Wednesday, April 29, 2009

Silakramaning Aguron-guron-2

1.b. Om awignam astu

Nihan sila kramaning aguruan-guruan, haywa tak bhakti ring guru kita sang sewaka dharma, haywa iman-iman, haywa amilu angumpet ring guru, haywa tan jati tuhum haywa tan satya tuhu, haywa gidek tampaking guru unguhaning ararahup, haywa nikelaken tuduh, haywa konkon guru, haywa lungguh palungguhaning guru, haywa tiba ring areping guru, haywa megat-megat wecananing guru, saban riya dening panon juga,sahadania pengenaning tumurunga juga, haywa kita amet sandikania, makadi alalawanan walu waluning guru, dahat pataka denta tan paangucap pwa sambi mungkur, sambi miang, yata milu kasembah anaking guru. Matangnian hana guru putra putri, innutaken de sang yogiswara ring sang sewaka dharma ring sang guru putra guru putri, lamun sang sewaka dharma malungguh, haywa tan mineh angadeg ring natar, sang guru putra muang sang guru putri, yan alungguh haywa ring urinta, kauri dening wong lian kawasa, maweh teda maweh sepah tan kawasa ring sang guru putra mwang sang guru putri, anepak tan kawasa.

1.b.Om, semoga tidak ada rintangan.

Inilah tata krama berguru. Janganlah engkau yang menuntut ilmu tidak bhakti kepada guru, jangan ragu-ragu, jangan memakai guru, jangan tidak jujur, janganlah tidak sungguh-sungguh setia, janganlah menginjak bayangan guru pada tempat mencuci muka, jangann menolak perintah guru, jangan memerintah guru, jangan duduk di tempat duduk guru, jangan merebahkan diri dihadapan guru, jangan memotong pembicaraan guru, bila bertemu guru jangan menatapnya. Bila guru sedang berdiri atau berjalan maka menghormatlah. Jangan menentang perintah guru, begitu juga terhadap istri guru, sangatlah celakanya, jangan berkata sambil membelakangi (guru), (atau) sambil berjalan. Begitu pula putra putri guru patut dihormati. Itulah sebabnya ada yang disebut guru putra dan guru putri, diteruskan oleh orang yang bijaksana kepada orang yang sedang menuntut ilmu pada guru putra dan guru putri. Jika murid duduk (di atas?) janganlah guru putra dan guru putri diijinkan berdiri di halaman. Kalau (guru putra dan guru putri) duduk janganlah diberikan duduk dibelakangmu. (Tetapi) dibelakangi oleh orang lain boleh. Tidak boleh memberikan makanan dan sisa (makanan) kepada guru putra dan guru putri. Dan lagi seorang murid tidak dibolehkan menendang (guru putra dan guru putri).

2.a. pwa sang sewaka dharma waneh, anilib mundur kasilib, apan pametuning papa makuweh pametu hayu makedik, apan sang sewaka dharma tan abhakti ring pasamuaning wang, tan wruh ya maka papa dahat wiku anilibaken rat, nga, tan urung amanggih papa mageng sarirania; hana ya wiku mangurusuk, nga. Gawenia saungguh-ungguhan, saparan-parania den jajaken pangawruhe mwang dharmane margine wang atuniriya apan ya mangkana, mangalap ya ring padania wang, papania tan den tolih pagawenia, mamet boga sada suka girang yan sinembah dening padania wang, andudul, angempani, anyunyukul ring wang muda, anggotok

2.a. Janganlah mencuri dan menggelapkan (milik guru), karena hal ini lebih banyak akan mengantar orang pada dosa, sedangkan sedikit yang mengantar orang pada kebaikan. Bila siswa tidak hormat kepada orang banyak, oleh karena tidak tahu, itulah dosa (wiku) yang tersesat. Wiku demikian disebut “wikayanilibaken rat (wiku yang mencurangi masyarakat)”, sudah tentu badannya akan mengalami penderitaan besar. Ada wiku yang berhati jahat (mengurusuk), pekerjaannya mengajarkan ilmu pengetahuan dan dharma pada suatu tempat yang dilewati, (maksudnya) adalah agar masyarakat mempersembahkan sesuatu kepadanya, (hal seperti ini sama) dengan mengambil milik orang lain, dosa dari perbuatannya tidak dapat dilihat, mengambil makanan dan ia sangat senang sekali bila dihormati oleh masyarakat, memanas-manasi, mengampuni dan memperdaya orang bodoh, memukul dengan bukan main (kerasnya),

2.b. tan sipi - sipi, papa den temui yan mangkana; ika ta silakrama, nga. Tan

ambahen de sang sewaka dharma, agung dahat papanika. Nihan tingkahing guru lawan sisya, sisya ateguh ing tuhu tan panikelaken tuduh sang guru, yan anasaraken papa sang guru yan mangkana. Sang guru awarah ring yukti, sisya yang mangkana; apan tunggal kang amet lan kang pinet, muwang pada rupania, papa papania muwang swargania, apan yan sang guru mangumpet ring sang sewaka dharma, dahat denta maneneya sang sewaka dharma juga teguhing tuhu, papa sang guru yan mangkana, apan ya yen hana luput ingsun sewaka dharma, wenang sang guru sumaputana ring sisya, den kadi sela saking katampaken toya, piar piar piar, yata menggal saking manih, mangkana topamania benduning sang guru lawan sisya, hana pwa dosania dosa pati, yeka ta wenang sisya kambangan.



2.b. Bila demikian maka dosalah yang akan ditemukan. Prilaku demikian adalah tidak layak bagi seorang siswa, karena prilaku demikian amat besarlah dosanya.

Beginlah sepatutnya hubungan guru dengan siswa (Sisya) harus memegang teguh kebenaran, tidak menolak perintah guru. Apabila menyimpang maka guru akan (turut) berdosa. Guru mengajarkan yang benar tetapi murid tidak berpegang kepada yang benar dan menolak perintah (guru). Murid yang demikian sangat besarlah dosanya, (demikian pula dosa gurunya) karena sama antara yang menerima dengan yang memberi, (baik) rupa. Dosa dan sorganya sama. Bila guru memakai siswanya dengan tidak senonoh, sedangkan berpegang teguh pada kebenaran (tidak bersalah), maka berdosalah guru yang demikian. Bila siswa ada kekeliruan dalam menuntut ilmu, patutlah sang guru memperingatkan sisya tersebut. (Kemarahan guru tersebut) seperti halnya batu kering kejatuhan air, airnya akan segera mengering lagi, demikianlah umpamanya kemarahan guru kepada sisya. Ada kesalahan yang hukumannya demikian hanya boleh “dikembangkan” (dipecat?)



3.a. dening sang guru wang sanaknia sandaken kabeh tan wenang wano iriya, yeka papania mageng dahat. Hana pwa ya wang mahutang ayaban ring sang pandita, padedenia ngayabiya, panaurania anikel anggulung de sataurania mautang ayaban ring padania wang tiwalaka, sapangayabania maka utang ayaban, muwang manduungaken masangketa ring sang pandita, muwang ring padania wang.

Nihan sang sewaka dharma yan denggi ring sisya, angiloni aneluh anaranjana, andesti amisiani tan urung papa dadi yan dasaring kawah, papa ika.

Iti silakrama, warahana maring kayosihan rusit ing rusitika, yadian kurang apangrasa, lamun imiring sasasaning silakrama pada dening sida mentas; yan ahyun wruha telasaning pangrasa, yan tan amutani ring silakrama, pada denia papa ika. Makadi wruha telasaning pangrasa kang ginuru maka nguni ika ta anut sasasaning silakrama.

3.a. saja oleh sang guru, dan sanak saudaranya tidak dapat menasehatinya, maka sangat besarlah dosa sisya yang demikian. Ada orang yang berhutang sesajen kepada pendeta, ia sendiri menikmati persembahan itu, maka harus dikembalikan berlipat ganda. Bila berhutang persembahan kepada sesama “walaka” maka “ayaban” (persembahan sajen) pula sebagai pengembaliannya.

Orang yang sedang menuntut ilmu apabila dengki kepada sisya (lain), membantu menyihir, menjalankan ilmu hitam menyakiti, sudah tentu akan menjadi dasar neraka orang yang hina itu.

Inilah silakrama, ajaran yang sangat sulit. Meskipun kurang dipahami, akan tetap bila diikuti segala ajaran silakrama (tersebut) maka akan memperoleh kesuksesan. Apabila ingin mengetahui inti ajaran ini, janganlah mengelabui ajaran silakrama ini, sama seperti riwayat orang-orang hina itu. Bila ingin mendalami inti ajaran yang diajarkan ini, pertama-tama harus diikuti ajaran silakrama ini,



3.b. tan urung sida mukseng sarirania juga, utama dahat ika apan sang sewaka

dharma, tan panikelaken tuduh sang guru yadiapi sang sewaka dharma kinon de sang guru, lumabuhing bahni juaala muang ring jroning samudra, muwang durganing aparang aparung. Yadian manjinga ring wiwaraning mong, laklakaning naga ndatan jerih sang sewaka dharma, tekap aperempuha ring kana;

yan pangutus sang guru wenang lakonanan yan mangkana, yadian gawenia abang abiru, tan merasa sang sewaka dharma, mangkana kramania; tan urung yan dunga ring anuprama, yadian tan wruha rahasia warah prasida lepas, sarira sang sewaka dharma yan mangkana.

Nihan hana wang manandang bawa, sakaluwiraning bawania, gurune kang aweh bawa durung abawa, tan wenang maweh bawa ring sisya; yan mangkana pada papania kang abawa kalawan kang aweh bawa, hana wang anandang bawa, tan hana kang aweh bawa, anuwikoni

3.b. (jika demikian) pasti akan dapat menghilangkan papa dirinya. Hal ini sangat mulia, karena pengabdi dharma tidak pernah menolak perintah guru, meskipun disuruh masuk oleh guru kedalam kobaran api, kedalam samudra atau jurang yang sangat berbahaya. Meskipun juga disuruh masuk ke dalam sarang harimau atau ke mulut naga tidak takutlah sang pengabdi dharma.

Bila sudah perintah guru patut dilaksanakan, meskipun tugas itu cukup berbahaya. Sepatutnya itu tidak dipikirkan oleh si penuntut ilmu (pengabdi dharma). Memang demikianlah sepatutnya. Bila demikian, badan sipenuntut ilmu itu akan mencapai moksa meskipun ia tidak mengetahui hakikat ajaran itu.

