Monday, May 4, 2009

Konsepsi Ketuhanan Dalam Hinduisme (Siva Tattva)

Oleh : I Wayan Sudarma (Shri Danu D.P)



Om Swastyastu

Pendahuluan

Agama Hindu sebagaimana juga agama yang lainnya adalah agama yang monotheis, yaitu agama yang percaya dengan satu Tuhan Yang Maha Esa. Demikian juga konsep Ketuhanan dalam Agama Hindupun menunjukkan ajaran yang monistis, yaitu menganggap segala sesuatu itu berasal dari Tuhan dan dianggap sama dengan Tuhan.(Adiputra,1984: 85). Konsep kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa tercantum dalam kitab Veda, yaitu kitab suci Hindu yang merupakan Sruti, yakni wahyu dari Tuhan. Karena Veda adalah kitab suci, maka Veda itulah merupakan sumber pokok ajaran agama Hindu. Sebagaimana tercantum dalam kitab Manavadharmasastra II.6. sebagai berikut:

" Idanim dharma pramananyaha; Vedo' khilo dharmamulam Smrtisile ca tadvidam Acarascaiva sadhunam Atmanastutireva ca".

Seluruh pustaka suci Veda adalah sumber pertama dari pada Dharma, kemudian adat istiadat, dan lalu tingkah laku yang terpuji dari orang-orang budiman yang mendalami ajaran pustaka suci Veda, juga tata cara perikehidupan orang-orang suci, akhirnya kepuasan dari pribadi.( Pudja, dan Sudharta,1996: 62).



Selanjutnya Manavadharmasastra XII.95. menyebutkan:

" Ya veda vahyah smrtayo yasca kasca kudrstayah, sarvasta nisphalah pretya tamo nistha hitah smrtah".

Semua Smrti dan semua sistem filsafat yang rendah yang tidak berdasarkan Veda, tidak akan membawa pahala sesudah mati, karena dinyatakan didasarkan atas kegelapan.(Pudja, dan Sudharta,1996:741).



Berdasarkan kutipan yang pertama di atas, secara tegas dinyatakan Vedalah sumber ajaran agama Hindu. Filsafat atau Tattva adalah salah atu aspek ajaran agama Hindu, maka filsafat atau tattva itupun sumber pertamanya adalah Veda, dan Smrti. Demikian pula berdasarkan kutipan yang kedua, jelaslah bahwa semua sistem filsafat yang ada juga mempunyai makna sama dengan tattwa yang bersumber pada Veda dan Smrti, jika tidak bersumber pada Veda dan Smrti tidak akan memberi pahala.

Dilihat dari sejarah pertumbuhan seluruh Veda itu di mana pengembangan sistimatikanya tidak saja dilihat dari segi fungsi dan penggunaannya saja tetapi juga dilihat dari aspek bentuk kejadiannya. Dalam hal ini ada tiga hal dalam Veda, yaitu:

1. Kelompok Mantra, yaitu: Rgveda, Samaveda, Yajurveda, dan Atharvaveda.

2. Kelompok Brahmana, yaitu kelompok kitab Sruti yang merupakan penjelasan pokok untuk tiap-tiap mantra, khusus di bidang yajna atau karma. Karena itu kelompok ini disebut kelompok Karma Kanda.

3. Kelompok Upanisad atau Aranyaka, yaitu: yang merupakan kelompok ketiga yang fungsi dan kedudukannya sama denga kitab Brahmana hanya saja khusus di bidang pemahaman Ketuhanan Yang Maha Esa saja. Oleh karena itu kitab ini merupakan kitab rahasia (Rahasya Jñana), yang paling penting dan merupakan kitab Jñana Kanda.( Pudja, 1983-1984: 36).

Dari ketiga kelompok Veda ini yang menjadi sumber pembahasan Filsafat/ Tattwa adalah Jñana Kanda. Sistem filsafat yang mengakui otoritas Veda, banyaknya enam aliran yang disebut Sad Darsana. Darsana adalah istilah yang umum untuk menunjuk sistem filsafat India. Kata ini diturunkan dari urat kata drs yang berarti memandang. Maka Darsana berarti pandangan terhadap sesuatu. Sehingga Sad Darsana berarti enam sistem pandangan terhadap sesuatu. Mereka mempunyai perbedaan pandangan akan satu kebenaran. Dalam hal ini bukan kebenaran itu yang berbeda-beda melainkan hanya caranya yang berbeda di dalam memandang sesuatu. Semua sistem filsafat ini percaya dengan adanya hukum karma, punarbhawa, dharma dan moksa. Ajaran-ajaran ini ditulis dalam bahasa Sanskerta dalam bentuk sutra yaitu suatu bentuk rumus-rumus dalam kalimat-kalimat yang pendek. Tujuan penulisan yang demikian adalah untuk memudahkan menghafalkannya dan mengulanginya waktu guru mengajarkanya kepada para muridnya. Sad Darsana, yaitu:

1. Saṁkhya : Menurut tradisi yang mula-mula mengajarkan ajaran Saṁkhya ialah Rsi Kapila. Saṁkhya mengajarka ajaran yang sistematis tentang proses perkembangan kejadian alam semesta.

2. Yoga : Pendiri ajaran ini adalah Rsi Patanjali. Yoga mengajarkan latihan mengendalikan badan dan pikiran untuk mencapai tujuan terakhir yang disebut samadhi. Ajaran Patanjali lebih dikenal dengan Yoga Sutra Patanjali, yang meliputi delapan tahapan dalam yoga yang disebut Astangga Yoga.

