Shri Danu D.P
Umat manusia merupakan campuran dari segala macam bangsa yang mengikuti berbagai agama dan kepercayaan. Dengan pertambahan penduduk dunia, manusia akan terpaksa hidup makin lama makin dekat dan berdampingan, bahkan dalam pergaulan maya batasan itu sudah tidak ada lagi. Pergulatan untuk bertahan hidup makin lama akan menjadi semakin hebat. Kemajuan Iptek yang telah memberikan kemudahan untuk manusia agar dapat megakses berbagai kebutuhan dengan harapan tercapainya kedamaian tidak selamanya memenuhi harapan itu. Banyak manusia merusak lingkungan dan tatanan ekosistem kehidupan ipoleksosbudhamkam, yang semestinya kita pelihara sebaik mungkin. Sehingga apa yang terjadi saat ini, dimana alam sendiri mengadakan seleksi melalui bencana-bencana alam, Banjir bandang, gempa bumi, kekeringan yang luar biasa, semakin lebarnya lubang lapisan Ozon yang melindungi Bumi dari pengaruh terik Matahari dan sebagainya. Dampak dari kemajuan Iptek ternyata tidak semuanya dapat mengantarkan manusia untuk mencapai kebahagiaan, jika tidak didukung oleh moralitas yang baik.
Perbedaan-perbedaan karena agama, keyakinan dan kepercayaan serta perbedaan jalan untuk memuja Tuhan semestinya tidak menjadi pemicu timbulnya pergolakan horizontal, seperti apa yang dialami oleh bangsa kita saat ini. Perbedaan-perbedaan itu harus disikapi dengan bijak dan disadari bahwa perbedaan adalah sebuah kebenaran yang didesaign oleh Tuhan sendiri. Manusia harus menyadari bahwa hanya ada satu Tuhan, walaupun nama dan ritualnya mungkin berbeda. Segala sesuatu di dunia ini merupakan perwujudan Tuhan. Sarvam khalvidam Brahma-sesungguhnya semua ini adalah Tuhan. Dan sesungguhnya segala yang kita lihat adalah wujud kosmis Tuhan-Vishva viraat svaruupa.
“One who cultivates the crop of love in the field of one’s heart is a true Muslim’s, a true Chritian’s, a true Buddhism and a true Hindu’s. In fact, he is atru human being and a true Guru”
Orang yang mengusahakan tanaman Kasih di lading hatinya adalah seorang Islam sejati, seorang Kristen sejati, seorang Buddha sejati dan adalah seorang Hindu sejati.sesungguhnya ia adalah manusia sejati dan Guru sejati.
Tuhan meliputi segala sesuatu dan bersemayam dalam setiap mahluk. Demikian juga kelima unsur alam (Panca Maha Bhuta) yang tak lain adalah perwujudan Tuhan, yang juga meliputi segala sesuatu dan menguasai segala-galanya. Seluruh dunia diliputi oleh kelima unsur alam, diikat oleh kelima unsur alam, dan berfungsi karena ada kelima unsur alam. Dunia tidak dapat berfungsi seandainya salah satu diantara kelima unsure itu tidak ada. Karena itu, kelima unsur alam ini dapat diibaratkan sebagai lima prana (yang menopang hidup) manusia. Tidak ada seorangpun dapat memahami kemampuan unsur-unsur alam ini. Meskipun demikian, setiap manusia perlu mengetahui makna unsur-unsur tersebut. Hanya orang yang memahami maknanya dan bertindak sesuai dengan pemahaman tersebut adalah orang yang benar-benar terberkati dan berpahala. Sesungguhnya ia tentu dapat menjapai tujuan hidup manusia yaitu Purusaartha.
Keberadaan Tuhan tidak terbatas pada tempat-tempat tertentu. Tuhan ada di sini, Tuhan ada di sana, dan Beliau ada dimana-mana. Iishvara sarva Bhuutanam-Tuhan bersemayam dalam segala mahluk. Iishaavaasyam idam sarvam-seluruh alam semasta ini diliputi oleh Tuhan. Jika hari ini kita melihat perbedaan antara saya-anda dan yang lainnya itu semata-mata adalah karena kita masih diliputi Avidya-kegelapan bhatin. Kita melihat perbedaan karena maya, tetapi Tuhan itu Maha Esa dan hanya satu. Setiap Guru (spiritual) wajib menyebarluaskan prinsip kemanunggalan ini.
Diantara para pelajar kita banyak anak-anak yang baik. Meskipun demikian, jika satu atau dua diantara mereka berkelakuan buruk, semua akan mendapat nama buruk dan akan dihukum, sebagai contoh kecil; ketika tidur pada malam hari, kita digigit oleh satu atau dua ekor nyamuk. Keesokan harinya kita semprotkan insektisida dan kita bunuh semua nyamuk walaupun yang menggigit kita hanya satu atau dua. Demikian pula Tuhan menghukum mereka yang bergaul dengan teman-teman yang tidak baik. Itulah sebabnya: Tyaja duurjana samsargam; bhaja saadhu samagamam; kuru punyam ahorathram - jauhkan dirimu dari teman-teman yang tidak baik, bergaullah dengan orang-orang bijak, dan siang malam melakukan perbuatan yang berpahala. Walau demikian jangan sekali-kali kita mencoba untuk mencela mereka walaupun mereka berbuat salah. Karena semuanya berjalan sesuai dengan karmanya masing-masing.
Terdapat perbedaan nama, rupa, warna, dan kegiatan di antara umat manusia di dunia, tetapi pada dasarnya semua termasuk dalam bangsa manusia. Jangan lupakan fakta bahwa seluruh umat manusia termasuk dalam satu keluarga universal. Seluruh bangsa manusia hanya mempunyai satu bapak yaitu Tuhan. Semua manusia termasuk dalam satu kasta, satu bangsa dan satu ayah. Agar dapat melihat Sang Ayah, manusia harus meningkatkan kejujuran dan keluhuran budhinya. Tuhan adalah perwujudan kasih dan kasih Tuhan ada di dalam setiap hati manusia. Sebagaimana Tuhan mengasihi semuanya sama rata, demikian pula manusia harus membagi kasihnya sama rata kepada semuanya. Inilah tugas utama manusia. Janganlah kasih yang merupakan anugerah Tuhan ini digunakan untuk tujuan yang mementingkan diri, melainkan harus dibagi dengan semua mahluk. Hanya dengan demikianlah manusia akan menerima rahman Tuhan. Manusia memperoleh dua jenis manfaat dari asas kasih, yaitu: ia dapat membagi kasihnya dengan orang atau mahluk lain dan membuat mereka bahagia. Tuhan mengasihi orang yang dikasihi oleh semuanya. Tuhan menganugerahkan kasih dan rahmat Beliau kepada mereka yang mengasihi semua mahluk. Jika manusia ingin menerima kasih Tuhan, perlulah ia menyadari prinsip kasih yang merupakan pembawaannya sejak lahir. Sebagaimana terdapat tujuh warna dalam sinar Matahari, demikian pula sifat-sifat kemanusiaan terdiri dari aneka keutamaan, seperti: kebajikan, kebenaran, ketaatan mengikuti norma-norma moral, kasih dan sebagainya. Dimanapun kompas diletakkan, jarumnya selalu menunjuk arah Utara. Demikian pula, kasih manusia harus selalu diarahkan kepada Braman. Hanya orang semacam itulah merupakan manusia sejati. Manusia harus melampaui rasa ”Aku dan milikku”, menyadari prinsip kemanunggalan dalam segala mahluk, dengan bersikap serta bertingkah laku sesuai dengan kesadaran tersebut. Agar memahami prinsip kasih, manusia harus menyadari ke-Tuhanan yang ada dalam semuanya. Kasih itu amat suci, berharga dan luas. Kasih ada secara universal dalam seluruh umat manusia. Merupakan tugas utama manusialah, untuk menyadari Tuhan yang ada di dalam dirinya dalam wujud kasih. Karena penyebab utama penderitaan manusia adalah karena melupakan kebenaran yang mendasar ini, orang-orang membuat aneka perbedaan didasarkan pertalian jasmani. Selama ada perasaan berbeda dalam diri manusia, maka ia tidak dapat mencapai Tuhan.
RENUNGAN:
l Di mana ada keyakinan, di situ terdapat kasih; Di mana ada kasih, di situ terdapat kedamaian; Di mana ada kedamaian, di situ terdapat kebenaran; Di mana ada kebenaran, di situ terdapat kebahagiaan; Di mana ada kebahagiaan, di situlah Tuhan berada
l Cintailah Tuhan takutlah berbuat dosa, patuhilah moralitas dalam masyarakat. Hanya orang yang mempraktekkan ketiga hal ini, dapat disebut manusia sejati.
l Hidup yang baik merupakan perjalanan dari ”Aku” menuju ”Kita” dan kemudian menuju ”Dia”
l Jalan memuja Tuhan berbeda-beda, tetapi tujuannya sama, sebagaimana sapi-sapi meiliki warna yang berbeda, tetapi air susunya sama; perhiasan memiliki bentuk berbeda-beda tetapi emasnya sama.
l Persatuan bukan perpecahan atau perbedaan.
l Jika ada kebenaran dalam hati maka akan ada keindahan dalam watak; Jika ada keindahan dalam watak maka akan ada keselarasan dalam keluarga; Jika ada keselarasan dalam keluarga maka akan ada ketertiban dalam negara; Jika ada ketertiban dalam negara maka akan ada kedamaian di dunia.
l Tuhan tidak bernama dan tidak berwujud hanya manusia yang memberikan nama dan wujud kepadaNya
l Kasih sayang dalam pikiran adalah kebenaran; Kasih sayang dalam perbuatan adalah kebajikan; Kasih sayang dalam wujud rasa adalah kedamaian; Kasih sayang dalam wujud pengertian adalah tanpa kekerasan.
W= Words: jaga kata-katamu
A= Action: jaga perbuatanmu; tingkah lakumu
T=Thought: jaga pikiranmu
C= Character: jaga watak dan sifatmu
H=Heart: jaga hatimu (agar tetap suci)
Om sarve bhavantu sukhinah
Sarve santu niramayah
Sarve bhadrani pasyantu
Ma kascit duhkha bhag bhavet
Lokha samastha sukhino bhavantu
Lokha samastha sukhino bhavantu
Lokha samastha sukhino bhavantu
Om Santih Santih Santih Om
=======
"Your Hand On Works But Your Heart On God "
=======
Welcome
“Pinandita Sanggraha Nusantara”
sebagai wadah pemersatu
Para Pinandita/Pemangku/Wasi/Dukun
di seluruh Nusantara.
Kalender Bali
Profile
Basic Info
Religion & SpiritualtyContact Info
email:sanggrahanusantara@gmail.com office:Pinandita Sanggraha Nusantara "Pura ADITYA JAYA" Jl. Daksinapati No. 10 Rawamangun Jakarta Timur Telp:(+6221) 7098-3858, 770-3574, 546-3858 Fax:(+6221) 546-3811 Bank BRI Cab. Pancoran Jakarta Rekening Britama Nomer : 0390-01-001235-50-8 Bank Mandiri Cab. Jakarta KP Pertamina Rekening Giro Nomer : 119-0004754048 DONASI/PUNIA ANDA SANGAT BERARTI dan BERMANFAAT BAGI PENGEMBANGAN PINANDITA SANGGRAHA NUSANTARA |
Bagaimana blog PSN sekarang?
Friday, May 29, 2009
Thursday, May 28, 2009
JANGAN SIA-SIAKAN HIDUP INI !
Dedicated by: I W Sudarma, (Shri Danu D.P)
Yang bersungguh-sungguh di antara orang-orang pasif, yang mata bhatinnya melek di antara mereka yang tertidur, orang bijak itu melaju bagaikan seorang pembalap yang meninggalkan tunggangannya di belakang.
Dia yang telah mencapai penaklukan yang tidak dapat ditaklukkan lagi, yang tak seorangpun di dunia ini sanggup menerobos masuk, dengan jalan apa engaku hendak mengarahkannya, Yang Sadar, Yang Mengatasi, Yang Tak Terlacak ?
Dia yang tidak lagi dapat disesatkan oleh rantai-rantai belenggu manusia dan racun-racun kejahatan, dengan cara apa engkau hendak mengarahkan diaYang Sadar, Yang Mengatasi, yang tak terlacak ?
Mengapa ? karena kita semua mengetahui bahwa tubuh itu fana, dan kita semua sedang mencari penyelamatan. Malam akan terasa panjang bagi dia yang tidak dapat memejamkan matanya; satu Mil akan tersa amat panjang bagi dia yang kelelahan; dan bagi si Pandir hidup ini akan terasa amat panjang karna ia tidak mengetahui hukum sejati. Karena seperti seorang pengembala yang menggiring kawanan ternak ke dalam kandang bersama pembantu-pembantuny a, begitu pula Umur dan Kematian menggiring kehidupan manusia.Tetapi, karena manusia rentan terhadap berbagai godaan dari dunia yang penuh ilusi ini, si bodoh tetap menjalani kehidupan yang rentan, malas-malasan, lemah dan tidak mengacuhkan tata krama sosail. Inilah kehidupan dalam kesia-siaan, kehidupan yang tidak pantas dibicarakan.
Dia yang hidup selama seratus tahun, acuh tak acuh dan seenaknya sendiri, satu hari akan jauh lebih berharga baginya apabila dalam sehari itu ia bisa bersikap bijaksana dan reflektif. Dia yang hidup selama seratus tahun namun bermalas diri dan lemah hatinya, satu hari akan jauh lebih berharga apabila dalam sehari usianya itu ia mencapai kekuatan yang tak tergoyahkan…..Dia yang hidup selama seratus tahun namun tidak melihat hukum yang tertinggi, hidup selama satu hari saja akan jauh lebih berharga apabila dalam sehari itu dia melihat hukum yang sejati.
Sangat mungkin kita bertambah “ tua dalam kesia-siaan “:
Seseorang tidak otomatis dianngap dewasa atau bijaksana hanya karena uban di kepalanya, dari segi usia, barangkali ia sudah mencapai kematangan biologis tetapi itu disebut “Tua dalam kesia-siaan “ Karena pertumbuhan moral itu sungguh ada: Orang yang sedikit belajar akan menua seperti seekor sapi; dagingnya kian tebal dan makin gempallah tubuh sang sapi, tetapi pengetahuannya tidak bertambah sedikitpun. Oleh karena itu, kita mendengar Sangkakala nyaring yang menyerukan panggilan untuk bangkit dari kehidupan moral yang sembarangan dan penuh kemalangan:
“ Bangkitkan dirimu ! Jangan bermalas-malas ! Ikutlah hukum keutamaan
Dia yang setia akan beristirahat dalam kebahagiaan tak terbatas dalam kehidupan ini dan kehidupan selanjutnya. Datang, tataplah dunia ini yang bersinar-sinar bagaikan kereta perang kerajaan;
Orang-orang bodoh tersedot ke dalamnya, tetapi mereka yang bijak menyentuhpun tidak pernah ”
Langkah pertama dan terakhir adalah penaklukan diri:
Bangkitkan dirimu dengan kekuatanmu sendiri, periksalah dirimu sendiri; maka berkat sikap atentif dan pertahanan diri yang kuat, engkau akan hidup bahagia. Karena diri adalah tuan atas diri, diri adalah pengungsian bagi diri; oleh karena itu, kekanglah dirimu seperti pedagang mengenakan tali kekang kepada seekor kuda yang istimewa. Keledai adalah seekor binatang yang baik, begitu juga kuda-kuda Misra yang sudah tersohor itu dan gajah-gajah bergading panjang; tetapi masih lebih baik lagi dia yang dapt menaklukkan dirinya sendiri. Karena dengan binatang-binatang ini tak seorangpun dapat mencapai negeri yang tak terjamah kaki-kaki manusia (Moksha) di tempat seseorang yang sudah menaklukkan dirinya duduk di atas punggung seekor binatang yang sudah dijinakkan ! – Ia mengendarai dirinya yang sudah dijinakkan tersebut. Pikiran yang mendasar ini harus terus-menerus diutarakan dan dikumandangkan dalam setiap napas dan langkah kita.
Jikalau seseorang seribu kali menaklukkan seribu orang tapi seorang lainnya hanya menaklukkan satu orang saja yaitu dirinya sendiri, orang ini adalah yang terbesar dari antara para penakluk. Proses penyelamatan harus datang dari dalam diri kita, atas pilihan pribadi. Kejahatan dilakukan karena dirinya sendiri maka seseorang mengalami penderitaan juga atas pilihan kejahatannya sendiri.
Tidak ada akibat sekecil apapun yang menimpa diri kita penyebabnya berasal dari luar diri kita. Engkau bagaikan sebuah magnet yang hanya dapat menarik unsur yang sama. Jika engkau berpikir benar, berkata jujur dan berbuat bajik saat itu pula sebenarnya engkau menarik kebenaran dan kebajikan tersebut dan demikian pula sebaliknya.
Yang murni dan yang tidak murni jatuh dan bangun oleh pilihan-pilihan pribadi yang mereka buat sendiri, tak seorang pun dapat memurnikan salah satu di antara mereka, kecuali dirinya sendiri. Jika ada suatu hal yang benar yang harus dilakukan, hendaknya engkau melakukanya dengan semangat kebenaran. Hanya seorang pengembara yang sembrono yang menyebarkan abu hawa nafsunya ke mana-mana !
Yang pertama yang harus dilakukan oleh seorang manusia adalah menjauhkan diri dari kehidupan palsu dan mencapai sesuatu ketinggian moral, dari situ ia akan sanggup melihat sebuah dunia yang berbeda dari sebelumnya. Ketika seorang terpelajar mengenyahkan kesombongan dengan keseriusan hati, di yang bijak itu sesungguhnya sedang memanjat teras-teras ketinggian kebijaksanaan seraya menatap gerombolan bodoh di bawah sana ; bebas dari penderitaan dia menatap kerumunanan yang dicengkram penderitaan seperti orang yang berdiri di atas puncak gunung dan melihat mereka yang berada di lereng gunung tersebut.
Yang menarik rasa ingin tahu kita adalah bahwa keselamatan datang berkat Pengetahuan. Terowongan-terowong an penyelamatan ada di mana-mana, nafsu yang menggila bermunculan ke segala arah; jika engkau melihat nafsu sedang tumbuh tunas ke segala arah, tebaslah akarnya dengan pengetahuan ! Demikian pula, jikalau sudah mengetahui bahwa tubuh manusia sangat mudah retak dan hancur seperti tempayan dari tembikar dan membuat pikirannya sekokoh benteng pertahanan, seseorang harus menyerang Sang penggoda, dengan senjata pengetahuan, seseorang harus mengawasi dia ketika hendak ditaklukkan dan jangan pernah mengaso. Karena yang terbesar di antara sekalian kejahatan adalah ketidakacuhan. Ketidakacuhan ibarat setetes noda yang dapt mengkontaminasi sebelanga Amertha. Kehidupan jahat benar-benar merupakan kehidupan tanpa pikiran. Keseriusan aktif adalah jalan menuju immortalitas; ketidakseriusan pasif adalah jalan menuju kematian. Karena bagaimanapun, kejahatan dan penderitaan itu identik. Hanya mereka yang tidak mampu melihat bahwa penderitaan adalah konsekuensi logis dari kejahatan yang terus melakukan kejahatan : Jikalau seseorang melakukan dosa, janganlah dia mengulangi hal itu. Hendaknya dia tidak bersuka cita dalam perbuatan-perbuatan dosa : Akumulasi kejahatan adalah penderitaan.
Dan kebaikan dan kebahagiaan adalah identik : Jikalau seseorang melakukan perbuatan baik, biarlah dia mengulanginya sekali lagi, kiranya di bersuka cita di dalam perbuatan tersebut : Akumulasi kebaikan adalah kebahagiaan.