Ada orang memakai bawa (gelung pendeta), segala bentuk bawa, guru yang memberikan bawa kepada (sisya) yang belum berhak memakai bawa, semestinya (guru) tidak boleh memberikan bawa kepada murid (yang belum berhak memakai bawa). Sebab sama dosanya antara orang yang memberikan bawa dengan orang yang menggunakan bawa. Demikianlah pula ada orang menggunakan bawa, tidak ada yang memberikan (mengijinkan), mengatakan diri seorang pendeta,





4.a. awaknia dewek, /ika ta ageng dahat papania, mapan sira sang wiku juga

mangwikun padaning wang,

Hana pwa ya wiku malaki marabi, ikang wadon manandang bawa waluwang, ikang lanang mananandang jata ya muradia, mabusana wulung ya kang lanang manandang bawa aluwang, kang wadon mabawa jata muwang amundi, yeka welang weling, nga, dinenda pateng iwu, mwang angemasi papa sarirania.

Wiku lanang arabi walaka, wiku wadon malaki walaka, daluwang anemu sigi, nga, dandania walung iwu, lian angemasi papa sarirania iti silakrama tinuutaken dening sang pandita.

Nihan wuwusa/ira sang mahahuta, luiring aparab amarabana sisya, saka senenging juga parabnia, apan tan hana wang sida lepas dening parabnia; kewala arab-irib, ika ta upamania kadi angganing rare metu saking bagawasa, yeka pinakaryaken arania. Dening rama renania. Yan tan sanaknia tua, wenang maweh aran maring arinia, matangian sanak atuha wenang maweh parab maring arinia, matangian sanak atuha wenang maweh parab maring sanak anom, mangkana

4.a. orang yang demikian sangat besar dosanya, sebab hanya sang pendetalah yang berhak sebagai pendetanya masyarakat. Ada pendeta suami istri, yang perempuan memakai “bawa daluwang” yang laki memakai “jata mundia”. Yang laki berpakaian hitam menggunakan “bawa daluwang”, sedangkan yang perempuan menggunakan “jata amundi”. Itulah yang disebut “welang-weling” (berselang-seling). Pendeta demikian akan didenda 4000, dan badannya akan mendapat siksa.

Pendeta laki-laki mengawini walaka, begitu juga sebaliknya pendeta perempuan bersuamikan walaka disebut “daluwang anemu sigi”.patut didenda 8000 dan badannya patut mendapat siksa. Inilah silakrama yang (harus) diikuti oleh sang pendeta.

Inilah ucapan orang bijaksana perihal nama dan pemberian nama seorang siswa. Nama itu diberikan bukan karena atas dasar senang saja, sebab nama itu tidak bisa lepas dari orangnya. (karena itu tidak bisa) hanya dengan mungkin atau barangkali saja (mirib). Sebagai umpama seorang bayi yang baru lahir dari rahim ibunya, lalu dibuatkan nama oleh ayah ibunya, saudara tua dapat (boleh) memberi nama adiknya. (ini berarti) seorang saudara yang lebih tua dapat memberikan nama kepada saudaranya yang lebih muda.



4.b. luiring tindak duk asanak, kawasa maweh lalayangan, ika luiring parab. Apan

tan kalinganing bawa, nga, sakehing busana luirnya; ketu agung, apopol, akeketon, ababaron, adaster, abebed sirah, amumutut, amundi, aketu, jiata, aketu ganit, agimbal, angure, angababadong, aburarak, anyamara, amalaka ameting amrebu, anyendong, ambolot, akuris, ika bawa, nga, busana, nga, asampot, aganitri, abairi, agundala, magudoa, makanta brana, makarna malia, amakuta, masawit, mawedihan muwang madodot, asabuk acota, akabut, anyelot, ampek-ampek, amuda, ya bawa ya busana apa ta ika, tan hana sang mataki-taki sida lepas muang mentasa sakeng kene dening busana muang bawa,

4.b. Demikianlah perihal tingkah laku orang bersaudara, (yang tua) dapat memberikan “lalayangan” (layang-layang kepada adiknya yang lebih muda). Demikianlah umpamanya dalam memberi nama. Apakah yang dimaksud dengan bawa ? (Bawa) adalah semua jenis pakaian yang meliputi : ketu agung (mahkota kebesaran pendeta), apopol, akeketon, ababaron, memakai destar, memakai ikat kepala, amumutut, amundi, aketu, jiata, aketu ganit, agimbal (rambut digembal), terurai, memakai badong, aburarak, antamara, amalaka, ameting, amrebu, anyedong, ambolot, akuris, itulah yang disebut bawa. Yang disebut busana antara lain : sampet, ganitri, bairu, gundala, gudoa, hiasan leher (kantabrana), hiasan telinga/anting-anting, amakuta berselempang, memakai hiasan dari emas dan permata, dan kain, ikat pinggang, ujung kain dijuntai (lancingan), anyelot, ampek-ampek, amuda. Kesemuanya itu adalah bawa dan pula busana. Kenapa demikian? Karena tidak ada orang yang mulai mempersiapkan diri untuk belajar sudah dapat melepaskan diri dan membebaskan diri dari apa yang disebut bawa dan busana,
bersambung.........
=======
"Your Hand On Works But Your Heart On God "
=======

Sila Kramaning Aguron Guron - 1

Pengantar



Silakrama adalah salah satu naskah Jawa kuno yang jika ditilik secara cermat termasuk kelompok lontar-lontar ethika, lebih mengkhusus lagi ia termasuk kedalam kelompok lontar sasana. Kenapa demikian? Karena Lontar Silakrama ini berisi petunjuk-petunjuk atau nasihat-nasihat tentang bagaimana kewajiban dan tata krama seorang sisya (murid) dalam berguru (silakramaning aguron-guron). Sisya yang dimaksudkan disini adalah sisya kerohanian atau calon pendeta yang hendak menerjunkan diri dalam hidup keagamaan sebagai “parasraya”. Sehubungan dengan hal tersebut, Silakrama menjelaskan/menguraikan beberapa hal penting yang patut dipedomani oleh seorang calon pendeta, pinandita atau orang yang akan menekuni ajaran kerohanian dari seorang Guru (Nabe/Acharya), sebagai berikut :

1. Seorang sisya harus bhakti kepada guru (ajaran guru bhakti).

2. Sisya harus selalu berpegang teguh pada kebenaran

3. Sisya tidak boleh iri hati, menyihir, menjalankan ilmu hitam.

4. Ajaran Silakrama hendaknya betul-betul didalami karena dapat menghilangkan noda daan mengantar kepada pencapaian moksa.

5. Gunakan bahwa dan bhusana sesuai dengan petunjuk (guru) dan jangan sekali-kali melanggar aturan penggunaan bahwa dan bhusana karena akan berakibaat dosa dan dapat dihukum.

6. Seorang sisya harus selalu dalam keadaan suci lahir dan batin

7. Seorang calon pendeta harus memperhatikan perihal makanan.

8. Seorang sisya / calon pendeta harus memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam mendirikan dukuh, patapan atau pasraman.

9. Jauhkan diri dari segala perbuatan jelek usahakan perbuatan baik untuk kerahayuan masyarakat.

10. Didalam menuntut ilmu, seorang calon sisya harus selektif di dalam mencari guru.

11. Teringat selalu pada prilaku yang benar, ucapan yang benar dan pikiran yang tidak terkotori (Sanghyang Trikarya Parisudha) yang dapat mengantar pada kerahayuan.

12. Upayakan pengendalian indria dan arahkan pada yang baik untuk membebaskan diri dari belenggu indria.


bersambung...........
=======
"Your Hand On Works But Your Heart On God "
=======

"Omkara", Panggilan Tuhan yang Pertama

Oleh : JM Shri Danu

Penempatan bangunan suci di kiri-kanan Kori Agung atau Candi Kurung di Pura Penataran Agung Besakih memiliki arti yang mahapenting dan utama dalam sistem pemujaan Hindu di Besakih. Karena dalam konsep Siwa Paksa, Tuhan dipuja dalam sebutan Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa sebagai jiwa agung alam semesta. Sebutan itu pun bersumber dari Omkara Mantra. Apa dan seperti apa filosofi upacara dan bentuk bangunan di pura itu?

Swami Dayananda Saraswati, pendiri Arya Samad di India, menyataan bahwa panggilan Tuhan yang pertama-tama dan yang tertua adalah dengan mengucapkan Omkara. Tuhan memang tanpa nama, tanpa rupa karena pada hakikatnya semuanya yang nyata ini adalah perwujudan Tuhan.

Artinya apa pun yang ada ini sesung guhnya adalah ciptaan Tuhan. Karena tidak bernama maka manusia ciptaan Tuhan diteladani oleh para resinya memanjatkan doa pujian pada Tuhan dengan ucapan Omkara.

Tuhan pada hakikatnya mahatahu. Pengucapan Omkara sebagai media pemanggilan Tuhan bukanlah untuk Tuhan, tetapi untuk mereka yang memanggil Tuhan agar merasa bahwa Tuhan sudah mereka puja dengan pengucapan Omkara tersebut. Saat manusia berniat saja untuk memanggil-Nya, Tuhan sudah mahatahu sebelumnya.

Demikianlah menurut keyakinan Hindu. Dalam Manawa Dharmasastra II.83 dan 84 dinyatakan bahwa Eka Aksara Om adalah Brahman yang tertinggi. Ketahuilah bahwa Omkara itu kekal abadi dan itu adalah Brahman penguasa semua ciptaan. Dalam Manawa Dharmasastra II.76 dinyatakan bahwa Aksara Omkara itu berasal dari aksara, A, U, M. dari suara tiga Veda dan inti dari Vyahrti Mantra.

Yang dimaksud dengan Vyahrti Mantra itu adalah Bhur, Bhuwah dan Swah. Yang mengupas tiga Veda dan Vyahrti Mantra menjadi aksara A, U dan M itu adalah Prajapati yaitu Tuhan sebagai rajanya makhluk hidup. Yang dimaksud dengan ketiga Veda itu adalah Reg, Sama dan Yajur Veda. Dari penyatuan aksara, A, U dan M itulah bersenyawa menjadi aksara Omkara yang juga disebut Pranava Mantra.

Karena itu, Omkara itu juga disebut Vijaksara Mantra artinya biji aksara asal mulanya Mantra Vda. Kata Aksara dalam bahasa Sansekerta artinya yang kekal abadi. Ini berarti tujuan Tuhan menurunkan Aksara adalah untuk menyebarkan ajaran suci Tuhan yang kekal abadi itu.