3. Nyaya : Pendiri ajaran ini adalah Rsi Gotama. Kadang-kadang beliau juga memakai Aksapada atau Dirghatapa. Pokok ajaran Nyaya adalah logika (Tarka Vada).

4. Vaisesika : Pendirinya adalah Rsi Kanada. Beliau juga terkenal dengan nama Kanabhaksaka. Vaisesika mengajarkan tentang pengetahuan yang menuntut orang untuk realisasi sang diri.

5. Mimamsa : Ajaran Mimamsa didirikan oleh Rsi Jaimini. Ajaran ini mengajarkan tentang dasar-dasar ajaran dharma, lebih menekankan kepada ritual dan etika dari pada ajaran filsafat.

6. Vedanta : Vedanta artinya akhir dari Veda. Ajaran ini disebut juga Uttara Mimamsa Vedanta, merupakan puncak filsafat India yang berdasarkan atas ajaran Upanisad. Pokok ajaran Vedanta ialah membicarakan hubungan antara Tuhan dengan dunia, antara Atma dengan Paramatma. Tokoh pendiri Vedanta adalah Rsi Badrayana. Di dalam kitab Bhagavadgita,Vedanta disebut Brahma Sutra.(Sura,1984:13).

Sedangkan sistem filsafat yang ada di Bali disebut dengan Tattva. Kata Tattva itu berasal dari bahasa Sanskerta yang dapat diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan kebenaran atau kenyataan. Dalam lontar-lontar di Bali kata Tattva inilah yang dipakai untuk mengatakan kebenaran itu. Karena dalam memandang kebenaran itu berbeda-beda, maka kebenaran itu tampaknya juga berbeda-beda, sesuai dengan segi memandangnya, walaupun kebenaran itu tetap satu adanya. Lontar-lontar yang memuat tentang Tattva adalah: Bhuvana Koṣa, Bhuvana Samksepa, Jñana Siddhānta dan ada juga yang langsung memakai nama Tattva, seperti: Ganapati Tattva, Vṛhaspati Tattva, Tattva Jñana, dan lain sebagainya. Yang pada dasarnya semua lontar itu mengandung ajaran Śivaistis. Sebab kita ketahui agama Hindu di Bali mendapat pengaruh yang sangat kuat dari aliran Śiva Siddhānta.

Dari semua sistem filsafat India yang paling banyak memberikan pengaruh terhadap sistem Tattva di Bali adalah ajaran Saṁkhya, Yoga dan Vedanta. Sistem filsafat Saṁkhya dan Yoga sering pula dijadikan satu istilah yaitu Saṁkhya Yoga. Kedua sistem ini sangat jelas memberi pengaruh pada sistem Tattva di Bali. Yang mana hal ini dapat kita jumpai dalam Aji Saṁkhya dengan konsepsi dualistisnya yaitu Purusa dan Prakerti yang dianggap sebagai awal dari segala-galanya. Hal ini mudah diterima oleh bangsa Indonesia umumnya dan orang-orang Bali khususnya karena hal itu telah ada yang merupakan suatu kepercayaan asli. Seperti alam bawah (bumi) dengan alam atas (langit), baik (ayu) dengan buruk (ala), laki dengan perempuan dan kaja dengan kelod. (Subagia, 1981: 75). Hanya saja Saṁkhya ajarannya bersifat Nir Isvara Saṁkhya, yaitu tidak membicarakan masalah Tuhan.

Sedangkan filsafat Yoga menerima secara mutlak ajaran Saṁkhya yang banyaknya 25 asas unsur dasar (tattvas), yaitu: Purusa, Prakrti, Mahat, Ahamkara, Manas, Panca Budhindrya, Panca Karmendrya, Panca Tan Matra, dana Panca Maha Bhuta. Sesudah diambil oleh Yoga menjadi 26 asas dasar (tattvas), yakni dengan tambahan Isvara (Sa Isvara Saṁkhya), itulah sebabnya disebut dengan Saṁkhya Yoga. Maka jelaslah dalam filsafat Saṁkhya Yoga adalah timbul konsep 2 + 1, yaitu: Purusa-Prakrti + Isvara.( Kempers, 1977: 68). Maksudnya adalah Isvara atau Tuhan itulah sebagai sumber yang menciptakan Purusa dan Prakrti. Konsepsi ini akan lebih jelas pada sistem filsafat Vedanta. Vedanta adalah suatu sistem yang membicarakan bagian Veda yang tergolong Jñana Kanda yakni Upanisad. Kitab-kitab Upanisad sendiri juga disebut Vedanta yang berisi maksud Veda yang sebenarnya.

Yang jelas bahwa kitab-kitab Upanisad, mengandung suatu ajaran yang monistis dan absolutis, maksudnya adalah suatu ajaran yang mengajarkan bahwa segala sesuatu yang bermacam-macam ini berasal dari satu asas, satu realitas yang tertinggi. Realitas ini tidak kelihatan, bebas dari segala hubungan, tidak terbagi-bagi, tidak dapat ditembus oleh akal manusia, tetapi yang menyelami segala sesuatu. Realitas inilah yang disebut Brahman.

Di dalam kitab-kitab Upanisad ada beberapa penjelasan tentang Brahman, yaitu:

1. Brahman adalah Deva tertinggi, yang lebih kuasa dari para Dewata yang lain, Deva yang menjadi Devanya para Devata atau Tuhan segala yang diper-Tuhan. Pada kitab Kena Upanisad ada disebutkan, bahwa Deva Agni dan Deva Vayu tidak dapat berbuat apa-apa tanpa Brahman. Jadi api akan dapat membakar dan angin akan dapat menghamburkan segala sesuatu kalau mendapat kekuatan dari Brahman. Disebutkan sebagai berikut:

" Sa brahmeti hovaca, brahmano va etad vijaya mahiyadhvam iti, tato haiva vidamcakara brahman iti". (Kena Upanisad IV. 1).

