Sunday, March 15, 2009

Agama Pada Masa Majapahit


Ditulis oleh Hariani Santiko



Majapahit banyak meninggalkan tempat-tempat suci, sisa-sisa sarana ritual
keagamaan masa itu. Bangunan-bangunan suci ini dikenal dengan nama candi,
pemandian suci (*pertirthan*) dan gua-gua pertapaan. Bangunan-bangunan
survei ini kebanyakan bersifat agama siwa, dan sedikit yang bersifat agama
Buddha, antara lain Candi Jago, Bhayalangu, Sanggrahan dan Jabung yang dapat
diketahui dari ciri-ciri arsitektural, arca-arca yang ditinggalkan, relief
candi, dan data tekstual, misalnya Kakawin Nagarakrtaama, Arjunawijaya,
Sutasoma dan sedikit berita prasasti.

Disamping perbedaan latar belakang keagamaan, terdapat pula perbedaan status
dan fungsi bangunan suci. Berdasarkan status bangunan-bangunan suci, kita
dapat kelompokkan menjadi dua, yaitu bangunan yang dikelola oleh pemerintah
pusat dan yang berada di luar kekuasaan pemerintah pusat.

Bangunan suci yang dikelola pemerintah pusat ada 2 macam, yaitu:

1. *Dharma-Dalm* disebut pula *Dharma-Haji* yaitu bangunan suci yang
diperuntukkan bagi raja beserta keluarganya. Jumlah *Dharma-Haji* ada 27
buah, diantaranya Kegenengan, Kidal, Jajaghu, Pikatan, Waleri, Sukalila, dan
Kumitir.

2. *Dharma-Lpas* adalah bangunan suci yang dibangun di atas tanah wakaf (
*bhudana*) pemberian raja untuk para *rsi-saiwa-sogata*, untuk memuja
dewa-dewa dan untuk mata pencaharian mereka.

Sedangkan bangunan suci yang berada di luar pengelolaan pemerintah pusat
kebanyakan adalah milik prasasti *rsi*, antara lain *mandala, katyagan,
janggan*. Secara umum disebut *patapan* atau *wanasrama* karena letaknya
terpencil. Mandala yang dikenal sebagai *kadewaguruan* adalah tempat
pendidikan agama yang dipimpin oleh seorang *siddharsi* yang disebut pula *
dewaguru*.

Berdasarkan fungsinya, candi-candi masa Majapahit dapat dikelompokkan
menjadi 2 (*dua*), yaitu:

1. Candi-candi yang mempunyai 2 fungsi, yaitu sebagai pendharmaan raja
dan keluarganya, juga sebagai kuil pemujaan dewa dengan ciri adanya tubuh
candi dan ruang utama (*garbhagrha*) untuk menempatkan sebuah arca
pendharmaan (*dewawimbha*), misalnya candi Jago, Pari, Rimbi, Simping (*
sumberjati*).

2. Candi-candi yang hanya berfungsi sebagai kuil pemujaan, dengan ciri
tidak mempunyai *garbhagrha* dan arca pendharmaan/perwujudan, tubuh candi
diganti dengan altar atau miniatur candi. Candi-candi kuil ini kebanyakan
dipakai oleh para* rsi* dan terletak dilereng-lereng gunung, misalnya di
lereng gunung Penanggungan, Lawu, Wilis, dsb.

Berdasarkan sumber tertulis, raja-raja Majapahit pada umumnya beragama Siwa
dari aliran Siwasiddhanta kecuali Tribuwanattungadewi (*ibunda Hayam Wuruk*)
yang beragama Buddha Mahayana. Walaupun begitu agama Siwa dan agama Buddha
tetap menjadi agama resmi kerajaan hingga akhir tahun 1447. Pejabat resmi
keagamaan pada masa pemerintahan Raden Wijaya (*Krtarajasa*) ada 2 pejabat
tinggi Siwa dan Buddha, yaitu *Dharmadyaksa ring Kasaiwan* dan *Dharmadyaksa
ring Kasogatan*, kemudian 5 pejabat Siwa dibawahnya yang disebut *Dharmapapati
*atau *Dharmadihikarana*.

