yang mengarungi angkasa luas.

”Namun Puteriku, jangan terlalu jauh dalam terbang. Sejauh-jauh merpati terbang, akhirnya akan lelah jua. Sebelum lelah engkau harus kembali.”

Dewi Sukesih merasa sebagai manusia yang punya harkat, merasa dirinya mempunyai makna. Betapa dekat dengan yang menciptakannya, kasih sayang-Nya, terasa membeli jiwa. Sang Dewi merasa mendapat titah dari Hyang Widhi, dan merasa seolah-olah dirinya tidak berhak lagi hidup di dunia. Dirinya enggan pulang ke bumi.

”Wahai Puteriku, jangan munculkan perasaan itu. Di sini adalah hak setiap manusia, di sini adalah hak setiap makhluk. Namun bumi pun adalah hak kita. Sekalipun engkau merasa tidak berhak lagi di dunia, namun fisikmu, dagingmu masih terikat oleh hukum dunia. Kematian masih memijak alam bumi ini. Engkau tidak akan mampu jauh di alam kebahagiaan ini, sedang kau masih punya raga di dunia. Jangan lupakan itu”, berkata Begawan Wisrawa.

Terus sang Dewi mencoba berusaha melupakan duniawi. Dunia terlalu hina dirasakan, niat baiknya sering dinodai.

”Wahai Begawan, segala keinginan yang baik selalu terjegal oleh noda dunia, aku enggan kembali ke bumi. Setiap pengorbanan yang kupersembahkan dengan ikhlas, selalu dihina oleh mereka yang hidup di dunia. Wahai Begawan, setiap bunga-bunga dihatiku kuungkapkan dalam kerinduan kepada rakyat, kepada mereka, kepada yang aku cintai. Namun mereka tidak pernah melihatku bahwa aku mempersembahkan keindahan, keikhlasan kepada mereka. Aku muak kepada dunia yang penuh kehinaan dan kekotoran.”

”Wahai Dewi Sukesih Puteriku, jangan engkau merasakan perasaan itu. Usirlah, rasa menghina bumi. Karena bumi, Tuhan pula yang menciptakan, sama pula menghina Tuhan, kalau engkau menghina dunia atau bumi. Stop gejolak penjelajahan perasaan seperti itu. Kita masih di dua alam. Keterikatan dengan bumi dan mengarungi hak kita di alam jagad ini.”

Namun Dewi Sukesih nakal, tetap diarungi. Tidak mau kembali ke dunia. Tiba-tiba keresahan bergelombang kembali. Keresahan bukan berasal dari alam keindahan ini. Alam surga Nirwana yang maha nikmat, tetap dengan segala keindahan dan kesempurnaan. Keresahan dan gejolak pilu datang dari bathinnya sendiri. Resah, merasa kotor, merasa terhina, ternoda.

”Wahai Begawan, aku merasa malu. Bukan malu seperti dulu, tapi aku malu kehinaan diriku. Betapa aku kotor di tempat ini, aku tidak pantas di tempat yang suci ini, wahai Begawan. Aku tidak pantas di tempat yang Agung ini, karena aku ternoda, karena noda itu aku sendiri yang menciptakan, wahai Begawan. Kenapa demikian wahai Begawan?”

”Wahai Puteriku, engkau, aku, memang datang dari noda, berangkat dari noda. Berangkat dari kesalahan, pergi menuju ke kesalahan. Kita menyimpan jagad kesalahan dalam diri kita, walau di tengah surga yang indah ini.”

Demikian Begawan Wisrawa berkata. ”Karena itu Puteriku, engkau harus ’diruwat’, supaya Tuhan mensucikan jagad kita yang ternoda. Pangruwating. Karena dalam jiwa kita penuh nafsu dan amarah. Angkara murka yang tak bersisi, keserakahan yang tak berbentuk lagi. Itu harus diruwat oleh Hyang Widhi. Pensucian jagad kita, karena kita tetap dalam kekotoran, walau kita mengangkasa di jagad keindahan yang sangat permai, yang sangat suci, yang sangat agung”, Begawan Wisrawa meneruskan keterangannya.

”Marilah kita kembali, Sastra Jendra sudah kupedar, Hayuningrat sudah kupedar, Kita harus kembali ke bumi, segera! Supaya Hyang Widhi mensucikan jagad kita yang sudah kelam dalam kekotoran dan noda.”

Namun karena keindahan yang luar biasa. Terhanyutlah sang Dewi Sukesih dengan Begawan Wisrawa sendiri, hingga sampai ke gerbang Kahyangan, pintu surga, pintu Nirwana, tempat para dewa bersemayam. Gerbang ini dinamakan Sela Menangkep pintu masuk surga.

Bersambung............

Tuesday, March 23, 2010

SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT PANGRUWATING DIYU (Bag. 1)

Disarikan kembali oleh : JM Astono Ch. Dana (Sekum PSN Pusat)


SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT merupakan susastra suci keilmuan tentang kunci rahasia kehidupan yang sangat adi luhung yang dipedar dan dibeberkan secara lugas dalam epos wiracarita RAMAYANA, yang kisahnya terjadi berkaitan dengan proses kelahiran DASAMUKA RAHWANA jauh sebelum kelahiran RAMADEWA.

Berikut ini kami mencoba menyajikan dan menguraikannya dalam beberapa bagian/episode secara bersambung, semoga para pembaca yang budiman berkenan untuk mengikutinya. Nuhun........

Dalam kitab Ramayana, alkisah ada seorang raja yang mengundurkan diri dan diserahkan pada anaknya. Raja tersebut yang menjadi Begawan Wisrawa, menyerahkan pada putranya Prabu Danareja di kerajaan Lokapala.

Di negeri yang lain, Alengka, diperintah oleh Prabu Sumali yang dibantu oleh adiknya Arya Jambumangli, dan puterinya yang sangat cantik sedang diperebutkan oleh para raja. Namanya Dewi Sukesih.

Setiap raja yang melamar Dewi Sukesih ini di bunuh (harus berhadapan dalam perang tanding) pamannya, Arya Jambumangli. Sehingga tak ada lagi raja-raja yang mampu mengalahkan pamanda Dewi Sukesih. Satu-satunya raja yang masih ada ialah putera Begawan Wisrawa, Prabu Danareja. Namun raja ini kalah kuat ilmunya, kalah kuat oleh pamanda Dewi Sukesih.

Oleh karenanya Begawan Wisrawa turun dari pertapaan. ”Ada apakah anakku, dalam tapaku, aku melihat kegelapan. Mengapa negeri ini, yang kita cintai, dalam kesengsaraan? Air bening untuk hidup rakyat tidak lagi ramah. Seluruh air kembali lagi pada sumbernya di bawah samudera. Bunga-bunga layu sebelum berkembang, buah yang ada pun tak sempat masak. Diapakan negeri kita ini, wahai anakku?”

”Wahai ayahanda, seluruh kehidupanku dirampas oleh cinta Dewi Sukesih, dan aku tak mampu memikirkan bangsa ini, negeri ini. Yang kupikirkan adalah kecantikan Dewi Sukesih”, berkata Prabu Danareja.