Pura Besakih adalah media sakral untuk mencapai anugerah Tuhan berupa kehidupan yang bahagia Sekala dan Niskala. Dalam Vedanta Sutra I.1-4 ada dinyatakan bahwa untuk meraih anugrah Tuhan itu hanya dapat dilakukan berdasarkan tuntunan kitab suci Veda. Karena itu penempatan Balai Omkara simbol Vijaksara Mantra di kiri-kanan Candi Kurung atau Kori Agung Pura Penataran Agung Besakih sudah sangat sesuai dengan petunjuk ajaran suci Veda. Meskipun penempatan Balai Omkara itu tidak terlalu khusus, tetapi pada tempat yang sangat strategis.

Untuk memasuki Mandala kedua Penataran Agung Besakih harus melalui salah satu dari dua Candi Bentar yang mengapit Candi Kurung. Saat melalui salah satu dari pintu masuk tersebut pasti akan melihat salah satu dari Balai Omkara tersebut. Mengapa ada dua Balai Omkara yang mengapit Candi Kurung itu. Karena manusia dalam hidupnya ini tentu berharap senantiasa mendapatkan tuntunan Tuhan baik dalam kehidupan Sekala maupun dalam kehidupan Niskala.

Pertimbangan untuk memperoleh kehidupan yang seimbang itulah nampaknya sebagai dasar pemikiran mengapa Balai Omkara itu didirikan kembar mengapit Candi Kurung tersebut.
Penempatan Balai Omkara pada tempat yang sangat strategis tetapi pada tempat yang sederhana itu patut menjadi renungan kita bersama. Hal ini bermaksud agar umat tidak terlalu sulit menjumpai Balai Omkara tersebut. Karena Omkara itu adalah simbol tersuci dalam ajaran Veda. Untuk itu umat jangan dipersulit untuk menjumpai simbol tersebut. Karena yang lebih sulit nantinya adalah bagaimana merealisasikan simbol suci itu dalam kehidupan sehari-hari.

Pengucapan Omkara Mantra itu sebagai doa untuk memperoleh tuntutan Tuhan agar dinamika Utpati, Stithi dan Pralina hidup manusia itu berjalan dengan sebaik-baiknya. Mereka lahir (Utpati) dengan selamat. Dalam menjalankan kehidupan (Stithi) pun juga dengan selamat.

Kembali ke asal atau Pralina pun agar mereka dapat dengan selamat. Dalam Lontar di Bali disebut mati bener. Itulah dambaan manusia yang lahir ke dunia ini.
BR> Omkara juga dinyatakan sebagai sebutan Tuhan jiwa agung dari Bhur, Bhuwah dan Swah Loka. Memahami hal ini berarti manusia seharusnya menjaga perilakunya agar tidak berbuat yang dapat mencemari Tri Loka tersebut. Karena perbuatan yang buruk di Bhur Loka dapat merusak juga Bhuwah dan Swah Loka. Secara ilmu pengetahuan modern hal itu sudah dapat dibuktikan dengan ilmiah.

Penempatan Balai Omkara di Pura Besakih itu sebagai upaya untuk menggemakan suara suci Veda agar terserap dengan baik ke dalam lubuk hati setiap umat. Dengan terserapnya nilai-nilai suci Veda ke dalam lubuk hati setiap umat maka umat Hindu diharapkan dapat menyucikan hati nuraninya dari kabut kegelapan pengaruh Rajah Tamah yang negatif. Kalau Guna Rajah dan Tamah dapat dikuasai oleh Guna Satwam maka gema suara hati nurani pun akan dapat lebih mengendalikan perilaku.

Orang yang berperilaku sesuai dengan suara hati nuraninya yang suci itu akan dapat lebih mudah mencapai karunia Tuhan. Salah satu tujuan yang paling utama umat ke pura adalah untuk memperoleh karunia Tuhan. Karena itu sudah sangat tepatlah pendirian Balai Omkara di kiri dan kanan Candi Kurung di Pura Penataran Agung Besakih.

Aksara suci Omkara dalam Manawa Dharmasastra II.75 dinyatakan sebagai media meditasi disertai dengan melakukan Pranayama dan Tirtha Pawitra. Omkara juga dijadikan pengantar dalam mengucapkan Vyahrti Savitri Mantra. Di Bali lebih terkenal dengan Mantra Gayatri. Tri Sandhya setiap pagi yang diawali dengan Mantram Gaya Tri itu sebagai mantram pertama.

Mantra pertama Tri Sandya itu sesungguhnya terdiri atas tiga jenis mantram yaitu: Omkara Mantra, Vyahrti Mantra (Bhur, Bhuwah dan Swah) dan Tri Pada Mantram terdiri atas 24 kata. Tiga jenis mantram itulah yang populer dengan Gaya Tri Mantram. Inilah yang disebut Mantram Veda yang paling universal. Nampaknya itulah tujuan utama didirikannya Balai Omkara di Pura Penataran Agung Besakih.......Balipost

=======
"Your Hand On Works But Your Heart On God"
=======

Saturday, April 18, 2009

TOLERANSI DAN PENCERAHAN DALAM HINDUISME

Oleh :
I W Sudarma (Shri Danu D.P)

Oṁ asato mā sad gamaya
tāmaso mā jyotir gamaya
mṛtyor mā amṛtam gamaya

(Ya Tuhan Yang Maha Agung, pimpinanlah hamba dari yang tidak benar menuju yang benar, dari kegelapan menuju cahaya yang terang, dari kematian menuju ke abadian) Bṛhadāranyaka ūpaniṣad I.3.28

Oṁ Swastyastu

A. Pendahuluan

Kajian tentang toleransi dimulai dari kajian tentang adanya perbedaan, khususnya ajaran tentang perbedaan tersebut menurut teologi Hindu dan hal ini perlu dicermati. Bila adanya perbedaan yang merupakan kenyataan tidak dipahami oleh sebagian besar umat dan masyarakat, maka setiap perbedaan baik sikap dan perbedaan pendapat termasuk latar belakang budaya dapat menimbulkan friksi dan bahkan mengarah kepada konflik baik terbuka maupun tertutup. Menyadari adanya perbedaan dan memahami perbedaan tersebut sebagai rakhmat-Nya maka kehidupan akan berlangsung harmonis, tumbuh saling pengertian dan toleransi yang muni dan jujur.

Dalam masyarakat Hindu, khususnya tentang adanya perbedaan rupanya sudah dipahami namun tidak semua memahaminya dengan baik. Di Bali ada istilah "rwabhineda" (dua hal yang berbeda), "jele melah wenang sambat" (baik buruk memang patut dibicarakan) , "peteng lemah anak mula len" (saat siang dan malam memang berbeda), 'don sente don plendo, ada kene ada keto" (ada begini ada begitu), "telebingkah batan biu, gumi linggah ajak liu" (bumi ini luas, penghuninya banyak orang, pendapatnyapun berbeda-beda) dan sebagainya, menunjukkan bahwa perbedaan itu disadari memang ada, dan harus dicermati, sehingga menumbuhkan kearifan di kalangan masyarakat.

Membicarakan perbedaan dalam Hindu (dalam kajian filosofis), maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan tekstual dan kontekstual, untuk menumbuhkan pengertian yang mendalam tentang perbedaan itu. Dengan pengertian yang mendalam tentang hakekat dan makna dari perbedaan, menumbuhkan kesadaran dan kearifan yang bermuara pada perubahan prilaku. Perbedaan adalah realitas sosial, justru dengan adanya perbedaan timbul usaha untuk mewadahi dan menyatukan perbedaan itu, dalam skala kecil pada kehidupan rumah tangga, dan dalam skala besar adalah dalam kaitan menumbuhkembangkan dan memupuk paham kebangsaan (nasionalisme) melalui Sila Persatuan Indonesia dalam Pancasila. Perbedaan suku bangsa, agama, ras, golongan, status sosial dan sebagainya justru di arahkan untuk memupuk dan mengembangkan rasa persaudaraan dalam kehidupan berbangsa, keinginan untuk bersatu padu dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia.

Dalam konteks pembinaan dan pengembangan umat Hindu di Indonesia tumbuh pula pemahaman bahwa memang dalam frame budaya, nampak benar terjadi perbedaan itu, namun bila kita memahami teologi dan ajaran agama Hindu secara komprehensif, maka kita patut berbangga, karena justru ajaran agamanya yang sama, berkembang di berbagai daerah di Indonesia membawa warna-warna tersendiri yang menampakkan perbedaan (terutama dalam latar belakang budaya daerah yang) yang bila tidak dipahami dan ditemukan persamaannya (yang mendasar nampak dalam teologi Hindu di Indonesia) dapat mengarahkan pada adanya perpecahan di antara umat Hindu di Indonesia.

B. Sumber ajaran Hindu tentang perbedaan

Sumber tertinggi ajaran agama Hindu adalah kitab suci Veda yang merupakan sabda atau wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Kitab suci Veda (yang tergolong śruti atau sabda Tuhan Yang Maha Esa) terdiri dari kitab-kitab Saṁhitā , Brāhmana, Āraṇyaka dan Ūpaniṣad. Di dalam kitab suci Veda (Saṁhitā /Catur Veda) dapat dijumpai beberapa mantra yang menunjukkan adanya perbedaan yang harus dicermati oleh umat Hindu. Mantra suci tersebut antara lain sebagai berikut: Dvā suparnā sayujyā sakhā yā samā nam vṛksam pari sasvajā te tayor anyām pippalam svvattyā naūnannanyo abhi cā karīti. Ṛgveda III.62.10, juga dalam Mundhaka Ūpaniṣad III.1 - (Dua ekor burung yang selalu berkeadaan sama menjadi satu, yang tinggal pada cabang sebuah pohon (pippala). Salah satu dari burung tersebut menikmati buah dari pohon itu, sedang yang lain yang bercahaya kemilauan tidak manikmati pohon itu).