Orang yang berkeutamaan akan merasa bahagia karena ia memperoleh kebahagiaan yang tidak dapat diambil dari dirinya, dan akan merasakan kebahagiaan di dunia ini dan dunia yang akan datang; kebahagiaanya akan lebih besar ketika menjalani jalan yang baik. Sekali lagi:
Kita sungguh hidup dalam kebahagiaan, tidak membenci mereka yang membenci kita ! di antara orang-orang yang membenci kita, hendaknya kita hidup bebas dari kebencian ! Kita sungguh hidup dalam kebahagiaan, bebas dari ketamakan di antara orang-orang tamak ! di antara orang-oarang yang tamak, hendaknya kita hidup bebas dari ketamakan. Kita sungguh hidup dalam kebahagiaan, meskipun kita tidak memiliki apapun ! kita akan seperti Dewa- Dewa yang menyinarkan cahaya terang seraya minum dari mata air kebahagiaan, karena kekuatan kebaikan tidak lekang dimakan waktu ; Engkau tidak mencium bau wangi sekuntum bunga berlawanan dengan arah tiupan angin yang membawanya, begitu juga yang terjadi pada wangi kayu cendana, gaharu. Akan tetapi, harum wangi orang-orang baik berhembus bahkan berlawanan dengan arah tiupan sang Bhayu; kebaikan seseorang diberitakan kesegenap penjuru mata angin. Orang bijak akan terlihat dari kejauhan seperti hamparan salju di puncak gunung yang kelihatan dari negeri-negeri yang jauh. Orang jahat tidak terlihat, seperti sebuah anak panah yang melesat di gulita malam.
Itulah sebabnya: kita jangan membiarkan pikiran-pikiran akan kebencian, amarah, nafsu melenggang masuk ke dalam pikiran kita, jangan membalas kejahatan dengan kejahatan melaikan mengganjar kejahatan dengan kebaikan. Karena ia yang dapat menarik kembali amarah yang mau menyembur adalah ibarat sebuah kereta perang yang sedang menggelinding, dia disebut seorang kusir sejati. Orang-orang yang lainnya hanyalah sekedar pemegang tali-tali kekang.
Kalahkan amarah dengan cinta, atasi kejahatan dengan kebaikan, atasi keserakahan dengan pembebasan dan hadapi Sang penipu dengan kebenaran !
Seseorang tidak menjadi terpelajar karena ia banyak bicara. Dia yang hatinya sabar dan bebas dari rasa benci dan takut, dia disebut yang terpelajar.
Love All Serve All
Love Ever Hurt Never
Serve To All Man Kind Is Serve To The God
Avighnam Astu !!
Yang bersungguh-sungguh di antara orang-orang pasif, yang mata bhatinnya melek di antara mereka yang tertidur, orang bijak itu melaju bagaikan seorang pembalap yang meninggalkan tunggangannya di belakang.
Dia yang telah mencapai penaklukan yang tidak dapat ditaklukkan lagi, yang tak seorangpun di dunia ini sanggup menerobos masuk, dengan jalan apa engaku hendak mengarahkannya, Yang Sadar, Yang Mengatasi, Yang Tak Terlacak ?
Dia yang tidak lagi dapat disesatkan oleh rantai-rantai belenggu manusia dan racun-racun kejahatan, dengan cara apa engkau hendak mengarahkan diaYang Sadar, Yang Mengatasi, yang tak terlacak ?
Mengapa ? karena kita semua mengetahui bahwa tubuh itu fana, dan kita semua sedang mencari penyelamatan. Malam akan terasa panjang bagi dia yang tidak dapat memejamkan matanya; satu Mil akan tersa amat panjang bagi dia yang kelelahan; dan bagi si Pandir hidup ini akan terasa amat panjang karna ia tidak mengetahui hukum sejati. Karena seperti seorang pengembala yang menggiring kawanan ternak ke dalam kandang bersama pembantu-pembantuny a, begitu pula Umur dan Kematian menggiring kehidupan manusia.Tetapi, karena manusia rentan terhadap berbagai godaan dari dunia yang penuh ilusi ini, si bodoh tetap menjalani kehidupan yang rentan, malas-malasan, lemah dan tidak mengacuhkan tata krama sosail. Inilah kehidupan dalam kesia-siaan, kehidupan yang tidak pantas dibicarakan.
Dia yang hidup selama seratus tahun, acuh tak acuh dan seenaknya sendiri, satu hari akan jauh lebih berharga baginya apabila dalam sehari itu ia bisa bersikap bijaksana dan reflektif. Dia yang hidup selama seratus tahun namun bermalas diri dan lemah hatinya, satu hari akan jauh lebih berharga apabila dalam sehari usianya itu ia mencapai kekuatan yang tak tergoyahkan…..Dia yang hidup selama seratus tahun namun tidak melihat hukum yang tertinggi, hidup selama satu hari saja akan jauh lebih berharga apabila dalam sehari itu dia melihat hukum yang sejati.
Sangat mungkin kita bertambah “ tua dalam kesia-siaan “:
Seseorang tidak otomatis dianngap dewasa atau bijaksana hanya karena uban di kepalanya, dari segi usia, barangkali ia sudah mencapai kematangan biologis tetapi itu disebut “Tua dalam kesia-siaan “ Karena pertumbuhan moral itu sungguh ada: Orang yang sedikit belajar akan menua seperti seekor sapi; dagingnya kian tebal dan makin gempallah tubuh sang sapi, tetapi pengetahuannya tidak bertambah sedikitpun. Oleh karena itu, kita mendengar Sangkakala nyaring yang menyerukan panggilan untuk bangkit dari kehidupan moral yang sembarangan dan penuh kemalangan:
“ Bangkitkan dirimu ! Jangan bermalas-malas ! Ikutlah hukum keutamaan
Dia yang setia akan beristirahat dalam kebahagiaan tak terbatas dalam kehidupan ini dan kehidupan selanjutnya. Datang, tataplah dunia ini yang bersinar-sinar bagaikan kereta perang kerajaan;
Orang-orang bodoh tersedot ke dalamnya, tetapi mereka yang bijak menyentuhpun tidak pernah ”
Langkah pertama dan terakhir adalah penaklukan diri:
Bangkitkan dirimu dengan kekuatanmu sendiri, periksalah dirimu sendiri; maka berkat sikap atentif dan pertahanan diri yang kuat, engkau akan hidup bahagia. Karena diri adalah tuan atas diri, diri adalah pengungsian bagi diri; oleh karena itu, kekanglah dirimu seperti pedagang mengenakan tali kekang kepada seekor kuda yang istimewa. Keledai adalah seekor binatang yang baik, begitu juga kuda-kuda Misra yang sudah tersohor itu dan gajah-gajah bergading panjang; tetapi masih lebih baik lagi dia yang dapt menaklukkan dirinya sendiri. Karena dengan binatang-binatang ini tak seorangpun dapat mencapai negeri yang tak terjamah kaki-kaki manusia (Moksha) di tempat seseorang yang sudah menaklukkan dirinya duduk di atas punggung seekor binatang yang sudah dijinakkan ! – Ia mengendarai dirinya yang sudah dijinakkan tersebut. Pikiran yang mendasar ini harus terus-menerus diutarakan dan dikumandangkan dalam setiap napas dan langkah kita.
Jikalau seseorang seribu kali menaklukkan seribu orang tapi seorang lainnya hanya menaklukkan satu orang saja yaitu dirinya sendiri, orang ini adalah yang terbesar dari antara para penakluk. Proses penyelamatan harus datang dari dalam diri kita, atas pilihan pribadi. Kejahatan dilakukan karena dirinya sendiri maka seseorang mengalami penderitaan juga atas pilihan kejahatannya sendiri.
Tidak ada akibat sekecil apapun yang menimpa diri kita penyebabnya berasal dari luar diri kita. Engkau bagaikan sebuah magnet yang hanya dapat menarik unsur yang sama. Jika engkau berpikir benar, berkata jujur dan berbuat bajik saat itu pula sebenarnya engkau menarik kebenaran dan kebajikan tersebut dan demikian pula sebaliknya.
Yang murni dan yang tidak murni jatuh dan bangun oleh pilihan-pilihan pribadi yang mereka buat sendiri, tak seorang pun dapat memurnikan salah satu di antara mereka, kecuali dirinya sendiri. Jika ada suatu hal yang benar yang harus dilakukan, hendaknya engkau melakukanya dengan semangat kebenaran. Hanya seorang pengembara yang sembrono yang menyebarkan abu hawa nafsunya ke mana-mana !
Yang pertama yang harus dilakukan oleh seorang manusia adalah menjauhkan diri dari kehidupan palsu dan mencapai sesuatu ketinggian moral, dari situ ia akan sanggup melihat sebuah dunia yang berbeda dari sebelumnya. Ketika seorang terpelajar mengenyahkan kesombongan dengan keseriusan hati, di yang bijak itu sesungguhnya sedang memanjat teras-teras ketinggian kebijaksanaan seraya menatap gerombolan bodoh di bawah sana ; bebas dari penderitaan dia menatap kerumunanan yang dicengkram penderitaan seperti orang yang berdiri di atas puncak gunung dan melihat mereka yang berada di lereng gunung tersebut.
Yang menarik rasa ingin tahu kita adalah bahwa keselamatan datang berkat Pengetahuan. Terowongan-terowong an penyelamatan ada di mana-mana, nafsu yang menggila bermunculan ke segala arah; jika engkau melihat nafsu sedang tumbuh tunas ke segala arah, tebaslah akarnya dengan pengetahuan ! Demikian pula, jikalau sudah mengetahui bahwa tubuh manusia sangat mudah retak dan hancur seperti tempayan dari tembikar dan membuat pikirannya sekokoh benteng pertahanan, seseorang harus menyerang Sang penggoda, dengan senjata pengetahuan, seseorang harus mengawasi dia ketika hendak ditaklukkan dan jangan pernah mengaso. Karena yang terbesar di antara sekalian kejahatan adalah ketidakacuhan. Ketidakacuhan ibarat setetes noda yang dapt mengkontaminasi sebelanga Amertha. Kehidupan jahat benar-benar merupakan kehidupan tanpa pikiran. Keseriusan aktif adalah jalan menuju immortalitas; ketidakseriusan pasif adalah jalan menuju kematian. Karena bagaimanapun, kejahatan dan penderitaan itu identik. Hanya mereka yang tidak mampu melihat bahwa penderitaan adalah konsekuensi logis dari kejahatan yang terus melakukan kejahatan : Jikalau seseorang melakukan dosa, janganlah dia mengulangi hal itu. Hendaknya dia tidak bersuka cita dalam perbuatan-perbuatan dosa : Akumulasi kejahatan adalah penderitaan.
Dan kebaikan dan kebahagiaan adalah identik : Jikalau seseorang melakukan perbuatan baik, biarlah dia mengulanginya sekali lagi, kiranya di bersuka cita di dalam perbuatan tersebut : Akumulasi kebaikan adalah kebahagiaan.
Orang yang berkeutamaan akan merasa bahagia karena ia memperoleh kebahagiaan yang tidak dapat diambil dari dirinya, dan akan merasakan kebahagiaan di dunia ini dan dunia yang akan datang; kebahagiaanya akan lebih besar ketika menjalani jalan yang baik. Sekali lagi:
Kita sungguh hidup dalam kebahagiaan, tidak membenci mereka yang membenci kita ! di antara orang-orang yang membenci kita, hendaknya kita hidup bebas dari kebencian ! Kita sungguh hidup dalam kebahagiaan, bebas dari ketamakan di antara orang-orang tamak ! di antara orang-oarang yang tamak, hendaknya kita hidup bebas dari ketamakan. Kita sungguh hidup dalam kebahagiaan, meskipun kita tidak memiliki apapun ! kita akan seperti Dewa- Dewa yang menyinarkan cahaya terang seraya minum dari mata air kebahagiaan, karena kekuatan kebaikan tidak lekang dimakan waktu ; Engkau tidak mencium bau wangi sekuntum bunga berlawanan dengan arah tiupan angin yang membawanya, begitu juga yang terjadi pada wangi kayu cendana, gaharu. Akan tetapi, harum wangi orang-orang baik berhembus bahkan berlawanan dengan arah tiupan sang Bhayu; kebaikan seseorang diberitakan kesegenap penjuru mata angin. Orang bijak akan terlihat dari kejauhan seperti hamparan salju di puncak gunung yang kelihatan dari negeri-negeri yang jauh. Orang jahat tidak terlihat, seperti sebuah anak panah yang melesat di gulita malam.
Itulah sebabnya: kita jangan membiarkan pikiran-pikiran akan kebencian, amarah, nafsu melenggang masuk ke dalam pikiran kita, jangan membalas kejahatan dengan kejahatan melaikan mengganjar kejahatan dengan kebaikan. Karena ia yang dapat menarik kembali amarah yang mau menyembur adalah ibarat sebuah kereta perang yang sedang menggelinding, dia disebut seorang kusir sejati. Orang-orang yang lainnya hanyalah sekedar pemegang tali-tali kekang.
Kalahkan amarah dengan cinta, atasi kejahatan dengan kebaikan, atasi keserakahan dengan pembebasan dan hadapi Sang penipu dengan kebenaran !
Seseorang tidak menjadi terpelajar karena ia banyak bicara. Dia yang hatinya sabar dan bebas dari rasa benci dan takut, dia disebut yang terpelajar.
Love All Serve All
Love Ever Hurt Never
Serve To All Man Kind Is Serve To The God
Avighnam Astu !!
Katagori
Article
Tuesday, May 26, 2009
Mencari Damai
by: Shri Danu. D.P
Sahabat yang terkasih, kita hidup sebagai manusia tentu menginginkan suatu kehidupan yang harmonis, tentram, sejahtera atau dengan kata lain yaitu damai. Dan kami yakin tidak ada seorang manusiapun yang tidak menginginkan kedamaian. Bagaimana mewujudkan kedamaian itu?
Atas dasar suatu kedamaian pula, lahir sebuah organisasi perserikatan bangsa-bangsa yang juga membawa misi kedamaian untuk dunia. Mungkinkah itu akan tercapai? Tidak!……apabila masing-masing negara di dunia ini belum bisa mewujudkan kedamaian di negaranya sendiri-sendiri. Bisakah suatu negara bisa mewujudkan kedamaian? Tidak pula!……apabila dalam tiap-tiap satuan masyarakat atau golongan atau suku bangsa tidak terwujud suatu kedamaian. Bisakah suatu masyarakat itu mewujudkan kedamaian? Tidak!……apabila dalam satuan masyarakat kecil yaitu keluarga belum juga bisa mewujudkan kedamaian. Mampukah suatu keluarga meraih kedamaian? Tidak juga!……apabila masing-masing anggota keluarga belum bisa mewujudkan kedamaian dalam diri sendiri.
Jadi kedamaian itu bisa diwujudkan di mana-mana apabila tiap-tiap individu mampu mewujudkan kedamaian dalam diri sendiri. Kami yakin para bhakta sedharma pernah berkata pada diri sendiri ‘ Saya Ingin Damai‘. Bagaimana caranya? Dari ketiga kata ini sebenarnya kita telah diberi suatu rumus bagaimana mewujudkan kedamaian dalam diri sendiri. Ada kata ‘Saya’, ada kata ‘Ingin’, dan ada kata ‘Damai’. Pertama pangkaslah kata ‘Saya’ yaitu keakuan atau ego. Adakah di antara bhakta sedharma yang merasa paling cantik atau paling ganteng? Adakah yang merasa paling kaya? Adakah yang merasa paling pandai? Adakah yang merasa paling berjasa dalam sesuatu, meskipun memang benar anda itu berjasa? Dan anda selalu beranggapan bahwa ini karena saya, itu karena saya? Perasaan-perasaan seperti itulah yang disebut dengan keakuan, dan itu harus seluruhnya dibuang jauh-jauh. Yang kedua yaitu kendalikan keinginanmu, manusia tentu punya keinginan dan keinginan timbul karena pikiran. Kami juga yakin bahwa para bhakta sedharma sering berpikir yang buruk meskipun juga pernah berpikir yang benar. Dengan mengendalikan pikiran terlebih dahulu maka keinginan pun dapat dikendalikan. Bagaimana mengendalikan pikiran?
Saya akan mencoba mendiskripsikan dengan suatu cerita dan cerita ini saya yakin sahabat mengenalnya karena cerita ini sangat populer apalagi dikalangan anak-anak. Dahulu kala hiduplah seorang yang bernama Aladin, ketika dia menggali tanah dia menemukan sebuah guci tua, dibersihkannya guci dan alangkah senangnya Aladin karena guci terbuat dari emas. Saat dia mengamati guci itu terkejutlah dia karena muncul asap tebal dari dalam guci. Asap itu membentuk sesosok mahluk yang besar, dan berkatalah mahluk itu kepada Aladin. “ Terima kasih Tuan telah membebaskan hamba dari dalam guci ini yang telah memenjarakan hamba selama ratusan tahun, sebagai imbalannya hamba akan memenuhi segala keinginan Tuan tetapi dengan persyaratan apabila sekali saja Tuan tidak memanfaatkan hamba maka Tuan sendiri yang akan saya makan”. Aladin sangat senang tetapi juga takut karena raksasa itu bisa saja memakan dirinya sendiri apabila ia tidak memanfaatkannya sekali saja. “Saya ingin rumah yang indah dan besar” begitulah pinta Aladin. Lalu raksasa itu menjentikan jari tangan dan terciptalah rumah yang besar dan indah. “ Saya minta agar rumah itu dikelilingi oleh kolam yang indah dan mengagumkan”. Dalam sekejab mata pun terwujudlah itu oleh raksasa itu. Aladin sangat heran, dia pikir raksasa itu akan menghabiskan waktu berbulan – bulan untuk membuat itu semua. Ia sempat berhenti meminta kepada raksasa itu dan berkatalah raksasa itu, ‘Tuan minta apalagi karena kalau tidak ada Tuan akan saya makan”. Aladin sangat takut kemudian ia berpikir sejenak dan ia berhasil mendapatkan suatu ide yang cemerlang untuk membuat raksasa itu tetap sibuk agar dirinya tidak dimakan. ‘Hai raksasa, aku ingin kau membuat tiang yang tinggi dan besar’, begitu kata Aladin. Raksasa itupun kemudian beraksi dan terwujudlah tiang itu. ‘Sekarang panjatlah tiang itu sampai ke ujung atas dan apabila sudah sampai di atas turunlah, ketika sampai di bawah naik kembali dan begitu seterusnya jangan berhenti sebelum aku perintahkan untuk berhenti’, begitulah Aladin meminta. Raksasa itu pun menuruti Aladin dan bebaslah Aladin dari rasa takut akan dimakan raksasa itu dan dia pun bisa hidup dengan damai.
Sahabat, dari cerita tadi raksasa itu identik dengan pikiran dan tiang itu identik dengan napas. Kita punya gambaran apa dari cerita ini? Itulah meditasi yaitu selalu mengikatkan pikiran kita pada napas. Dan inilah salah satu cara mengendalikan keinginan.
Apabila ego sudah dibuang jauh-jauh dan keinginan sudah bisa dikendalikan maka kedamaian dalam diri sendiri pun bisa diwujudkan, begitu juga dalam keluarga, masyarakat, negara dan dunia. Maka itulah umat manusia selalu berdoa semoga damai, damai, damai selalu.
Sahabat yang terkasih, kiranya cukup sekian wacana singkat ini dan semoga bisa menjadi bahan renungan bagi pribadi masing-masing.
Disarikan dari: Buku Pengantar Agama Hindu (Catur Asrama-Cudamani)
=======
"Your Hand On Works But Your Heart On God "
=======
Sahabat yang terkasih, kita hidup sebagai manusia tentu menginginkan suatu kehidupan yang harmonis, tentram, sejahtera atau dengan kata lain yaitu damai. Dan kami yakin tidak ada seorang manusiapun yang tidak menginginkan kedamaian. Bagaimana mewujudkan kedamaian itu?
Atas dasar suatu kedamaian pula, lahir sebuah organisasi perserikatan bangsa-bangsa yang juga membawa misi kedamaian untuk dunia. Mungkinkah itu akan tercapai? Tidak!……apabila masing-masing negara di dunia ini belum bisa mewujudkan kedamaian di negaranya sendiri-sendiri. Bisakah suatu negara bisa mewujudkan kedamaian? Tidak pula!……apabila dalam tiap-tiap satuan masyarakat atau golongan atau suku bangsa tidak terwujud suatu kedamaian. Bisakah suatu masyarakat itu mewujudkan kedamaian? Tidak!……apabila dalam satuan masyarakat kecil yaitu keluarga belum juga bisa mewujudkan kedamaian. Mampukah suatu keluarga meraih kedamaian? Tidak juga!……apabila masing-masing anggota keluarga belum bisa mewujudkan kedamaian dalam diri sendiri.