”Wahai anakku, Sang Dewa marah padamu. Karena engkau telah mematikan kesuburan negara ini dengan asmara, wahai anakku, jangan jadikan asmara ke dalam pekerjaan yang besar. Karena asmara adalah dunia kecil yang mampu menghancurkan dunia yang besar”, kata Begawan Wisrawa.

”Wahai anakku, jangan engkau melihat kebenaran-kebenaran yang ada di muka bumi ini, melalui perasaan asmaramu. Keluhuran nilai akan ternoda, tak bermakna, manakala diteropong oleh perasaan asmaramu. Namun demikian, aku ayahmu pernah merasakan perasaan asmara. Biar aku yang melamarkan, menyunting Dewi Sukesih. Ayahnya adalah sahabatku. Cintaku untukmu wahai anakku, biarlah aku, ayahmu mewakili datang ke kerajaan Alengka.”

Sesampainya Begawan Wisrawa di kerajaan Alengka, kebahagiaan batin dari raja Alengka, Prabu Sumali, menyatu dalam pelukan mesra dengan sahabatnya ”Wahai sahabatku Prabu Sumali, ada apakah? Kesenduan di matamu tak mampu engkau sembunyikan”, bertanya Begawan Wisrawa.

”Wahai sahabatku Begawan Wisrawa, gara-gara anakku, darah para raja harus mengalir di negeri yang kucintai ini, Alengka.”

”Karena itu aku datang untuk menyunting puterimu, untuk anakku.” Maka dipanggillah Dewi Sukesih oleh ayahandanya, dan diceritakan akan disunting oleh seorang raja dari Lokapala.

”Wahai ayahku, aku mau dikiwini oleh seorang raja atau oleh orang miskin sekalipun. Asal mampu memedarkan, menerangkan Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.”

”Wahai puteri sahabatku, calon suamimu, anakku, takkan mampu. Dan siapapun takkan mampu menerangkan Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, kecuali aku. Harus kutebus makna ini dengan meninggalkan gemerlap kekayaan dan kekuasaan sebagai raja. Namun demikian, biarlah, untuk anakku dan untuk aku, akan aku pedar Sastra Jendra tersebut”, kata Begawan Wisrawa kepada putri Prabu Sumali sahabatnya.

Berkata Begawan Wisrawa pula pada sahabatnya, Prabu Sumali ”Wahai sahabatku, akan aku bawa puterimu, siapkan tempat, sebuah taman sunyi yang hanya ada bunga Kenanga.”

Maka Begawan Wisrawa membawa Dewi Sukesih. Manakala masuk ke taman yang indah, Begawan Wisrawa memandang Dewi Sukesih dengan kecintaan seorang ayah pada anaknya.
”Kesinilah putriku.” Saat itu pula Dewi Sukesih merasa berdiri di bumi ini, dan dunia ini hanya ada di telapak kaki Dewi Sukesih dan Begawan Wisrawa, serta mampu menggapai bulan yang ada, tidak hanya satu, tapi tiga.

”Wahai Dewi Sukesih, engkau mampu menggenggam bulan. Keanggunan dan kemolekan bulan sejak dulu selalu menghina dan memperkecil makna duniawi. Namun dihadapanmu wahai putriku, sang bulan meronta. Cahayanya engkau ambil alih ke dalam jiwamu.”

Saat itu pula, Dewi Sukesih merasa retak hatinya. Sakit yang tiada sebab, seperti benci pada seseorang tapi tak ada orangnya. Resah oleh sesuatu tapi tak ada kesalahan, kesal akan sesuatu tapi tidak tahu sebabnya. Emosi bergemuruh dalam diri Dewi Sukesih!

”Wahai putriku, jangan engkau membiarkan gejolak emosimu menjadi tuan di dalam dirimu. Bulan yang angkuh tak berdaya, karena engkau ambil alih kemolekannya, dan energinya kembalikan pada bulan. Wahai puteriku, engkau tak mampu menerima kemolekan bulan, karena sang rembulan, cahayanya menjadikan bunga-bunga berkembang, menjadikan binatang-binatang memadu cinta, maka berkembanglah keturunan kelestarian alam ini oleh cahaya kekuatan rembulan. Jangan kau ambil alih kedalam jiwamu.

Engkau adalah yang berdarah dan berdaging. Manakala kau menyimpan cahaya rembulan di dalam jiwamu, berarti engkau merampas hak hidup bagi hewan dan tumbuh-tumbuhan. Itulah sebuah permulaan dari Sastra Jendra, wahai puteriku.”

Maka Dewi Sukesih dengan kekuatan bathinnya, mengusir luka didalam bathinnya, kesakitan dalam perasaannya. Bulan yang redup, terampas cahayanya oleh Dewi Sukesih, kembali bersinar terang.

”Wahai Puteriku”, berkata Begawan Wisrawa, ”Sastra Jendra adalah bukan kata-kata, Sastra Jendra bukan kalimat, Sastra Jendra adalah ’sesuatu’ yang mempunyai wadah, tapi ada di alam dunia ini. Ada di bumi ini, ada dalam cakrawala dan ada dimanapun. Tapi Sastra Jendra tak mampu tertampung karena wadahnya belum ada.”

Manakala Begawan Wisrawa mengakhiri kata-kata ini, mengangkasalah keduanya, ke suatu tempat yang sangat jauh. Sampailah ke suatu tempat yang sunyi, mencekam!

”Wahai Puteriku, jangan menjerit, karena disini tiada siapapun. Tiada orang yang bisa dipanggil, tiada apa-apa tempat berpijak. Tidak ada sesuatupun permasalahan.”

”Wahai puteriku, disini kita tidak memiliki dan disini kita tidak dimiliki. Dan engkaupun disini tidak lagi memiliki dirimu sendiri. Dirimu yang berdarah dan berdaging, dirimu yang berjiwa dan berperasaan, adalah ketiadaan.” Demikian sang Begawan bertutur.

”Kita dalam ketiadaan, rasakanlah anakku, manakala engkau kehilangan rasa memiliki, termasuk dirimu sendiri. Kita dalam kematian. Kematian adalah melepasnya rasa memiliki. Dibalik kematian justru ada kehidupan yang sejati. Kehidupan yang tidak dapat lagi dialas oleh definisi, kehidupan yang tidak mulai dari awal dan tidak berakhir dari satu batasan. Itulah Jatining Hurip.”

”Wahai anakku, kematian adalah sebenarnya sebuah proses kehidupan yang lebih luas dari proses kehidupan sebelumnya, kita berada dalam kehidupan yang sejati. Tenang dan tentram, karena merasa tidak dimiliki dan tidak memiliki”, demikian sang Begawan.

”Wahai Puteriku, manakala engkau merasa memiliki, engkau akan menggugat pada yang engkau miliki. Dan merasa engkau dimiliki, engkaupun akan digugat oleh mereka yang merasa memiliki dirimu. Kini kita merdeka, kemerdekaan bathin dan perasaan yang tiada batas.”