Dari terjemahan kutipan mantra Veda tersebut di atas, kita dapat memahami penggambaran Ātman (Brahman/Paramātma) yang hanya melihat tidak menikmati buah dari cabang pohon (pippala) itu, dengan ātmā (roh) yang terbelenggu oleh hukum karma, mengalami kenikmatan memakan buah-buahn dari cabang pohon tersebut, yang sesungguhnya adalah merupakan penggambaran alam materi (duniawi). Jadi benih dari ajaran Saṁkhyā yang menunjukkan kekekalan jiwa yang abadi (Paramātman) dengaan jiwa (ātma) yang terbelenggu oleh hukum perbuatan (jerat māyā ) atau alam keduniawian sudah nampak dalam ajaran suci Veda. Seserorang diharapkan untuk meninggalkan cabang pohon yang memberi buah kenikmatan, untuk selanjutnya menyatukan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa. Teori tentang monodualistik telah muncul di dalam ajaran suci Veda yang selanjutnya banyak contoh yang menunjukkan perbedaan tersebut antara lain gelap dan terang, salah dan benar, yang tidak kekal dan yang abadi dan sebagainya, di antaranya kami petikkan sebagai berikut: Udvayam tamasas pari jyotir pasyanta ūttaram, devam devatrā sūryam aganma jyotir uttamaṁ. Ṛgveda I.50.10 - (Nampak cahaya gemerlapan melambung di balik kegelapan, kami mendekat maju menuju Ia yang bercahaya gemerlapan, sangat suci. Deva dari seluruh devatā , cahaya Kebenaran, yang juga bersthana di dalam hati dan pikiran setiap mahluk).

Lebih jauh permohonan untuk menuju yang benar menghindarkan diri dari yang tidak benar, menuju cahaya yang terang dan menghindarkan diri dari kegelapan, menuju keabadian dan menghindarkan diri dari ketidak kekalan terungkap jelas pada mantra Bṛhadāranyaka Ūpaniṣad (I.3.28) pada manggala (ugravacana/ kutipan) dari tulisan ini. Menuju yang benar, cahaya yang terang dan keabadiaan adalah proses untuk maju seperti diamanatkan dalam berbagai ajaran Tattwa yang jelas nantinya akan terlihat dalam pandangan Saṁkhyā , yang menyatakan bahwa terdapat dua unsur yang abadi, yakni Puruṣa (kesadaran sejati) dan Prakṛti (pradhana/unsur materi) yang menjadi unsur utama segala sesuatu di alam semesta ini. Dari Prakṛti tersebut muncul unsur (element) yang dikenal dengan triguna (tiga karakter utama) yang terdiri dari: śāttvam (kebenaran), rājas (aktivitas) dan tāmas (kegelapan) yang membentuk kerekater setiap mahluk.

Di dalam kitab Bhāgavata Purāṇa (XII.7.11) diuraikan sepintas tentang teori penciptaan ke dalam beberapa topik antara lain evolusi Mahat (prinsip dasar dari kecerdasan kosmik), dari bergejolak dan terganggunya keseimbangan dari Triguóa yang belum termanifes (Prakṛti, unsur materi/bahan yang permulaan), memimpin evolusi Triguna selanjutnya (tipe-tipe Vaikārika atau Śāttvika, Rājasa dan Tāmasa, tergantung dari dominasi masing-masing guna), evolusi berlanjut pada unsur-unsur alam (bhūta), alat indriya, dan obyeknya (seperti unsur yang kasar dan devatā yang bersemayam pada masing-masing organ indriya. Lebih jauh tentang penciptaan ini digambarkan dalam kitab Agni Purāṇa (17.1-16), sebagai berikut: Agni bersabda:

a. Aku akan menjelaskan sekarang penciptaan alam semesta, yang merupakan dari krida (līla) Sang Hyang Viṣṇu (dalam Saṁkhyā disebut Brahmā ). Beliaulah yang menciptakan sorga dan lain-lain. Pada permulaan ciptaan dan dilengkapi dengan sifat-sifat dan tanpa sifat-sifat (1).

b. Brahmā , yang tidak menampakan diri, sesungguhnya yang ada. Saat itu tidak ada langit, siang atau malam, dan lain-lain. Sang Hyang Viṣṇu masuk ke-dalam Prakṛti (unsur materi) dan ke dalam Puruṣa (unsur kesadaran) dan menggerakkannya (2).

c. Pada saat penciptaan yang pertama kali terpencar adalah intelek (kecerdasan budhi/mahat) . Kemudian terwujudlah ego (ahaṁkara), selanjutnya disusul pertama dari keadaan natural (Vaikārika), kilauan cahaya (taijasa) unsur-unsur alam, dan sebagainya dan kegelapan (tāmasa/ yang menciptakan kebodohan (3).

d. Kemudian meluaplah ether (ākāsa) yang merupakan unsur dasar suara (sabda) dari ego (ahaṁkara). Kemudian angin (vāyu) merupakan unsur dasar sentuhan (sparsa) dan api (teja) sebagai unsur dasar warna (rūpa) menjadi ada dari padanya (4).

e. Air (āpah) sebagai unsur dasar rasa (rāsa/menjadi ada) dari padanya. Tanah (pṛthivī) sebagai unsur bau (gandha). Dari kegelapan lahirlah ego, indrīya (menjadi ada) yang nampak berkilauan (5).

f. Evolusi selanjutnya adalah terciptanya 10 kahyangan dan pikiran, sebelas indriya selanjutnya munculah Sang Hyang Svayambhū(yang ada dengan sendirinya), yakni Sang Hyang Brahmā yang berkeinginan menciptakan berbagai tipe mahluk hidup (6).

g. Sang Hyang brahmā menciptakan air yang pertama. Air berhubungan dengan (disebut) sebagai nārāh, karena hal itu merupakan ciptaan spirit yang Tertinggi (7).

h. Dari pergerakkannya yang pertama dari semuanya itu, karenanya Ia disebut Nārāyana. Kemudian tergeletak (mengambang) telur di atas air yang warnanya keemasan (8).

i. Dari pada itu, Sang Hyang Brahmā lahir dengan keinginannya sendiri, oleh karenanya kita mengenal sebagai yang lahir dengan sendirinya (Svayambhū). Hidup (didalamnya) sepanjang tahun, karenanya disebut Hiraṇyagarbha, kemudian menjadikan telur itu dua bagian, yaitu menjadi sorga dan bumi. Di antara kedua bagian itu, Tuhan Yang Maha Esa menciptakan langit (9-10).

j. Sepuluh penjuru menyangga bumi yang mengambang di atas air. Kemudian Sang Hyang Prajāpati (Brahmā yang merupakan pencipta mahluk hidup dan alam semesta) berkeinginan mencipta, menciptakan waktu, pikiran, perkataan, keinginan, kemarahan, keterikatan dan yang lain-lain. Dari cahaya Ia menciptakan petir dan mendung, bianglala, dan burung-burung. Ia pertama menciptakan Parjanya (Indra, dewa hujan). Kemudian menciptakan Ṛgveda (Rcah), Yajurveda (Yajumsi), dan Sāmaveda (Sāmāni) untuk menyelesaikan Yajña-Nya (11-13).

k. Mereka yang ingin menyelesaikan (yajña), memuja para devatā dengan (merapalkan) mantra-mantra tersebut. Mahluk hidup yang tinggi dan rendah diciptakan-Nya. Ia menciptakan Sanatkumāra dan Rudra, yang lahir dari kemarahan-Nya (14).

l. Kemudian Ia menciptakan para Rsi Marīci, Atrī, Anggirasa, Pulastya, Pulaha, Kratu, Vasistha, yang diyakini sebagai putra-putra yang lahir dari pikiran Sang Hyang Brahmā (15).

m. Oh, Yang Mulia! Para ṛsi tersebut melahirkan (banyak) mahluk hidup, membagi diri-Nya atas dua bagian, separo menjadi laki-laki dan perempuan saparo lagi menjadi perempuan. Selanjutnya Brahmā melahirkan anak-anak-Nya melalui separo bagiannya yakni bagian yang perempuan (16/Ganggadharan, Vol.27, Part I, 1984: 39-41).

Pada bagian lain, kitab Agni Purāṇa (20.9.1-8) menjelaskan lebih terperinci proses penciptaan alam semesta yang digambarkan sebagai berikut:

a. Ciptaan pertama adalah intelek atau kecerdasan budi (mahat) dari Brahmā . Ciptaan yang kedua adalah unsur materi yang sangat halus (tan mātra) yang dikenal dengan nama Bhūtasarga (penciptaan elemen alam semesta/pañca maha bhūta (1).

b. Ciptaan yang ketiga adalah evolusi (vaikārikasarga) yakni penciptaan organ indriya (aindrīyasarga) . Ciptaan tersebut adalah ciptaan pertama (prakṛtasarga) yang ke luar dari intelek (kecerdasan budi) (2).

c. Ciptaan yang keempat adalah ciptaan dasar/utama (mukhyasarga) . Sesuatu yang tidak bergerak dikenal sebagai dasar (penciptaan) . Penciptaan kelima disebut penciptaan kualitas yang lebih rendah (tiryaksrota) yang dinamakan sebagai ciptaan mahluk di bawah manusia (seperti binatang, burung-burung, dan lain-lain/3) .

d. Ciptaan yang keenam adalah mahluk-mahluk yang lebih tinggi (urdhvasrota) dikenal sebagai ciptaan kahyangan. Penciptaan yang ketujuh disebut ciptaan menengah (arvāksrota), yakni terciptanya umat manusia (4).

e. Ciptaan yang kedelapan adalah Anugrahasarga (kasih sayang devatā ), disusun dari karakter (Śāttvika dan Tāmasika). Kelima ciptaan yang terakhir dikenal dengan Vaikṛtasarga (ciptaan subyek yang akan berubah). Ciptaan yang kesembilan disebut Kaumārsarga (penciptaan Sanatkumāra, dan lain-lain). demikianlah sembilan ciptaan sang Hyang Brahmā yang merupakan dasar terciptanya alam semesta (5-6).

f. Bhṛgu dan lain-lain mengawini Khyāti dan putri-putri yang dari Daksa. Ciptaan terdiri dari tiga jenis disebut orang, yaitu yang selalu (biasa) berlangsung (nitya), penciptaan yang menimbulkan ciptaan yang lain (naimittika) dan yang berlangsung setiap hari (dainandinī). Ciptaan yang sedang berlangsung ketika masa peleburan disebut Dainandinī. Penciptaan yang selalu berlangsung (tiada hentinya) disebut nitya (7-8).