Ia menjawab; Ini adalah Brahman, untuk meyakiniNya dan dalam kejayaan Brahman, sesungguhnya menyebabkan engkau jaya seperti itu. Hanya dengan demikianlah Ia mengenal Brahman itu. (Pudja, 1983: 32).

Berdasarkan ungkapan di atas jelaslah Brahman adalah sumber segala kekuatan, bagaikan api baru dapat membakar kalau ada kekuatan dari Brahman, Demikian juga angin baru dapat meniup sesuatu kalau telah mendapat kekuatan dari Brahman.

2. Brahman adalah sumber dari Devata. Di dalam kitab Taitiriya Upanisad, disebutkan bahwa Deva Mitra, Varuna, Aryaman, Indra, Brhaspati, Visnu adalah Brahman yang kelihatan. Jadi sebenarnya hanya ada satu Deva, yaitu Brahman. Di dalam kitab Isa Upanisad.1, disebutkan:

" Isavasyam idam sarvam yat kinca jagatyam jagat, tena tyaktena bhunjitha ma grdhah kasya svid dhanam".

Sesungguhnya apa yang ada di dunia ini, yang berjiwa ataupun yang tidak berjiwa, dikendalikan oleh Isa ( Yang Maha Esa), oleh karena itu orang hendaknya menerima apa yang perlu dan diperuntukkan baginya dan tidak menginginkan milik orang lain.( Pudja,1990:31).



Berdasarkan kutipan tersbut di atas jelaslah Tuhan pencipta segala-galanya, oleh karena itu Deva adalah ciptaan Tuhan.

3. Di samping pandangan seperti tersebut di atas ada juga pandangan yang lain, bahwa Brahman ada yang transendent, yang berada di luar alam semesta dan ada juga Brahman yang imanent yang berada dalam alam semesta dan di dalam diri manusia.

Pandangan inilah yang diikuti oleh tokoh Vedanda Sankara, mereka memandang ada dua bentuk (rupa) dari Brahman, yaitu bentuk atau rupa yang lebih tinggi, yang tanpa sifat, yang disebut Para Brahman atau Nirguna Brahman dan bentuk atau rupa yang lebih rendah yang memiliki sifat-sifat, yang disebut Apara Brahman atau Saguna Brahman. Tetapi pada hakekatnya Brahman itu adalah tanpa sifat, tanpa bentuk dan tidak ada pembatasan. Agar Tuhan dapat dipuja, disembah, maka Brahman akan menjadi lebih rendah, yaitu dengan mengenakan pembatasan-pembatasan. Sekalipun demikian bahwa pembatasan-pembatasan itu adalah khayalan.

Jadi Brahman tidaklah rangkap dan tanpa hubungan dengan apapun dan hanya Brahman yang ada. Tetapi kita harus mengakui bahwa berdasarkan kepercayaan kita Brahmanlah yang menciptakan dunia ini, tetapi khayalan kita, sebenarnya dunia ini adalah penampakan Brahman yang khayali. Pada hakekatnya dunia ini adalah karena maya. Dengan adanya maya inilah kita melihat Para Brahman sebagai Apara Brahman atau Nirguna Brahman sebagai Saguna Brahman. Maka yang disebut saguna Brahman adalah Brahman yang bersatu dengan maya, yang menjadi sebab adanya dunia beserta isinya (Hadiwijono,1971: 82).

Bertitik tolak dari konsepsi tersebut di atas jelaslah bahwa ajaran agama Hindu menganut faham monotheis dan juga bersifat monistis. Monotheis adalah Percaya dengan adanya Yang Maha Esa dan monistis berarti bahwa Tuhan sebagai asal mula dari segala-galanya dan semuanya itu adalah Tuhan juga.

Sebagaimana penulis uraikan di atas, bahwa sistem Tattva di Bali mendapat pengaruh yang besar dari sistem filsafat Saṁkhya Yoga dan Vedanta. Demikian juga halnya agama Hindu di Bali lebih banyak dipengaruhi oleh Śiva Siddhānta. Dalam ajaran Śiva Siddhānta memandang para deva , seperti : Brahma, Visnu, Isvara, Mahadeva, dan sebagainya dihormati dan dipuja sesuai dengan tempat dan fungsinya, karena deva-deva itu tiada lain dari manifestasi Śiva (Tuhan), sesuai dengan fungsinya yang berbeda. Sebutan Śiva Siddhānta kalau ditinjau dari arti kata Siddhānta berarti kesimpulan, maka ajaran Śiva Siddhānta merupakan kesimpulan dari ajaran Śivaisme. Kitab Vedanya dikenal dengan nama Veda Sirah, adalah petikan-petikan dari Veda yang dipetik adalah pokok-pokoknya (sirah = kepala). Maka Veda Sirah berarti pokok-pokok Veda atau inti sari Veda. Vrhaspati Tattva adalah salah satu sistem filsafat peninggalan Śiva Siddhānta di Bali yang menguraikan konsepsi Ketuhanan. Yang mana pokok ajarannya berkiblat kepada Rva Bhineda Tattva dan Tri Purusa Tattva. Yang dimaksud dengan Rva Bhineda Tattva adalah unsur utama yang menjadikan adanya segala sesuatu, yakni Cetana yang merupakan unsur kesadaran dan Acetana yang merupakan unsur ketidaksadaran. Sedangkan Tri Purusa Tattva adalah pertemuan kedua unsur Rva Bhineda, yang menciptakan adanya Paramaśiva, Sadaśiva dan Śivātma. Paramaśiva, Sadaśiva dan Śivātma pada hakekatnya adalah Brahman Yang Esa. Maka untuk membayangkan Tuhan yang serba abstrak dan sebagai metode dalam rangka menumbuhkan keyakinan adanya Tuhan, maka dibuatlah sistem-sistem pengajaran sesuai dengan pandangan manusia.

