Sunday, May 10, 2009

Spiritualitas dalam Praktek, Balancing of Mind, Body & Soul

Disampaikan dalam diskusi
IPEBI Bank Indonesia, Jumat, 8 Mei 2009
Oleh: Dewa K. Suratnaya

Di kalangan masyarakat kata spiritual dipahami sebagai sesuatu yang sulit dipahami, dan seolah-olah sangat sulit untuk dicapai. Sesuatu yang “jauh” dan sulit dijangkau. Hanya orang-orang tertentu yang bisa mencapainya, hanya bisa dicapai oleh para rohaniwan, para penekun kebatinan, para pandita atau pinandita, demikian sering kita berpikir. Ada hal penting yang terlupakan bahwa setiap manusia yang dilahirkan dalam dirinya tersedia “bibit dan ruang spiritual.” Banyak rohaniwan yang tidak bisa membedakan antara ritual dengan spiritual, antara kawisesan (kesaktian) dengan spiritual. Semuanya dicampurbaurkan, baru berbicara sedikit tentang hal-hal non fisik, metafisik atau hal-hal irasional, sudah mengaku pelaku spiritual. Walaupun ada orang-orang tertentu mengatakan, “Saya sudah bertahun-tahun menekuni spiritual…………..” kelompok ini pun sesungguhnya masih ragu.
Belakangan di berbagai media dipublikasikan bahwa abad ke 21 ini adalah abad spiritual, karena semakin banyak orang yang akan mencari ketenangan hidup dengan mencoba menekuni spiritual. Apakah mereka benar-benar telah menemukannya? Jangan-jangan hanya menemukan kekecewaan saja. Kalau benar-benar abad milenium ini adalah abad spiritual, mengapa masyarakat dunia, khususnya Indonesia yang konon adalah “masyarakat religius” malahan semakin mengalami degradasi moral.
Kajian spiritual, menurut saya tidak cukup dengan mencekoki masyarakat dengan istilah “kecerdasan spiritual” atau Spiritual Quotation (SQ) yang belakangan sudah menjadi bisnis besar. Spiritual tidak akan terungkap jelas apabila hanya membaca buku, hanya mendengar ceramah tentang spiritual. Tidak juga mudah dipahami melalui latihan-latihan yang rumit dan membosankan. Spiritual telah berkembang di masyarakat sebagai “hantu” yang eksklusif, dirindukan masyarakat tetapi tidak jelas keberadaannya. Sesungguhnya spiritual itu sangat mudah dipahami, dan tidak eksklusif, dan setiap usia manusia, sadar atau tidak sadar sesungguhnya telah menumbuhkan bibit spiritualitas dirinya masing-masing, dalam perjalanan kehidupannya. Tetapi memang benar tidak semuanya berkembang karena kendala-kendala tertentu. Namun akan lebih mudah mempelajarinya melalui praktek-praktek lapangan, dengan menghadapi kasus-kasus yang terjadi.
Dari pendekatan terhadap kasus-kasus di lapangan, maka kajian akan spiritual secara perlahan akan tumbuh dan berkembang serta mengarah kepada keseimbangan fisik (body), pikiran (mind) dan jiwa (soul). Spiritual yang benar akan membuat ketiganya merasakan kenyamanan bagi setiap individu. Kendalanya, ego, cuntaka (adanya selimut “black energy” yang mengelilingi badan halus (suksma sarira) karena perilaku tertentu, dan adanya kuajiban yang belum terselesaikan). Umumnya kendala-kendala ini tidak dimengerti, sehingga memerlukan sentuhan pihak ketiga.
Spiritual lebih mengarah kepada internal self (diri sendiri), dan bersifat individual. Kita akan lebih banyak melihat ke dalam, dengan pedoman yang didapat dari obyek-obyek yang bersifat eksternal (luar diri). Kesadaran dan penyadaran serta purifikasi diri (soul purifying) merupakan kondisi-kondisi yang diperlukan untuk semakin jauh memahami spiritual, karena spiritual merupakan proses pembelajaran tanpa batas, yang tidak akan pernah berhenti hingga akhir hayat.