Teori penciptaan alam semesta (sarga) yang dikenal dengan sembilan ciptaan Sang Hyang Brahmā diuraikan pula secara sistematis dan terinci dalam kitab Brahmānda Purāṇa, yang dapat diringkas (direkapitulasi) , sebagai berikut:

a. Ciptaan pertama:

(1). Ciptaan Mahat

(2). Ciptaan Tanmātra (di sini disebut juga Bhūtasarga)

(3). Vaikārika (ciptaan Aindrīyasarga) Seluruh ciptaan di atas adalah ciptaan Prakṛta (dari kata Prakṛti), sebagai awal ciptaan.

b. Penciptaan yang kedua:

(4). Mukhyasarga (ciptaan yang tidak bergerak)

(5). Tiryaksrota (ciptaan mahluk rendahan dan binatang)

(6). Urdhvasrota (ciptaan berupa dewa-dewa dan mahluk-mahluk sorga).

(7). Arvāksrota (ciptaan umat manusia)

(8). Anugrahasrga (baik Śāttvika maupun Tāmasika) Kelimanya (4-8) tersebut di atas disebut Vaikṛta (ciptaan kedua) dan fungsi mereka tanpa kesadaran atau bagian depan (sebelum) pengetahuan (a-budhi-pūrvaka) .

c. Penciptaan (setelah) kedua (?)

(9). Kaumārasarga (penciptaan putra-putra yang lahir dari pikiran). Ketika Sanatkumara dan yang lain-lain menjadi seorang Yogi dan tidak melahirkan putra-putra, sang Hyang Brahmā (I.1.5.70-76) menciptakan putra-putra yang lahir dari pikiran-Nya kembali, maka lahirlah: Bhṛgu, Anggirasa, Marīci, Pulastya, Pulaha, Kratu, Daksa, Atrī dan Vasistha dari berbagai bagian badan-Nya (Tagare, Vol.22, Part I, 1993: XXXIV).

G.V. Tagare dalam terjemahan kitab Vāyu Purāṇa, pada bagian kata pengantarnya (XXIII) menyatakan bahwa tentang penciptaan alam semesta (Sarga) bahwa di dalam kitab-kitab Purāṇa ditemukan tiga teori tentang penciptaan alam semesta, yakni (1). Teori Saṁkhyā -Vedānta , (2). Teori Purāṇa dan (3). Teori Saṁkhyā . Berikut dijelaskan ketiga teori tersebut:

a. Teori Saṁkhyā -Vedānta . Penciptaan mulai dengan prinsip dasar yang disebut Mahat dan berakhir dengan Visesa, yakni perbedaan antara lima unsur yang sangat halus dan yang kasar (kasat mata) yang disebut Pañca Maha bhūta dan Pañca Tan Mātra. Sumber alam semesta adalah Brahman yang abadi, tanpa awal dan tanpa akhir, tidak dilahirkan, dan tidak dapat dibandingkan dengan apapun. Pada awalnya adalah kegelapan dan Ia yang meresapi seluruh alam semesta yang diselubungi dalam kegelapan (Ia yang tidak termanifest) , saat itu Guna dalam keadaan seimbang. Brahman juga disebut Ātman. Pada awal penciptaan Kśetrajña (Devā ta Tertinggi) memimpin Pradhā na, menggerakkan Guna dan prinsip dasar Mahat berkembang. Ketika guna Śāttva menjadi sangat dominan di dalam Mahat, unsur spirit yang sangat halus pada jasmani berkembang dan dipimpin oleh Kśetrajña. Kitab-kitab Purāṇa memberikan etimologi yang populer dari sinonim Brahman, Kśetrajña, dan lain-lain, semacam Samanvaya dan perbedaan istilah dan teori. Ketika Mahat didorong (oleh keinginan Tuhan Yang Maha Esa), terciptalah alam semesta yang besar, Saṅkalpa (kekuatan pikiran) dan Adhyavasāya (kebulatan/tekad) dalam 2 tendensi (Vṛtti-dvayam/ I.1.4,16). Teori sintese Saṁkhyā -Vedānta tentang penciptaan ini dapat dijumpai dalam beberapa Purāṇa, antara lain: Agni Purāṇa XVII.2-26, Brahmānda Purāṇa I.1.3.6, dan Kūrma Purāṇa I.2.3.

b. Teori Purāṇa. Kśetrajña disebut Brahmā yang bangkit dari telur kosmos. Ia adalah mahluk yang pertama mengambil wujud (yang berwujud pertama kali). Ia pencipta dari seluruh Pañca Maha Bhūta (baik unsur material maupun mahluk hidup). Hiraṇyagarbha (Brahmā ) dalam empat wajahadalah Kśetrajña, baik pada saat penciptaan maupun pada saat Pralaya (penghancuran) alam semesta. Telur kosmos terdiri dari 7 dunia, bumi dengan tujuh benua, samudra-samudra dan segala sesuatunya termasuk matahari, bulan, bintang-bintang, Loka (Saptaloka) dan Aloka (Saptapatala) . Dari luar telur kosmos ini dilapisi oleh tujuh lapisan (I.1.1.44-45) . Empat yang pertama terdiri dari 4 elemen, yaitu: air, api, angin dan ether (ākāsa), masing-masing selubung 10 kali lebih besar dibandingkan selubung yang pertama (sebelumnya/ yang ditengahnya) dan tiga selubung lainnya terdiri dari Bhūta di, Mahat dan Pradhāna yang tidak termanifest. Avyakta (yang tidak termanifest) disebut Ksetra dan Brahmā disebut Kśetrajña. Prākṛta-sarga dipimpin oleh Brahmā . Penciptaan berlangsung tanpa pra-rencana (abuddhipūrvaka) seperti halnya kerdipan cahaya (I.1.4.68.-78) .

c. Teori Saṁkhyā . Teori Vedānta , Saṁkhyā dan Purāṇadipadukan dalam teori ini. Analisis yang terang ditunjukkan bahwa Prākṛta Sarga adalah penciptaan dari Prakṛti. Teori Saṁkhyā yang teistik dapat lebih dijelaskan secara lebih ekplisit dinyatakan dalam uraian (II.5.104) sebagai berikut: "Sebelum penciptaan alam semesta adalah kondisi laya (keseimbangan) dari semua Guna. dalam wujudnya yang Avyakta (tidak termanifestasi) , secara potensial terbentang seperti minyak susu (ghee) di dalam susu. Tuhan Yang Maha Agung, dengan kekuatan Yoga-Nya, menciptakan ketidakseimbangan dari Tri Guna dan terciptalah Tiga Devāta Utama (Tri Mūrti), Brahmā (dari Rājas), Api atau Rudra (dari Tāmas) dan Viṣṇu (dari Śāttva). Sesungguhnya Tuhan Yang Maha Esa yang membagi diri-Nya ke dalam 3 fungsi utama itu".

Dari kutipan di atas, maka jelaslah bagi kita teori evolusi yang tercantum dalam kitab-kitab Purāṇa rupanya merupakan perpaduan antara teori penciptaan alam semesta menurut kitab suci Veda (Brāhmana dan Ūpaniṣad/Vedānta ) dan sistem filsafat Hindu Saṁkhyā. Menurut sudut pandang teori penciptaan tersebut di atas, maka muncullah keanekaragaman di alam semesta dan keanekaragaman itu mesti dicermati, sehingga mandapat menemukan jati dirinya.

C. Perbedaan sebagai karunia

Swami Sivānanda dalam bukunya All About Hinduism (telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Intisari Agama Hindu oleh Tim Penterjemah Yayasan Sanatana Dharmasrama Surabaya, menyatakan: "Hinduisme sangatlah universal, bebas, toleran dan luwes. Inilah gambaran indah tentang Hinduisme. Seorang asing merasa terpesona dengan keheranan apabila ia mendengar tentang sekta-sekta dan keyakinan yang berbeda-beda dalam Hinduisme; tetapi perbedaan-perbedaan ini sesungguhnya merupakan suatu hiasan bagi Hinduisme dan mereka tentu saja tidak menekankannya pada kekurangan-kekurang annya. Mereka merupakan berbagai tipe pemikiran dan tempramen, sehingga menjadi bermacam-macam keyakinan pula. Hal ini adalah wajar. Hal ini merupakan ajaran yang utama dari Hinduisme, karena dalam Hinduisme tersedia tempat bagi semua tipe roh dari yang tertinggi sampai terendah, demi untuk pertumbuhan serta evolusi mereka" (1993: 133).

Berdasarkan uraian tersebut jelas bagi kita bahwa diturunkannya berbagai ajaran mulai dari kitab suci Veda, Itihāsa, Purāṇa, Dharmasāstra, Āgama dan Darsana yang oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia dirangkum dalam 3 kerangka agama Hindu, yaitu: Sraddhā, Tata susīla dan Ācāra (1990) memberi tuntunan kepada umat Hindu untuk memilih jalan yang sesuai dengan tingkat pemahamannya terhadap ajaran agama Hindu, karena semua ajaran dan jalan untuk merealisasikan ajaran itu adalah karuni-Nya yang patut dihargai oleh setiap umat Hindu.


D. Vedānta , Saṁkhyā, dan Yoga sebagai sarana pencerahan dalam Hinduisme

Bila kita ingin memahami pemahaman umat Hindu di Indonesia tentang pengaruh Sad Darsana, maka dari 6 sistem filsafat Hindu (Sad Darsana) yang sangat berpengaruh di Indonesia adalah sistem filsafat Vedānta , Saṁkhyā dan Yoga. Tentang pengaruh filsafat Vedānta , kami kutipkan pengalaman Bung Karno pada masa kanak-kanak yang telah mendapat pencerahan jiwa, khususnya yang ditanamkan sejak dini oleh orang tuanya. Perhatikanlah petikan berikut: "Seperti pagi itu aku memanjat pohon jambu di pekarangan rumah kami dan aku menjatuhkan sarang burung. Ayah menjadi pucat karena marah, "Kalau tidak salah aku sudah mengatakan padamu supaya menyayangi binatang", ia menghardik. Aku bergoncang ketakutan. "ya Pak". "Engkau dapat menerangkan arti kata-kata: "Tat Twam Asi,. Tat Twam Asi?" "Artinya dia adalah aku dan aku adalah dia; engkau adalah aku dan aku adalah engkau". "Dan apakah yang kuajarkan kepadamu bahwa ini mempunyai arti yang penting?". "Ya Pak. Maksudnya adalah Tuhan berada dalam kita semua", kataku dengan patuh. Dia memandang marah kepada pesakitannya yang masih berumur 7 tahun. "Bukankah engkau sudah ditunjuki untuk melindungi makhluk Tuhan?" "Ya Pak". "Engkau dapat mengatakan apa burung dan telor itu?" "Ciptaan Tuhan", jawabku dengan gemetar. "Tapi dia jatuh karena tidak disengaja, tidak saya sengaja". Sekalipun dengan permintaan maaf demikian bapakku tetap memukul pantatku dengan rotan. Aku seorang yang baik, akan tetapi bapak menghendaki disiplin yang keras dan cepat marah kalau aturannya tidak dituruti". (h.61).