Selain itu terdapat pula para agamawan yang mempunyai peranan penting
dilingkungan istana yang disebut *tripaksa* yaitu *rsi-saiwa-sagata*
(*berkelompok 3*); dan berkelompok 4 disebut *catur dwija* yaitu *mahabrahmana* (*wipra*)- *saiwa-sogata-rsi*.

Pembaharuan/pertemuan agama Siwa dan agama Buddha pertama kali terjadi pada
masa pemerintahan raja Krtanagara, raja Singasari terakhir. Apa maksudnya
belum jelas, mungkin disamping sifat toleransinya yang sangat besar, juga
terdapat alasan lain yang lebih bersifat politik, yaitu untuk memperkuat
diri dalam menghadapi musuh dari Cina, Kubilai Khan. Untuk mempertemukan
kedua agama itu, Krtanagara membuat candi Siwa-Buddha yaitu Candi Jawi di
Prigen dan Candi Singasari di dekat kota Malang.

Pembaruan agama Siwa-Buddha pada jaman Majapahit antara lain terlihat pada
cara mendharmakan raja dan keluarganya yang wafat pada 2 candi yang berbeda
sifat keagamaannya. Hal ini dapat dilihat pada raja pertama Majapahit, yaitu
Kertarajasa yang didharmakan di Candi Sumberjati (*Simping*) sebagai wujud
siwa (*Siwawimbha*) dan di Antahpura sebagai Buddha; atau raja kedua
Majapahit, yaitu Raja Jayabaya yang didharmakan di Shila Ptak sebagai Wisnu
dan di Sukhalila sebagai Buddha. Hal ini memperlihatkan bahwa kepercayaan
dimana Kenyataan Tertinggi dalam agama Siwa maupun Buddha tidak berbeda.

Agama Siwa yang berkembang dan dipeluk oleh raja-raja Majapahit adalah *
Siwasiddhanta* (*Siddantatapaksa*) yang mulai berkembang di Jawa Timur pada
masa Raja Sindok (*abad X*). Sumber ajarannya adalah Kitab Tutur (*Smrti*),
dan yang tertua adalah Tutur Bhwanakosa yang disusun pada jaman Mpu Sindok,
sedang yang termuda dan terpanjang adalah Tutur Jnanasiddhanta yang disusun
pada jaman Majapahit. Ajaran agama ini sangat dipegaruhi oleh Saiwa
Upanisad, Vedanta dan Samkhya. Kenyataan Tertinggi agama ini disebut *
Paramasiwa* yang disamakan dengan suku Kata suci OM. Sebagai dewa tertinggi
Siwa mempunyai 3 hakekat (*tattwa*) yaitu:

- Paramasiwa-tattwa yang bersifat tak terwujud (*niskala*)


- Sadasiwa-taattwa yang bersifat berwujud-tak berwujud (*sanakala-niskala *)


- Siwa-tattwa bersifat berwujud (*sakala*)

Selain agama *Siwasiddhanta* dikenal pula aliran Siwa *Bhairawa* yang muncul
sejak pemerintahan Raja Jayabhaya dari Kediri. Beberapa pejabat pemerintahan
Majapahit memeluk agama ini. Agama ini adalah aliran yang memuja Siwa
sebagai Bhairawa. Di India Selatan mungkin dikenal sebagai aliran *Kapalika*.
Pemujanya melakukan tapa yang sangat keras, seperti tinggal di kuburan dan
memakan daging dan darah manusia (*mahavrata*). Disamping agama Siwa,
terdapat pula agama Waisnawa yang memuja dewa Wisnu, yang dalam agama Siwa,
Wisnu hanya dipuja sebagai dewa pelindung (*istadewata*).

--
Rahayou

No comments:

Post a Comment