Paramaśiva adalah Cetana/Purusa atau kejiwaan/kesadaran yang tertinggi (Tuhan), suci, murni, sama sekai belum kena pengaruh maya (Acetana/Pradhana/Prakrti) ,tenang, tentram, tanpa aktivitas, kekal abadi, tiada berawal tiada berakhir, ada di mana-mana, maha Tahu, tidak pernah lupa, maka dari itu diberi gelar Nirguna Brahman (Para Brahman). Dalam Vrhaspati Tattva 7-10, disebutkan:

"Paramaśiva tattva ngaranya:

Aprameyam anirdesyam anaupamyam anamayam suksmam

sarvagatam sarvatam nityam dhruvam avyayam isvaram". (Vrhaspati Tattva.7)

"Aprameyam anantatvad anirdesyam alaksanam anaupamyam

anadrsyam vimalatvad anamayam". (Vrhaspati Tattva.8)

"Sukamanca anupalabhyatvad vyapakatvacca sarvagam

nityakarena sunyatvam acalatvacca tad dhruvam". (Vrhaspati Tattva.9)

"Avyayam paripurnatvad saumyabhavam tathaiva ca

Siwa tattvam idam uktam sarvatah parisamsthitam". (Vrhaspati Tattva.10)



Yang disebut Paramaśiva Tattva adalah:

Isvara yang tak dapat diukur, tak dapat diberi jenis, tak dapat diumpamakan, tak dapat dikotori, maha halus, ada di mana-mana, kekal-abadi, senantiasa langgeng, tak pernah berkurang.

Tak dapat diukur, karena Dia tak terbatas, tak dapat diberi jenis, karena dia tak punya sifat, tak dapat diumpamakan, karena tiada sesuatu seperti Dia, tak dapat dikotori, karena Dia tak bernoda.

Maha gaib, karena Dia tak dapat diamati, berada di mana-mana, karena Dia menembus segalanya, kekal-abadi, karena Dia suci murni, dan selalu langgeng karena Dia tak bergerak.

Tak pernah berkurang, karena Dia maha sempurna, begitu pula keadaannya tengan, inilah Śiva Tattva (Paramaśiva Tattva) yang menempati segala-galanya.

(Radeg Astra, 1968: 45-46).



Dengan memperhatikan kutipan tersebut, maka telah terbayang dalam pikiran kita bahwa Tuhan Paramaśiva adalah Tuhan dalam keadaan suci murni, maka tidak ada sesuatu yang dapat mempengaruhi Beliau, sehingga sukarlah untuk memberi pembatasan dan memang Beliau tak terbatas, telah ada tanpa ada yang mengadakan, tiada berawal dan tiada berakhir (Anadi-Ananta), tiada terpengaruh oleh waktu, tempat dan keadaan.

Itulah sebabnya kita sebagai manusia yang seba terbatas yang hidup atas dasar materi, maka sulitlah untuk memberikan pembatasan terhadap Tuhan yang serba tak terbatas.

Tuhan Sadaśiva adalah Tuhan yang sudah dipengaruhi oleh maya (Acetana), maka Beliau mulai mempunyai sifat, fungsi dan aktivitas, dalam keadaan ini beliau diberi gelar Sadaśiva yang Saguna Brahman. Dalam Tattva di Bali Tuhan Sadaśivalah yang paling banyak mendapat perhatian yang disebut dengan Hyang Widhi dengan bermacam-macam gelar dan manifestasi. Demikian juga dibuatkan nyasa tertentu sebagai simbol Tuhan. Maka itu penulis akan lebih banyak mengungkapkan tentang aspek kemahakuasaan Tuhan dalam fungsi sebagai Sadaśiva.

Śivātma adalah unsur kejiwaan yang lebih banyak dipengaruhi oleh maya, jika dibandingkan dengan Sadaśiva, di mana kesadaranNya telah mulai kena pengaruh lupa (Avidya). Oleh karena itu unsur kesadaran aslinya yang murni dan lagi telah terpecah-pecah, serta menjadi segala makhluk, khususnya manusia, maka akhirnya di sebut Atma.

Jadi Atma adalah merupakan bagian dari Śivātma yang fungsinya memberikan energi atau tenaga pada jasmani pada setiap makhluk, sehingga sering disebut Jiwatma.

Dalam konsepsi Sadaśiva, dimana Beliau telah kena pengaruh maya, sehingga Beliau mulai mempunyai sifat, fungsi, dan aktivitas. Namun pengaruh maya belumlah begitu besar, hanya berupa 'guna' atau hukum kemahakuasaanNya, yang sering disebut dengan Sakti/Prakrti, sehingga kesadaran aslinya yang suci murni masih jauh lebih besar. Oleh karena itulah beliau dapat mengatur Utpeti, Sthiti, dan Pralina dari alam semesta dengan segala isinya atau Bhuvana Agung dan Bhuvana Alit.