Menurut kajian saya, spiritual, secara sederhana dapat didefinisikan sebagai berikut. Berasal dari kata spirit = jiwa dan ritual = aktivitas dalam hidup, termasuk aktivitas horizontal (duniawi) maupun vertikal (rohani). Jadi spiritual merupakan sebuah aktivitas baik yang horizontal maupun yang vertikal, dimana di dalam setiap aktivitas itu seseorang mampu menjiwai, menjiwakan dan masuk serta menyatu ke dalamnya; sehingga bibit spiritualnya tumbuh dan berkembang serta “ruang spiritual”nya terisi. Beberapa aktivitas alami yang menumbuhkan bibit-bibit spiritual dan mengisi “ruang spiritual” yang bisa dijadikan obyek kajian.
1. Anak-anak balita yang sedang menyanyi dan bermain dengan polosnya. Mereka tertawa lepas, tidak tertekan, tidak dipaksa.
2. Anak-anak remaja yang dengan bebas dan gembiranya bermain dengan temannya.
3. Para mahasiswa yang menikmati perjalanan sekolahnya menuju sebuah gunung yang sejuk.
4. Karyawan yang bekerja tekun, karena merasa bertanggung jawab terhadap pekerjaannya, bukan karena takut kepada atasannya. Ia menikmati dan merasa nyaman dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
5. Seorang pemangku yang sedang melayani umat untuk melaksanakan sebuah upacara. Ia mampu membuat sarana sesaji menjadi “hidup” dan “berjiwa,” sehingga ada jaminan bahwa ritual itu mencapai sasaran. Ada loyalitas dan kepedulian di sini.
6. Seorang pandita yang melayani umatnya dengan penuh rasa bhakti, bukan karena adanya nilai bisnis. Sehingga sasaran acara yang dilaksanakan benar-benar tercapai, yang dilayani puas dan mengerti.
7. Dan lain sebagainya.
Poin 1 sampai dengan 4 merupakan aktivitas-aktivitas natural yang menumbuhkembangkan spiritual secara alami, karena bersifat horizontal. Namun poin 5 dan 6 agak berbeda. Karena ritual-ritual yang dilakukan tidak akan pernah lengkap kalau dalam pelaksanaan ini tidak ada tambahan “selipan-selipan” aktivitas spiritual. Karena pelaku ritual (pinandita/pandita) seringkali lebih terpaku kepada proses ritual, secara tidak sadar lalu mengabaikan proses spiritualnya. Disamping itu memang tidak mudah bagi pelaku ritual, selain fokus pada ritual, juga fokus pada aspek spiritual dan sekaligus mengevaluasi acara yang dialksanakan. Padahal, sebuah proses pelayanan harus memberikan kepuasan kepada yang dilayani. Kepuasan ini akan timbul, kalau setiap ritual dipahami dan dimengerti maka akan terjadi peningkatan wawasan tentang ritual dan spiritual.
Untuk itu, dalam setiap ritual idealnya diperlukan peran dua figur. Yang pertama adalah pelaku ritual dan yang kedua adalah pelaku spiritual. Pelaku ritual adalah orang yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan ritual tersebut dan memang handal untuk itu. Ini adalah seorang pinandita (pemangku) atau pandita (sulinggih), atau orang yang mampu dan dipercaya untuk itu. Pelaku spiritual adalah orang yang bertugas melanjutkan aktivitas-aktivitas yang diperlukan setelah selesai atau di tengah (diselipkan) acara tersebut. Ia juga bertugas memonitor jalannya acara, karena ia memiliki kemampuan menangkap sinyal-sinyal yang muncul, sekaligus mampu menterjemahkan dan menyampaikannya. Tidak harus trance, tetapi dengan kesadaran penuh. Bisa juga pelaku spiritual ini memiliki akses untuk menerima, bahkan bernegosiasi dengan dimensi terkait.