Jadi kedamaian itu bisa diwujudkan di mana-mana apabila tiap-tiap individu mampu mewujudkan kedamaian dalam diri sendiri. Kami yakin para bhakta sedharma pernah berkata pada diri sendiri ‘ Saya Ingin Damai‘. Bagaimana caranya? Dari ketiga kata ini sebenarnya kita telah diberi suatu rumus bagaimana mewujudkan kedamaian dalam diri sendiri. Ada kata ‘Saya’, ada kata ‘Ingin’, dan ada kata ‘Damai’. Pertama pangkaslah kata ‘Saya’ yaitu keakuan atau ego. Adakah di antara bhakta sedharma yang merasa paling cantik atau paling ganteng? Adakah yang merasa paling kaya? Adakah yang merasa paling pandai? Adakah yang merasa paling berjasa dalam sesuatu, meskipun memang benar anda itu berjasa? Dan anda selalu beranggapan bahwa ini karena saya, itu karena saya? Perasaan-perasaan seperti itulah yang disebut dengan keakuan, dan itu harus seluruhnya dibuang jauh-jauh. Yang kedua yaitu kendalikan keinginanmu, manusia tentu punya keinginan dan keinginan timbul karena pikiran. Kami juga yakin bahwa para bhakta sedharma sering berpikir yang buruk meskipun juga pernah berpikir yang benar. Dengan mengendalikan pikiran terlebih dahulu maka keinginan pun dapat dikendalikan. Bagaimana mengendalikan pikiran?
Saya akan mencoba mendiskripsikan dengan suatu cerita dan cerita ini saya yakin sahabat mengenalnya karena cerita ini sangat populer apalagi dikalangan anak-anak. Dahulu kala hiduplah seorang yang bernama Aladin, ketika dia menggali tanah dia menemukan sebuah guci tua, dibersihkannya guci dan alangkah senangnya Aladin karena guci terbuat dari emas. Saat dia mengamati guci itu terkejutlah dia karena muncul asap tebal dari dalam guci. Asap itu membentuk sesosok mahluk yang besar, dan berkatalah mahluk itu kepada Aladin. “ Terima kasih Tuan telah membebaskan hamba dari dalam guci ini yang telah memenjarakan hamba selama ratusan tahun, sebagai imbalannya hamba akan memenuhi segala keinginan Tuan tetapi dengan persyaratan apabila sekali saja Tuan tidak memanfaatkan hamba maka Tuan sendiri yang akan saya makan”. Aladin sangat senang tetapi juga takut karena raksasa itu bisa saja memakan dirinya sendiri apabila ia tidak memanfaatkannya sekali saja. “Saya ingin rumah yang indah dan besar” begitulah pinta Aladin. Lalu raksasa itu menjentikan jari tangan dan terciptalah rumah yang besar dan indah. “ Saya minta agar rumah itu dikelilingi oleh kolam yang indah dan mengagumkan”. Dalam sekejab mata pun terwujudlah itu oleh raksasa itu. Aladin sangat heran, dia pikir raksasa itu akan menghabiskan waktu berbulan – bulan untuk membuat itu semua. Ia sempat berhenti meminta kepada raksasa itu dan berkatalah raksasa itu, ‘Tuan minta apalagi karena kalau tidak ada Tuan akan saya makan”. Aladin sangat takut kemudian ia berpikir sejenak dan ia berhasil mendapatkan suatu ide yang cemerlang untuk membuat raksasa itu tetap sibuk agar dirinya tidak dimakan. ‘Hai raksasa, aku ingin kau membuat tiang yang tinggi dan besar’, begitu kata Aladin. Raksasa itupun kemudian beraksi dan terwujudlah tiang itu. ‘Sekarang panjatlah tiang itu sampai ke ujung atas dan apabila sudah sampai di atas turunlah, ketika sampai di bawah naik kembali dan begitu seterusnya jangan berhenti sebelum aku perintahkan untuk berhenti’, begitulah Aladin meminta. Raksasa itu pun menuruti Aladin dan bebaslah Aladin dari rasa takut akan dimakan raksasa itu dan dia pun bisa hidup dengan damai.
Sahabat, dari cerita tadi raksasa itu identik dengan pikiran dan tiang itu identik dengan napas. Kita punya gambaran apa dari cerita ini? Itulah meditasi yaitu selalu mengikatkan pikiran kita pada napas. Dan inilah salah satu cara mengendalikan keinginan.
Apabila ego sudah dibuang jauh-jauh dan keinginan sudah bisa dikendalikan maka kedamaian dalam diri sendiri pun bisa diwujudkan, begitu juga dalam keluarga, masyarakat, negara dan dunia. Maka itulah umat manusia selalu berdoa semoga damai, damai, damai selalu.
Sahabat yang terkasih, kiranya cukup sekian wacana singkat ini dan semoga bisa menjadi bahan renungan bagi pribadi masing-masing.
Disarikan dari: Buku Pengantar Agama Hindu (Catur Asrama-Cudamani)
=======
"Your Hand On Works But Your Heart On God "
=======
Katagori
Article
Hidup Adalah Persaingan-Berjuang lah! (Pesan seorang Ibu kepada Putra-Putrinya)
Disarikan dari: Grha Jagadhita, by: Shri Danu .P
Di dunia ini setiap orang walaupun berbeda bangsa, warna kulit, dan agama tetapi semua menyetujui dan memiliki pendapat yang sama dalam memanggil kedua orang tua sebagai “Ayah dan Ibu” yang menjadi orang terpenting dalam hidup ini. Dan orang tua yang baik berusaha memberikan miliknya yang terbaik kepada anak-anaknya. Mereka mencurahkan kasih sayang, tenaga, pikiran bahkan mengabaikan keselamatan dirinya untuk menjaga dan membesarkan putra-putrinya.
Mengenang dan mengingat budhi baik orang tua serta mencari jalan untuk membalas “budhi baiknya”, itulah tanda orang baik dan bijaksana. Apakah yang pantas dilakukan terhadap orang tua?. Hal ini sangat perlu bagi semua anak dan harus memikirkan apa yang dinamakan “ tahu budhi orang tua dan membalas budhi orang tua”. Siapapun yang memiliki hal ini, yang menghormati dan membalas jasa orang tuanya akan maju bahagia dan tidak akan jatuh dalam kesusahan. Ayah dan ibu menjadi guru pertama bagi kita semua, ada peribahasa yang berbunyi: “Cinta ayah-Ibu sepanjang jalan, cinta anak putra dan putri sepanjang galah”.
Jika demikian apakah hidup itu? Hidup dimulai dari persaingan, siapa yang lebih kuat akan menjadi pemenang/penguasa kehidupan. Persaingan dimulai sejak dalam kandungan (garbhadana) dimana yang kuat akan dapat tinggal dalam hangatnya kandungan sang ibu. Setiap ibu pasti pernah bercerita kepada kita bahwa “tiada perjuangan apapun yang begitu hebat mati-matian yang menyamai dengan perjuangan untuk hidup”.
Di antara berjuta bibit/benih janin yang membuahi rahim ibu, hanya yang terbaik yang sesuai dengan karmanya dapat tinggal dalam kandungannya selama lebih kurang sembilan bulan, dan menghadapi segala sesuatu bersama-sama. Seorang ibu pasti akan berkata “Anakku, apabila engkau dewasa nanti, engkau harus kuat dan menyiapkan diri, memiliki kesabaran serta tahan terhadap persaingan maupun gejolak dalam kehidupan”. Tetapi, pada saat itu kita pasti tidak begitu tertarik atas nasehat tersebut, karena tidak percaya bahwa hidup akan kejam seperti kenyataannya. Ingatlah! Kata ibu selalu mengingatkan kita “ Bila engkau dewasa nanti, memiliki pengalaman, belajar lebih banyak, dan dapat melihat dunia dari berbagai sudut pandang, semua bagian dengan nyata, maka engkau akan mengerti” demikian sang ibu akan menjelaskan.
Ketika kita tumbuh menjadi dewasa baru paham dan menyadari bahwa sesungguhnya hidup manusia adalah ajang pertarungan yang besar. Pemaian yang lemah akan gagal dan teraniaya selalu, tak ada panggung kosong bagi mereka yang lemah. Tak ada jalan terbuka bagi mereka yang putus semangat. Manusia sejak bangun dari tidurnya, pada saat pertama membuka mata, pikirannya telah tertuju pada peretarungan nasibnya. Yang terpikirkan adalah pekerjaan, keuangan, kekayaan, kedudukan, kehormatan dan sebagainya. Sebagian orang berjuang mengikuti peraturan yang benar, tetapi tidak sedikit, bahkan mungkin lebih banyak yang tidak peduli akan peraturan hidup dalam memperjuangkan hidupnya. Pertarungan yang tanpa peraturan, akan menjadi kejam dan biadab, baik terhadap pasangan petarung, juga bagi yang menonton. Percayakah anda, bahwa orang yang punya kuasa sering kali menetapkan peraturannya sendiri? Kadangkala pertandingan itu hanya rekayasa saja, atau hanya untuk menutupi mata dunia untuk menyatakan bahwa mereka tidak memonopoli untuk diri mereka sendiri saja.
Kita pasti ingat benar, sekali waktu ibu berkata kepada kita “ Pangkuan ibu adalah tempat tidur yang hangat untukmu, tidurlah kalau engkau lelah dan gagal, lengan ibu adalah sandaran yang hangat dan aman. Kembalilah!, karena tidak ada pertarungan, kebencian, suap dan kebohongan. Pangukuan ibu, sejak engkau kanak-kanak, hingga kini adalah tetap demikian, tidak pernah berubah, ibu selalu ada di sini”.
Ketika kita dewasa, ibu tidak begitu banyak bicara, tidak sering lagi menasehati dan menunjukkan pandangan hidupnya kepada kita. Kadangkala kita perhatikan ibu ingin bicara sesuatau yang tepat dengan isi hatinya, akan tetapi beliau memilih diam. Ibu memiliki kesadaran, mungkin karena takut/sungkan akan menyinggung hati anak-anaknya yang sedang dalam perjuangan hidup. Ibu senantiasa menjaga dan merawat hati putra-putrinya semasa hidupnya. Ibu tahu dengan baik, perjuangan hidup itu selalu diwarnai kegagalan dan kemenangan. Oleh sebab itu ibu selalu memberi semangat dalam hal spiritual. Kadang kita melihat sikap beliau tenang dan damai ketika kita mengalami kegagalan, dan lebih mantap dalam ketenangan ketika mengerti kita mengalami kemenangan. Kita pasti bertanya kepadanya, “mengapa ibu?” Beliau menjawab,”Kemenenagan dan kegagalan di dalam kehidupan adalah sama kejamnya.” Saat ini kita mengalami kemenangan, namun di saat lainnya kita akan mengalami kegagalan. “Kemenangan sejati adalah bila engkau dapat menaklukkan dirimu sendiri.” Nasihat seorang ibu seperti ini pasti sangat menyentuh hati kita. Sering kali kita mengalami kegelisahan dan kekhawatiran karena berharap mengalahkan orang lain. Tapi bila menang, kitapun merasa gelisah dan menderita, mengapa? Penderitaan kita timbul karena takut dikalahkan oleh mereka yang pernah kita kalahkan. Tentu merekapun ingin meraih kemenangannyaa kembali. Penderitaan (duhkha) manusia tentang hal ini tidak berbeda antara orang miskin dan kaya, pria dan wanita. Manusia mempunyai kecurigaan yang sama di dalam persaingan.
Ketika kita berbicara dengan ibu dari hati ke hati, kita pasti pernah bertanya padanya dengan perlahan,”Ibu, kapankah hidup ini berhenti dari persaingan?” Jawaban ibu yang bijaksana adalah, ”Anakku! Hidup ini adalah persaingan, dan persaingan ini kan berakhir bila hidup tanpa nafas! Saat itu hidup berhenti berjalan. Bahkan ibu sendiri walaupun telah lanjut usia, masih terus berjuang dan berusaha. Berusaha agar diuri ibu tidak dikalahkan oleh keinginan rendah dan jahat”. Jika setiap kali ada kesempatan berbincang berdua antara putra dan ibu seperti ini, kita tentu merasakan batin kita segar kembali, dan ada rasa bangga karena memiliki ibu seperti beliau. Ibu bagaikan sumber tenaga dan pembangkit semangat di dalam hidup kita. Ketika kita gagal dan terjatuh, ibu dengan sabar mendampingi langkah kita. Beliau mengiringi kita dalam sukha dan duhkha.
Sering seorang ibu yang bijak akan berkata: ”Di dalam perjuangan hidup ini sangat dibutuhkan dorongan spiritual dari seseorang. Dan bagi setiap anak tidak ada dorongan spiritual yang dapat disamakan dengan dorongan spiritual dari seorang ibu. Ibu senantiasa berusaha memberikan semangat, keteguhan dan kekuatan jiwa kep[ada putra-putinya. Ibu berkata bahwa hidup ibu tidak lagi bersaing dengan orang lain saat ini, tetapi beliau katakana dan tegaskan bahwa beliau masih berjuang mengendalikan diri/batin beliau sendiri yaitu mengatasi Klesa yang timbul yaitu meliputi keserakahan (lobha), Kebencian (irihati), dan kegelapan batin (avidya). Kita mesti belajar dari hidup seorang ibu, belajar tentang melihat kenyataan dan melangkah dalam hidup ini bersama ibu. Hidup terisi penuh oleh pengalaman hidup dan pelajaran hidupp dengan beraneka ilmu, yang tidak tercatat di dalam buku apapun. Maka pantaslah orang bijaksana berpendapat “Hidup dan kenyataan ini tidak lebih dari sandiwara”.
Bersaing atau berjuang di dalam sandiwara adalah kejam dan keras, tetapi lebih kejam dan keras lagi apa yang kita temukan dalam kenyataan hidup ini. Ibu mengatakan selama hidup berlangsung kita harus berjuang. Bukankah karena perjuangan kita berdiri di sini? Dengan usapan tangannya yang lembut, ibu sering membelai kepala kita dan mengatakan, ”Semoga engkau anakku, memiliki kesadaran dalam setiap persaingan dan penuh dengankesabaran dalam perjuangan mengarungi hidup ini. Walau hari ini gagal, harapan ibu semoga esok engkau dalam kemenangan”.”Tetapi kemenangan itu haruslah kemenangan yang benar, murni dan adil!”
“Ingatlah anakku, hidup yang kita dapatkan ini adalah karena kita punya tanah bumi. Oleh karena itu sebelum mencari kemenangan dari siapa-siapa, janganlah berpikir hanya untuk keuntungan dan kepentingan diri sendiri. Jika kita menang tetapi tanah bumi ini hancur, dimana kita dapat tinggal? Kemenangan untuk kepentingan bumi kelahiran merupakan kemenangan yang luhur-mulia dan dipuja semua orang”.
Dengan demikian cintailah kedua orang tua kita dengan kasih sayang yang tulus seperti mereka memberikan kasih sayang dan pengorbanan untuk membesarkan kita. Jangan menelantarkan dan mengabaikan orang tua sebab akan melukai hati mereka dan nantinya kitapun akan menderita dengan penyesalan dan kesedihan. Perlakukanlah dan rawatlah mereka dengan kasih sayang.
=======
"Your Hand On Works But Your Heart On God "
=======
Di dunia ini setiap orang walaupun berbeda bangsa, warna kulit, dan agama tetapi semua menyetujui dan memiliki pendapat yang sama dalam memanggil kedua orang tua sebagai “Ayah dan Ibu” yang menjadi orang terpenting dalam hidup ini. Dan orang tua yang baik berusaha memberikan miliknya yang terbaik kepada anak-anaknya. Mereka mencurahkan kasih sayang, tenaga, pikiran bahkan mengabaikan keselamatan dirinya untuk menjaga dan membesarkan putra-putrinya.
Mengenang dan mengingat budhi baik orang tua serta mencari jalan untuk membalas “budhi baiknya”, itulah tanda orang baik dan bijaksana. Apakah yang pantas dilakukan terhadap orang tua?. Hal ini sangat perlu bagi semua anak dan harus memikirkan apa yang dinamakan “ tahu budhi orang tua dan membalas budhi orang tua”. Siapapun yang memiliki hal ini, yang menghormati dan membalas jasa orang tuanya akan maju bahagia dan tidak akan jatuh dalam kesusahan. Ayah dan ibu menjadi guru pertama bagi kita semua, ada peribahasa yang berbunyi: “Cinta ayah-Ibu sepanjang jalan, cinta anak putra dan putri sepanjang galah”.
Jika demikian apakah hidup itu? Hidup dimulai dari persaingan, siapa yang lebih kuat akan menjadi pemenang/penguasa kehidupan. Persaingan dimulai sejak dalam kandungan (garbhadana) dimana yang kuat akan dapat tinggal dalam hangatnya kandungan sang ibu. Setiap ibu pasti pernah bercerita kepada kita bahwa “tiada perjuangan apapun yang begitu hebat mati-matian yang menyamai dengan perjuangan untuk hidup”.
Di antara berjuta bibit/benih janin yang membuahi rahim ibu, hanya yang terbaik yang sesuai dengan karmanya dapat tinggal dalam kandungannya selama lebih kurang sembilan bulan, dan menghadapi segala sesuatu bersama-sama. Seorang ibu pasti akan berkata “Anakku, apabila engkau dewasa nanti, engkau harus kuat dan menyiapkan diri, memiliki kesabaran serta tahan terhadap persaingan maupun gejolak dalam kehidupan”. Tetapi, pada saat itu kita pasti tidak begitu tertarik atas nasehat tersebut, karena tidak percaya bahwa hidup akan kejam seperti kenyataannya. Ingatlah! Kata ibu selalu mengingatkan kita “ Bila engkau dewasa nanti, memiliki pengalaman, belajar lebih banyak, dan dapat melihat dunia dari berbagai sudut pandang, semua bagian dengan nyata, maka engkau akan mengerti” demikian sang ibu akan menjelaskan.
Ketika kita tumbuh menjadi dewasa baru paham dan menyadari bahwa sesungguhnya hidup manusia adalah ajang pertarungan yang besar. Pemaian yang lemah akan gagal dan teraniaya selalu, tak ada panggung kosong bagi mereka yang lemah. Tak ada jalan terbuka bagi mereka yang putus semangat. Manusia sejak bangun dari tidurnya, pada saat pertama membuka mata, pikirannya telah tertuju pada peretarungan nasibnya. Yang terpikirkan adalah pekerjaan, keuangan, kekayaan, kedudukan, kehormatan dan sebagainya. Sebagian orang berjuang mengikuti peraturan yang benar, tetapi tidak sedikit, bahkan mungkin lebih banyak yang tidak peduli akan peraturan hidup dalam memperjuangkan hidupnya. Pertarungan yang tanpa peraturan, akan menjadi kejam dan biadab, baik terhadap pasangan petarung, juga bagi yang menonton. Percayakah anda, bahwa orang yang punya kuasa sering kali menetapkan peraturannya sendiri? Kadangkala pertandingan itu hanya rekayasa saja, atau hanya untuk menutupi mata dunia untuk menyatakan bahwa mereka tidak memonopoli untuk diri mereka sendiri saja.
Kita pasti ingat benar, sekali waktu ibu berkata kepada kita “ Pangkuan ibu adalah tempat tidur yang hangat untukmu, tidurlah kalau engkau lelah dan gagal, lengan ibu adalah sandaran yang hangat dan aman. Kembalilah!, karena tidak ada pertarungan, kebencian, suap dan kebohongan. Pangukuan ibu, sejak engkau kanak-kanak, hingga kini adalah tetap demikian, tidak pernah berubah, ibu selalu ada di sini”.