Adapun sifat kemahakuasaan Tuhan Sadaśiva, meliputi : Guna, Sakti, dan Swabhawa. Guna meliputi tiga sifat, yang mulia, yakni:

1. Dura Darsana, yaitu: brpenglihatan serba jauh dan tembus pandang.

2. Dura Sarvajna, yaitu: berpengetahuan serba sempurna.

3. Dura Sravana, yaitu: berpendengaran serba jauh.

Yang disebut Sakti Tuhan Sadaśiva ,ada empat macam (Cadu Sakti), yaitu:

1. Vibhu Sakti, yaitu: Beliau berada pada segala yang ada dan amat gaib.

2. Prabhu Sakti, yaitu: Beliau maha kuasa, menguasai segala-galanya, serta tidak ada yang memadai kekuasaanNya.

3. Jñana Sakti, yaitu: Beliau maha tahu, sumber segala kebijaksnaan, sehingga dapat mengetahui segala-galanya.

4. Kriya Sakti, yaitu: Beliau maha karya, beliau dapat mengerjakan segalanya dengan sempurna.

Sedangkan yang dimaksud dengan Asta Aisvarya, adalah delapan sifat kemahakuasaan Tuhan Sadaśiva, yaitu:

1. Anima, yakni: bersifat sangat kecil sekecil-kecilnya.

2. Laghima, yakni: bersifat maha ringan.

3. Mahima, yakni: bersifat maha besar.

4. Prapti, yakni: bersifat dapat mencapai segala-galanya.

5. Prakamya, yakni: Bersifat berhasil dalam segalayang dikehendaki.

6. Isitva,yakni: bersifat merajai segala-galanya.

7. Vasitva, yakni: bersifat maha kuasa.

8. Yatrakamavasayitva, yakni: bersifat dapat memenuhi segala keinginan dan maha kuasa

Demikian hakekat kemahakuasaan Tuhan Sadaśiva yang meliputi Guna, Sakti dan Swabhawanya. Dengan sifat kemahakuasaannya itulah Tuhan Sadaśiva melakukan kridaNya dalam mengatur keharmonisan alam dengan segala isinya, menurut ketentuan waktu utpeti, sthiti, dan pralina. Secara simbolik Beliau dianggap bersinggasana di tengah-tengan bunga teratai yang disebut dengan Padmasana. Kata Padmasana berasal dari kata Padma yang artinya bunga, dan asana yang berarti sikap atua tempat. Maka Padmasana berarti sikap atau tempat duduk yang berwujud bunga teratai.

Bunga teratai adalah bunga yang dianggap suci dan sering dipakai persembahan dalam upacara keagamaan. Hal ini mungkin didasarkan atas suatu logika, bahwa kendatipun bunga teratai itu tumbuh dalam lumpur, namun bunganya tidak pernah dilekati oleh lumpur. Maka iti bung teratai disebut juga dengan pangkaja yang berarti tumbuh dalam lumpur. Demikian pula sikap bunga teratai ujungnya selalu muncul ke atas air dan kelopak bunganya senantiasa menunjukkan arah kiblatnya mata angin (Pudja, dkk., 1983: 44).

Padmasana dalam masyarakat Bali diwujudkan dalam bentuk bangunan suci, yang puncaknya terbuka seperti kursi dan berisi perlengkapan Bedawangnala, Naga Anantabhoga, sebagai dasar, penumpu dan pengikat bangunan suci itu. Bangunan Padmasana secara khusus dipergunakan sebagai media untuk melakukan pemujaan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud Sadaśiva.

Di samping itu pula juga lukisan Padma yang berdaun delapan, yang disebut dengan Padama Asta Dala. Lukisa itu dianggap simbol Bhuvana Agung dan Bhuvana Alit dan dipakai perlengkapan upacara serta dipakai sarana untuk mendapat kekuatan.(Sugriwa, 1978: 11).

Tuhan Sadaśiva dalam menggerakkan hukum kemahakuasaanNya beliau diwujudkan dalam bentuk 'Mantratma' yaitu jiwa dari doa mantra, yang dalam bentuk aksara diwujudkan dengan OM. Dalam Lontar Vrhaspati Tattva. 8, disebutkan:

" Sawyaparah, bhatara Sadaśiva sira, hana padmasana pinaka palungguhanira, aparan ikang padmasana ngaranya, saktinira, sakti ngaran: Vibhu Sakti, Prabhu Sakti, Kriya Sakti, Jñana Sakti, nahan yang Cadhu Sakti………………………………… nahan yang Cadhu Sakti ngaranya Padmasana, ri madyanngkana ta palungguhanira bhatara, kalanirab pasarira Mantratma ta sira, mantra pinaka sarira nira, Isana murdhaya, Tatpurusa waktraya, Aghora hredaya, Bhamadeva guhyaya, Sadyojata murtiya, AUM pinaka sarira bhatara"

Tuhan Sadaśiva dalam persatuan dengan hukum kemahakuasaanNya. Padmasana sebagai singgasana Beliau. Apakah yang dimaksud dengan Padmasana? Yaitu Sakti Beliau, yakni: Vibhu Sakti, Prabhu Sakti, Jñana Sakti, Kriya Sakti, itulah yang disebut dengan Cadhu Sakti…………………………………Cadhu Sakti itulah yang disimbolkan berupa Padma, di tengah-tengahnya itulah singgasana Tuhan Sadasiwa, pada waktu Beliau berbadankan Mantratma, mantra adalah badan Beliau, Isana sebagai kepala, Tatpurusa sebagai muka, Aghora sebagai hati, Bhamadeva sebagai anggota rahasia dan Sadyojata sebagai bentukNya dan AUM adalah sebagai wujud Beliau.