Advaita dengan Tat Twam Asi yang diungkapkan BK di atas merupakan salah satu dari tiga aliran pemikiran metafisika dari sistem filsafat Vedānta , yang terdiri dari: Dvaita, Visisthā dvaita dan Advaita yang kesemuanya menapak jalan yang menuju kebenaran terakhir, yaitu Para Brahman. Mereka merupakan anak-anak tangga pada tangganya Yoga yang sama sekali saling tidak bertentangan dan bahkan sebaliknya saling memuji satu sama lainnya. Tahapan ini disusun secara selaras dalam rangkaian pengalaman spiritual berjenjang yang dimulai dengan Dvaita (dualistis), Visisthā dvaita (monistis terbatas), Advaita (kesatuan) murni, yang semuanya ini akhirnya memuncak pada Advaita Vedāntis perwujudan dari yang mutlak atau Trigunā tītā Ananta Brahman transendental. Madhva mengatakan: "Manusia adalah pelayan Tuhan" dan menegakkan ajaran Dvaita-nya. Rāmānuja berkata: "Manusia adalah cahaya dan percikan Tuhan" dan menegakkan filsafat Visisthā dvaita-nya. Saṅkara mengatakan" manusia identik dengan Brahman atau Roh Abadi" dan menegakkan filsafat Kevala Advaita-nya. Seorang Dvaitin (pengikut Dvaita) ingin melayani Tuhan, sebagai seorang pelayan dan menginginkan bermain-main dengan Tuhan serta ingin mencicipi gula-gula kemanisan-Nya. Seorang Visisthā dvaitin (pengikut Visisthā dvaita) ingin menjadi seperti Tuhan, Nārāyana dan menikmati ke-Illahian dan tidak ingin menggabungkan dirinya atau menjadi sama dengan Tuhan tetapi ingin tetap sebagai sebuah percikkan Tuhan. Seorang Jñāni menggabungkan dirinya dalam Brahman dan menginginkan dirinya menjadi sama dengan Brahman dan ingin menjadi gula-gula atau kemanisan itu sendiri. Manusia memiliki tempramen dan kemampuan yang berbeda-beda sehingga diperlukan aliran filsafat yang berbeda-beda pula, tetapi anak tangga tertinggi adalah filsafat Advaita, seorang dualis (Dvaitin) atau monistis terbatas (Visisthā dvaitin) akhirnya akan menjadi seorang Kevala Advaitin (Maswinara, Sistem Filsafat Hindu, 1998: 64). Berpijak pada ajaran Advaita di atas, BK senantiasa ingin mengembangkan kasih sayang serta kesejahtraan semua mahluk (sarwa pranihitankarah) .

Demikian pula, tatkala menjalani masa belajarnya (dalam mempelajari ajaran agama) ia bertemu dan sering berdiskusi soal-soal agama dengan romo Van Lith, seorang pastor Katolik. Sukarno tidak bisa menerima gambaran Tuhan menurut agama Katolik. Bagi Sukarno, Tuhan memiliki kebesaran yang tidak terbatas. Namun mengapa Van Lith membatasi kekuasaan Tuhan hanya pada yang baik? Mengapa ia tidak mau mengakui bahwa kejahatan pun datangnya dari Tuhan? Van Lith marah dan berkata, "Kamu ini orang berdosa, berani menjelekkan Tuhan". Sukarno tertawa seraya menjawab. "Percayalah bahwa Tuhan akan memaafkan saya". Dalam kasus ini penolakkan Sukarno atas keterangan Van lith, yang mungkin dikiranya bahwa ia menolaknya berdasarkan ajaran Islam, ternyata lebih didasarkan atas latar belakang Monisme Hindu.

Dalam hal ini, Monisme, memandang bahwa segala realitas itu tunggal. Jadi, kendatipun Bung Karno dalam pidato-pidatonya banyak mengutip dalil-dalil dari Al-Qur'an maupun Injil, tetapi ia memahaminya dalam pengertian dasar Monisme tersebut.(h. 62). Bung Karno, berangkat dari pemahaman makna kasih kepada semua mahluk ala Monisme Hindu, memahami ayat Injil tersebut dalam makna Tat Twam Asi. "Rasa kesatuan antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam semesta ini, segala yang kumelip di alam semesta ini, rasa kesatuan itu dinamakan Advaita. Advaita itu artinya "Tidak ada dua". Seluruh realitas itu satu. Karena itu, dalam Monisme seluruh alam ini dipandang sebagai emanasi (mengalir) dari Brahman (zat Tuhan). Ibarat bunga-bunga api terpecik dari bara api yang besar, atau sungai-sungai mengalir ke samudra awal. Jadi dengan begitu segenap realitas, entah itu baik atau jahat, sumbernya harus dari realitas awal yang satu itu. "Ia yang mengira dirinya sebagai pembunuh, dan ia yang percaya dirinya dapat dibunuh, demikian Bhagavadgītā, "kedua-duanya dungu, sebab ia tidak pernah membunuh dan dibunuh". Apabila inti manusia (Ātman) adalah Brahman sendiri, sebagai pengatur dan penggaris kodrat, maka dosa yang lahir dari kesadaran dan kemauan menjadi nisbi. Orang berbuat jahat karena mereka dikuasai: "avidya" (ketidaktahuan) . Itulah "Ahaṁkara", "egoisme" atau keakuan yang lepas dari hekakat kenyataan yang satu. Pada hal yang lain sebenarnya bukan lain". "Tat Twam Asi", aku adalah dia, dia adalah aku' (h.63)

Pandangan keagamaan BK juga kuat berciri mistik yang digambarkan seperti Bhima mencari Tīrtha Pawitra, yang nyatanya dicari di dalam dirinya sendiri. Seperti kata sebuah Hadits yang sangat akrab di telinga kaum Sufi. "Barang siapa mengenal dirinya sendiri, niscaya akan mengenal Tuhannya". Pengalaman mistis ini, dalam penghayatan yang tidak selalu persis sama, diekresikan dalam ungkapan: Manunggaling Kawula-Gusti di Jawa, Kṛṣṇārjuna Samvada di India, atau Cognito Dei experimentalis menurut St.Thomas Aquinas (h.117).

Kutipan Bhagavadgītā (X.36) Vibhuti Yoga merupakan Tauhid Bung Karno, yang dapat dipahami melalui jalan Jñāna, Rāja, dan Vibhuti Yoga Bung Karno terang-terangan menolak gambaran Tuhan sebagai pribadi seperti lazimnya teologi Kristen maupun Islam. Selanjutnya ia mengulang-ulang tentang kembali Bhagavagītā tentang ketidakterbatasan- Nya (h.125). Bung Karno menegaskan dirinya seorang yang phanteistis monoteis (h.126), yang melintas batas berbagai agama, membuktikan bahwa ia menempuh jalan para Sufi (h.134). Apa yang telah dialami dan diwacanakan Bung Karno sesungguhnya sangat relevan dengan pengamalan ajaran agama dewasa ini. Pluralisme agama di Indonesia merupakan satu realitas yang merupakan taman bunga yang indah yang menyuburkan dan mempererat ikatan persatuan dan kesatuan bangsa. Bila ajaran agama sudah menembus grass root dan agama telah berhasil mengubah prilaku umatnya, tentunya kehidupan beragama seperti yang dirindukan BK di atas akan dapat diwujudkan. Inilah tugas utama elite agama dan elite masyarakat yakni menanamkan dan menumbuh kembangkan ajaran agama pada hati nurani umatnya, menurut hemat kami sangat mendesak dilaksanakan dewasa ini. Ada sinyalemen yang menyatakan dewasa ini agama sebatas verbal yang memerlukan reformasi internal. Seperti telah diungkapkan di atas, sesungguhnya Darsana yang mempengaruhi kehidupan keagamaan umat Hindu di Indonesia, selain ajaran Vedānta adalah ajaran Saṁkhyā dan Yoga. Filsafat Saṁkhyā dengan konsepsi Rwabhineda-nya (Puruṣa dan Prakṛti) diaplikasikan dalam ajaran Yoga dengan menekankan bahwa Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber kedua ajaran tersebut. Realitas mutlak sumber dari ajaran filsafat Saṁkhyā , oleh karena itu sistem filsafat Yoga dikenal pula dengan nama Saīśvara Saṁkhyā. Dengan filsafat Yoga, umat Hindu mendekatkan dirinya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dengan pemahaman ajaran dari sistem filsafat Vedānta , Saṁkhyā dan Yoga yang diungkapkan dalam berbagai teks berbahasa Jawa Kuno, utamanya dalam lontar-lontar Tattwa seperti Wṛhaspati Tattwa, Bhuwanakosa, Tattwajñāna, dan lain-lain serta pegangan moralitas dan etik dalam kitab Sarasamuccaya, Slokāntara dan lain-lain, umat Hindu Indonesia memperoleh pencerahan dalam bidang agama. Pencerahan tersebut akan menjadi lebih sempurna bila diperkaya dengan berbagai ajaran yang termuat di dalam kitab suci Veda dan susastra Hindu lainnya, yang sebelumnya tidak pernah sampai ke Indonesia, seperti kitab Bhagavadgītā , kitab-kitab Upaniṣad, Āgama (pegangan dari berbagai Samprdaya) dan kitab-kitab Darsana. Dengan demikian ajaran yang terkandung kitab-kitab Tattwa di Indonesia dapat ditemukan benang merahnya di dalam Veda dan susastra Hindu lainnya. Pembacaan teks tanpa Sadhana, yakni latihan rohani, maka pencerahan diri akan sulit dapat diwujudkan.

E. Simpulan

1. Agama Hindu sebagai agama yang sangat tua ajarannya sangat universal dan relevan sepanjang masa.

2. Ajaran yang universal itu diturunkan untuk berbagai karakter umat manusia, sesuai dengan kemampuannya untuk memahami agama yang mereka anut.

3. Agama Hindu merangkum, mengakomodasikan semua pemikiran umat manusia, yang berbeda-beda, dari yang paling sederhana sampai yang tinggi, untuk diarahkan dalam satu evolusi menuju kesempurnaan, bersatu dengan Tuhan Yang Maha Esa.