”Wahai Begawan, dimanakah dewa-dewa?”

”Di sini tidak ada dewa, wahai Puteriku. Dewa pun tiada, hanya kita. Manakala engkau ingat pada dewa, berarti kita masih ’merasa’ ingin memiliki. Dewa pun tidak ada, hanya kita berdua.”

Maka Dewi Sukesih merasa tenang dan tenteram. Ketenteraman yang sangat tinggi dan indah, kesejukan bathin yang tiada tara. Maka mereka masuk lebih jauh lagi.

”Mari kita masuk lebih jauh ke angkasa ketentraman.”

”Kita akan kemana? Bukankah kita sudah sampai ke alam ketenteraman, wahai Begawan”, tanya Dewi Sukesih”.

”Belum, diatas ketenteraman ada ketenangan, diatas ketenangan ada kemegahan kesejukan. Itu tidak terbatas, wahai Puteriku.”

”Dimanakah puncaknya, wahai Begawan?”

”Puncaknya, ada didalam cinta. Kita menuju cinta, wahai Dewi Sukesih.”

Maka sampailah ke suatu perbatasan. Alam cinta dimasuki.”

”Anakku, kita masuk ke Sastra Jendra. Tiada alam diciptakan oleh Hyang Widdhi, kalau bukan karena cinta. Manusia dan hewan tidak mungkin ada tanpa cinta. Alam raya takkan tercipta tanpa cinta. Kita masuk, wahai anakku ke dalam cinta. Itulah Sastra Jendra.”

Masuklah mereka ke alam cinta. Masuklah Dewi Sukesih ke alam cinta. Maka jiwa bukan lagi terbatas oleh rasa tenteram, dibatasi oleh rasa tenang saja. Tetapi jiwanya tiada. Ketenteraman melampaui Kebahagiaan. Tiada lagi dikatakan bahagia, tiada lagi dikatakan nikmat, tiada lagi dikatakan enak. Diatas segalanya.

Maka gelombang cinta itu menyibakkan rambut Dewi Sukesih yang berkonde. Rambut terurai, bergelombang begitu indah terhempas cinta. Cinta, bisa dirasakan, tapi tak bisa dilihat. Cinta, bisa dinikmati tidak melalui kulit dan daging. Karena saat itu, Dewi Sukesih tidak lagi memiliki dirinya sendiri. Cinta yang sesungguhnya, bisa diraba oleh sesuatu, manakala manusia kehilangan eksis fisiknya, eksis fikirannya dan eksisnya. Maka di alam itu, mengalirlah sungai yang bening. Sungai tak bernama sebagaimana sungai Eufrat, sungai Nil ataupun sungai Ciliwung. Namun sungai itu bening, sungai mengalir membawa energi cinta, kasih sayang.

”Wahai Puteriku, lihatlah sungai. Waktu tidak lagi bergerak, tapi waktu bergerak dibawa oleh kita. Seperti sungai yang melepas air-airnya, dia tetap diam. Waktu harus kita gerakkan, bukan kita yang digerakkan oleh waktu, wahai anakku. Walaupun sungai itu diam, tapi selalu baru. Kehidupan, wahai anakku, harus tetap baru. Usia menguasai kita, tapi kita akan tetap baru, jiwa kita dan perasaan kita. Kita tidak boleh harus tua oleh waktu, kita harus tetap muda, walau kita dirongrong oleh waktu. Kekuatan cinta tidak lagi termakan oleh usia. Tua dan muda, gagal menggoyangkan kemurnian cinta itu sendiri.” Demikian Begawan berkata pada Dewi Sukesih.

”Namun demikian sungai menurun, tidak pernah menanjak, wahai anakku. Lihatlah kehidupan. Kita jangan cari yang menanjak. Kita harus seperti sungai yang mengalir tanpa beban. Berbelok-belok dihimpit oleh gunung. Biasa, kehidupan harus terhimpit namun sekecil apapun himpitan gunung, sungai tetap mengalir, walaupun melalui celah-celah yang sempit.” lman tetap mengalir walau himpitan persoalan hidup seperti gunung yang menggencet.

(Bersambung............)

Thursday, March 18, 2010

RENUNGAN HARI RAYA NYEPI 1932 SAKA TENTANG FALSAFAH KERUKUNAN PERSPEKTIF HINDU

Agama baru sampai ke tataran verbal, belum direalisasikan dalam keseharian, demikian pula karena kedangkalan pemahaman terhadap ajaran agama, seseorang mudah saja diprovokasi dengan meng-atasnamakan agama untuk menyulut berbagai kerusuhan di tanah air.

Telah banyak korban di daerah konflik seperti: Aceh, Kalimantan Barat, Ambon, Maluku Utara dan hingga beberapa pekan terakhir ini yang tak henti-hentinya mulai konflik Doloduo dengan Mopugad, Tataaran dengan Ibolian, Tambun dengan Kembang Mertha, hingga beberapa pekan terakhir antara Toruakat dengan Pusian yang mengorbankan rumah dibakar sampai 27 rumah. Apakah benar Bapak Presiden yang salah ?

Dasar-dasar teologi kerukunan dalam persepktif Hindu kita jumpai pada kitab suci Veda yang merupakan himpunan sabda suci (wahyu) Tuhan Yang Maha Esa. Beberapa mantram Veda yang menyatakan tentang kerukunan antar umat beragama kami kutipkan sebagai berikut.

"Janaý bibhrati bahudhà vivàcasaý; nànàdharmanaý påthivì yathaikasam; sahasraý dhàrà dravióasya me duhàý; dhraveva dhenuranapasphuranti". Atharvaveda XII.1.45.
(Berikanlah penghargaan kepada bangsamu yang menggunakan berbagai bahasa daerah, yang menganut kepercayaan (agama) yang berbeda. Hargailah mereka yang tinggal bersama di bumi pertiwi ini. Bumi yang memberi keseimbangan bagaikan sapi yang memberi susunya kepada umat manusia. Demikian ibu pertiwi memberikan kebahagiaan yang melimpah kepada umat-Nya).