Ketika kita dewasa, ibu tidak begitu banyak bicara, tidak sering lagi menasehati dan menunjukkan pandangan hidupnya kepada kita. Kadangkala kita perhatikan ibu ingin bicara sesuatau yang tepat dengan isi hatinya, akan tetapi beliau memilih diam. Ibu memiliki kesadaran, mungkin karena takut/sungkan akan menyinggung hati anak-anaknya yang sedang dalam perjuangan hidup. Ibu senantiasa menjaga dan merawat hati putra-putrinya semasa hidupnya. Ibu tahu dengan baik, perjuangan hidup itu selalu diwarnai kegagalan dan kemenangan. Oleh sebab itu ibu selalu memberi semangat dalam hal spiritual. Kadang kita melihat sikap beliau tenang dan damai ketika kita mengalami kegagalan, dan lebih mantap dalam ketenangan ketika mengerti kita mengalami kemenangan. Kita pasti bertanya kepadanya, “mengapa ibu?” Beliau menjawab,”Kemenenagan dan kegagalan di dalam kehidupan adalah sama kejamnya.” Saat ini kita mengalami kemenangan, namun di saat lainnya kita akan mengalami kegagalan. “Kemenangan sejati adalah bila engkau dapat menaklukkan dirimu sendiri.” Nasihat seorang ibu seperti ini pasti sangat menyentuh hati kita. Sering kali kita mengalami kegelisahan dan kekhawatiran karena berharap mengalahkan orang lain. Tapi bila menang, kitapun merasa gelisah dan menderita, mengapa? Penderitaan kita timbul karena takut dikalahkan oleh mereka yang pernah kita kalahkan. Tentu merekapun ingin meraih kemenangannyaa kembali. Penderitaan (duhkha) manusia tentang hal ini tidak berbeda antara orang miskin dan kaya, pria dan wanita. Manusia mempunyai kecurigaan yang sama di dalam persaingan.
Ketika kita berbicara dengan ibu dari hati ke hati, kita pasti pernah bertanya padanya dengan perlahan,”Ibu, kapankah hidup ini berhenti dari persaingan?” Jawaban ibu yang bijaksana adalah, ”Anakku! Hidup ini adalah persaingan, dan persaingan ini kan berakhir bila hidup tanpa nafas! Saat itu hidup berhenti berjalan. Bahkan ibu sendiri walaupun telah lanjut usia, masih terus berjuang dan berusaha. Berusaha agar diuri ibu tidak dikalahkan oleh keinginan rendah dan jahat”. Jika setiap kali ada kesempatan berbincang berdua antara putra dan ibu seperti ini, kita tentu merasakan batin kita segar kembali, dan ada rasa bangga karena memiliki ibu seperti beliau. Ibu bagaikan sumber tenaga dan pembangkit semangat di dalam hidup kita. Ketika kita gagal dan terjatuh, ibu dengan sabar mendampingi langkah kita. Beliau mengiringi kita dalam sukha dan duhkha.
Sering seorang ibu yang bijak akan berkata: ”Di dalam perjuangan hidup ini sangat dibutuhkan dorongan spiritual dari seseorang. Dan bagi setiap anak tidak ada dorongan spiritual yang dapat disamakan dengan dorongan spiritual dari seorang ibu. Ibu senantiasa berusaha memberikan semangat, keteguhan dan kekuatan jiwa kep[ada putra-putinya. Ibu berkata bahwa hidup ibu tidak lagi bersaing dengan orang lain saat ini, tetapi beliau katakana dan tegaskan bahwa beliau masih berjuang mengendalikan diri/batin beliau sendiri yaitu mengatasi Klesa yang timbul yaitu meliputi keserakahan (lobha), Kebencian (irihati), dan kegelapan batin (avidya). Kita mesti belajar dari hidup seorang ibu, belajar tentang melihat kenyataan dan melangkah dalam hidup ini bersama ibu. Hidup terisi penuh oleh pengalaman hidup dan pelajaran hidupp dengan beraneka ilmu, yang tidak tercatat di dalam buku apapun. Maka pantaslah orang bijaksana berpendapat “Hidup dan kenyataan ini tidak lebih dari sandiwara”.
Bersaing atau berjuang di dalam sandiwara adalah kejam dan keras, tetapi lebih kejam dan keras lagi apa yang kita temukan dalam kenyataan hidup ini. Ibu mengatakan selama hidup berlangsung kita harus berjuang. Bukankah karena perjuangan kita berdiri di sini? Dengan usapan tangannya yang lembut, ibu sering membelai kepala kita dan mengatakan, ”Semoga engkau anakku, memiliki kesadaran dalam setiap persaingan dan penuh dengankesabaran dalam perjuangan mengarungi hidup ini. Walau hari ini gagal, harapan ibu semoga esok engkau dalam kemenangan”.”Tetapi kemenangan itu haruslah kemenangan yang benar, murni dan adil!”
“Ingatlah anakku, hidup yang kita dapatkan ini adalah karena kita punya tanah bumi. Oleh karena itu sebelum mencari kemenangan dari siapa-siapa, janganlah berpikir hanya untuk keuntungan dan kepentingan diri sendiri. Jika kita menang tetapi tanah bumi ini hancur, dimana kita dapat tinggal? Kemenangan untuk kepentingan bumi kelahiran merupakan kemenangan yang luhur-mulia dan dipuja semua orang”.
Dengan demikian cintailah kedua orang tua kita dengan kasih sayang yang tulus seperti mereka memberikan kasih sayang dan pengorbanan untuk membesarkan kita. Jangan menelantarkan dan mengabaikan orang tua sebab akan melukai hati mereka dan nantinya kitapun akan menderita dengan penyesalan dan kesedihan. Perlakukanlah dan rawatlah mereka dengan kasih sayang.
=======
"Your Hand On Works But Your Heart On God "
=======
Katagori
Article
Friday, May 15, 2009
Cakra Indigo
Oleh : Melky Akwaryan
Kata Indigo sendiri berasal dari bahasa Spanyol yg berarti Nila.
Dalam spectrum warna pelangi, indigo berada antara warna ungu
dan putih ini berada diurutan yg ke-6.
Di tubuh halus manusia yang disebut juga tubuh bioplasmik diketahui
punya pintu-pintu energi.
Kesehatan pintu-pintu energi itulah yang mendasari energi
elektromagnetik (aura) seseorang dan warna yang tertangkap sebagai
pancaran sinar elektromagnetik itu adalah hasil dominasi keaktifan
pintu-pintu energi tersebut.
Pintu-pintu energi itu disebut cakra diambil dari bahasa Sansekerta yang
berarti roda yang berputar.
Perkembangan manusia ternyata diselaraskan 1 oktaf warna seseuai dg
urutan warna pelangi. Bermula dari merah, jingga, kuning, biru, ungu,
indigo (nila), dan putih.
Warna ini memiliki cakra yg ada dalam tubuh manusia. Maka, Cakra
diibaratkan seperti corong tenaga yg terletak diseluruh bagian tubuh.
Cakra merah paling bawah, dan cakra putih berada diubun-ubun kepala.
Cakra keenam warna energi indigo disebut juga nilai yang bertanggung
jawab pada seluruh organ dalam rongga kepala termasuk pancaindera
dan memberi energi pada kepekaan intuisi dan ketajaman perasaan
(felling) untuk hal-hal abstrak, seperti berpikir cepat.
Cakra ini berubah mengikut peredaran zaman.
Contohnya:
masa ketika Alva Edison, Einstein, James watt & Nicola Tesla mulai
menemukan elektronik, masa ini dikenal dg cakra biru (yg terletak
antara leher dan dada).
Kemudian manusia memasuki zaman lebih abstrak yg dikaitkan dg
perubahan spiritual (cakra ungu), lalu selanjutnya cakra manusia pun
beredar ke dahi.
Ada banyak sebutan untuk anak indigo: Children of the sun, millennium
children, highly spiritual children, blue children, or super physic children.
Kata Indigo sendiri berasal dari bahasa Spanyol yg berarti Nila.
Dalam spectrum warna pelangi, indigo berada antara warna ungu
dan putih ini berada diurutan yg ke-6.
Di tubuh halus manusia yang disebut juga tubuh bioplasmik diketahui
punya pintu-pintu energi.
Kesehatan pintu-pintu energi itulah yang mendasari energi
elektromagnetik (aura) seseorang dan warna yang tertangkap sebagai
pancaran sinar elektromagnetik itu adalah hasil dominasi keaktifan
pintu-pintu energi tersebut.
Pintu-pintu energi itu disebut cakra diambil dari bahasa Sansekerta yang
berarti roda yang berputar.
Perkembangan manusia ternyata diselaraskan 1 oktaf warna seseuai dg
urutan warna pelangi. Bermula dari merah, jingga, kuning, biru, ungu,
indigo (nila), dan putih.
Warna ini memiliki cakra yg ada dalam tubuh manusia. Maka, Cakra
diibaratkan seperti corong tenaga yg terletak diseluruh bagian tubuh.
Cakra merah paling bawah, dan cakra putih berada diubun-ubun kepala.
Cakra keenam warna energi indigo disebut juga nilai yang bertanggung
jawab pada seluruh organ dalam rongga kepala termasuk pancaindera
dan memberi energi pada kepekaan intuisi dan ketajaman perasaan
(felling) untuk hal-hal abstrak, seperti berpikir cepat.
Cakra ini berubah mengikut peredaran zaman.
Contohnya:
masa ketika Alva Edison, Einstein, James watt & Nicola Tesla mulai
menemukan elektronik, masa ini dikenal dg cakra biru (yg terletak
antara leher dan dada).
Kemudian manusia memasuki zaman lebih abstrak yg dikaitkan dg
perubahan spiritual (cakra ungu), lalu selanjutnya cakra manusia pun
beredar ke dahi.
Ada banyak sebutan untuk anak indigo: Children of the sun, millennium
children, highly spiritual children, blue children, or super physic children.
Katagori
Article
Wednesday, May 13, 2009
TIGA KUNCI RAHASIA UNTUK MERAIH SUKSES
(Made Mariana. Abu Dhabi; 13 Feb 2009)
"Apakah sih definisi sukses itu?
Tanpa mengacu pada kamus bahasa, definisi sukses tentunya sangat relatif.
Semua orang punya definisinya masing-masing. Bagi sebagian orang,
sukses bermakna pencapaian atas apa yang mereka cita-citakan. Sukses
berarti mengoptimalkan potensi yang kita miliki hingga suatu saat
potensi tersebut mencapai limit tertingginya. Sebagian orang lainnya
menyatakan bahwa sukses adalah bahagia dan sejahtera. Bahkan adapula
yang berpendapat bahwa sukses tidak akan mempunyai satu definisi yang
khusus karena sukses merupakan sebuah proses perjuangan.
Bagi saya pribadi saat saya melihat
putri saya tertawa terpingkal-pingkal karena seneng dan sehat, sukses
bagi saya hari itu, saat melihat istri selalu tertawa riang memancarkan
wajah berseri sepanjang waktu, adalah sukses buat saya. Saat target
yang saya rencanakan tercapai sukses bagi saya. Saya yakin saudaraku
sekalian memiliki definisi yang berbeda tentang sukses. Itu sah-saha
saja. Sukses adalah hak setiap orang. Yang pasti sukses akan memberikan
kesenangan, memberikan kebahagiaan bagi kita.
Kalo kita tengok pengertian sukses dari beberapa tokoh misalnya juga akan kita temukan definisi yang sangat beragam:
“Success is the ability to
live your life the way you want to live it, doing what you most enjoy,
surrounded by people who you admire and respect.”
Sukses berarti jika seseorang menikmati dan mencintai profesinya sekarang, dan ia dikelilingi oleh orang-orang yang ia cintai dan mencintai dirinya.
- Brian Tracy, Million Dollar Habits
“Success is the progressive realization of a worthy ideal.”
Sukses adalah realisasi progresif dari prinsip-prinsip seseorang yang bernilai.
- Earl Nightingale, The Strangest Secret
“Getting many of the things
money can buy — and all the things money can’t buy. Money can buy you a
mattress, but you can’t buy a good night’s sleep.”
“mendapatkan banyak hal yang bisa dibeli oleh uang – dan semua hal yang tak bisa dibeli oleh uang. Anda bisa membeli kasur, tapi Anda tak bisa membeli tidur yang nyenyak.”
-Zig Ziglar dalam suatu wawancara di majalah Time-
Apa sih ukuran sukses itu…?
Kebanyakan orang mendefinisikan sukses berdasarkan pada, kekuasaan,
uang, kemasyuran. Seorang bijak pernah mengatakan : “Uang dapat
memberi Anda sebuah istana yang sangat megah, penuh dengan karya-karya
seni bernilai tinggi. Uang juga dapat memenuhi rumah Anda dengan
perabot terbaik dan garasi Anda dipenuhi dengan mobil-mobil mewah…namun
uang tidak dapat memberi Anda rumah yang penuh dengan kasih dan
penghargaan tulus dari orang-orang yang tinggal di dalamnya….Uang dapat
dipakai untuk membeli ranjang emas murni, namun uang tidak dapat
membeli istirahat satu menit yang disertai dengan damai di hati.”.
Sejarah telah mencatat banyak orang yang tampak sukses dari luar karena uang,
kekuasaan dan kemasyuran yang dimilikinya melakukan bunuh diri, sebut
saja nama: Jesse Livermore, investor terbesar di Wall Street mati bunuh
diri, Leon Fraser, presiden the Bank of International Settlements, juga
mati bunuh diri, Ivan Kruegar, kepala dari monopoli dunia terbesar,
juga mati bunuh diri.
Bagaimanakah meraih sukses yang tidak berakhir..?
Setelah membaca dan mendengarkan banyak kisah sukses para pendahulu, perkenankan saya berbagi dengan Anda, saya datang pada satu kesimpulan bahwa ada tiga kunci yang mengantarkan seseorang untuk bisa membuka pintu gerbang kesuksesan yaitu:
1. Berfikir baik,
2. Berbicara baik
3. Berbuat baik,
Berfikir Baik.
Segala aktivitas kita (berbuat atau berbicara) berawal dari pikiran, pikiran boleh dikatakan sebagai driver dari semua aktivitas hidup ini. Pikiran ini hanya dimiliki oleh manusia, karena pikiran ini pula maka manusia menjadi mahluk yang
berbeda di bumi ini. Pikiran memiliki dua sisi, pikiran baik dan buruk.
Bila kita tidak waspada dalam mengontrolnya maka pikiran ini akan
menjadi musuh besar bagi kita, dia bisa menjerumuskan kita ke kubangan
kawah candra dimuka (kawah yang penuh dengan segala macam penderitaan).
Sebaliknya bila kita rajin membersikan pikiran kita dengan kejujuran maka, pikiran ini akan semakin jernih, mudah diarahkan, mudah dikonsentrasikan, sehingga kita bisa meraih output yang optimum dari setiap aktivitas kita.
Pikiran sangat mudah dipengaruhi oleh panca indera kita, sehingga bila kita tidak waspada, maka pikiran itu bisa mengarah pada hal buruk. Panca Indra kontak dengan alam material ini akan membangkitkan keinginan untuk memiliki, namun bila pikiran itu
selalu terkondisi untuk berfikir baik, benar dan suci maka keinginan yang tidak baik akan segera bisa dihapus digantikan dengan keinginan yang baik. Selanjutnya pikiran yang baik ini bisa mengontrol panca indra, mengarahkannya untuk kebaikan pula.
Pikiran baik: Berfikir bagaimana membahagiakan orang tua, anak dan istri, keluarga, memberikan pelayanan kepada umat manusia, memberikan sesuatu yang bernilai buat
Negara atau masyarakat. Berfikir memberikan sesuatu yang mampu menjaga
kebersamaan, persaudaraan, persatuan. Berfikir memberikan kontribusi
positif pada perkembangan umat manusia di segala bidang kehidupan.
Pikiran yang baik telah mengantarkan orang untuk menghasilkan karya-karya besar, baik dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi, Seni dan Budaya, Budi Pekerti dan Spritual, dan Sosial Ekonomi.. Tidak jarang dari pikiran-pikiran baik ini
mengantarkan mereka pada rumah kesuksesan dalam hidupnya.
Bicara Baik.
Dalam sebuah karya sastra peninggalan leluhur kita yang tertuang dalam sebuah kitab kuno tertulis dalam bahasa kawi dinyatakan:
Wahya nimitanta matemu mitra
Wahya nimitanta matemu artha
Wahya nimitanta matemu laksmi
Wahya nimitanta pati kepangguh
Karena perkataan engkau mendapatkan sahabat
Karena perkataan engkau mendapatkan harta
Karena perkataan engkau mendapatkan kebahagiaan
Karena perkataan engkau mendapatkan ajalmu.
Dalam pergaulan sehari-hari, orang yang pinter membawa perkataannya, bisa menjaga perasaan temen, berkata jujur dan apa adanya, tidak melebih-lebihkan atau menguranginya, sangat disegani dan senangi temen-temennya, mudah mendapatkan sahabat..
Sebaliknya mereka yang mudah mengeluarkan kata-kata kasar, kata menghardik, membentak, menfitnah, berbohong, akan tidak disukai di tempat kerja, di masyarakat, di manapun dia berada.
Contoh kecil saja,
sebelum kita diterima bekerja di suatu perusahaan ada tahapan test yang disebut
dengan Test Wawancara, di sini kita bener-bener ditantang menggunakan
perkataan kita untuk menunjukkan pengetahuan, keahlian dan pengalaman
kita. Bila perkataan kita mampu meyakinkan pewawancara bahwa kita orang
yang memiliki kwalifikasi yang diinginkan, baik dari segi skill maupun
dari kepribadian, maka kita akan diterima menjadi karyawan, selanjutnya
kita akan mendapatkan gaji, dengan gaji ini kita bisa membeli harta
yang kita butuhkan.
Hampir seluruh dari kegiatan bisnis dan ekonomi di dunia ini tidak lepas dari peran perkataan, sehingga mereka yang ingin sukses mesti bisa mengelola perkataannya dengan baik.
Luka karena senjata bisa disembuhkan, namun luka karena perkataan dibawa hingga ke liang kubur, demikian sehingga dikatakan lidah lebih tajam dari senjata tajam manapun.
Hidup di alam ini yang memberikan kita predikat sukses adalah manusia, yang membeli produk kita adalah manusia, yang membeli jasa kita juga manusia, yang membeli skill kita juga manusia. Bicara adalah salah satu media komunikasi yang paling
banyak dipakai manusia.
Mereka yang pinter meyakinkan pelanggan dengan perkataannya adalah marketer yang sukses, mereka yang mampu memotivasi participant dengan perkataannya, adalah seorang motivator yang ulung.
Hidup di negara asing, kita harus bener-bener menghargai budaya dan hukum di negeri di tempat kita tinggal dengan tidak sembarangan berbicara. Jangan bicara tentang sara, tentang politik atau tentang pemimpin negerinya. Kita bersyukur telah
diberi kesempatan untuk mengais rejeki di negerinya, jadi tunjukkanlah
rasa terimakasih kita dengan mewujudkannya dalam perkataan pula.
Pikiran yang baik butuh ruang untuk mengutarakannya sehingga orang tahu bahwa Anda punya kwalitas, ruang itu yang bernama bicara. Bicaralah maka orang tahu siapa Anda.
Berbuat Baik
Attitude not Aptitude determines your altitude (anonym)
Perbuatan, bukan Kecerdasan yang menentukan derajat Anda
Pikiran yang baik, perkataan yang baik, tidaklah cukup bila tidak dibuktikan dengan prilaku yang baik. Trust (kepercayaan) dalam bisnis ada bila bukti itu ada.
Tidak heran bila sesepuh kita dari Bali menasehatkan:
“Lontar A Siu Alah Dening Bukti Asiki”
(Seseorang yang menguasai Seribu Kitab tanpa mengimplementasikannya pada prilaku, kalah dengan seseorang yang tidak menguasai satupun kitab tapi telah membuktikannya
dalam prilaku yang baik walaupun hanya sekali).
Saudaraku sekalian, saat keheningan menghampiri seakan mereka berpesan pada saya bahwa untuk mencapai sukses itu kita harus mampu menyelaraskan antara pikiran, perkataan dan perbuatan kita.. Apa yang kita pikirkan, yang kita ucapkan dan yang kita lakukan semuanya yang baik-baik, pasti sukses itu akan datang menghampiri.
Sukses adalah sebuah produk dari ketiga aktivitas tadi (pikiran baik, perkataan baik dan perbuatan baik). Saya tidak tahu apakah kesimpulan saya ini benar adanya, atau mungkin saudaraku semua memiliki pendekatan, metoda atau kesimpulan-kesimpulan
lain yang bisa disharing demi kemajuan kita bersama….?