4. Perlu menumbuhkan penghargaaan (toleransi) yang tinggi terhadap perbedaan terutama intern sesama umat Hindu maupun umat beragama lain untuk menumbuhkan kerukunan hidup dalam masyarakat.

5. Melalui ajaran yang terkandung dalam sistem filsafat Hindu, khususnya Vedānta , Saṁkhyā dan Yoga serta ajaran yang terkandung dalam kitab-kitab Tattwa di Indonesia, umat Hindu Indonesia memperoleh pencerahan spiritual.

6. Ajaran yang demikian luhurnya, tidak akan memberi makna bila tidak diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, di antaranya melalui berbagai Sadhana yang dapat mengubah prilaku umat manusia, dengan demikia ajaran agama benar-benar menjadi landasan moral, etik dan spiritual dalam berperilaku.

F. Penutup

Demikian tulisan singkat ini semoga dapat dijadikan bahan pemikiran untuk mengkaji lebih jauh tentang hakekat perbedaan sebagai proses menuju Tuhan Yang Maha Esa.

Oṁ Śāntiḥ Śāntiḥ Śāntiḥ Oṁ

Komentar Sadguru Sant Keshavadas terhadap Gayatri Mantram :

Meditasi dengan Gayatri Mantram adalah bentuk meditasi yang tertinggi
yang dikenal dalam Weda-Weda. Gayatri Mantram diuncarkan untuk mencapai
kesadaran niversal dan untuk membangkitkan kekuatan intuisi.

Meditasi Gayatri akan menghancurkan semua delusi, mengaktifkan prana,
meberkati umur panjang, kesehatan ,kecerdasan dan penerangan. Gayati
Mantram adalah kunci untuk membuka pintu kesadaran kosmik

Waktu yang terbaik untuk meditasi dengan Gayatri Mantram adalah pagi
hari, persis sebelum matahari terbit dan sore hari persis sebelum
matahari terbenam.

Duduklah menghadap ke timur atau utara dalam Padmasana atau Siddhasana
atau ajrasana, atau posisi lain yang lebih mudah atau enak.Duduklah
diatas karpet atau tikar yang ditutup dengan selimut wool atau kain
katun (untuk mengisolasi tubuh dari tanah). Sekali sudah duduk dalam
postur tertentu, hindari gerakan yang tidak perlu dari badan.

Jaga agar posisi tulang punggung tubuh, kepala dan leher tegak Jangan
menakutkan sesuatu duduk dengan niat yang teguh untuk menyadari
kebenaran

Gayatri Mantram adalah irama kosmik yang terdiri dari 24 suku kata
disusun sebagai triplet masing-masing dengan 8 suku kata.

Ketika mengulangi Mantra, meditasilah terhadap arti dari Mantra dan
berdoa untuk visi (bayangan) dari Ibu Devi Gayatri. Mantra ini ditujukan
untuk Tuhan Semesta Alam sebagai sinar dan matahari sebagai simbuk dari
sinar tersebut.

Mantra ini mempunyai sifat universal, karena bermeditasi kepada sinar
melalui matahari, yang sama untuk seluruh umat manusia. Mantra ini
menganugrahkan kebijaksanaan, kemakmuran, kemurnian dan pembebasan.

Seseorang yang mengulani Mantra sebanyak 108 kali setiap kali duduk akan
memperoleh pancaran sinar dengan segera.

Seseorang yang mengulangi Mantra 1008 kali dengan ketulusan dan penuh
bakti setiap kali duduk (meditasi) akan memperoleh penerangan selama 40
hari

Gayatri Mantram akan menghilangkan semua ketakutan
Gayatri Mantra adalah obat terbaik untuk semua penyakit
Gayatri Mantra akan menghancurkan karma dan memberkati kita dengan
pembebasan.

Seluruh alam semesta telah muncul oleh kekuatan Gayatri Mantra.
Sesungguhnya hal ini tiada lain manifestasi dari kekuatan Tuhan.

Tidak ada Japa yang lebih tinggi dari Gayatri Japa
Tidak ada kekayaan yang lebih besar dari Gayatri Mantra

Siapa saja yang bermeditasi pada Gayatri Mantra setiap pagi dan sore
akan pasti diberkati umur panjang, kesehatan yang baik dan kedamaian.
Kata-katanya akan menjadi berkat. Dia akan mencapai pencerahan dan
menjadi agung, memberkati masyarakat dan seluruh dunia

Walaupun Gayatri Mantra yang suci diuncarkan untuk Cahaya yang tertinggi
dari Tuhan, tetap setiap harapan dan keinginan seseorang dalam nama Ibu
Gayatri akan segera terpenuhi.

Gayatri Manta akan memberikan kesembuhan bagi setiap yang sakit, baik
fisik, mental, emosi dan spiritual.
Gayatri Mantra adalah badan dari Dewata

Olehkarena itu dengan pengulangan yang konstan pada Mantra suci ini akan
memperoleh darshan atau penampakan atau penglihatan dari Dewata Gayatri

Sastra mengatakan sebagai puraschara (pengulangan nama suci Tuhan) harus
dilakukan minimal 24000 kali. Gayatri Mantra mempunyai 24 suku kata

Mengulangi Gayatri Mantra sebanyak 24000 kali dengan demikian sangat
menguntungkan.

Weda-Weda secara konstan menekankan penyelenggaraan Gayatri Purascharana
dan yajna Gayatri untuk kedamaian - individu, nasional dan internasional

Semoga Gayatri Mantram yang universal memberkati seluruh dunia dengan
kedamaian.

MENGUAK MISTERI GAYATRI MANTRA MELALUI MEDITASI

Oleh:
Gede Mahendra



Om bhur bhuvah svah,
tat savitur varenyam,
bhargo devasya dhimahi,
dhiyo yo nah pracodayat.

artinya:
O cahaya bersinar yang telah melahirkan semua loka atau dunia kesadaran, O Tuhan yang muncul melalui sinarnya matahari sinarilah budi kami.


Inilah makna dari mantra yang memiliki semua bija-mantra yang kesemuanya melambangkan dari kekuasaan Brahman dalam cahaya suciNya. Om melambangkan Tuhan, Bhur mewakili bumi, Bhuvah melingkupi semua bagian dari daerahnya dewata-dewata dan setengah dewata sampai kepada matahari. Sedangkan Svah mewakili dimensi alam ketiga yang diketahui dengan nama svargaloka dan semua loka-loka yang cemerlang dia atasnya.

Gayatri mantra ini mempunyai getaran sangat kuat sehingga seseorang dalam pencaran rohaninya apabila tulus mengucapkan Gayatri mantra ini akan membawa
kepada pencerahan bathin. Banyak buku yang mengulas bagaimana kehebatan dari Gayatri mantram tersebut, namun tidak ada guru yang bisa memberikan pelajaran secara sistematis sehingga tidak ada pegangan yang kuat bagi murid-murid untuk mencapai kesadaran yang lebih tinggi.

Gayatri mantram pada dasarnya bekerja secara otomatis dalam kesadaran rohani manusia. Ini di sebabkan mantram tersebut mewakili dari setiap elemen dasar
manusia dan alam.

Manusia memiliki tiga bagian badan yaitu badan fisik, badan energy (aura atau cahaya) dan badan roh (atma) ketiga bagian badan ini saling terkait satu sama
lainnya. Badan fisik berhubungan dengan napas dan prana, dan badan roh berhubungan dengan kesadaran Brahman.

Dijaman yang serba tidak pasti ini, banyak sekali bermunculan suatu masalah dalam kehidupan seperti contoh agama, ekonomi, sosial dan lain-lain dan yang
lebih parah lagi adalah banyaknya kasus penyakit. Tidak bisa disangkal lagi bahwa jaman ini materi menjadi tujuan yang paling utama, karena materi bagi seseorang menjajanjikan sebuah kebahagiaan.

Karena pencitraan yang sangat kuat ini, banyak orang pada jaman sekarang melakukan perbuatan yang berorientasi pada harta, segala cara pun dilakukan
asalkan terpenuhi nafsunya serta ambisinya. Tidak di dunia ekonomi saja terjadi seperti itu, di dunia energy pun banyak orang menggunakan kekuatan mistik
hitam untuk mencelakai secara halus, ini terlepas dari percaya atau tidak dengan hal ilmu hitam. Banyak bermunculan duku-dukun serta paranormal yang
menjajanjikan serta menjual berbagai macam kebolehan serta asesories untuk kedigjayaan atau kesaktian. Apabila tidak kuat iman, bisa dipastikan jaman
sekarang akan menjadi budak dari sekian pencitraan yang mencekam dalam kehidupan ini.

Lalu haruskah kita lari dari kehidupan ini dan mengasingkan diri untuk pergi ke hutan atau gua dan apakah kita mengambil jalan singkat bunuh diri?
Kedua-duanya adalah jalan yang konyol, kita harus menghadapi gelombang badai tersebut, namun dengan cara yang sangat halus serta bijak.

Apa yang disebut dengan suara karena kita mempunyai otak serta indra mata. Anadaikan saja seseorang buta dan tuli sejak lahir pasti baginya dunia ini tidak
ada, inilah yang disebut dengan ikatan indra dengan alam sementa. Untuk bisa terhindar dari masalah tersebut, tidada jalan lain kecuali mencari masalah
itu jauh ke dalam hati dan pikiran sebab di sanalah kemelut itu bercokol.

MEDITASI DENGAN GAYATRI MANTRA

Sudah dikatakan Gayatri mantram mempunyai vibrasi sangat kuat terhadap otak dan batin asalkan tahu bagaimana cara menggunakan mantra tersebut. Meditasi
pada hakekatnya berhubungan dengan pikiran, kesadaran, serta spirit dan sangat dibutuhkan guru yang khusus. Apabila anda ingin menjadikan Gayatri Mantra sebagai bagian dari meditasi anda harus melakukan puasa putih(tanpa garam, dan tidak minum susu) selama dua hari untuk memohon berkat kepada Maha Dewi.