"Saý vo manàýsi saý vratà sam àkùtìr namàýsi, amì ye vivratà sthana tàn vaá saý namayàmasi". Atharvaveda III. 8.5.
(Aku satukan pikiran, dan langkahmu untuk mewujudkan kerukunan di antara kamu. Aku bimbing mereka yang berbuat jahat menuju jalan yang benar)

"Yena devà na viyanti no ca vidviûate mithaá; tat kåómo Brahmà vo gåhe saýjñàna puruòebhyaá". Atharvaveda III.30.4
(Wahai umat manusia! Bersatulah, dan rukunlah kamu seperti menyatunya para dewata. Aku telah anugrahkan hal yang sama kepadamu, oleh karena itu ciptakanlah persatuan di antara kamu)

"Saý gacchadhvaý saý vadadhvaý saý vo manaýsi jànatàm, devà bhàgam yathà pùrve saýjànànà upàsate". Ågveda X.191.2.
(Wahai umat manusia! Hiduplah dalam harmoni dan kerukunan. Hendaklah bersatu dan bekerja sama. Berbicaralah dengan satu bahasa dan ambilah keputusan dengan satu pikiran. Seperti orang-orang suci di masa lalu yang telah melaksanakan kewajibannya, hendaklah kamu tidak goyah dalam melaksanakan kewajibanmu)

"Samàno mantraá samitiá samàni; samànam manaá saha cittam eûàm; samanam mantram abhi mantarey vah; samanena vo havisa juhomi". Ågveda X.191.3.
(Wahai umat manusia! Pikirkanlah bersama. Ber-musyawarahlah bersama. Satukanlah hati dan pikiranmu dengan yang lain. Aku anugrahkan pikiran yang sama dan fasilitas yang sama pula untuk kerukunan hidupmu)

"Samànì va àkutiá samànà hådayàni vaá; samànam astu vo mano yathà vaá susahàsati". Ågveda X.191.4.
(Wahai umat manusia! Milikilah perhatian yang sama. Tumbuhkan saling pengertian di antara kamu. Dengan demikian engkau dapat mewujudkan kerukunan dan kesatuan)

"Sahådayaý saý manasyam avidveûaý kåóomi vaá; anyo anyam abhi haryata vatsaý jàtam ivagh-nyà". Atharvaveda III.30.1.
(Wahai umat manusia, Aku memberimu sifat ketulus ikhlasan, mentalitas yang sama, persahabatan tanpa kebencian, seperti halnya induk sapi mencintai anaknya yang baru lahir, begitu seharusnya kamu mencintai sesamamu).

"Saýjñànaý naá svebhiá saýjñànaý araóebhiá; Saýjñànaý aúvinà yuvam ihàsmàsu ni yacchatam". Atharvaveda VII.52.1. (Hendaknya harmonis dengan penuh keintiman di antara kamu, demikian pula dengan orang yang dikenal maupun asing. Semogalah dewa menganugrahkan rahmat-Nya untuk keharmonisan antar sesama).

Di samping mantra tersebut di atas, dalam rangka mewujudkan kerukunan hidup beragama dalam rangka integrasi nasional, kiranya perlu dipahami dasar-dasar teologis kehidupan berbangsa dan bernegara seperti di amanatkan dalam kitab suci Veda berikut.

a) Meningkatkan cinta tanah air, bangsa, dan bersedia berkorban untuk kejayaan bangsa.
Màtà bhùmiá putro ahaý påthivyàá. Atharvaveda XII.1.12. (Bumi Pertiwi adalah ibu kami, dan kami adalah putra-putranya)
Bandhur no màtà påthivì mahì iyam. Atharvaveda IX.10.12. (Bumi yang luas ini adalah ibu/kerabat kami)
Tan màtà påthivì tat pità dyauá. Yajuveda XXV.17. (Bumi adalah ibu, dan langit adalah ayah kami)
Namo màtre påthivya. Yajuveda IX.22. (Kami menghormati ibu Pertiwi (tanah air)
Vayaý ràûþre jàgåyàma purohitàá. Yajurveda IX.23. (Semoga kami selamanya tetap waspada melindungi bangsa kami yang terus maju)

b) Melindungi, dan menjujung kemerdekaan bangsa dan negara
Arcan anu svaràjyam. Ågveda I.80.1. (Selalu memberi penghormatan kepada kemerdekaan bangsa)
Vyaciûþhe bahupàye, yatemahi svaràjye. Ågveda V.66.6. (Hendaknyalah kami bekerja keras untuk mencapai kemerdekaan. Ia seharusnya dikawal oleh seluruh rakyat)
Viúi ràûþre jàgåhi rohitasya. Atharvaveda XIII.1.9. (Wahai pemimpin, semoga engkau tetap siaga untuk melindungi warga negara, dan bangsa)

c) Berperanan, dan berperan serta dalam memajukan kesejahtraan bangsa
Idaý ràûþraý pipåhi saubhagàya. Atharvaveda VII.35.1. (Bimbinglah bangsa ini menuju kesejahtraan)
Idaý ràûþram akaraá sùnåtàvat. Atharvaveda XIII.1.20. (Buatlah bangsa ini jujur, dan bermurah hati)
Bhadram icchanta åûayastapo dìkûàm upani-ûedur agre; tato ràstraý balam ojaúca jàtam tadasmai devà upasaý namantu. Atharvaveda XIX.41.1. (Mereka yang bijak memikirkan tentang kemakmuran bangsa mendapatkan dua faktor, yakni kesetiaan (ketaatan), dan pengabdian (dedikasi). Dengan menjalankan faktor-faktor ini, bangsa itu menjadi kuat, dan mulia, oleh karena itu faktor ini seharusnya dijalankan).
Ràûþraý ca roha, dravióaý ca roha. Atharvaveda XIII.1.34. (Buatlah bangsa menjadi kuat dan makmur)

d) Meningkatkan pengabdian kepada masyarakat
Pumàn pumàýsaý pàripàtu viúvataá. Ågveda VI.75.14. (Hendaknyalah masing-masing orang membantu (menolong), dan menjaga yang lainnya).
Lokakåtaá pathikåto yajàmahe. Atharvaveda XVIII.3.25. (Hendaknya memberi penghormatan kepada para pembangun jalan, orang-orang yang menaikan drajat rakyat).
Yaá påóati sa ha deveûu gacchati. Ågveda I.125. 5. (yang melayani orang lain dihormati bagaikan dewa)
Svasti màtra uta pitre no astu; svastigobhyo jagate purusebhyaá. Atharvaveda I.31.4. (Semoga terwujud kesejahtraan untuk orang tua ka-mi, sapi-sapi betina itu, umat manusia, dan seluruh dunia)
Janabhåtastha ràûþradà ràûþraý me datta; svaràjastha ràûþradà ràûþram amuûmai datta. Yajurveda X.4.
(Engkau merdeka, dan jadi pelindung umat manusia. Berkahilah kami bangsa yang merdeka)
Lokaý påûóa, chidraý påóa. Yajurveda XV.59. (Buatlah umat berbahagia & singkirkan kesukaran mereka)
Yasmin sarvàói bhùtàni àtmaivà bhùd vi-jànataá; tatra ko mohaá kaá úoka ekatvam anupaûyataá. Yajurveda XL.7. (Bilamana orang yang cerdas menjalankan persatuan dengan seluruh yang hidup, dan merasakan kesatuan denganya, maka semua keterikatan akan lenyap).

Demikian antara lain beberapa butir mantram Veda sebagai dasar teologis yang dapat mendorong kita untuk mengamalkan ajaran Dharma Negara dalam rangka menumbuhkan kerukunan, cinta tanah air dan bangsa yang pluralistik.