Salam Sukses
"Apakah sih definisi sukses itu?
Tanpa mengacu pada kamus bahasa, definisi sukses tentunya sangat relatif.
Semua orang punya definisinya masing-masing. Bagi sebagian orang,
sukses bermakna pencapaian atas apa yang mereka cita-citakan. Sukses
berarti mengoptimalkan potensi yang kita miliki hingga suatu saat
potensi tersebut mencapai limit tertingginya. Sebagian orang lainnya
menyatakan bahwa sukses adalah bahagia dan sejahtera. Bahkan adapula
yang berpendapat bahwa sukses tidak akan mempunyai satu definisi yang
khusus karena sukses merupakan sebuah proses perjuangan.
Bagi saya pribadi saat saya melihat
putri saya tertawa terpingkal-pingkal karena seneng dan sehat, sukses
bagi saya hari itu, saat melihat istri selalu tertawa riang memancarkan
wajah berseri sepanjang waktu, adalah sukses buat saya. Saat target
yang saya rencanakan tercapai sukses bagi saya. Saya yakin saudaraku
sekalian memiliki definisi yang berbeda tentang sukses. Itu sah-saha
saja. Sukses adalah hak setiap orang. Yang pasti sukses akan memberikan
kesenangan, memberikan kebahagiaan bagi kita.
Kalo kita tengok pengertian sukses dari beberapa tokoh misalnya juga akan kita temukan definisi yang sangat beragam:
“Success is the ability to
live your life the way you want to live it, doing what you most enjoy,
surrounded by people who you admire and respect.”
Sukses berarti jika seseorang menikmati dan mencintai profesinya sekarang, dan ia dikelilingi oleh orang-orang yang ia cintai dan mencintai dirinya.
- Brian Tracy, Million Dollar Habits
“Success is the progressive realization of a worthy ideal.”
Sukses adalah realisasi progresif dari prinsip-prinsip seseorang yang bernilai.
- Earl Nightingale, The Strangest Secret
“Getting many of the things
money can buy — and all the things money can’t buy. Money can buy you a
mattress, but you can’t buy a good night’s sleep.”
“mendapatkan banyak hal yang bisa dibeli oleh uang – dan semua hal yang tak bisa dibeli oleh uang. Anda bisa membeli kasur, tapi Anda tak bisa membeli tidur yang nyenyak.”
-Zig Ziglar dalam suatu wawancara di majalah Time-
Apa sih ukuran sukses itu…?
Kebanyakan orang mendefinisikan sukses berdasarkan pada, kekuasaan,
uang, kemasyuran. Seorang bijak pernah mengatakan : “Uang dapat
memberi Anda sebuah istana yang sangat megah, penuh dengan karya-karya
seni bernilai tinggi. Uang juga dapat memenuhi rumah Anda dengan
perabot terbaik dan garasi Anda dipenuhi dengan mobil-mobil mewah…namun
uang tidak dapat memberi Anda rumah yang penuh dengan kasih dan
penghargaan tulus dari orang-orang yang tinggal di dalamnya….Uang dapat
dipakai untuk membeli ranjang emas murni, namun uang tidak dapat
membeli istirahat satu menit yang disertai dengan damai di hati.”.
Sejarah telah mencatat banyak orang yang tampak sukses dari luar karena uang,
kekuasaan dan kemasyuran yang dimilikinya melakukan bunuh diri, sebut
saja nama: Jesse Livermore, investor terbesar di Wall Street mati bunuh
diri, Leon Fraser, presiden the Bank of International Settlements, juga
mati bunuh diri, Ivan Kruegar, kepala dari monopoli dunia terbesar,
juga mati bunuh diri.
Bagaimanakah meraih sukses yang tidak berakhir..?
Setelah membaca dan mendengarkan banyak kisah sukses para pendahulu, perkenankan saya berbagi dengan Anda, saya datang pada satu kesimpulan bahwa ada tiga kunci yang mengantarkan seseorang untuk bisa membuka pintu gerbang kesuksesan yaitu:
1. Berfikir baik,
2. Berbicara baik
3. Berbuat baik,
Berfikir Baik.
Segala aktivitas kita (berbuat atau berbicara) berawal dari pikiran, pikiran boleh dikatakan sebagai driver dari semua aktivitas hidup ini. Pikiran ini hanya dimiliki oleh manusia, karena pikiran ini pula maka manusia menjadi mahluk yang
berbeda di bumi ini. Pikiran memiliki dua sisi, pikiran baik dan buruk.
Bila kita tidak waspada dalam mengontrolnya maka pikiran ini akan
menjadi musuh besar bagi kita, dia bisa menjerumuskan kita ke kubangan
kawah candra dimuka (kawah yang penuh dengan segala macam penderitaan).
Sebaliknya bila kita rajin membersikan pikiran kita dengan kejujuran maka, pikiran ini akan semakin jernih, mudah diarahkan, mudah dikonsentrasikan, sehingga kita bisa meraih output yang optimum dari setiap aktivitas kita.
Pikiran sangat mudah dipengaruhi oleh panca indera kita, sehingga bila kita tidak waspada, maka pikiran itu bisa mengarah pada hal buruk. Panca Indra kontak dengan alam material ini akan membangkitkan keinginan untuk memiliki, namun bila pikiran itu
selalu terkondisi untuk berfikir baik, benar dan suci maka keinginan yang tidak baik akan segera bisa dihapus digantikan dengan keinginan yang baik. Selanjutnya pikiran yang baik ini bisa mengontrol panca indra, mengarahkannya untuk kebaikan pula.
Pikiran baik: Berfikir bagaimana membahagiakan orang tua, anak dan istri, keluarga, memberikan pelayanan kepada umat manusia, memberikan sesuatu yang bernilai buat
Negara atau masyarakat. Berfikir memberikan sesuatu yang mampu menjaga
kebersamaan, persaudaraan, persatuan. Berfikir memberikan kontribusi
positif pada perkembangan umat manusia di segala bidang kehidupan.
Pikiran yang baik telah mengantarkan orang untuk menghasilkan karya-karya besar, baik dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi, Seni dan Budaya, Budi Pekerti dan Spritual, dan Sosial Ekonomi.. Tidak jarang dari pikiran-pikiran baik ini
mengantarkan mereka pada rumah kesuksesan dalam hidupnya.
Bicara Baik.
Dalam sebuah karya sastra peninggalan leluhur kita yang tertuang dalam sebuah kitab kuno tertulis dalam bahasa kawi dinyatakan:
Wahya nimitanta matemu mitra
Wahya nimitanta matemu artha
Wahya nimitanta matemu laksmi
Wahya nimitanta pati kepangguh
Karena perkataan engkau mendapatkan sahabat
Karena perkataan engkau mendapatkan harta
Karena perkataan engkau mendapatkan kebahagiaan
Karena perkataan engkau mendapatkan ajalmu.
Dalam pergaulan sehari-hari, orang yang pinter membawa perkataannya, bisa menjaga perasaan temen, berkata jujur dan apa adanya, tidak melebih-lebihkan atau menguranginya, sangat disegani dan senangi temen-temennya, mudah mendapatkan sahabat..
Sebaliknya mereka yang mudah mengeluarkan kata-kata kasar, kata menghardik, membentak, menfitnah, berbohong, akan tidak disukai di tempat kerja, di masyarakat, di manapun dia berada.
Contoh kecil saja,
sebelum kita diterima bekerja di suatu perusahaan ada tahapan test yang disebut
dengan Test Wawancara, di sini kita bener-bener ditantang menggunakan
perkataan kita untuk menunjukkan pengetahuan, keahlian dan pengalaman
kita. Bila perkataan kita mampu meyakinkan pewawancara bahwa kita orang
yang memiliki kwalifikasi yang diinginkan, baik dari segi skill maupun
dari kepribadian, maka kita akan diterima menjadi karyawan, selanjutnya
kita akan mendapatkan gaji, dengan gaji ini kita bisa membeli harta
yang kita butuhkan.
Hampir seluruh dari kegiatan bisnis dan ekonomi di dunia ini tidak lepas dari peran perkataan, sehingga mereka yang ingin sukses mesti bisa mengelola perkataannya dengan baik.
Luka karena senjata bisa disembuhkan, namun luka karena perkataan dibawa hingga ke liang kubur, demikian sehingga dikatakan lidah lebih tajam dari senjata tajam manapun.
Hidup di alam ini yang memberikan kita predikat sukses adalah manusia, yang membeli produk kita adalah manusia, yang membeli jasa kita juga manusia, yang membeli skill kita juga manusia. Bicara adalah salah satu media komunikasi yang paling
banyak dipakai manusia.
Mereka yang pinter meyakinkan pelanggan dengan perkataannya adalah marketer yang sukses, mereka yang mampu memotivasi participant dengan perkataannya, adalah seorang motivator yang ulung.
Hidup di negara asing, kita harus bener-bener menghargai budaya dan hukum di negeri di tempat kita tinggal dengan tidak sembarangan berbicara. Jangan bicara tentang sara, tentang politik atau tentang pemimpin negerinya. Kita bersyukur telah
diberi kesempatan untuk mengais rejeki di negerinya, jadi tunjukkanlah
rasa terimakasih kita dengan mewujudkannya dalam perkataan pula.
Pikiran yang baik butuh ruang untuk mengutarakannya sehingga orang tahu bahwa Anda punya kwalitas, ruang itu yang bernama bicara. Bicaralah maka orang tahu siapa Anda.
Berbuat Baik
Attitude not Aptitude determines your altitude (anonym)
Perbuatan, bukan Kecerdasan yang menentukan derajat Anda
Pikiran yang baik, perkataan yang baik, tidaklah cukup bila tidak dibuktikan dengan prilaku yang baik. Trust (kepercayaan) dalam bisnis ada bila bukti itu ada.
Tidak heran bila sesepuh kita dari Bali menasehatkan:
“Lontar A Siu Alah Dening Bukti Asiki”
(Seseorang yang menguasai Seribu Kitab tanpa mengimplementasikannya pada prilaku, kalah dengan seseorang yang tidak menguasai satupun kitab tapi telah membuktikannya
dalam prilaku yang baik walaupun hanya sekali).
Saudaraku sekalian, saat keheningan menghampiri seakan mereka berpesan pada saya bahwa untuk mencapai sukses itu kita harus mampu menyelaraskan antara pikiran, perkataan dan perbuatan kita.. Apa yang kita pikirkan, yang kita ucapkan dan yang kita lakukan semuanya yang baik-baik, pasti sukses itu akan datang menghampiri.
Sukses adalah sebuah produk dari ketiga aktivitas tadi (pikiran baik, perkataan baik dan perbuatan baik). Saya tidak tahu apakah kesimpulan saya ini benar adanya, atau mungkin saudaraku semua memiliki pendekatan, metoda atau kesimpulan-kesimpulan
lain yang bisa disharing demi kemajuan kita bersama….?
Salam Sukses
Katagori
Article
Sunday, May 10, 2009
Spiritualitas dalam Praktek, Balancing of Mind, Body & Soul
Disampaikan dalam diskusi
IPEBI Bank Indonesia, Jumat, 8 Mei 2009
Oleh: Dewa K. Suratnaya
Di kalangan masyarakat kata spiritual dipahami sebagai sesuatu yang sulit dipahami, dan seolah-olah sangat sulit untuk dicapai. Sesuatu yang “jauh” dan sulit dijangkau. Hanya orang-orang tertentu yang bisa mencapainya, hanya bisa dicapai oleh para rohaniwan, para penekun kebatinan, para pandita atau pinandita, demikian sering kita berpikir. Ada hal penting yang terlupakan bahwa setiap manusia yang dilahirkan dalam dirinya tersedia “bibit dan ruang spiritual.” Banyak rohaniwan yang tidak bisa membedakan antara ritual dengan spiritual, antara kawisesan (kesaktian) dengan spiritual. Semuanya dicampurbaurkan, baru berbicara sedikit tentang hal-hal non fisik, metafisik atau hal-hal irasional, sudah mengaku pelaku spiritual. Walaupun ada orang-orang tertentu mengatakan, “Saya sudah bertahun-tahun menekuni spiritual…………..” kelompok ini pun sesungguhnya masih ragu.
Belakangan di berbagai media dipublikasikan bahwa abad ke 21 ini adalah abad spiritual, karena semakin banyak orang yang akan mencari ketenangan hidup dengan mencoba menekuni spiritual. Apakah mereka benar-benar telah menemukannya? Jangan-jangan hanya menemukan kekecewaan saja. Kalau benar-benar abad milenium ini adalah abad spiritual, mengapa masyarakat dunia, khususnya Indonesia yang konon adalah “masyarakat religius” malahan semakin mengalami degradasi moral.
Kajian spiritual, menurut saya tidak cukup dengan mencekoki masyarakat dengan istilah “kecerdasan spiritual” atau Spiritual Quotation (SQ) yang belakangan sudah menjadi bisnis besar. Spiritual tidak akan terungkap jelas apabila hanya membaca buku, hanya mendengar ceramah tentang spiritual. Tidak juga mudah dipahami melalui latihan-latihan yang rumit dan membosankan. Spiritual telah berkembang di masyarakat sebagai “hantu” yang eksklusif, dirindukan masyarakat tetapi tidak jelas keberadaannya. Sesungguhnya spiritual itu sangat mudah dipahami, dan tidak eksklusif, dan setiap usia manusia, sadar atau tidak sadar sesungguhnya telah menumbuhkan bibit spiritualitas dirinya masing-masing, dalam perjalanan kehidupannya. Tetapi memang benar tidak semuanya berkembang karena kendala-kendala tertentu. Namun akan lebih mudah mempelajarinya melalui praktek-praktek lapangan, dengan menghadapi kasus-kasus yang terjadi.
Dari pendekatan terhadap kasus-kasus di lapangan, maka kajian akan spiritual secara perlahan akan tumbuh dan berkembang serta mengarah kepada keseimbangan fisik (body), pikiran (mind) dan jiwa (soul). Spiritual yang benar akan membuat ketiganya merasakan kenyamanan bagi setiap individu. Kendalanya, ego, cuntaka (adanya selimut “black energy” yang mengelilingi badan halus (suksma sarira) karena perilaku tertentu, dan adanya kuajiban yang belum terselesaikan). Umumnya kendala-kendala ini tidak dimengerti, sehingga memerlukan sentuhan pihak ketiga.
Spiritual lebih mengarah kepada internal self (diri sendiri), dan bersifat individual. Kita akan lebih banyak melihat ke dalam, dengan pedoman yang didapat dari obyek-obyek yang bersifat eksternal (luar diri). Kesadaran dan penyadaran serta purifikasi diri (soul purifying) merupakan kondisi-kondisi yang diperlukan untuk semakin jauh memahami spiritual, karena spiritual merupakan proses pembelajaran tanpa batas, yang tidak akan pernah berhenti hingga akhir hayat.
Menurut kajian saya, spiritual, secara sederhana dapat didefinisikan sebagai berikut. Berasal dari kata spirit = jiwa dan ritual = aktivitas dalam hidup, termasuk aktivitas horizontal (duniawi) maupun vertikal (rohani). Jadi spiritual merupakan sebuah aktivitas baik yang horizontal maupun yang vertikal, dimana di dalam setiap aktivitas itu seseorang mampu menjiwai, menjiwakan dan masuk serta menyatu ke dalamnya; sehingga bibit spiritualnya tumbuh dan berkembang serta “ruang spiritual”nya terisi. Beberapa aktivitas alami yang menumbuhkan bibit-bibit spiritual dan mengisi “ruang spiritual” yang bisa dijadikan obyek kajian.
1. Anak-anak balita yang sedang menyanyi dan bermain dengan polosnya. Mereka tertawa lepas, tidak tertekan, tidak dipaksa.
2. Anak-anak remaja yang dengan bebas dan gembiranya bermain dengan temannya.
3. Para mahasiswa yang menikmati perjalanan sekolahnya menuju sebuah gunung yang sejuk.
4. Karyawan yang bekerja tekun, karena merasa bertanggung jawab terhadap pekerjaannya, bukan karena takut kepada atasannya. Ia menikmati dan merasa nyaman dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
5. Seorang pemangku yang sedang melayani umat untuk melaksanakan sebuah upacara. Ia mampu membuat sarana sesaji menjadi “hidup” dan “berjiwa,” sehingga ada jaminan bahwa ritual itu mencapai sasaran. Ada loyalitas dan kepedulian di sini.
6. Seorang pandita yang melayani umatnya dengan penuh rasa bhakti, bukan karena adanya nilai bisnis. Sehingga sasaran acara yang dilaksanakan benar-benar tercapai, yang dilayani puas dan mengerti.
7. Dan lain sebagainya.
Poin 1 sampai dengan 4 merupakan aktivitas-aktivitas natural yang menumbuhkembangkan spiritual secara alami, karena bersifat horizontal. Namun poin 5 dan 6 agak berbeda. Karena ritual-ritual yang dilakukan tidak akan pernah lengkap kalau dalam pelaksanaan ini tidak ada tambahan “selipan-selipan” aktivitas spiritual. Karena pelaku ritual (pinandita/pandita) seringkali lebih terpaku kepada proses ritual, secara tidak sadar lalu mengabaikan proses spiritualnya. Disamping itu memang tidak mudah bagi pelaku ritual, selain fokus pada ritual, juga fokus pada aspek spiritual dan sekaligus mengevaluasi acara yang dialksanakan. Padahal, sebuah proses pelayanan harus memberikan kepuasan kepada yang dilayani. Kepuasan ini akan timbul, kalau setiap ritual dipahami dan dimengerti maka akan terjadi peningkatan wawasan tentang ritual dan spiritual.
Untuk itu, dalam setiap ritual idealnya diperlukan peran dua figur. Yang pertama adalah pelaku ritual dan yang kedua adalah pelaku spiritual. Pelaku ritual adalah orang yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan ritual tersebut dan memang handal untuk itu. Ini adalah seorang pinandita (pemangku) atau pandita (sulinggih), atau orang yang mampu dan dipercaya untuk itu. Pelaku spiritual adalah orang yang bertugas melanjutkan aktivitas-aktivitas yang diperlukan setelah selesai atau di tengah (diselipkan) acara tersebut. Ia juga bertugas memonitor jalannya acara, karena ia memiliki kemampuan menangkap sinyal-sinyal yang muncul, sekaligus mampu menterjemahkan dan menyampaikannya. Tidak harus trance, tetapi dengan kesadaran penuh. Bisa juga pelaku spiritual ini memiliki akses untuk menerima, bahkan bernegosiasi dengan dimensi terkait.
Untuk menangkap sinyal dan menyampaikannya kepada pihak yang berkepentingan memang tidak mudah. Dibutuhkan pengetahuan dan kemampuan serta pengalaman yang cukup baik tentang agama (filsafat, etika, acara) dan penggunaan logika (spiritual logic) yang memadai. Apabila hal ini dapat dilakukan dengan baik, dan bisa dimengerti maka semua orang yang mendengarkan akan mendapatkan pencerahan dan peningkatan pengetahuan spiritual. Idealnya, setiap usai sebuah acara, sekecil apapun harus di evaluasi; untuk menentukan langkah-langkah ke depan apabila diperlukan. Selipan-selipan ini juga bisa berupa tutur, wacana, dialog atau diskusi yang dilakukan setelah acara selesai.
Belakangan, selipan-selipan spiritual ini memang seperti terlupakan, sehingga tidak sedikit acara-acara penting menjadi sia-sia. Kita lebih banyak terfokus kepada ritual-ritual yang tidak diapahami dan dilakukan dengan rasa takut. Lalu kita terjebak kepada sarana-sarana sesaji yang semakin lama semakin bertambah, dan semakin rumit, yang lama kalamaan membuat jenuh dan frustasi. Jebakan-jebakan ini kemudian berkesinambungan, dan menimbulkan banyak masalah-masalah baru, seolah ritual tidak menyelesaikan masalah.
Ini berarti ada sesuatu yang salah, karena ritual menjadi tidak efektif dan menakutkan. Yang lebih parah, ruang spiritual menjadi tidak terisi karena bibitnya tidak tumbuh, keseimbangan tidak muncul dan ini akan menjadi masalah menjelang maut menjemput; bahkan berlanjut setelah mati. Berikut adalah sebuah kasus yang terjadi di lapangan.