Untuk menangkap sinyal dan menyampaikannya kepada pihak yang berkepentingan memang tidak mudah. Dibutuhkan pengetahuan dan kemampuan serta pengalaman yang cukup baik tentang agama (filsafat, etika, acara) dan penggunaan logika (spiritual logic) yang memadai. Apabila hal ini dapat dilakukan dengan baik, dan bisa dimengerti maka semua orang yang mendengarkan akan mendapatkan pencerahan dan peningkatan pengetahuan spiritual. Idealnya, setiap usai sebuah acara, sekecil apapun harus di evaluasi; untuk menentukan langkah-langkah ke depan apabila diperlukan. Selipan-selipan ini juga bisa berupa tutur, wacana, dialog atau diskusi yang dilakukan setelah acara selesai.
Belakangan, selipan-selipan spiritual ini memang seperti terlupakan, sehingga tidak sedikit acara-acara penting menjadi sia-sia. Kita lebih banyak terfokus kepada ritual-ritual yang tidak diapahami dan dilakukan dengan rasa takut. Lalu kita terjebak kepada sarana-sarana sesaji yang semakin lama semakin bertambah, dan semakin rumit, yang lama kalamaan membuat jenuh dan frustasi. Jebakan-jebakan ini kemudian berkesinambungan, dan menimbulkan banyak masalah-masalah baru, seolah ritual tidak menyelesaikan masalah.
Ini berarti ada sesuatu yang salah, karena ritual menjadi tidak efektif dan menakutkan. Yang lebih parah, ruang spiritual menjadi tidak terisi karena bibitnya tidak tumbuh, keseimbangan tidak muncul dan ini akan menjadi masalah menjelang maut menjemput; bahkan berlanjut setelah mati. Berikut adalah sebuah kasus yang terjadi di lapangan.


Bermasalah, Ritual Pernikahan Dua Kali
Dewa K. Suratnaya
Kasus ini merupakan sebuah kecerobohan yang fatal. Seorang pria menelepon dan menyebutkan identitas serta profesi dan nama seseorang yang memberikan nomor telepon. “Boleh saya datang ke rumah sekarang,” katanya. Walaupun dengan susah payah mencari alamat rumah, karena memang lokasinya tersembunyi, tetapi tak lama kemudian ia muncul bersama istri dan putranya yang masih balita dan seorang ibu sepuh, tetangganya. Ia datang untuk konsultasi, namun bukan masalah keluarganya, tetapi masalah lain. Setelah berbincang panjang lebar disarankan agar “masalah lain” itu diabaikan, karena ada pihak lain yang lebih bertanggung jawab, bukan pria tersebut.
Saat ditelusuri secara spiritual, kemudian terungkap bahwa ada sesuatu yang menjadi kendala dalam keluarga suami istri ini, yang selama bertahun-tahun hingga kini sudah berputra tiga; masalah ini masih mengendap. Pria ini seringkali merasakan “tidak nyambung” dengan istrinya, apalagi dengan karakternya yang keras, seringkali membuat istrinya stress, walaupun dengan daya tahannya yang luar biasa, ia selalu berusaha mengikuti keinginan suaminya. Suami (orang Bali) istri (orang Jawa) ini keduanya bekerja, tampaknya penghasilannya lumayan, namun dirasakannya semuanya tidak ada hasil apapun. Semuanya habis entah kemana. Ternyata, selain adanya gelombang negatif dari luar, juga ada kemelut dalam diri keduanya (suami istri) yang menggambarkan bahwa mereka secara spiritual bukanlah suami istri. Ada yang aneh dari ritual yang telah dilakukan. Bahasa sederhananya, secara niskala ritual pernikahan mereka tidak mendapatkan pengakuan, alias gagal. Setelah ditelusuri lebih dalam, ternyata muncul gambar-gambar yang bercerita.