Untuk dapat meningkatkan kerukunan hidup beragama, hal yang sangat penting adalah menumbuhkan penghargaan, saling pengertian dan bahkan memahami ajaran agama lain dengan baik, seperti kami kutipkan pada manggala tulisan ini, seorang pandita Siva akan kurang kualitas beragamanya bila tidak memahami hakikat dari ajaran Buddha, demikian pula sebaliknya usaha untuk menumbuhkan saling pengertian dan penghargaan itu, hendaknya setiap umat beragama di samping memahami agamanya sendiri dengan baik, juga memahami agama orang lain secara benar.

Di samping itu, kerukunan umat beragama dapat ditumbuhkan pula melalui kerja sama untuk mengatasi masalah-masalah sosial (penyakit sosial) dan kemiskinan, juga melalui dialog-dialog yang intensif dan konstruktif seperti usulan tentang macam-macam dialog yang jitu:

1) Dialog kehidupan, rakyat dari pelbagai macam agama hidup rukun dalam satu negara, satu sama lain saling memperkaya keyakinan agamanya dengan perantaraan melakukan ajaran, dan keyakinan masing-masing. Hal ini dapat dilihat seperti kehidupan kita di Indonesia. Kehidupan antar agama kita di Indonesia ini adalah sangat baik. Selanjutnya dialog kehidupan ini harus kita tingkatkan, supaya dengan itu lebih positif, maka niscaya akan lebih berhasil pada beberapa bidang.

2) Dialog kerjasama dan kegiatan-kegiatan sosial yang memperoleh inspirasi agama. Hal ini seperti rakyat Indonesia dengan pelbagai macam keyakinan dan agamanya bekerja sama untuk melaksanakan pembangunan. Andaikata umat ini dengan dorongan agama melaksanakan sesuatu proyek, umpamanya membrantas kemiskinan, maka hal itu akan merupakan kekuatan yang dahsyat.

3) Dialog Intermonastik. Umpamanya pemimpin Agama Hindu untuk satu minggu lamanya hidup di biara Buddhis-me; pemimpin Kristen untuk satu minggu hidup di pondok pesantren. Jelasnya pemimpin sesuatu agama hidup dalam waktu tertentu di pusat agama orang lain. Dengan demikian akan timbul saling pengertian yang mendalam, saling penghargaan, dan kerjasa dalam pelbagai bidang dapat diadakan.

Langkah dan kebijakan yang dapat ditempuh sebagai usaha dalam meningkatkan kualitas amal, dialog, dan kerukunan hidup antar, dan interen umat beragama sebagai perwujudan teologi kerukunan berupa bingkai sosiologis kultural, antara lain: Pemimpin atau pemuka agama baik institusional, dan maupun secara perorangan berusaha semaksimal mungkin menanamkan kesadaran untuk mengamalkan ajaran agamanya masing-masing. Dengan pengamalan agama yang mantap akan meningkatkan kualitas iman (Sraddha), dan amal (Bhakti) serta Wawasan Kebangsaan, sebab kami yakin semua ajaran agama yang diturunkan oleh Tuhan Yang Maha Esa mengajarkan umatnya untuk menghargai orang lain (semua mahluk) termasuk pula menghargai agama atau kepercayaan orang lain serta agama juga mengajarkan kepada umat untuk menjadi warga negara yang baik, taat kepada hukum yang digariskan oleh pemerintah.

Tondano, 15 Maret 2010
Pengurus Pinandita Sanggraha Nusantara (PSN) SULUT,

Jro Mangku Drs. I Wayan Damai, MPd, MSc, MSi
K e t u a

DIAM DALAM KESUNYATAAN

Written by I W Sudarma



Om Swastyastu-Salam Kasih

Diam dalam Sepi, Menyepi dalam Diam

Apa yang harus saya lakukan?

Merenung...?

Merenungkan apa? renungkan kata apa dan saya

Apa saya? Maksudnya?

Tanyakan: “ siapakah jati diri saya yang sesunguhnya?”

Kadang kita punya pikiran bahwa:



· Saya adalah raga ini yang terlahir oleh kedua orang tua saya. “Jika saya adalah badan, sebelum badan ini dilahirkandimanakah saya?”. Badan mengalami proses pertumbuhan, dari bayi, anak-anak, dan dewasa, selanjutnya tua dan mati. Setelah meninggal badan dikubur atau dibakar, setelah badan terbakar, kemanakah saya?

· Saya adalah pikiran yang punya persepsi akan sesuatu di luar badan saya. Jika saya adalah pikiran, pikiran ini terus berubah sesuai dengan mood atau perasaan saya. Kadang sedih dan kadang gembira, dan saya tahu betul akan perubahan dalam pikiran saya itu. Pikiran saya berubah-ubah, tetapi saya pikir saya sendiri tetap tidak berubah. Walaupun saya selalu berkata “saya sedih ketika pikiran saya lagi kalut dan saya bahagia ketika pkiran lagi senang”. Sedih dan senangnya pikiran saya disebabkan oleh sesuatu di luar diri saya. Lalu siapa saya yang sebenarnya?

· Saya adalah kecerdasan atau otak ini. Ketika saya baru lahir saya tidak bisa berbicara dan ketika saya anak-anak banyak yang saya tidak pahami. Kemudian setelah saya sekolah dan melewati bangku kuliah, saya mulai mengerti akan segala hal, tetapi tidak pernah memahami diri saya sendiri. Saya mulai menyandang predikat diri seorang pelajar, mahasiswa dan selanjutnya adalah predikat sesuai dengan propesi saya sekarang, misalnya saya adalah pegawai bank. Predikat itu hanya untuk ditempat kerja saya. Sementara di rumah saya adalah seorang anak dari orang tua saya. Seorang suami dari istri saya,seorang ayah dari anak saya. Dan disebut Pak Rt oleh warga saya. Semua ini karena kecerdasan saya. Lalu siapa saya yang sebenarnya? Jika predikat itu tidak ada pada saya lagi.

Sebelum saya lahir saya bukan anak dari ibu saya, karena ibu saya sendiri masih gadis dan belum menikah dengan ayah saya. Sebelum menikahpun saya bukanlah seorang suami, tapi bujangan. Dan ketika masih masa berbulan madu, saya bukanlah seorang ayah. Setelah saya tua dan sakit-sakitan, kemudian mati semua predikat saya dengan sendirinya lepas, berganti predikat almarhum. Seorang yang almarhum tidak lagi hidup di dunia ini lalu dimanakah saya? Dan kalau saya sendiri sudah almarhum, apa jadinya saya?

Seorang sutradara film biasanya sangat sibuk mengatur dan mengarahkan syuting film itu, tak jarang harus berpindah lokasi dan keadaan yang disesuaikan dengan adegan. Tidak hanya sang sutradara, semua orang yang terlibat didalam pembuatan film tersebut sibuk dengan tugas dan perannya masing-masing. Adegan demi adegan direkam, hingga menghasilkan sebuah cerita film yang utuh, dengan kisah yang merupakan suatu drama yang terekam di dalam pita kaset. Kalau kita cermati, sebenarnya cerita drama ini bukanlah untuk sang sutradara ataupun aktor itu sendiri, melainkan diperuntukkan bagi penontonnya. Nah, begitu kita mendengar kata penonton, berarti orang yang melihat dan mendengarkan adegan dalam film itu dari awal sampai akhir. Kaset film itu sendiri yang hanya berupa piringan, tidak bisa memberikan nuansa gambar maupun suara, yang biasa dilihat dan didengar, tanpa diputar terlebih dahulu di dalam player. Ketika piringan itu berputar maka terproyeksikanlah pada layar gambar dan suara dari adegan yang telah terekam, seperti aslinya pada saat diambil, sehingga bisa dinikmati kembali!