Bermasalah, Ritual Pernikahan Dua Kali
Dewa K. Suratnaya
Kasus ini merupakan sebuah kecerobohan yang fatal. Seorang pria menelepon dan menyebutkan identitas serta profesi dan nama seseorang yang memberikan nomor telepon. “Boleh saya datang ke rumah sekarang,” katanya. Walaupun dengan susah payah mencari alamat rumah, karena memang lokasinya tersembunyi, tetapi tak lama kemudian ia muncul bersama istri dan putranya yang masih balita dan seorang ibu sepuh, tetangganya. Ia datang untuk konsultasi, namun bukan masalah keluarganya, tetapi masalah lain. Setelah berbincang panjang lebar disarankan agar “masalah lain” itu diabaikan, karena ada pihak lain yang lebih bertanggung jawab, bukan pria tersebut.
Saat ditelusuri secara spiritual, kemudian terungkap bahwa ada sesuatu yang menjadi kendala dalam keluarga suami istri ini, yang selama bertahun-tahun hingga kini sudah berputra tiga; masalah ini masih mengendap. Pria ini seringkali merasakan “tidak nyambung” dengan istrinya, apalagi dengan karakternya yang keras, seringkali membuat istrinya stress, walaupun dengan daya tahannya yang luar biasa, ia selalu berusaha mengikuti keinginan suaminya. Suami (orang Bali) istri (orang Jawa) ini keduanya bekerja, tampaknya penghasilannya lumayan, namun dirasakannya semuanya tidak ada hasil apapun. Semuanya habis entah kemana. Ternyata, selain adanya gelombang negatif dari luar, juga ada kemelut dalam diri keduanya (suami istri) yang menggambarkan bahwa mereka secara spiritual bukanlah suami istri. Ada yang aneh dari ritual yang telah dilakukan. Bahasa sederhananya, secara niskala ritual pernikahan mereka tidak mendapatkan pengakuan, alias gagal. Setelah ditelusuri lebih dalam, ternyata muncul gambar-gambar yang bercerita.
Ritual pernikahan secara agama Hindu dengan tradisi Bali sudah dilaksanakan dengan baik. Setelah itu, sesuai dengan tradisi Jawa, maka orang tua wanita akan juga melaksanakan resepsi pernikahan. Ini tradisi yang biasa, di kalangan masyarakat tertentu di Nusantara. Ini dilakukan atas dasar kasih sayang orang tua terhadap putrinya dan juga sebagai implementasi bahwa di mata keluarga, wanita maupun pria mendapat perlakuan yang sama, bahkan hingga ke pembagian warisan, pria dan wanita mendapat bagian yang sama. Sayangnya, disamping resepsi tadi, rupanya “diselipkan” sebuah acara di masjid, yaitu akad nikah secara Muslim. Jadi suami istri ini melakukan ritual pawiwahan atau akad nikah dua kali, secara agama Hindu dan agama Islam. Ternyata ini berakibat tidak baik. Jelas, apabila menikah secara agama Islam, harus di Islam kan dulu, seperti halnya menikah secara agama Hindu, harus sudhi wadani dulu. Ini terkait dengan UU Perkawinan no. 1 tahun 1974. Nah, dengan demikian secara spiritual suami istri ini sebenarnya beragama Islam, namun dalam kesehariannya melaksanakan ibadah secara agama Hindu. Dampaknya, terjadi kebingungan jiwa.
Mereka berada “in between” (diantara) Hindu dan Islam. Salah satunya harus dinetralkan, melalui ritual mepegat (diputus), lalu dinikahkan kembali. Tentu ini melalui sebuah ritual yang melibatkan pelaku ritual dan pelaku spiritual. Sayangnya, di kalangan masyarakat Hindu sendiri hal-hal seperti ini seringkali diabaikan karena kurangnya tuntunan dan pemahaman; padahal tidak sedikit umat Hindu yang menderita karena masalah “kecil” ini. Ini termasuk kondisi cuntaka kelas berat, karena akan selalu menjadi kendala dalam kehidupan ini.
Ada lagi kejadian yang lain, di keluarga ini. Sang istri yang sabar, dikaruniai kepekaan bawah sadar yang baik. Kemampuan bawah sadarnya seringkali memberikan petunjuk untuk menyelamatkan diri, dan sejauh ini selalu ada “kekuatan” penyelamat. Beberapa dimensi, di luar dimensi fisik ini berkali-kali dilihatnya dengan nyata, hanya ia tidak paham. Berkali-kali, putranya nyaris benturan dengan mahluk-mahluk dimensi lain, tetapi naluri keibuan yang penuh kasih sejauh ini selalu mampu menghindarkan putranya dari bahaya. Ini terjadi di rumah tinggalnya. Ada fenomena yang bercampur baur antara alam manusia hidup dengan alam dimensi lain dengan penghuninya yang spesifik. Artinya, ada intervensi antara dua alam yang seharusnya tidak boleh terjadi, karena akan saling mengganggu.
Atmosfir di rumahnya tidak seimbang, antara panas dan dingin. Ini dimungkinkan karena adanya intervensi tadi. Apalagi berdekatan dengan lokasi rumah terdapat sebuah makam, yang konon adalah makam seorang ibu yang meninggal dalam keadaan hamil. Karena tidak terurus, maka dari makam ini mengalir energi negatif yang membuat atmosfir di sekitarnya terkontaminasi. Tidak menyatunya antara energi tanah, rumah dan penghuninya dalam sebuah keselarasan yang harmonis menyebabkan mudahnya terjadi intervensi dari penghuni dimensi lain, yang seharusnya berada di dimensinya masing-masing. Percaya? Tidak percaya? Silahkan merenung. Inilah keunikan alam semesta.
IPEBI Bank Indonesia, Jumat, 8 Mei 2009
Oleh: Dewa K. Suratnaya
Di kalangan masyarakat kata spiritual dipahami sebagai sesuatu yang sulit dipahami, dan seolah-olah sangat sulit untuk dicapai. Sesuatu yang “jauh” dan sulit dijangkau. Hanya orang-orang tertentu yang bisa mencapainya, hanya bisa dicapai oleh para rohaniwan, para penekun kebatinan, para pandita atau pinandita, demikian sering kita berpikir. Ada hal penting yang terlupakan bahwa setiap manusia yang dilahirkan dalam dirinya tersedia “bibit dan ruang spiritual.” Banyak rohaniwan yang tidak bisa membedakan antara ritual dengan spiritual, antara kawisesan (kesaktian) dengan spiritual. Semuanya dicampurbaurkan, baru berbicara sedikit tentang hal-hal non fisik, metafisik atau hal-hal irasional, sudah mengaku pelaku spiritual. Walaupun ada orang-orang tertentu mengatakan, “Saya sudah bertahun-tahun menekuni spiritual…………..” kelompok ini pun sesungguhnya masih ragu.
Belakangan di berbagai media dipublikasikan bahwa abad ke 21 ini adalah abad spiritual, karena semakin banyak orang yang akan mencari ketenangan hidup dengan mencoba menekuni spiritual. Apakah mereka benar-benar telah menemukannya? Jangan-jangan hanya menemukan kekecewaan saja. Kalau benar-benar abad milenium ini adalah abad spiritual, mengapa masyarakat dunia, khususnya Indonesia yang konon adalah “masyarakat religius” malahan semakin mengalami degradasi moral.
Kajian spiritual, menurut saya tidak cukup dengan mencekoki masyarakat dengan istilah “kecerdasan spiritual” atau Spiritual Quotation (SQ) yang belakangan sudah menjadi bisnis besar. Spiritual tidak akan terungkap jelas apabila hanya membaca buku, hanya mendengar ceramah tentang spiritual. Tidak juga mudah dipahami melalui latihan-latihan yang rumit dan membosankan. Spiritual telah berkembang di masyarakat sebagai “hantu” yang eksklusif, dirindukan masyarakat tetapi tidak jelas keberadaannya. Sesungguhnya spiritual itu sangat mudah dipahami, dan tidak eksklusif, dan setiap usia manusia, sadar atau tidak sadar sesungguhnya telah menumbuhkan bibit spiritualitas dirinya masing-masing, dalam perjalanan kehidupannya. Tetapi memang benar tidak semuanya berkembang karena kendala-kendala tertentu. Namun akan lebih mudah mempelajarinya melalui praktek-praktek lapangan, dengan menghadapi kasus-kasus yang terjadi.
Dari pendekatan terhadap kasus-kasus di lapangan, maka kajian akan spiritual secara perlahan akan tumbuh dan berkembang serta mengarah kepada keseimbangan fisik (body), pikiran (mind) dan jiwa (soul). Spiritual yang benar akan membuat ketiganya merasakan kenyamanan bagi setiap individu. Kendalanya, ego, cuntaka (adanya selimut “black energy” yang mengelilingi badan halus (suksma sarira) karena perilaku tertentu, dan adanya kuajiban yang belum terselesaikan). Umumnya kendala-kendala ini tidak dimengerti, sehingga memerlukan sentuhan pihak ketiga.
Spiritual lebih mengarah kepada internal self (diri sendiri), dan bersifat individual. Kita akan lebih banyak melihat ke dalam, dengan pedoman yang didapat dari obyek-obyek yang bersifat eksternal (luar diri). Kesadaran dan penyadaran serta purifikasi diri (soul purifying) merupakan kondisi-kondisi yang diperlukan untuk semakin jauh memahami spiritual, karena spiritual merupakan proses pembelajaran tanpa batas, yang tidak akan pernah berhenti hingga akhir hayat.
Menurut kajian saya, spiritual, secara sederhana dapat didefinisikan sebagai berikut. Berasal dari kata spirit = jiwa dan ritual = aktivitas dalam hidup, termasuk aktivitas horizontal (duniawi) maupun vertikal (rohani). Jadi spiritual merupakan sebuah aktivitas baik yang horizontal maupun yang vertikal, dimana di dalam setiap aktivitas itu seseorang mampu menjiwai, menjiwakan dan masuk serta menyatu ke dalamnya; sehingga bibit spiritualnya tumbuh dan berkembang serta “ruang spiritual”nya terisi. Beberapa aktivitas alami yang menumbuhkan bibit-bibit spiritual dan mengisi “ruang spiritual” yang bisa dijadikan obyek kajian.
1. Anak-anak balita yang sedang menyanyi dan bermain dengan polosnya. Mereka tertawa lepas, tidak tertekan, tidak dipaksa.
2. Anak-anak remaja yang dengan bebas dan gembiranya bermain dengan temannya.
3. Para mahasiswa yang menikmati perjalanan sekolahnya menuju sebuah gunung yang sejuk.
4. Karyawan yang bekerja tekun, karena merasa bertanggung jawab terhadap pekerjaannya, bukan karena takut kepada atasannya. Ia menikmati dan merasa nyaman dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
5. Seorang pemangku yang sedang melayani umat untuk melaksanakan sebuah upacara. Ia mampu membuat sarana sesaji menjadi “hidup” dan “berjiwa,” sehingga ada jaminan bahwa ritual itu mencapai sasaran. Ada loyalitas dan kepedulian di sini.
6. Seorang pandita yang melayani umatnya dengan penuh rasa bhakti, bukan karena adanya nilai bisnis. Sehingga sasaran acara yang dilaksanakan benar-benar tercapai, yang dilayani puas dan mengerti.
7. Dan lain sebagainya.
Poin 1 sampai dengan 4 merupakan aktivitas-aktivitas natural yang menumbuhkembangkan spiritual secara alami, karena bersifat horizontal. Namun poin 5 dan 6 agak berbeda. Karena ritual-ritual yang dilakukan tidak akan pernah lengkap kalau dalam pelaksanaan ini tidak ada tambahan “selipan-selipan” aktivitas spiritual. Karena pelaku ritual (pinandita/pandita) seringkali lebih terpaku kepada proses ritual, secara tidak sadar lalu mengabaikan proses spiritualnya. Disamping itu memang tidak mudah bagi pelaku ritual, selain fokus pada ritual, juga fokus pada aspek spiritual dan sekaligus mengevaluasi acara yang dialksanakan. Padahal, sebuah proses pelayanan harus memberikan kepuasan kepada yang dilayani. Kepuasan ini akan timbul, kalau setiap ritual dipahami dan dimengerti maka akan terjadi peningkatan wawasan tentang ritual dan spiritual.
Untuk itu, dalam setiap ritual idealnya diperlukan peran dua figur. Yang pertama adalah pelaku ritual dan yang kedua adalah pelaku spiritual. Pelaku ritual adalah orang yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan ritual tersebut dan memang handal untuk itu. Ini adalah seorang pinandita (pemangku) atau pandita (sulinggih), atau orang yang mampu dan dipercaya untuk itu. Pelaku spiritual adalah orang yang bertugas melanjutkan aktivitas-aktivitas yang diperlukan setelah selesai atau di tengah (diselipkan) acara tersebut. Ia juga bertugas memonitor jalannya acara, karena ia memiliki kemampuan menangkap sinyal-sinyal yang muncul, sekaligus mampu menterjemahkan dan menyampaikannya. Tidak harus trance, tetapi dengan kesadaran penuh. Bisa juga pelaku spiritual ini memiliki akses untuk menerima, bahkan bernegosiasi dengan dimensi terkait.
Untuk menangkap sinyal dan menyampaikannya kepada pihak yang berkepentingan memang tidak mudah. Dibutuhkan pengetahuan dan kemampuan serta pengalaman yang cukup baik tentang agama (filsafat, etika, acara) dan penggunaan logika (spiritual logic) yang memadai. Apabila hal ini dapat dilakukan dengan baik, dan bisa dimengerti maka semua orang yang mendengarkan akan mendapatkan pencerahan dan peningkatan pengetahuan spiritual. Idealnya, setiap usai sebuah acara, sekecil apapun harus di evaluasi; untuk menentukan langkah-langkah ke depan apabila diperlukan. Selipan-selipan ini juga bisa berupa tutur, wacana, dialog atau diskusi yang dilakukan setelah acara selesai.
Belakangan, selipan-selipan spiritual ini memang seperti terlupakan, sehingga tidak sedikit acara-acara penting menjadi sia-sia. Kita lebih banyak terfokus kepada ritual-ritual yang tidak diapahami dan dilakukan dengan rasa takut. Lalu kita terjebak kepada sarana-sarana sesaji yang semakin lama semakin bertambah, dan semakin rumit, yang lama kalamaan membuat jenuh dan frustasi. Jebakan-jebakan ini kemudian berkesinambungan, dan menimbulkan banyak masalah-masalah baru, seolah ritual tidak menyelesaikan masalah.
Ini berarti ada sesuatu yang salah, karena ritual menjadi tidak efektif dan menakutkan. Yang lebih parah, ruang spiritual menjadi tidak terisi karena bibitnya tidak tumbuh, keseimbangan tidak muncul dan ini akan menjadi masalah menjelang maut menjemput; bahkan berlanjut setelah mati. Berikut adalah sebuah kasus yang terjadi di lapangan.
Bermasalah, Ritual Pernikahan Dua Kali
Dewa K. Suratnaya
Kasus ini merupakan sebuah kecerobohan yang fatal. Seorang pria menelepon dan menyebutkan identitas serta profesi dan nama seseorang yang memberikan nomor telepon. “Boleh saya datang ke rumah sekarang,” katanya. Walaupun dengan susah payah mencari alamat rumah, karena memang lokasinya tersembunyi, tetapi tak lama kemudian ia muncul bersama istri dan putranya yang masih balita dan seorang ibu sepuh, tetangganya. Ia datang untuk konsultasi, namun bukan masalah keluarganya, tetapi masalah lain. Setelah berbincang panjang lebar disarankan agar “masalah lain” itu diabaikan, karena ada pihak lain yang lebih bertanggung jawab, bukan pria tersebut.
Saat ditelusuri secara spiritual, kemudian terungkap bahwa ada sesuatu yang menjadi kendala dalam keluarga suami istri ini, yang selama bertahun-tahun hingga kini sudah berputra tiga; masalah ini masih mengendap. Pria ini seringkali merasakan “tidak nyambung” dengan istrinya, apalagi dengan karakternya yang keras, seringkali membuat istrinya stress, walaupun dengan daya tahannya yang luar biasa, ia selalu berusaha mengikuti keinginan suaminya. Suami (orang Bali) istri (orang Jawa) ini keduanya bekerja, tampaknya penghasilannya lumayan, namun dirasakannya semuanya tidak ada hasil apapun. Semuanya habis entah kemana. Ternyata, selain adanya gelombang negatif dari luar, juga ada kemelut dalam diri keduanya (suami istri) yang menggambarkan bahwa mereka secara spiritual bukanlah suami istri. Ada yang aneh dari ritual yang telah dilakukan. Bahasa sederhananya, secara niskala ritual pernikahan mereka tidak mendapatkan pengakuan, alias gagal. Setelah ditelusuri lebih dalam, ternyata muncul gambar-gambar yang bercerita.
Ritual pernikahan secara agama Hindu dengan tradisi Bali sudah dilaksanakan dengan baik. Setelah itu, sesuai dengan tradisi Jawa, maka orang tua wanita akan juga melaksanakan resepsi pernikahan. Ini tradisi yang biasa, di kalangan masyarakat tertentu di Nusantara. Ini dilakukan atas dasar kasih sayang orang tua terhadap putrinya dan juga sebagai implementasi bahwa di mata keluarga, wanita maupun pria mendapat perlakuan yang sama, bahkan hingga ke pembagian warisan, pria dan wanita mendapat bagian yang sama. Sayangnya, disamping resepsi tadi, rupanya “diselipkan” sebuah acara di masjid, yaitu akad nikah secara Muslim. Jadi suami istri ini melakukan ritual pawiwahan atau akad nikah dua kali, secara agama Hindu dan agama Islam. Ternyata ini berakibat tidak baik. Jelas, apabila menikah secara agama Islam, harus di Islam kan dulu, seperti halnya menikah secara agama Hindu, harus sudhi wadani dulu. Ini terkait dengan UU Perkawinan no. 1 tahun 1974. Nah, dengan demikian secara spiritual suami istri ini sebenarnya beragama Islam, namun dalam kesehariannya melaksanakan ibadah secara agama Hindu. Dampaknya, terjadi kebingungan jiwa.
Mereka berada “in between” (diantara) Hindu dan Islam. Salah satunya harus dinetralkan, melalui ritual mepegat (diputus), lalu dinikahkan kembali. Tentu ini melalui sebuah ritual yang melibatkan pelaku ritual dan pelaku spiritual. Sayangnya, di kalangan masyarakat Hindu sendiri hal-hal seperti ini seringkali diabaikan karena kurangnya tuntunan dan pemahaman; padahal tidak sedikit umat Hindu yang menderita karena masalah “kecil” ini. Ini termasuk kondisi cuntaka kelas berat, karena akan selalu menjadi kendala dalam kehidupan ini.
Ada lagi kejadian yang lain, di keluarga ini. Sang istri yang sabar, dikaruniai kepekaan bawah sadar yang baik. Kemampuan bawah sadarnya seringkali memberikan petunjuk untuk menyelamatkan diri, dan sejauh ini selalu ada “kekuatan” penyelamat. Beberapa dimensi, di luar dimensi fisik ini berkali-kali dilihatnya dengan nyata, hanya ia tidak paham. Berkali-kali, putranya nyaris benturan dengan mahluk-mahluk dimensi lain, tetapi naluri keibuan yang penuh kasih sejauh ini selalu mampu menghindarkan putranya dari bahaya. Ini terjadi di rumah tinggalnya. Ada fenomena yang bercampur baur antara alam manusia hidup dengan alam dimensi lain dengan penghuninya yang spesifik. Artinya, ada intervensi antara dua alam yang seharusnya tidak boleh terjadi, karena akan saling mengganggu.
Atmosfir di rumahnya tidak seimbang, antara panas dan dingin. Ini dimungkinkan karena adanya intervensi tadi. Apalagi berdekatan dengan lokasi rumah terdapat sebuah makam, yang konon adalah makam seorang ibu yang meninggal dalam keadaan hamil. Karena tidak terurus, maka dari makam ini mengalir energi negatif yang membuat atmosfir di sekitarnya terkontaminasi. Tidak menyatunya antara energi tanah, rumah dan penghuninya dalam sebuah keselarasan yang harmonis menyebabkan mudahnya terjadi intervensi dari penghuni dimensi lain, yang seharusnya berada di dimensinya masing-masing. Percaya? Tidak percaya? Silahkan merenung. Inilah keunikan alam semesta.