Berdasarkan kutipan di atas bahwa Tuhan Sadaśiva dalam wujud aksara, dilambangkan dengan AUM atau OM dan dalam hubungannya dengan Mantratma, ada lima bagiannya, yaitu: Isana, Tatpurusa, Aghora, Bhamadeva, Sadyojata. Kelimanya ini disebut Panca Brahma atau Panca Devata. Sedangkan menurut kepercayaan umat Hindu di Bali, masing-masing deva itu mempunyai nama lain, yakni: Isvara (Sadyojata), Brahma (Bhamadeva), Mahadewa (Tatpurusa), Visnu (Aghora), Śiva (Isana).

Demikian Tuhan Sadaśiva dalam menggerakkan dan mengatur keharmonisan alam dengan segala isinya. Menurut ketentuan waktu pada utpeti, sthiti dan pralina. Dalam halini Beliau diberi gelar Sanghyang Tri Murti, Brahma sebagai pencipta, Visnu sebagai pemelihara, dan Śiva sebagai pengembali yang ada. Sadaśiva dalam wujud Tri Murti disebut berbadankan Omkara. Omkara itu terdiri tiga (3) huruf, yaitu A-kara adalah simbol Tuhan Sadaśiva dalam fungsinya sebagai pencipta/Brahma, huruf U-kara adalah simbolis dari Tuhan Sadaśiva dalam fungsinya sebagai pemelihara/Visnu. Dan huruf MA adalah simbolis Tuhan Sadaśiva dalam fungsinya sebagai pelebur/Śiva. Huruf A-kara, U-kara,dan MA-kara disebut Tri Aksara.

Panca Brahma Vijaksara sering disertai dengan Panca DevataNya, yang dihubungkan dengan kiblat mata angin, sehingga masing-masing dianggap menguasai mata angin, yakni:

1. SA (SAM) - Sadyojata (Isvara) di Timur.

2. BA (BAM) -Bhamadeva (Brahma) di Selatan.

3. TA (TAM) - Tatpurusa (Mahadeva) di Barat.

4. A (AM) -Aghora (Visnu) di Utara.

5. I (IM) - Isana (Śiva) di Tengah.

6. NA (NAM) - Mahesvara di Tenggara.

7. MA (MAM) -Rudra di Barat Daya.

8. SI (SIM) - Sankara di Barat Laut.

9. VA (WAM) - Sambhu di Timur Laut

10. YA (YAM) - Śiva di Tengah.

Kalimat NA,MA,SI,VA,YA (namaŚivaya), berarti sujud kepada Śiva. Nama berasal dari kata Nam kelas I, yang artinya menghormat, Śivaya = dative, singulris, maskulin/neutrum/feminim, yang menyatakan untuk atau kepada Deva Śiva.

Dengan demikian maka dalam doa mantra, sering kita dapati SA, BA, TA, A, I, NA, MA, SI, VA, YA, yang disebut dengan Dasaksara. Jika ditambah dengan OM, maka dinamakan dengan "EKA DASAKSARA", yang dianggap Bija Mantra.

Jadi Dasaksara inilah yang merupakan perwujudan Sadaśiva, sebagai inti kekuatan Veda Mantra. Demikian juga sepuluh Deva yang menguasai masing-masing kiblat dan merupakan personifikasi dari Sakti dan SwabhawaNya Tuhan Sadaśiva, pada waktu beliau mengatur keharmonisan alam semesta dengan segala isinya.

Namun perlu dipahami bahwa Tuhan itu sebenarnya adalah Esa. Dibedakan sedemikian rupa, seperti Paramaśiva, Sadaśiva, dan Śivātma, adalah berdasarkan atas sifat, status, dan fungsi, aktivitasNya masing-masing, serta ada atau tidaknya pengaruh Maya/Prakerti yang menjadi sumber materi dan psykhis dari alam semesta dengan segala isinya. Atau dapat dikatakan bahwa Paramaśiva itu adalah Tuhan yang suci murni, Nirguna dan Niskala Brahma (Paramaśiva adalah Impersonal God without attributes). Sadaśiva adalah Tuhan yang telah bersatu dengan unsur acetana/prakerti/Swayaparah, yang maha kuasa, maha karya, sehinga disebut Saguna Brahma (Sadaśiva adalah Personal God with attributes). Sedangkan Śivātma adalah Tuhan yang memberikan tenaga hidup terhadap semua isi alam, khususnya manusia, besrta makhluk lain, sehingga disebut Jivatma (Śivātma adalah Personal God as individual Soul).

Jadi kesimpulan dari konsepsi Ketuhanan yang telah diuraiakn di atas, maka Saṁkhya mengajarkan hanya dua unsur, yaitu Purusa merupakan unsur kesadaran,dan Pradhana/Prakerti merupakan unsur ketidaksadaran, yang ada dengan sendirinya. Maka ajaran Saṁkhya bersifat Dualistis Nontheistis.

Demikian juga dalam ajaran Vrhaspati Tattva belumlah jelas menyebutkan dari mana asal Acetana dan Cetana itu. Tetapi dalam sistem filsafat Yoga dijelaskan bahwa Purusa (Cetana) dan Prakerti (Acetana) itu bersumber pada Tuhan, karena dalam sistem Yoga mengenal sistem Dualistis Theistis.

Jadi ajaran ini sudah jelas mengkui bahwa Tuhan/Brahman, sebagai asal segala-galanya dan merupakan asas tertinggi. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan dalam Bhagavadgita VII.6 :

"Etad-yonini bhutani sarvanity upadharaya aham krtsnasya jagatah prabhavah pralayas tatha".

Semua makhluk yang diciptakan bersumber dari kedua alam tersebut. Ketahuilah dengan pasti bahwa Aku adalah sumber perwujudan dan peleburan segala sesuatu di dunia ini, baik yang bersifat material maupun yang bersifat rohani. ( Prabhupada, 2000:372).