Sekarang coba diingat kembali!

Sang sutradara ketika membuat film itu, tanpa dia sadari terus sibuk bergerak ke sana- ke mari, untuk menciptakan adegan hidup yang beragam. Setelah selesai, hasilnya hanya berupa piringan yang tidak bisa bergerak sendiri. Dan ketika hendak menyaksikan adegan itu kembali, maka piringan tersebut diputar. Sang sutradara sibuk bergerak, piringannya pun diputar terus oleh player, sehingga adegan demi adegan berubah silih berganti. Nah, bagaimanakah sikap dan posisi penonton ketika menyaksikan film itu? Bukankah penonton hanya duduk diam menyimak jalan cerita itu dengan utuh. Selanjutnya akan ada yang sibuk bertanya, bagaimanakah kelanjutannya cerita itu pada saat film berakhir. Berbeda dengan penonton yang dengan diam menyaksikan dan menyimak adegan demi adegan dengan penuh seksama. Dia akan terbawa dengan alur cerita yang mengalir tak putus-putusnya. Pandangannya akan terfokus ke depan layar. Dia lupa akan keadaan, dirinya dengan sekelilingnya. Dia larut dan terhanyut oleh kisah di dalam film itu, bahkan terkadang dia menangis ketika adegannya memilukan dan habis itu tertawa ketika adegannya berganti dengan yang lucu atau menggembirakan.

Untuk membuat sebuah cerita film dengan kisah yang utuh, maka diperlukan paling sedikit satu tahun oleh sang sutradara. Kemudian setelah terekam semua, untuk menyimak kembali adegan tersebut maka memakan waktu kurang dari dua jam. Nah, untuk mengerti jalan cerita dari film itu setelah berakhir, apakah penontonnya yang hanya duduk diam dan menyimak penuh adegan demi adegan tanpa berbuat sesuatu itu butuh waktu selama itu?

Sang sutradara adalah pelaku dalam film itu dan kadang kala tidak dikenal wajahnya, karena tidak ada dalam setiap adegan di dalam film tersebut. Demikian pula playernya, yang hanya berupa alat, walaupun terus tak henti-hentinya memutar piringan, tak ada yang sadar dan peduli akan keberadaannya. Bahkan layar putih sebagai alat utama untuk memproyeksikan gambarpun, kita tidak ambil peduli, perhatian kita hanya terpusat pada adegan yang dibiaskan oleh layar tersebut. Ketika adegannya mencekam kita menjadi ngeri, padahal kalau dipikir itu hanya cerita film.

Ketika di dalam layar terliahat bercak-bercak darah dan kotoran, maka perasaan kitapun ikut mual. Adegan yang mengerikan itu terjadi karena gambar yang bergerak terus dan bercak darah terlihat karena bias warna yang diproyekskan. Ketika terjadi adegan yang seru, layar tetap diam, tidak secuilpun begerak, bahkan ketika terjadi badai atau ledakan, layar sebenarnya tetap dalam keadaan diam. Kesan bergerak disebabkan oleh efek suara dan ketika terliaht bercak darah, sedikitpun layar tidak berubah warna, tetap putih seperti semula, lalu apa yang berubah?

Image atau pikiran kita yang berubah, karena dipengaruhi oleh kesan yang ditimbulkan oleh gambar, dan perasaan kita seolah itu nyata. Sang sutradarapun, ketika hanya duduk menyaksikan adegan film itu sebagai penonton, akan mendapatkan kesan yang tak jauh berbeda dengan penonton yang lainnya. Karena dia tidak lagi sang sutradara, tapi seorang penonton. Walaupun dia sendiri, yang membuat adegan itu, Karena dalam hal ini dia hanya saksi dalam cerita tersebut, tidak sebagai pelaku. Dia tetap dirinya sendiri, yang menyandang predikat sang sutradara ketika proses pembuatan film itu dan penonton ketika lagi duduk dalam gedung theatre. Ketika film berakhir dia tidak akan terpengaruh sedikitpun oleh adegan seru, sedih ataupun adegan percintaan. Dia hanya akan tersenyum senang dan puas seperti halnya penonton yang lain.

Itu hanya cerita dan adegan di film, yang sengaja dibuat untuk ditonton dan dinikmati, yang sebenarnya tak jauh berbeda dengan kehidupan kita yang sesungguhnya. Hidup itu tak beda dengan adegan dalam film. Seperti tragedi dan komedi, tergantung kita melihatnya. Kalau kita memandang hidup ini sebagai tragedi, maka dengan setiap kejadian kita tak henti-hentinya menangis, sebaliknya kalau kita memandang hidup ini sebagai komedi, maka kita akan tertawa dengan diri kita sendiri. Lalu siapakah diri kita yang sesungguhnya?

Badan kita tak beda dengan player, pikiran kita adalah pita kasetnya dan dunia adalah layar putih untuk memproyeksikan gambar, sedangkan hati adalah suaranya yang senantiasa memberikan kesan dalam hidup ini.

Lalu siapakah saya?

Saya:…..adalah penonton atau saksi, yang hanya menyaksikan adegan yang sedang diputar

Siapakah sang sutradara?

Lupakan adengan film sekejap, ketika kita berpikir tentang si pembuat film tersebut, maka kita akan tahu sang sutradaranya, yang sekarang menjadi penonton itu sendiri, ketika duduk diam dan hanya menyaksikan adegan film yang telah dibuatnya dan tidak terpengaruh oleh cerita dalam film itu. Penonton ataupun sutradara adalah predikat yang disandangnya untuk sementara. Lalu siapakah dia yang sebenarnya?

Ketika sang sutradara melupakan sekejap bahwa dia seorang sutradara dan berpikir akan dirinya sendiri, maka dia akan menemukan jati dirinya yang sesungguhnya. Ini bisa dia lakukan kapan saja dan dimanapun. Ketika pikiran dan perasaannya tidak lagi diarahkan ke luar, Ke arah layar ataupun adegan yang diputar, melainkan dengan kesadaran yang penuh, dia mencoba melihat ke dalam dirinya.

Pikiran kita umumnya menerung melihat ke luar, ke dalam objek di sekitar kita dan paling susah untuk melihat ke dalam. Kemampuan untuk melihat ke dalam ini disebut mulat sarira atau dhyana, yang tak lain adalah meditasi yang sesungunya. Dan hasilnya adalah anandam atau kebahagiaan yang tidak habis-habisnya, karena merupakan kebahagiaan tertinggi, yang tak disebabkan oleh sesuatu. Suatu kebahagiaan dari menemukan jati diri yang sesungguhnya.