Katagori
Article
Saturday, May 9, 2009
Silakramaning Aguron-guron-3
7.a. ikang ulah, sabda rahayu/ambek santalila ngowani awak ika sanghyang dharma,
kenget dening silayukti sabda rahayu, ambek tan kaselan geleh mijil pawitraning sanghyang dharma. Yan mangkana, apan ikang sekul tan pasawa, maiwak tan pagogo, sinembah dening padania wang manusa, tan ucapan ika kamutahan; ndan nguniweh kawiryan. Sama-sama sidha kapangguh denta matangnian kayatnakena Sanghyang Trikayaparisudha, ndia ta sang sewaka dharma mangkana ling sang pandita, ndia ta patakoning ala lawan ayu, sabda tan patut ikang mahala, sabda rahayu ikang rahayu, samangkana linganta, anakku, hana sanghyang dasasila nga, ika ta patakonan ala ayuning ulah sabda lawanambek, ndia ta lwirnia nihan, srota, grane, pani, pada, paayu, pasta, tuak, nahan ikang dua sapuluh siki, pada tunggal wisayania ika,
7.a. (tidak lain adalah) prilaku, ucapan yang baik, pikiran yang tenang dan bersih/cemerlang yang mana itu adalah perwujudan Sanghyang Dharma. Ingat pada prilaku yang benar, ucapan yang benar, pikiran yang tidak ternodai oleh kekotoran, kesemuanya itu lahir dari kesucian Sanghyang Dharma. Bila demikian, itu bagaikan nasi (maiwak tan pagogo), dihormati oleh orang sesamanya. Itu tidak lagi diucapkan semuanya. Apalagi tentang kemuliaan, kesemuanya akan engkau peroleh, karenanya perhatikanlah Sanghyang Trikayaparisudha. Kenapa orang yang menuntut ilmu harus demikian kata sang pendeta, karena ia adalah tempat untuk menanyakan yang baik dan yang buruk, kata-kata yang tak patut adalah kata-kata yang jelek, kata-kata yang baik adalah ucapan yang menyenangkan. Demikian dengarkanlah olehmu, anakku. Kemudian ada yang disebut Sanghyang Dasasila yang merupakan tempat untuk mempertanyakan baik buruknya prilaku, ucapan dan pikiran. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut: srota, grana, pani, pada, payu, pasta, tuak. Demikianlah keduapuluh satu itu masing-masing mempunyai fungsi.
7.b. ndia ta pratekania, patunggalaning wisayania / sugianta maka linganta sapara
nihan. Caksuindria, nga mata, wisayania tuminggaling ala-ayu, suka yan tuminggaling ayu, duka yan tuminggaling mala. Ya ta etunta yan ngujaraken sabda tan enak karenga. Makaulah makala desa, makmbek tan ambek mohita, wetning runtarining ala ayu ; muwang ilinta ring kang ala ayu, kalingania haywa ta mangkana ; tolihen ta sanghyang trikayaparisudha, menget pwa kita ring pawekas mami, ilang hyunta ring ala ayu, ulikta ring kang ala malit ikang manah, sambega ujar amanis nahan dayanta rumaksa ikang wisaya, mijil sakeng mata. Srotendriya, nga, karna, wisayania ngrenga sabda aganal alit, mangkakaken tan pakenaki pisuh-pisih, upata, haywa kita sengituli pisuhen kita tan walesan, delen kita tan walesa kita usap-usapan. Kalingania ayu sanghyang trikayaparisudha, kayanakena, menget pwa kita ring
7.b. Bagaimana perincian fungsi masing-masing maka dengarkanlah dengan baik-baik penjelasan berikut. Caksuindriya adalah mata, fungsinya untuk melihat yang baik atau buruk. Biasanya orang senang melihat yang baik dan tidak senang jika melihat yang tidak baik. Itulah yang menyebabkan kamu mengucapkan kata-kata yang tidak enak didengar. Sebagai prilaku “makaladesa” yang memikirkan yang tidak menyenangkan pikiran karena tidak tahu akan baik dan buruk, karenanya janganlah demikian, lihatlah Sanghyang Trikayaparisudha, ingatlah engkau pada nasehatku, maka akan sirnalah keinginanmu pada hal-hal baik atau buruk. Carilah percik kecil dari keburukan yang ada pada pikiran, ingatlah akan ucapan yang manis sebagai upayamu menjaga keinginan yang datang dari mata. Srotendriya adalah telinga, fungsinya adalah untuk mendengarkan kata-kata yang halus atau keras, kaanya (maka) orang tidak senang pada makian, sumpah, jangan marah. Bila engkau dimaki, engkau jangan membalas, lihat dan jangan engkau membalas, maka engkau akan menjadi bersih. Kesimpulannya, ingatlah keutamaan dari Sanghyang Trikayaparisudha. Engkau harus teringat pula pada nasehatku,
8.a. Pawekaas mami ilang krodanta / renga sabda mahala; muwang hyunta renga
sabda rahayu, malit ikang manah sambega ujar amanis, nahan dayanta rumaksa ikang wisaya mijil sakeng talingan. Granendriya, nga, irung,, wisayan ika angambung ganda abo lawan wangi, enak tang manah angambung kang wangi, tan enak mangambung kang abo.
Haywa ta mangkana tolihen ta ayu sanghyang trikayaparisudha. Yan menget kita ri pawekas mami ilang hyunta kang sawangi, muwang melikta ring abo malit ikang manah, sambega ujar amanis nahan dayanta rumaksa wisaya mijil sakeng irung.
Wakindriya, nga, cangkem, wisayania angucap, yekidaya larangan temen; yang ikang wang tan wruh angiring tutuknia, sabdania ayo salah ujar, mojar rahayu juga muwang ambehaning gunanta, kalinggania ayu sanghyang tri kayaparisudha. Kayatnakenanta; yan kita atutur ri pawekas mami, ilang ikang sabda tan yukti malit.
8.a. maka akan sirnalah kemarahanmu bila mendengar kata-kata yang baik, maka keinginan akan menjadi semakin mengecil karena ingat kata-kata yang manis. Demikianlah upayamu untuk mengendalikan keinginan yang datang dari telinga.
Granendriya adalah hidung, fungsinya untuk mencium bau yang busuk atau harum. Pikiran akan senang bila mencium bau wangi, akan tidak senang bila mencium bau yang busuk.
Hendaknya janganlah demikian, perhatikanlah keutamaan Sanghyang Trikayaparisudha. Apabila engkau ingat akan nasehatku, maka akan hilanglah keinginanmu pada bau yang harum, demikian pula bencimu kepada bau busuk. Maka pikiran akan menjadi semakin kecil (karena) ingat pada kata-kata manis.
Demikianlah usahamu untuk menjaga keinginan yang muncul dari hidung. Wakindriya adalah mulut, fungsinya adalah untuk berkata-kata. Ini patut betul-betul dikendalikan. Apabila orang tidak tahu menjaga mulutnya, kata-katanya akan tidak terkontrol (salah), sebaiknya berkatalah yang benar. Kesimpulannya, perhatikanlah kemuliaan Sanghyang Trikayaparisudha. Dan jika engkau ingat pada nasehatku, maka tidak akan ada kata-kata bohong (darimu), maka akan menjadi kecillah tendensi dari kata-kata itu,
8.b. ikang sabda manahnia, /manis kengonang ikang sabda, nahan dayanta rumaksa
wisaya mijil sakeng tutuk.
Jihwendriya, nga. Ilat, wisayania angrasani enak lawan tan enak, suka kita yan amangan enak, yata karana tan angujar tan enak karenga, makambek tang ambek mohia, mangulah makala desa haywa ta kita mangkana, tolihen ta sanghyang trikaya parisudha, yan kita atutur ri pawekas mami, ilang sabda tan ayukti malit ikang sabda manohara, nahan dayanta rumaksa ikang wisaya mijil sakeng ilat.
Panindriya, nga, tangan, wisayania anepak, anampial, anudingi, makadi amet rasa ulanjar ring alas, ring kubuan, ring pangason, ring paturuan, kang nista madiamutama, ikang danda tinibaken ring wang, angalap ikang stri larangan, danda pati ika sasanania ; wruh pwa kita yan mangkana, lwir papa kabukti denta, nyata matangian prihen.
Padenriya, nga, suku, kawisayania andedel, akilusus angrantakaken, haywa kita mangkana, yan alungguh ring pasamuaning wang akweh, yan akesel pwa kita aren akodo-kodo pwa sukunia, jaming tambak aku, yoganam tan yogya tan kilusuha mahyunta sira, sapucapana ring jana kabeh, yata matangian sulaksana ya magilaha ta kita, nahan dayanta rumaksa ikang wisaya mijil sakeng suku. Paywindriya, nga, silit, wisayania mangentuti, mangising, haywa kita mangentuti ring pasamuaning wong kabeh, nguniweh kala sumewake sang guru, haywa ngising parek ing dalan, kambung dening lumaku amisuh ta ya, kaki, nini, bapa, babu, kapapasan daha samah padesana denta, yata nimitanta daridra dahat, tan pamangguh sekul saupang, garem sauku, pangupadrawani kaki lawan nini, yata temahania mahala sawala denta, tumimpalaken gela-gela awakta. Nahan dayanta rumaksa wisaya mijil sakeng silit.
8.b. dan kata-kata manis saja yang akan diucapkan. Demikianlah sepatutnya engkau menjaga keinginan yang keluar dari mulut.
Jihwendriya adalah lidah, fungsinya untuk merasakan yang enak dan yang tidak enak. Engkau akan senang jika makan makanan yang enak, itu sebabnya tidak mengeluarkan kata-kata yang tidak enak, berpikir yang tidak menyenangkan.
Janganlah engkau berprilaku “makaladesa” lihatlah Sanghyang Trikayaparisudha, dan apabila engkau ingat pada nasehatku, maka akan sirnalah kata-kata yang tidak baik itu, sebaliknya akan keluarlah kata-kata lembut lagi manis. Demikianlah hendaknya engkau menjaga keinginan yang keluar dari lidah.
Panindriya adalah tangan, fungsinya menepuk, menepis, menuding, juga untuk membelai perempuan dijalan, dihutan, dikebun, dipesanggrahan, ditempat tidur, baik (perempuan) rendahan, sedang maupun yang utama. Denda yang dikenakan terhadap orang yang mengambil perempuan yang sudah bersuami adalah hukuman mati sebagai ganjarannya. Maka tahulah engkau jika demikian, engkau ibarat menikmati penderitaan, karena itu upayakanlah (sanghyang trikayaparisudha). Padendriya adalah kaki, fungsinya untuk menerjang, akilusu angratakaken. Janganlah engkau demikian, jika duduk dalam kumpulan orang banyak. Bila dalam keadaan tidak enak (kakimu) lalu engkau hendak meluruskan kaki karena terasa kaku dan engkau merasa tidak enak bila merubah posisi kaki, (bila engkau hendak merubah posisi kaki) maka sebaiknya engkau menyampaikan kepada semua orang (yang ada disekitarnya) sebagai suatu perbuatan yang sangat baik. (hal ini perlu) untuk menjaga keinginan yang datang dari kaki. Paywindriya adalah anus, fungsinya untuk pletus, buang air besar. Janganlah engkau pletus ditempat berkumpulnya orang banyak,apalagi pada saat mendapat pelajaran dari sang guru. Jangan buang air besar didekat jalan, bila tercium oleh orang yang lewat maka akan memakilah ia, maka kakek, nenek, ayah, ibu, akan menjadi kesakitan oleh perbuatanmu itu. Itulah yang akan menjadikan engkau teramat miskin, sebiji nasi dan sebutir garampun akan sulit didapatkan karena (akibat) kutukan kakek dan nenek (mu). Karenanya upayakanlah pengendalian keinginan yang datangnya dari anus.
9.b. Pastendriya, nga., baga - purus, wisayania angeyehi, amelecing, angalap
laranganing ararangan, nguniweh tan pajana sira kabeh, nahan dayanta rumaksa wisaya mijilssakeng purus-baga.
Wikindriya, nga., kulit, wisayania anandang, anganggo, alembut lawan akasap, sinandang kadi enak, alembut stri ayu, apanas lawan matis, suka yan angrasa lembut, sanget duka yan angrasa akasap matis, metu sabda tan abecik, karanga, makambekta ambek moha, makangulahta makala desa, wetning hyunta asing alembut, mangapanes lawan atis, haywa kita mangkana, tolihen ta sanghyang trikaparisudha. Yan kitatutur ri pawekas mami malit ikang manah,sambega ring ujar amanis, nahan dayanta rumaksa ikang wisaya mijil sakeng kulit.
9.b. Pastendriya adalah venis dan vagina, fungsinya untuk kencing, amelecing, mengambil perempuan lain, apalagi tanpa sepengetahuan orang banyak. Demikianlah sepatutnya kaum usahakan pengendalian keinginan yang datangnya dari venis dan vagina.
Wakindriya adalah kulit, fungsinya untuk menggunakan pakaian yang kasar atau yang halus. (yang halus) enak digunakan, lembut seperti wanita cantik, panas dan dingin.
Senang bila bila merasakan yang kasar dan dingin, akan menyebabkan keluar kata-kata yang tidak enak didengar, sebagai akibat ketamakan pikiranmu. Itu sebabnya engkau berpikir “makaladesa”, ini disebabkan oleh karena pikiranmu selalu terpaut pada setiap yang lembut, panas dan dingin.
Hendaknya engkau jangan demikian. Lihatlah Sanghyang Trikayaparisudha, dan apabila engkau teringat pada nasehatku maka akan kecillah pikiranmu yang seperti itu, sehingga menjadi teringat pada kata-kata yang manis.
Demikianlah sepatutnya engkau menjaga keinginan yang timbul dari kulit.
Disalin ke huruf Latin dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh: Shri Danu Dharma Patapan, Tilem Kadasa, 24 April 2009
=======
"Your Hand On Works But Your Heart On God "
=======
kenget dening silayukti sabda rahayu, ambek tan kaselan geleh mijil pawitraning sanghyang dharma. Yan mangkana, apan ikang sekul tan pasawa, maiwak tan pagogo, sinembah dening padania wang manusa, tan ucapan ika kamutahan; ndan nguniweh kawiryan. Sama-sama sidha kapangguh denta matangnian kayatnakena Sanghyang Trikayaparisudha, ndia ta sang sewaka dharma mangkana ling sang pandita, ndia ta patakoning ala lawan ayu, sabda tan patut ikang mahala, sabda rahayu ikang rahayu, samangkana linganta, anakku, hana sanghyang dasasila nga, ika ta patakonan ala ayuning ulah sabda lawanambek, ndia ta lwirnia nihan, srota, grane, pani, pada, paayu, pasta, tuak, nahan ikang dua sapuluh siki, pada tunggal wisayania ika,
7.a. (tidak lain adalah) prilaku, ucapan yang baik, pikiran yang tenang dan bersih/cemerlang yang mana itu adalah perwujudan Sanghyang Dharma. Ingat pada prilaku yang benar, ucapan yang benar, pikiran yang tidak ternodai oleh kekotoran, kesemuanya itu lahir dari kesucian Sanghyang Dharma. Bila demikian, itu bagaikan nasi (maiwak tan pagogo), dihormati oleh orang sesamanya. Itu tidak lagi diucapkan semuanya. Apalagi tentang kemuliaan, kesemuanya akan engkau peroleh, karenanya perhatikanlah Sanghyang Trikayaparisudha. Kenapa orang yang menuntut ilmu harus demikian kata sang pendeta, karena ia adalah tempat untuk menanyakan yang baik dan yang buruk, kata-kata yang tak patut adalah kata-kata yang jelek, kata-kata yang baik adalah ucapan yang menyenangkan. Demikian dengarkanlah olehmu, anakku. Kemudian ada yang disebut Sanghyang Dasasila yang merupakan tempat untuk mempertanyakan baik buruknya prilaku, ucapan dan pikiran. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut: srota, grana, pani, pada, payu, pasta, tuak. Demikianlah keduapuluh satu itu masing-masing mempunyai fungsi.
7.b. ndia ta pratekania, patunggalaning wisayania / sugianta maka linganta sapara
nihan. Caksuindria, nga mata, wisayania tuminggaling ala-ayu, suka yan tuminggaling ayu, duka yan tuminggaling mala. Ya ta etunta yan ngujaraken sabda tan enak karenga. Makaulah makala desa, makmbek tan ambek mohita, wetning runtarining ala ayu ; muwang ilinta ring kang ala ayu, kalingania haywa ta mangkana ; tolihen ta sanghyang trikayaparisudha, menget pwa kita ring pawekas mami, ilang hyunta ring ala ayu, ulikta ring kang ala malit ikang manah, sambega ujar amanis nahan dayanta rumaksa ikang wisaya, mijil sakeng mata. Srotendriya, nga, karna, wisayania ngrenga sabda aganal alit, mangkakaken tan pakenaki pisuh-pisih, upata, haywa kita sengituli pisuhen kita tan walesan, delen kita tan walesa kita usap-usapan. Kalingania ayu sanghyang trikayaparisudha, kayanakena, menget pwa kita ring
7.b. Bagaimana perincian fungsi masing-masing maka dengarkanlah dengan baik-baik penjelasan berikut. Caksuindriya adalah mata, fungsinya untuk melihat yang baik atau buruk. Biasanya orang senang melihat yang baik dan tidak senang jika melihat yang tidak baik. Itulah yang menyebabkan kamu mengucapkan kata-kata yang tidak enak didengar. Sebagai prilaku “makaladesa” yang memikirkan yang tidak menyenangkan pikiran karena tidak tahu akan baik dan buruk, karenanya janganlah demikian, lihatlah Sanghyang Trikayaparisudha, ingatlah engkau pada nasehatku, maka akan sirnalah keinginanmu pada hal-hal baik atau buruk. Carilah percik kecil dari keburukan yang ada pada pikiran, ingatlah akan ucapan yang manis sebagai upayamu menjaga keinginan yang datang dari mata. Srotendriya adalah telinga, fungsinya adalah untuk mendengarkan kata-kata yang halus atau keras, kaanya (maka) orang tidak senang pada makian, sumpah, jangan marah. Bila engkau dimaki, engkau jangan membalas, lihat dan jangan engkau membalas, maka engkau akan menjadi bersih. Kesimpulannya, ingatlah keutamaan dari Sanghyang Trikayaparisudha. Engkau harus teringat pula pada nasehatku,
8.a. Pawekaas mami ilang krodanta / renga sabda mahala; muwang hyunta renga
sabda rahayu, malit ikang manah sambega ujar amanis, nahan dayanta rumaksa ikang wisaya mijil sakeng talingan. Granendriya, nga, irung,, wisayan ika angambung ganda abo lawan wangi, enak tang manah angambung kang wangi, tan enak mangambung kang abo.
Haywa ta mangkana tolihen ta ayu sanghyang trikayaparisudha. Yan menget kita ri pawekas mami ilang hyunta kang sawangi, muwang melikta ring abo malit ikang manah, sambega ujar amanis nahan dayanta rumaksa wisaya mijil sakeng irung.
Wakindriya, nga, cangkem, wisayania angucap, yekidaya larangan temen; yang ikang wang tan wruh angiring tutuknia, sabdania ayo salah ujar, mojar rahayu juga muwang ambehaning gunanta, kalinggania ayu sanghyang tri kayaparisudha. Kayatnakenanta; yan kita atutur ri pawekas mami, ilang ikang sabda tan yukti malit.
8.a. maka akan sirnalah kemarahanmu bila mendengar kata-kata yang baik, maka keinginan akan menjadi semakin mengecil karena ingat kata-kata yang manis. Demikianlah upayamu untuk mengendalikan keinginan yang datang dari telinga.
Granendriya adalah hidung, fungsinya untuk mencium bau yang busuk atau harum. Pikiran akan senang bila mencium bau wangi, akan tidak senang bila mencium bau yang busuk.
Hendaknya janganlah demikian, perhatikanlah keutamaan Sanghyang Trikayaparisudha. Apabila engkau ingat akan nasehatku, maka akan hilanglah keinginanmu pada bau yang harum, demikian pula bencimu kepada bau busuk. Maka pikiran akan menjadi semakin kecil (karena) ingat pada kata-kata manis.