Berdasarkan uraian di atas tentang Konsepsi Ketuhanan menurut ajaran Tattwa di Bali, dapat diperinci sebagai berikut:

1. Konsepsi 2 + 1, yaitu Purusa dan Pradhana adalah bersumber pada Brahman, yang disimbulkan dengan akasara ANG ( ) , AH ( ) dan OM ( ) sebagai sumbernya.

2. Konsepsi 3 + 1, yaitu Brahma , Visnu, Śiva adalah bersumber pada Brahman, dengan simbol aksara: ANG ( ), UNG ( ), MANG ( ) dan OM ( ).

3. Konsepsi 5 + 1, yaitu: Sadyojata, Bhamadeva, Tatpurusa, Aghora, dan Isana bersumber pada Brahman, dengan aksara suci: SA ( ), BA ( ), TA ( ), A ( ), I ( ) dan Om ( ).

4. Konsepsi 10 + 1, yaitu: Ekadasaksara yang bersumber pada Brahman, dengan aksara suci: SA, BA, TA, A, I, NA, MA, SI, VA, YA, ( , , , , , , ,



, , ) dan OM ( )







C. Filosofis Omkara Dan Dasaksara Dalam Bhuvana Alit

Sebagaimana yang telah diuraikan di atas bahwa Bhuwana Agung adalah sama dengan Bhuvana Alit. Yang dimaksud dengan Bhuvana Alit adalah tubuh semua makhluk, tetapi dalam penulisan ini terbatas pada diri manusia. Dalam kehidupan manusia dapat kita katakan terdiri dari dua unsur yaitu: jasmani dan jiwatma.

Jasmani manusia (badan wadag) adalah evolusi dari Panca Tan Matra atau Panca Maha Bhuta juga. Dari unsur Gandha (pertivi), menjadi tulang, daging, otot, kulit, urat, rambut, dan segala yang sifatnya padat dalam tubuh. Dari unsur Rasa (apah), menjadi: darah, serum, kelenjar, lendir dan segala yang cair. Dari unsur Rupa (teja), menjadi: temperatur/panas, yang terdapat dalam tubuh. Dari unsur Sparsa (bhayu), menjadi udara yang terdapat dalam tubuh. Dari unsur Sabda (akasa), menjadi benih suara.

Jasmani yang berasal dari Panca Maha Bhuta inilah yang disebut dengan badan kasar atau sthula sarira.( Hadiwijono,1971 : 66).

Bersamaan dengan terciptanya Sthula Sarira, maka seketika itu juga muncullah alam pikiran. Pada manusia alam pikiran itu adalah Buddhi, Manah, Ahamkara dan Indriya, demikian juga dengan Atma mulai memberikan tenaga hidup, sehingga Sthula Sarira dapat hidup dan berkembang, serta alam pikiran menjadi aktif sesuai dengan fungsinya. Buddhi adalah bagian dari alam pikiran, yang berfungsi untuk mengambil keputusan, karena mempunyai sifat kebajikan. Manah adalah bagian dari alam pikiran, yang berfungsi untuk menganalisa sesuatu. Ahamkara adalah bagian dari alam pikiran yang bersifat aku (egoistis). Buddhi, Manah, dan Ahamkara disebut dengan Tri Antah Karana, yang mewujudkan alat bathiniah atau badan halus yang disebut Suksma Sarira.( Hadiwijono,1971: 70).

Sedangkan Atma yang sebagai sumber tenaga hidup telah membawa badan dari tempat asalnya yang disebut Antahkarana Sarira (badan penyebab). Sehingga manusia mempunyai tiga lapisan badan, yaitu: Antahkarana Sarira, Suksma Sarira, dan Sthula Sarira.

Maka berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa sumber asal dari Bhuvana Agung dan Bhuvana Alit adalah sama.

Didalam tubuh manusia sebagai tempat/alat daripada alam pikiran untuk beraktivitas, disebut Golaka Indriya.

Golaka Indria itu terdiri dari 11 macam, yaitu:

1. Telinga untuk srotendriya.

2. Kulit untuk tvakindriya.

3. Mata untuk caksvindriya.

4. Lidah untuk jihvendriya.

5. Hidung ntuk Granendriya.

6. Mulut untuk Vakindriya.

7. Tangan untuk Panindriya.

8. Kaki untuk padendriya.

9. Dubur untuk Payvindriya.

10. Alat kelamin untuk upasthendriya.

11. Otak untuk rajendriya.(Transkripsi Lontar Vrhaspati Tattva, hal. 76).

Golaka dan Indriya pada dasarnya berbeda, akan tetapi tak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Golaka adalah tempat atau alat sedangkan Indriya adalah merupakan sifat. Dari kesebelas macam Indriya itu bersumber pada Manas dan oleh karena manas itulah Indriya dapat menikmati obyeknya (visaya), maka itulah manas sering disebut Rajendriya, yaitu raja dari semua indriya.

Disamping adanya Golaka dan Indriya pada tubuh manusia terdapat pula 10 pembuluh yang disebut Nadi. Kesepuluh Nadi itu adalah: Ida, Pinggala, Sumsuma, Gandhari, Hasti, Jihva, Dusa, Yasa, Alambusa, Kuhu, dan Sangkhini. Di antara ke-10 Nadi itu ada tiga yang terpenting, yakni: Ida, Pinggala,dan Sumsuma, yang terdapat pada tulang punggung, yang erat hubungannya dengan "Sapta Cakra", yaitu tujuh simpul syaraf, yang merupakan tempat dari kundalini. Kundalini itu adalah sumber kekuatan ilahi dan kebathinan.( Informan : Mahendra).