Ingatlah, inipun akan berkhir, selanjutnya yang tersisa hanyalah kenangan atau kesan belaka

Om ta sat brahmarpanam astu sat cit ananda svarupa

Om Santih Santih Santh Om




"Om Namame smaranam Om Padame sharanam"
=======

Wednesday, March 17, 2010

KEPEDIHAN

Seseorang melihat sebatang tongkat yang berukir indah hanyut di sungai. Ia serta-merta tertarik pada penampakannya dan ingin memilikinya. Iapun melompat ke sungai, dan berenang mengejar tongkat yang mengambang itu, dan segera setelah menangkap tongkat itu, ia terbakar dalam kegembiraan karena telah memperoleh apa yang diinginkannya.

Dalam perenangannya kembali ke tepian, tiba-tiba tongkat itu terlepas dari tangannya, dan, karena ia telah kehabisan tenaga, ia bergegas berenang ketepi, kendatipun ia tak berhasil meraih kembali tongkat itu.

Setibanya di tepian, ia merasa sangat tertekan dan sedih kehilangan tongkat itu. Hanya beberapa saat sebelumnya, tongkat itu bukanlah miliknya; ia hanya memilikinya selama satu atau dua menit saja; akan tetapi ketika ia * kehilangan*, ia merasa sangat sedih.

Kehidupan manusia dipenuhi oleh kesedihan dengan penyebab-penyebab irrasional serupa itu. Anda tak membawa serta apapun ketika datang ke dunia ini, dan tak bisa membawa kembali apapun manakala nanti pergi lagi dari sini. Malahan, sebelum kembali, Anda telah membuat diri Anda sendiri menderita dengan sedemikian banyak *kemelekatan dan kepemilikan*. Oleh karenanya, *suatu takaran ketidak-melekatan merupakan satu faktor penting demi kedamaian dan kebahagiaan hidup.*

Cinta sejati dan rasa belas-kasihan dapat diraih, hanya jika manusia tidak mementingkan diri sendiri lagi atau hanya punya sedikit kemelekatan pada egosentrisnya. Hanya dengan begitulah ia bisa melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik dan melakukan pelayanan efektif kepada masyarakat luas.

Tak perlu ada sedemikian banyaknya kekerasan, kebencian kelas, dan disharmoni keluarga di masyarakat, bila setiap orang dan setiap komunitas mau memahami kepentingan-kepentingan yang lain, seperti juga kepentingan-kepentingannya sendiri, bila ada sedikit pengurangan keangkuhan terhadap apa yang disebut dengan kehebatan kultural dan intelektual daerahnya sebagai lebih dari yang lainnya, bila seseorang mau peduli untuk mencerahi dirinya melalui kontak-kontak yang lebih luas dan perspektif yang lebih lapang. Suatu takaran *ketidak-melekatan mesti dilatih dalam suatu aturan yang tegas dalam rangka merawat kesesatan mentalitas manusia.*

~ Sri Swami Sivananda.

Diterjemahkan oleh : NGESTOE RAHARDJO

Wednesday, March 10, 2010

Tumpek Landep, Tirtha Pasupati & Usaha Menajamkan Pikiran

Oleh : I Wayan Sudarma (Shri Danu D.P)-Bekasi

Oṁ Swastyastu

“srayan dravyamayad yajnaj
jnanayajnah paramtapa
sarvam karma 'khilam partha
jnane perimsamapyate”
(BhagavadgītāIV.33)

Persembahan berupa ilmu pengetahuan, Parantapa lebih bermutu daripada persembahan materi dalam keseluruhannya semua kerja iniberpusat pada ilmu-pengetahuan, Oh Parta…

Salah satu hari suci agama Hindu yang cukup istimewa adalah Tumpek Landep yang jatuh setiap 210 hari sekali tepatnya pada setiap hari Saniscara Kliwon wuku Landep.

Secara umum untuk merayakannya, masyarakat Hindu menggelar kegiatan ritual yangkhusus dipersembahkan untuk benda-benda dan teknologi, yang berkat jasanya telah mampu memberikan kemudahan bagi umat dalam mencapai tujuan hidup. Utamanya adalah benda-benda pusaka, semisal keris, tombak, sampai kepada kendaraan bermotor, komputer, dan sebagainya.

Disamping hal tersebut, sesungguhnya hari suci Tumpek Landep merupakan hari Rerahinan gumi dimana umat Hindu bersyukur kepada Ida Sang Hyang Widhi yang telah memberikan kecerdasan, pikiran tajam serta kemampuan yang tinggi kepada umat manusia (Viveka dan Vinaya), sehingga mampu menciptakan berbagai benda yang dapat memudahkan hidup termasuk teknologi. Mesti disadari, dalam konteks itu umat bukanlah memuja benda-benda tersebut, tetapi memuja kebesaran Tuhan.


Sarana Upacara

Dalam setiap upacara; maka keberadaan upakara tentu tidak dapat dikesampingkan, demikian pula halnya ketika umat Hindu melaksanakan upacara Tumpek Landep ini.

Adapun sarana/upakara yang dibutuhkan dalam Tumpek Landep, yang paling sederhana adalah canang sari, dupa, dan tirtha pasupati. Yang lebih besar dapat menggunakan upakara Peras, Daksina atau Pejati. Dan yang lebih besar biasanya dapat dilengkapi dengan jenis upakara yang tergolong sesayut, yaitu Sesayut Pasupati.

Dari berbagai jenis upakara tersebut yang terpenting barangkali adalah Tirtha Pasupati; karena umat Hindu masih meyakini betapa pentingnya keberadaan tirtha ini. Tirtha Pasupati biasanya didapat melalui Pandita atau Pinandita melalui tatacara pemujaan tertentu. Tapi bagaimana halnya dengan individu-individu umat Hindu, apa yang mesti dilakukan jika ingin mendapatkan Tirtha Pasupati? Bisakah memohonnya seorang diri tanpa perantara Pinandita dan atau Pandita? Jawabannya tentu saja boleh...!

Cukup menyiapkan sarana seperti di atas (seuaikan dengan desa-kala-patra). Misalnya dengan sarana canang sari, dupa dan air (toya anyar), setelah melakukan pembersihan badan (mandi dsb). Letakkan sarana/ upakara tersebut di pelinggih/ altar/ pelangkiran. Kemudian melaksanakan asuci laksana (asana, pranayama, karasudhana) dan matur piuning (permakluman) sedapatnya baik kepada leluhur, para dewa dan Hyang Widhi, ucapkan mantra berikut ini dengan sikap Deva Pratista atau Amusti Karana sambil memegang dupa dan bunga.