Ritual pernikahan secara agama Hindu dengan tradisi Bali sudah dilaksanakan dengan baik. Setelah itu, sesuai dengan tradisi Jawa, maka orang tua wanita akan juga melaksanakan resepsi pernikahan. Ini tradisi yang biasa, di kalangan masyarakat tertentu di Nusantara. Ini dilakukan atas dasar kasih sayang orang tua terhadap putrinya dan juga sebagai implementasi bahwa di mata keluarga, wanita maupun pria mendapat perlakuan yang sama, bahkan hingga ke pembagian warisan, pria dan wanita mendapat bagian yang sama. Sayangnya, disamping resepsi tadi, rupanya “diselipkan” sebuah acara di masjid, yaitu akad nikah secara Muslim. Jadi suami istri ini melakukan ritual pawiwahan atau akad nikah dua kali, secara agama Hindu dan agama Islam. Ternyata ini berakibat tidak baik. Jelas, apabila menikah secara agama Islam, harus di Islam kan dulu, seperti halnya menikah secara agama Hindu, harus sudhi wadani dulu. Ini terkait dengan UU Perkawinan no. 1 tahun 1974. Nah, dengan demikian secara spiritual suami istri ini sebenarnya beragama Islam, namun dalam kesehariannya melaksanakan ibadah secara agama Hindu. Dampaknya, terjadi kebingungan jiwa.
Mereka berada “in between” (diantara) Hindu dan Islam. Salah satunya harus dinetralkan, melalui ritual mepegat (diputus), lalu dinikahkan kembali. Tentu ini melalui sebuah ritual yang melibatkan pelaku ritual dan pelaku spiritual. Sayangnya, di kalangan masyarakat Hindu sendiri hal-hal seperti ini seringkali diabaikan karena kurangnya tuntunan dan pemahaman; padahal tidak sedikit umat Hindu yang menderita karena masalah “kecil” ini. Ini termasuk kondisi cuntaka kelas berat, karena akan selalu menjadi kendala dalam kehidupan ini.
Ada lagi kejadian yang lain, di keluarga ini. Sang istri yang sabar, dikaruniai kepekaan bawah sadar yang baik. Kemampuan bawah sadarnya seringkali memberikan petunjuk untuk menyelamatkan diri, dan sejauh ini selalu ada “kekuatan” penyelamat. Beberapa dimensi, di luar dimensi fisik ini berkali-kali dilihatnya dengan nyata, hanya ia tidak paham. Berkali-kali, putranya nyaris benturan dengan mahluk-mahluk dimensi lain, tetapi naluri keibuan yang penuh kasih sejauh ini selalu mampu menghindarkan putranya dari bahaya. Ini terjadi di rumah tinggalnya. Ada fenomena yang bercampur baur antara alam manusia hidup dengan alam dimensi lain dengan penghuninya yang spesifik. Artinya, ada intervensi antara dua alam yang seharusnya tidak boleh terjadi, karena akan saling mengganggu.
Atmosfir di rumahnya tidak seimbang, antara panas dan dingin. Ini dimungkinkan karena adanya intervensi tadi. Apalagi berdekatan dengan lokasi rumah terdapat sebuah makam, yang konon adalah makam seorang ibu yang meninggal dalam keadaan hamil. Karena tidak terurus, maka dari makam ini mengalir energi negatif yang membuat atmosfir di sekitarnya terkontaminasi. Tidak menyatunya antara energi tanah, rumah dan penghuninya dalam sebuah keselarasan yang harmonis menyebabkan mudahnya terjadi intervensi dari penghuni dimensi lain, yang seharusnya berada di dimensinya masing-masing. Percaya? Tidak percaya? Silahkan merenung. Inilah keunikan alam semesta.

No comments:

Post a Comment