Lakukan puasa mulai hari Rabu (pagi) sampai Jumat (pagi) hanya makan nasi putih dan air putih saja dan lakukan puja Gayatri setiap pagi menghadap matahari
terbit, siang hari, dan malam hari. Dalam mengucapkan Gayatri mantra enam kali untuk pagi hari, empat kali untuk siang hari, dan dua puluh sembilan kali untuk
malam hari. Lakukan puasa dan puja Gayatri dengan ketulusan hati jangan memohon suatu daya-daya sakti tertentu sebab belum tentu keinginan anda akan
terpenuhi. Setelah melakukan puasa dan puja gayatri selama dua hari barulah anda di perkenankan untuk melakukan meditasi ternadap Gayatri mantra sebab api spirit anda sudah menyala.

Tambahan:
Dalam penjelasannya puasa putih ini dapat dilakukan sehari saja tapi harus pada hari kelahirannya. Misalnya lahir hari Senen, maka puasa dilakukan pada Senen pagi hingga Selasa pagi.

TEORI MEDITASI

Sebelum meditasi cucilah muka, tangan, serta kaki, atau anda mandi untuk membersihkan badan dari kotoran sekaligus membuat badan menjadi segar. Duduklah dengan memakai alas dari kain, tikar, atau selimut, posisi punggung tegak lurus dan tangan diletakkan dipangkuan dalam posisi relek. Pejamkan mata, serta tenangkan pikiran berberapa detik, setelah itu ucapkan mantra "

OM Bhur, OM Bhuvah, OM Svah"

ucapkan dengan suara lambat serta santai jangan tergesa-gesa sebanyak lima
kali, ini bertujuan untuk membersihkan lapisan pikiran.

Pada saat mengucapkan mantra ini arahkan pikiran pada mantra dan suara bukan pada bayangan pikiran. Setelah baca mantra selesai tutuplah mulut serta tenangkan pikiran lalu ucapkan Gayatri mantram

" OM Bhur, Bhuvah, Svah, tat savitur varenyam, bhargo devasya
dimahi, dhiyo yo nah pracodayat"

dengan lambat dan tenang di dalam hati. Arahkan pikiran serta getaran suara mantra pada jantung, anda cukup meniatkan saja bukan membayangkan.

Meditasi dengan Gayatri mantram sangat efektif untuk berbagai macam keperluan seperti melindungi diri dari energy negatif, kecantikan, kekuatan batin, kecerdasan
dan lain-lain. Kekuatan Gayatri mantra tidak bisa berfungsi apabila disertai niat kurang baik. Meditasi Gayatri mantra apabila dilakukan dengan baik serta
tulus akan banyak muncul keajaiban-keajaiban yang tidak bisa kita sangka. Gayatri mantra bukan bekerja pada maksud si meditator namun, karunia, energy,
rahmat, dari Maha Devi Gayatri yang berhak menentukan. Bagaikan mobil, sang supirlah yang tahu kemana tujuan dari mobil itu, bukan tujuan dari mobil tersebut yang dituruti sang supir.

Energy Gayatri masuk dari ubun-ubun melalui tulang belakang serta menyebar keseluruh tubuh fisik, tubuh energy, dan atma. Banyak guru-guru suci yang tercerahkan mengatakan "pencerahan akan kalian dapatkan pada Gayatri mantra. Pada jaman kali yuga ini tiada yang mampu melepaskan lapisan kekotoran pikiran
selain getaran halus dari Gayatri mantra.

TIPS

Apa bila anda merasa ada sakit yang disebabkan oleh ulah niat jahat seseorang, dan kalau percaya dengan hal ini anda bisa menggunakan cara berikut ini. Sediakan air bersih , higienis, untuk diminum, lalu jemurlah air tersebut pada cahaya matahari serta cahaya bulan di malam hari. Setelah air tersebut dijemur oleh kedua unsur cahaya tersebut berdoalah pada Tuhan sambil membaca Gayatri mantram 11 kali, setiap habis membaca gayatri mantram tiupkan nafas anda pada air tersebut. Air tersebut bisa diminum atau dipakai campuran obat, mandi dan lain-lainnya. Dengan kekuatan ini segala macam bentuk energy jahat dari seseorang akan hancur oleh kekuatan dari mantra tersebut, hal ini sering terbutkti di daerah-daaerah terpencil. Ada banyak lagi cara-cara yang bisa dijadikan renungan, betapa Gayatri mantra mempu untuk menghadapi dilema dalam hidup ini.

Sunday, April 5, 2009

PSN KORWIL Sulawesi Tenggara

Om Swastyastu,

Anghayu bagya haturang tityang majeng ring Ida Sang Hyang Widdhi, riantukan wit sangkaning asih beliau Pinandita Sanggraha Nusantara Korwil Provinsi Sulawesi Tenggara telah dilantik dan dikukuhkan pada hari Senin Wage Kulantir tanggal 26 Januari 2009 di asrama haji Kendari Sultra.
Acara ini terselenggara berkat kerjasama Pinandita Sanggraha Nusantara Pusat dengan PHDI Propvinsi Sulawesi Tenggara khususnya berkat kegigihan bapak Dr. Ir. I Ketut Puspa Adnyana, MT selaku Ketuanya.

Sejak tanggal 23 Januari s/d 26 Januari 2009 PHDI Provinsi Sulawesi Tenggara mempunyai hajatan yakni Paruman (Rakerda) sekaligus pembubaran Panitia Utsawa Dharma Gita Nasional di Asrama Haji Kendari yang pembukaannya dihadiri oleh MUSPIDA Tk I Provinsi SULTRA, Sekjen PHDI Pusat, seluruh Pengurus PHDI dari Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan dan Desa serta dari unsur Peradah, WHDI dan para Pinandita se Sulawesi Utara. Menurut jadwal, Pelantikan dan Pengukuhan akan dilaksanakan tanggal 26 nya (hari terakhir).

Kami dari pengurus Pusat (Ketua Umum, Ketua III dan saya sendiri/Sekretaris Umum) berangkat dari Jakarta dan dari Bali hari Minggu tanggal 25 Januari 2009, sesampai di Kendari kami sudah dijemput oleh semeton dari PHDI Provinsi dan diantar kepenginapan di Hotel Putri. Malamnya kami dijemput dan bertemu dengan peserta Paruman dan dilanjutkan Pertemuan dengan para Pinanditanya untuk membicarakan rencana besoknya. Disana kami dari Pengurus Pusat memberikan pemahaman tentang PSN, Sejarah, Visi-Misi, Rencana Kerja dan lain-lainnya serta pembekalan tentang ke Pinanditaan.

Dalam kesempatan itu respon dari para Pinandita sangat-sangat antusias dan mendukung sekali, banyak pertanyaan diajukan terutama menyangkut masalah SESANANING Pinandita, masalah dan kendala-kendala yang dihadapinya sehari-hari.
Saking asiknya diskusi, tanpa terasa waktu berlalu demikian cepatnya, tepat pukul 12 malam pihak panitia menutup forum diskusi tersebut untuk memberikan kesempatan kepada kami untuk beristirahat.

Tepat pukul 9 pagi kami dijemput dan diantar ke asrama haji, disana sudah berkumpul seluruh peserta Paruman (RAKERDA PHDI Prov.SULTRA), acara diawali dengan tari Panyembrama, dilanjutkan dengan acara Pembacaan Surat Keputusan PSN Pusat tentang Pengukuhan Pengurus PSN Korwil Sultra terpilih, Pelantikan oleh KETUM PSN Pusat, sambutan dari Ketua Pinandita Sanggraha Nusantara Korwil Prov. Sultra terpilih, sambutan Ketua Umum PSN Pusat, sambutan Ketua PHDI Provinsi SULTRA sekaligus menutup acara Paruman (Rakerda PHDI), dilanjutkan dengan acara kesenian.

Demikian dengan mengucapkan Puji syukur kehadirat Hyang Parama Kawi, dan ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada Jajaran Pengurus PHDI Provinsi SULTRA khususnya pak Ketut Puspa Adnyana, akhirnya bertambah satu lagi terbentuknya Korwil PSN sehingga total Provinsi yang sudah terbentuk Korwil PSNnya menjadi 10 Provinsi, diharapkan dalam waktu dekat, 3 Provinsi lagi terbentuk termasuk untuk Korwil di Provinsi Bali juga.

Untuk itu tityang sebagai pribadi dan pengurus lainnya mengharapkan suport dan dukungan dari para semeton darmika sami.

Suksema

Astono Chandra Dana

Ida Pandita Empu Dukuh Jaya Prateka

Dengan Hormat ,

Om Swasti Astu,

Bersama email ini kami informasikan bahwa “ Ida Pandita Empu Dukuh Jaya Prateka “ pada Rabu 1 April 2009 lebar/berpulang di RS Sanglah pada pukul 14.30 Wita.
Sebelumnya beliau sakit disaat muput di Pura Karang Pandan Solo 31 Januari 2009 selanjutnya beliau dirawat di Rs PKU Muhamadyah selama dua hari selanjutnya dipindah di RS Moewardi Solo hingga tanggal 25 Pebruari 2009 . Pada 25 Peberuari beliau dijemput oleh team RSUP Sanglah dan kemudian di rawat di ICU RSUP Sanglah kingga lebar.

Kami keluarga saat ini sangat bersedih dan merasa sangat kehilangan beliau. Berbagai upaya kami lakukan berpacu dengan langkah-langkah usaha medis yang luar biasa serta berpacu pula dengan biaya yang harus kami keluarkan.

Kini beliau disemayamkan di Asram Sri Widya Khauripan Tabanan Bali.

Upacara Pelebon akan dilaksanakan pada tanggal 29 April 2009.

Sejujurnya kami sampaikan bahwa hingga hari ini, biaya Rumah sakit belum bisa kami lunasi . Kami hanya dibantu oleh fasilitas ASKES karena beliau sebelum mediksa bertugas sebagai PNS dilingkungan Pemkab Tabanan Bali.

Ketika beliau sungkan/sakit kami sudah beremail ke PHDI Pusat, BDDN, namun belum ada realisasi.

Demikian email ini kami sampaikan, mohon maaf jikalau ada yang kurang berkenan. Serta terima kasih.


Tabanan, Sabtu 4 April 2009
Asram Sri widya kahuripan, Gria Gede Taman Anyar Khauripan



Putu Panca Wardani
Ananda

Redaksi : Om Swargantu, Om Murcyantu, Om Ksamantu, Om Sunyantu, Om Moksantu sarwa ya namah swada. Kami Pengurus Pusat Pinandita Sanggraha Nusantara mengucapkan turut berbela sungkawa atas lebarnya Ida Pndita, semoga arwah beliau mendapatkan genah linggih yang terbaik manut sekadi sekarmanta beliau ketika beliau kari melinggih.