Mantra Pasupati:

Om Sanghyang Pasupati Ang-Ung Mang ya namah svaha
Om Brahma astra pasupati, Visnu astra pasupati,
Siva astra pasupati, Om ya namah svaha
Om Sanghyang Surya Chandra tumurun maring Sanghyang Aji Sarasvati-tumurun maring Sanghyang Gana, angawe pasupati maha sakti, angawe pasupati maha siddhi, angawe pasupati maha suci, angawe pangurip maha sakti, angawe pangurip maha siddhi, angawe pangurip maha suci, angurip sahananing raja karya teka urip, teka urip, teka urip.
Om Sanghyang Akasa Pertivi pasupati, angurip........
Om eka vastu avighnam svaha
Om Sang-Bang-Tang-Ang-Ing-Nang-Mang-Sing-Wang-Yang-
Ang-Ung-Mang,
Om Brahma pasupati,
Om Visnu Pasupati,
Om Siva sampurna ya namah svaha



Kemudian masukkan bunga ke dalam air yang telah disiapkan
Dengan demikian maka air tadi sudah menjadi Tirtha Pasupati, dan siap digunakan untuk mempasupati diri sendiri dan benda-benda lainnya.

Catatan:
……………………….Titik-titik pada mantra di atas adalah sesuatu yang mau dipasupati)-dalam hal ini adalah air untuk tirtha pasupati. Dalam hal tertentu dapat dipakai mempasupati yang lainnya..tergantung kebutuhan (tapi tetap saya sarankan hanya untuk Dharma, karena jika akan dipakai untuk hal-hal negatif maka mantra tersebut tidak akan berguna bahkan akan mencederai yang mengucapkannya)!!

Mantra di atas bersumber dari lontar Sulayang Gni Pura Luhur Lempuyang, koleksi pribadi.

Hakikat Tumpek Landep

Oleh : I Wayan Sudarma (Shri Danu D.P)-Bekasi

“api ched asi papebhyah
sarvebhyah papakrittamah
sarvam jnanaplavenai 'va
vrijinam samtarishyasi”

(BhagavadgītāIV.36)

Walau seandainya engkau paling berdosa diantara manusia yang memikul dosa dengan perahu ilmu-pengetahuan ini lautan dosa engkau akan seberangi.

Setiap hari suci agama umat Hindu sesungguhnya tak hanya sekadar rerahinan rutin yang mesti dirayakan. Namun, didalamnya ada nilai filosofis yang penting dimaknai dalam kehidupan sehari-hari.

Tumpek Landep, misalnya, memiliki nilai filosofi agar umat selalu menajamkan pikiran. Setiap enam bulan sekali umat diingatkan untuk melakukan evaluasi apakah pikiran sudah selalu dijernihkan (disucikan) atau diasah agar tajam? Sebab, dengan pikiran yang jernih dan tajam, umat menjadi lebih cerdas, lebih jernih ketika harus melakukan analisis, lebih tepat menentukan keputusan dan sebagainya.

Lewat perayaan Tumpek Landep itu umat diingatkan agar selalu menggunakan pikiran yang tajam sebagai tali kendali kehidupan. Misalnya, ketika umat memerlukan sarana untuk memudahkan hidup, seperti mobil, sepeda motor dan sebagainya, pikiran yang tajam itu mesti dijadikan kendali. Keinginan mesti mampu dikendalikan oleh pikiran.

Dengan demikian keinginan memiliki benda-benda itu tidak berdasarkan atas nafsu serakah, gengsi, apalagi sampai menggunakan cara-cara yang tidak benar. Semua benda tersebut mestinya hanya difungsikan untuk menguatkan hidup, bukan sebaliknya, justru memberatkan hidup.

Dulu, keris dan tombak serta senjata tajam lainnyalah yang digunakan sebagai sarana atau senjata untuk menegakkan kebenaran, kini sarana untuk memudahkan hidup dan menemukan kebenaran itu sudah beragam, seperti kendaraan, mesin dan sebagainya.

Sehingga pada saat Tumpek Landep diupacarai dengan berbagai upakara seperti: sesayut jayeng perang dan sesayut pasupati, dengan maksud untuk memuja Tuhan, dan lebih mendekatkan konsep atau nilai filosofi yang terkandung dalam Tumpek Landep.

Landep=Lancip/Tajam
Kata Landep dalam Tumpek Landep memiliki makna lancip atau tajam.

Sehingga secara harfiah diartikan senjata tajam seperti tombak dan keris. Benda-benda tersebut dulunya difungsikan sebagai senjata hidup untuk menegakkan kebenaran.

Dalam Tumpek Landep benda-benda tersebut diupacarai. Kini, pengertian landep sudah mengalami pelebaran makna. Tak hanya keris dan tombak, juga benda-benda yang terbuat dari besi atau baja yang dapat mempermudah hidup manusia, di antaranya sepeda motor, mobil, mesin, komputer, radio dan sebagainya.

Sementara secara konotatif, landep itu memiliki pengertian ketajaman pikiran. Pikiran manusia mesti selalu diasah agar mengalami ketajaman. Ilmu pengetahuanlah alat untuk menajamkan pikiran, sehingga umat mengalami kecerdasan dan mampu menciptakan teknologi. Dengan ilmu pengetahuan pulalah umat menjadi manusia yang lebih bijaksana dan mampu memanfaatkan teknologi itu secara benar atau tepat guna,
demi kesejahteraan umat manusia. Bukan digunakan untuk mencederai nilai-nilai kemanusiaan.

“tad viddhi pranipatena
paripprasnena sevaya
upadekshyanti te jnanam
jnaninas tattvadarsina”
(BhagavadgītāIV.34)

Belajarlah dengan wujud displin,dengan bertanya dan dengan kerja berbakti,
guru budiman yang melihat kebenaranakan mengajarkan padamu ilmu budi-pekerti.

Oṁ Śāntiḥ Śāntiḥ Śāntiḥ Oṁ

Wednesday, March 3, 2010

DASHA SHILA SUTASOMA

Karya Mpu Tantular.

1. Aja Sira Anlarani Hati Nin Non
Jangan Menyakiti Perasaan Orang Lain (dan jangan mengacaukan pikiran orang lain)

2. Ajaamidanda Tan Sabenere
janganlah menjatuhkan hukuman yang tidak adil

3. Ajaamalat Duwe Nin Wadwa Nira
Janganlah menjarah harta rakyatmu

4. Aja Tan Asih In daridra
Janganlah menunda kebaikan terhadap mereka yang kurang beruntung

5. Luluta Rin Pandita
Mengabdilah pada mereka yang sadar

6. Aja Sira Katungkul Ing Kagunan, Amujya Nabhaktya
Janganlah menjadi sombong, walau banyak orang menghormatimu

7. Aja Memateni Yen Tan Sabenere
Janganlah menjatuhkan hukuman mati, kecuali menjadi tuntutan keadilan

8. Uttama Si Yen Sira Akalisa Rin Pati,
Adalah yang terbaik, jika kau tidak takut mati,

9. Sampuraha Rin Tiwas
dan bersabar dalam keadaan susah

10. Anulaha Saama Daana Ajaapilih Jana
(adalah yang terbaik) Jika kau berjiwa besar dan memberi tanpa pilih kasih



Oleh : Pinandita Astono Chandra Dana