Sapta Cakra adalah tujuh simpul syaraf yang terdapat pada tulang punggung, yang disebut juga Sapta Padma, yaitu:

1. Muladhara Cakra, terletak pada dasar tulang punggung, di antara kemaluan dan lubang pantat.

2. Svadhisthana Cakra, terletak di dasar alat peranakan.

3. Manipura Cakra, terletak pada tulang punggug sejajar dengan pusar (nabhi).

4. Anahata Cakra, terletak pada tulang punggung sejajar dengan hulu hati.

5. Visudha Cakra, terletak pada tulang punggung sejajar dengan kerongkongan.

6. Ajna Cakra, terletak pada tulang punggung sejajar dengan Bhrumadya atau kening.

7. Sahasrara Cakra, tempatnya pada Śiva Dvara yaitu ubun-ubun. Cakra ini disebut juga Śivasthana/ Brahmarandra.

Cakra-cakra inilah merupakan tempat dari kundalini seseorang sudah hidup, maka ia akan bergerak ke atas dari Muladhara terus ke Sahasrara Cakra. Untuk menghidupkan kundalini, menurut ajaran oda harus melalui Pranayama, yaitu: pengaturan napas (prana) yang teratur dan sempurna dan dilanjutkan dengan Samadhi. Denag melaksanakan Pranayama yang teratur dan sempurna demikian juga Samadhi, maka kebahagiaan hidup akan dapt tercapai.

Jadi dasar untuk mencapai kebahagiaan itu adalah dengan pengaturan Prana, yaitu tenaga hidup yang timbul dari unsur material, setelah Atma memberikan kehidupan pada tubuh.

Prana juga disebut Vayu, yang menurut fungsinya ada sepuluh macam, yaitu: Prana, Apana, Samana, Udana, Vyana, Naga, Kurmara, Krekara, Devadatta, dan Dhananjaya. Prana fungsinya mengatur pernapasan, Apana fungsinya untuk mengatur pembenihan dan membuangkotora, Samana berfungsi untuk mengatur pencernaan, Udana berfungsi sebagai pengatur gerak dahi dan kelopak mata, Vyana berfungsi untuk mengatur gerak persendian, Naga fungsinya untuk mengempiskan perut, Kurmara berfungsi sebagai alat untuk menggetarkan badan, Krekara fungsinya untuk menguap dan Dhananjaya fungsinya untuk menciptakan suara. (Oka, 1969: 56).

Demikianlah keterangan-keterangan secara ringkas mengenai keadaan Bhuvana Alit, yang pada hakekatnya tidaklah berbeda dengan unsur-unsur yang mengadakan Bhuvana Agung.

Bhuvana Agung yang berada dalam keadaan sejahtera dan seimbang dilambangkan dengan Svastika atau Padma Asta Dala, demikian juga tubuh manusia (Bhuvana Alit).

Dalam Lontar Dasaksara, disebutkan:

"Bahwa tubuh manusia juga disebut "Brahma Pura" (singhasana Tuhan), yang dilambangkan dengan Dasaksara sebagai sthanaNya. SA tempatnya pada Papusuh (jantung), BA letaknya di Hati, TA tempatnya pada Ungsilan (ginjal), A tempatnya pada Nyali (empedu), I tempatnya pada bungkahing hati (pangkal hati), NA tempatnya pada Paparu (paru-paru), MA tempatnya pada Waduk Vredha (usus besar), SI tempatnya pada Limpa, Va tempatnya pada kakulungan atau ineban (Kerongkongan) dan YA tempatnya pada Tungtunging hati (ujung hati)". (Lontar keputusan Dasaksara, Lembar 1b).



Dalam Lontar Punggung Tiwas juga ada disebutkan sebagai berikut:



"Demikian juga Vijaksara-Vijaksara yang lain, seperti: Ekaksara (OM), tempatnya di Śiva Dvara (Polo Jati), Aksara Rvabhineda " AM" di mata kanan (ring netra tengen), "AH" di mata kiri (ring netra kiwa) dan Tryaksara tempatnya "AM" di kening kiri, "UM" di kening kanan dan "MAM " di sela-selanya kening.(Lontar Punggung Tiwas, Lembar 17a-b).

4 comments:

  1. Om Svastyastu
    Postingan ini benar2 bagus. Informatif dan jelas. Jadi punya gambaran yang cukup lengkap tentang teologi Hinduisme dan Saiva-siddhanta yang berkembang di Bali. Mohon dilanjutkan terus, saya akan selalu ikuti.
    Bila tertarik, saya bagi2 juga teologi Hindu dari denominasi Vaishnava. Silakan kunjungi http://dharmadvar.blogspot.com
    AUM Santih

    ReplyDelete
  2. Om Swastyastu,

    Inggih suksma. Silakan dikirimkan artikel atau tulisan-tulisannya untuk menambah wawasan kita bersama.

    Rahayu

    ReplyDelete
  3. Posting yg bagus skali.. mungkin klau boleh ditambahkan lagi personifikasi sadasiwa sampai tingkat bawah seperti sanggah merajan serta pelinggih-pelinggih lainnya seperti pelinggih di tri kahyangan, setra,pertigaan jalan,perempatan jalan,beji,sawah,tegalan,pasar,sekolah,perkantoran, ari-ari anak dll dan juga pada natar mrajan,tengah natah dan lebuh yg terkait dengan mesegeh.. agar proses personifikasi sadasiwa dalam keseharian semakin mantap,dekat jg semakin dalam.. suksma..

    ReplyDelete