Demikianlah usahamu untuk menjaga keinginan yang muncul dari hidung. Wakindriya adalah mulut, fungsinya adalah untuk berkata-kata. Ini patut betul-betul dikendalikan. Apabila orang tidak tahu menjaga mulutnya, kata-katanya akan tidak terkontrol (salah), sebaiknya berkatalah yang benar. Kesimpulannya, perhatikanlah kemuliaan Sanghyang Trikayaparisudha. Dan jika engkau ingat pada nasehatku, maka tidak akan ada kata-kata bohong (darimu), maka akan menjadi kecillah tendensi dari kata-kata itu,
8.b. ikang sabda manahnia, /manis kengonang ikang sabda, nahan dayanta rumaksa
wisaya mijil sakeng tutuk.
Jihwendriya, nga. Ilat, wisayania angrasani enak lawan tan enak, suka kita yan amangan enak, yata karana tan angujar tan enak karenga, makambek tang ambek mohia, mangulah makala desa haywa ta kita mangkana, tolihen ta sanghyang trikaya parisudha, yan kita atutur ri pawekas mami, ilang sabda tan ayukti malit ikang sabda manohara, nahan dayanta rumaksa ikang wisaya mijil sakeng ilat.
Panindriya, nga, tangan, wisayania anepak, anampial, anudingi, makadi amet rasa ulanjar ring alas, ring kubuan, ring pangason, ring paturuan, kang nista madiamutama, ikang danda tinibaken ring wang, angalap ikang stri larangan, danda pati ika sasanania ; wruh pwa kita yan mangkana, lwir papa kabukti denta, nyata matangian prihen.
Padenriya, nga, suku, kawisayania andedel, akilusus angrantakaken, haywa kita mangkana, yan alungguh ring pasamuaning wang akweh, yan akesel pwa kita aren akodo-kodo pwa sukunia, jaming tambak aku, yoganam tan yogya tan kilusuha mahyunta sira, sapucapana ring jana kabeh, yata matangian sulaksana ya magilaha ta kita, nahan dayanta rumaksa ikang wisaya mijil sakeng suku. Paywindriya, nga, silit, wisayania mangentuti, mangising, haywa kita mangentuti ring pasamuaning wong kabeh, nguniweh kala sumewake sang guru, haywa ngising parek ing dalan, kambung dening lumaku amisuh ta ya, kaki, nini, bapa, babu, kapapasan daha samah padesana denta, yata nimitanta daridra dahat, tan pamangguh sekul saupang, garem sauku, pangupadrawani kaki lawan nini, yata temahania mahala sawala denta, tumimpalaken gela-gela awakta. Nahan dayanta rumaksa wisaya mijil sakeng silit.
8.b. dan kata-kata manis saja yang akan diucapkan. Demikianlah sepatutnya engkau menjaga keinginan yang keluar dari mulut.
Jihwendriya adalah lidah, fungsinya untuk merasakan yang enak dan yang tidak enak. Engkau akan senang jika makan makanan yang enak, itu sebabnya tidak mengeluarkan kata-kata yang tidak enak, berpikir yang tidak menyenangkan.
Janganlah engkau berprilaku “makaladesa” lihatlah Sanghyang Trikayaparisudha, dan apabila engkau ingat pada nasehatku, maka akan sirnalah kata-kata yang tidak baik itu, sebaliknya akan keluarlah kata-kata lembut lagi manis. Demikianlah hendaknya engkau menjaga keinginan yang keluar dari lidah.
Panindriya adalah tangan, fungsinya menepuk, menepis, menuding, juga untuk membelai perempuan dijalan, dihutan, dikebun, dipesanggrahan, ditempat tidur, baik (perempuan) rendahan, sedang maupun yang utama. Denda yang dikenakan terhadap orang yang mengambil perempuan yang sudah bersuami adalah hukuman mati sebagai ganjarannya. Maka tahulah engkau jika demikian, engkau ibarat menikmati penderitaan, karena itu upayakanlah (sanghyang trikayaparisudha). Padendriya adalah kaki, fungsinya untuk menerjang, akilusu angratakaken. Janganlah engkau demikian, jika duduk dalam kumpulan orang banyak. Bila dalam keadaan tidak enak (kakimu) lalu engkau hendak meluruskan kaki karena terasa kaku dan engkau merasa tidak enak bila merubah posisi kaki, (bila engkau hendak merubah posisi kaki) maka sebaiknya engkau menyampaikan kepada semua orang (yang ada disekitarnya) sebagai suatu perbuatan yang sangat baik. (hal ini perlu) untuk menjaga keinginan yang datang dari kaki. Paywindriya adalah anus, fungsinya untuk pletus, buang air besar. Janganlah engkau pletus ditempat berkumpulnya orang banyak,apalagi pada saat mendapat pelajaran dari sang guru. Jangan buang air besar didekat jalan, bila tercium oleh orang yang lewat maka akan memakilah ia, maka kakek, nenek, ayah, ibu, akan menjadi kesakitan oleh perbuatanmu itu. Itulah yang akan menjadikan engkau teramat miskin, sebiji nasi dan sebutir garampun akan sulit didapatkan karena (akibat) kutukan kakek dan nenek (mu). Karenanya upayakanlah pengendalian keinginan yang datangnya dari anus.
9.b. Pastendriya, nga., baga - purus, wisayania angeyehi, amelecing, angalap
laranganing ararangan, nguniweh tan pajana sira kabeh, nahan dayanta rumaksa wisaya mijilssakeng purus-baga.
Wikindriya, nga., kulit, wisayania anandang, anganggo, alembut lawan akasap, sinandang kadi enak, alembut stri ayu, apanas lawan matis, suka yan angrasa lembut, sanget duka yan angrasa akasap matis, metu sabda tan abecik, karanga, makambekta ambek moha, makangulahta makala desa, wetning hyunta asing alembut, mangapanes lawan atis, haywa kita mangkana, tolihen ta sanghyang trikaparisudha. Yan kitatutur ri pawekas mami malit ikang manah,sambega ring ujar amanis, nahan dayanta rumaksa ikang wisaya mijil sakeng kulit.
9.b. Pastendriya adalah venis dan vagina, fungsinya untuk kencing, amelecing, mengambil perempuan lain, apalagi tanpa sepengetahuan orang banyak. Demikianlah sepatutnya kaum usahakan pengendalian keinginan yang datangnya dari venis dan vagina.
Wakindriya adalah kulit, fungsinya untuk menggunakan pakaian yang kasar atau yang halus. (yang halus) enak digunakan, lembut seperti wanita cantik, panas dan dingin.
Senang bila bila merasakan yang kasar dan dingin, akan menyebabkan keluar kata-kata yang tidak enak didengar, sebagai akibat ketamakan pikiranmu. Itu sebabnya engkau berpikir “makaladesa”, ini disebabkan oleh karena pikiranmu selalu terpaut pada setiap yang lembut, panas dan dingin.
Hendaknya engkau jangan demikian. Lihatlah Sanghyang Trikayaparisudha, dan apabila engkau teringat pada nasehatku maka akan kecillah pikiranmu yang seperti itu, sehingga menjadi teringat pada kata-kata yang manis.
Demikianlah sepatutnya engkau menjaga keinginan yang timbul dari kulit.
Disalin ke huruf Latin dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh: Shri Danu Dharma Patapan, Tilem Kadasa, 24 April 2009
=======
"Your Hand On Works But Your Heart On God "
=======
Katagori
Article
Monday, May 4, 2009
Konsepsi Ketuhanan Dalam Hinduisme (Siva Tattva)
Oleh : I Wayan Sudarma (Shri Danu D.P)
Om Swastyastu
Pendahuluan
Agama Hindu sebagaimana juga agama yang lainnya adalah agama yang monotheis, yaitu agama yang percaya dengan satu Tuhan Yang Maha Esa. Demikian juga konsep Ketuhanan dalam Agama Hindupun menunjukkan ajaran yang monistis, yaitu menganggap segala sesuatu itu berasal dari Tuhan dan dianggap sama dengan Tuhan.(Adiputra,1984: 85). Konsep kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa tercantum dalam kitab Veda, yaitu kitab suci Hindu yang merupakan Sruti, yakni wahyu dari Tuhan. Karena Veda adalah kitab suci, maka Veda itulah merupakan sumber pokok ajaran agama Hindu. Sebagaimana tercantum dalam kitab Manavadharmasastra II.6. sebagai berikut:
" Idanim dharma pramananyaha; Vedo' khilo dharmamulam Smrtisile ca tadvidam Acarascaiva sadhunam Atmanastutireva ca".
Seluruh pustaka suci Veda adalah sumber pertama dari pada Dharma, kemudian adat istiadat, dan lalu tingkah laku yang terpuji dari orang-orang budiman yang mendalami ajaran pustaka suci Veda, juga tata cara perikehidupan orang-orang suci, akhirnya kepuasan dari pribadi.( Pudja, dan Sudharta,1996: 62).
Selanjutnya Manavadharmasastra XII.95. menyebutkan:
" Ya veda vahyah smrtayo yasca kasca kudrstayah, sarvasta nisphalah pretya tamo nistha hitah smrtah".
Semua Smrti dan semua sistem filsafat yang rendah yang tidak berdasarkan Veda, tidak akan membawa pahala sesudah mati, karena dinyatakan didasarkan atas kegelapan.(Pudja, dan Sudharta,1996:741).
Berdasarkan kutipan yang pertama di atas, secara tegas dinyatakan Vedalah sumber ajaran agama Hindu. Filsafat atau Tattva adalah salah atu aspek ajaran agama Hindu, maka filsafat atau tattva itupun sumber pertamanya adalah Veda, dan Smrti. Demikian pula berdasarkan kutipan yang kedua, jelaslah bahwa semua sistem filsafat yang ada juga mempunyai makna sama dengan tattwa yang bersumber pada Veda dan Smrti, jika tidak bersumber pada Veda dan Smrti tidak akan memberi pahala.
Dilihat dari sejarah pertumbuhan seluruh Veda itu di mana pengembangan sistimatikanya tidak saja dilihat dari segi fungsi dan penggunaannya saja tetapi juga dilihat dari aspek bentuk kejadiannya. Dalam hal ini ada tiga hal dalam Veda, yaitu:
1. Kelompok Mantra, yaitu: Rgveda, Samaveda, Yajurveda, dan Atharvaveda.
2. Kelompok Brahmana, yaitu kelompok kitab Sruti yang merupakan penjelasan pokok untuk tiap-tiap mantra, khusus di bidang yajna atau karma. Karena itu kelompok ini disebut kelompok Karma Kanda.
3. Kelompok Upanisad atau Aranyaka, yaitu: yang merupakan kelompok ketiga yang fungsi dan kedudukannya sama denga kitab Brahmana hanya saja khusus di bidang pemahaman Ketuhanan Yang Maha Esa saja. Oleh karena itu kitab ini merupakan kitab rahasia (Rahasya Jñana), yang paling penting dan merupakan kitab Jñana Kanda.( Pudja, 1983-1984: 36).
Dari ketiga kelompok Veda ini yang menjadi sumber pembahasan Filsafat/ Tattwa adalah Jñana Kanda. Sistem filsafat yang mengakui otoritas Veda, banyaknya enam aliran yang disebut Sad Darsana. Darsana adalah istilah yang umum untuk menunjuk sistem filsafat India. Kata ini diturunkan dari urat kata drs yang berarti memandang. Maka Darsana berarti pandangan terhadap sesuatu. Sehingga Sad Darsana berarti enam sistem pandangan terhadap sesuatu. Mereka mempunyai perbedaan pandangan akan satu kebenaran. Dalam hal ini bukan kebenaran itu yang berbeda-beda melainkan hanya caranya yang berbeda di dalam memandang sesuatu. Semua sistem filsafat ini percaya dengan adanya hukum karma, punarbhawa, dharma dan moksa. Ajaran-ajaran ini ditulis dalam bahasa Sanskerta dalam bentuk sutra yaitu suatu bentuk rumus-rumus dalam kalimat-kalimat yang pendek. Tujuan penulisan yang demikian adalah untuk memudahkan menghafalkannya dan mengulanginya waktu guru mengajarkanya kepada para muridnya. Sad Darsana, yaitu:
1. Saṁkhya : Menurut tradisi yang mula-mula mengajarkan ajaran Saṁkhya ialah Rsi Kapila. Saṁkhya mengajarka ajaran yang sistematis tentang proses perkembangan kejadian alam semesta.
2. Yoga : Pendiri ajaran ini adalah Rsi Patanjali. Yoga mengajarkan latihan mengendalikan badan dan pikiran untuk mencapai tujuan terakhir yang disebut samadhi. Ajaran Patanjali lebih dikenal dengan Yoga Sutra Patanjali, yang meliputi delapan tahapan dalam yoga yang disebut Astangga Yoga.
3. Nyaya : Pendiri ajaran ini adalah Rsi Gotama. Kadang-kadang beliau juga memakai Aksapada atau Dirghatapa. Pokok ajaran Nyaya adalah logika (Tarka Vada).
4. Vaisesika : Pendirinya adalah Rsi Kanada. Beliau juga terkenal dengan nama Kanabhaksaka. Vaisesika mengajarkan tentang pengetahuan yang menuntut orang untuk realisasi sang diri.
5. Mimamsa : Ajaran Mimamsa didirikan oleh Rsi Jaimini. Ajaran ini mengajarkan tentang dasar-dasar ajaran dharma, lebih menekankan kepada ritual dan etika dari pada ajaran filsafat.
6. Vedanta : Vedanta artinya akhir dari Veda. Ajaran ini disebut juga Uttara Mimamsa Vedanta, merupakan puncak filsafat India yang berdasarkan atas ajaran Upanisad. Pokok ajaran Vedanta ialah membicarakan hubungan antara Tuhan dengan dunia, antara Atma dengan Paramatma. Tokoh pendiri Vedanta adalah Rsi Badrayana. Di dalam kitab Bhagavadgita,Vedanta disebut Brahma Sutra.(Sura,1984:13).
Sedangkan sistem filsafat yang ada di Bali disebut dengan Tattva. Kata Tattva itu berasal dari bahasa Sanskerta yang dapat diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan kebenaran atau kenyataan. Dalam lontar-lontar di Bali kata Tattva inilah yang dipakai untuk mengatakan kebenaran itu. Karena dalam memandang kebenaran itu berbeda-beda, maka kebenaran itu tampaknya juga berbeda-beda, sesuai dengan segi memandangnya, walaupun kebenaran itu tetap satu adanya. Lontar-lontar yang memuat tentang Tattva adalah: Bhuvana Koṣa, Bhuvana Samksepa, Jñana Siddhānta dan ada juga yang langsung memakai nama Tattva, seperti: Ganapati Tattva, Vṛhaspati Tattva, Tattva Jñana, dan lain sebagainya. Yang pada dasarnya semua lontar itu mengandung ajaran Śivaistis. Sebab kita ketahui agama Hindu di Bali mendapat pengaruh yang sangat kuat dari aliran Śiva Siddhānta.
Dari semua sistem filsafat India yang paling banyak memberikan pengaruh terhadap sistem Tattva di Bali adalah ajaran Saṁkhya, Yoga dan Vedanta. Sistem filsafat Saṁkhya dan Yoga sering pula dijadikan satu istilah yaitu Saṁkhya Yoga. Kedua sistem ini sangat jelas memberi pengaruh pada sistem Tattva di Bali. Yang mana hal ini dapat kita jumpai dalam Aji Saṁkhya dengan konsepsi dualistisnya yaitu Purusa dan Prakerti yang dianggap sebagai awal dari segala-galanya. Hal ini mudah diterima oleh bangsa Indonesia umumnya dan orang-orang Bali khususnya karena hal itu telah ada yang merupakan suatu kepercayaan asli. Seperti alam bawah (bumi) dengan alam atas (langit), baik (ayu) dengan buruk (ala), laki dengan perempuan dan kaja dengan kelod. (Subagia, 1981: 75). Hanya saja Saṁkhya ajarannya bersifat Nir Isvara Saṁkhya, yaitu tidak membicarakan masalah Tuhan.
Sedangkan filsafat Yoga menerima secara mutlak ajaran Saṁkhya yang banyaknya 25 asas unsur dasar (tattvas), yaitu: Purusa, Prakrti, Mahat, Ahamkara, Manas, Panca Budhindrya, Panca Karmendrya, Panca Tan Matra, dana Panca Maha Bhuta. Sesudah diambil oleh Yoga menjadi 26 asas dasar (tattvas), yakni dengan tambahan Isvara (Sa Isvara Saṁkhya), itulah sebabnya disebut dengan Saṁkhya Yoga. Maka jelaslah dalam filsafat Saṁkhya Yoga adalah timbul konsep 2 + 1, yaitu: Purusa-Prakrti + Isvara.( Kempers, 1977: 68). Maksudnya adalah Isvara atau Tuhan itulah sebagai sumber yang menciptakan Purusa dan Prakrti. Konsepsi ini akan lebih jelas pada sistem filsafat Vedanta. Vedanta adalah suatu sistem yang membicarakan bagian Veda yang tergolong Jñana Kanda yakni Upanisad. Kitab-kitab Upanisad sendiri juga disebut Vedanta yang berisi maksud Veda yang sebenarnya.
Yang jelas bahwa kitab-kitab Upanisad, mengandung suatu ajaran yang monistis dan absolutis, maksudnya adalah suatu ajaran yang mengajarkan bahwa segala sesuatu yang bermacam-macam ini berasal dari satu asas, satu realitas yang tertinggi. Realitas ini tidak kelihatan, bebas dari segala hubungan, tidak terbagi-bagi, tidak dapat ditembus oleh akal manusia, tetapi yang menyelami segala sesuatu. Realitas inilah yang disebut Brahman.
Di dalam kitab-kitab Upanisad ada beberapa penjelasan tentang Brahman, yaitu:
1. Brahman adalah Deva tertinggi, yang lebih kuasa dari para Dewata yang lain, Deva yang menjadi Devanya para Devata atau Tuhan segala yang diper-Tuhan. Pada kitab Kena Upanisad ada disebutkan, bahwa Deva Agni dan Deva Vayu tidak dapat berbuat apa-apa tanpa Brahman. Jadi api akan dapat membakar dan angin akan dapat menghamburkan segala sesuatu kalau mendapat kekuatan dari Brahman. Disebutkan sebagai berikut:
" Sa brahmeti hovaca, brahmano va etad vijaya mahiyadhvam iti, tato haiva vidamcakara brahman iti". (Kena Upanisad IV. 1).
Ia menjawab; Ini adalah Brahman, untuk meyakiniNya dan dalam kejayaan Brahman, sesungguhnya menyebabkan engkau jaya seperti itu. Hanya dengan demikianlah Ia mengenal Brahman itu. (Pudja, 1983: 32).
Berdasarkan ungkapan di atas jelaslah Brahman adalah sumber segala kekuatan, bagaikan api baru dapat membakar kalau ada kekuatan dari Brahman, Demikian juga angin baru dapat meniup sesuatu kalau telah mendapat kekuatan dari Brahman.
2. Brahman adalah sumber dari Devata. Di dalam kitab Taitiriya Upanisad, disebutkan bahwa Deva Mitra, Varuna, Aryaman, Indra, Brhaspati, Visnu adalah Brahman yang kelihatan. Jadi sebenarnya hanya ada satu Deva, yaitu Brahman. Di dalam kitab Isa Upanisad.1, disebutkan:
" Isavasyam idam sarvam yat kinca jagatyam jagat, tena tyaktena bhunjitha ma grdhah kasya svid dhanam".
Sesungguhnya apa yang ada di dunia ini, yang berjiwa ataupun yang tidak berjiwa, dikendalikan oleh Isa ( Yang Maha Esa), oleh karena itu orang hendaknya menerima apa yang perlu dan diperuntukkan baginya dan tidak menginginkan milik orang lain.( Pudja,1990:31).
Berdasarkan kutipan tersbut di atas jelaslah Tuhan pencipta segala-galanya, oleh karena itu Deva adalah ciptaan Tuhan.
3. Di samping pandangan seperti tersebut di atas ada juga pandangan yang lain, bahwa Brahman ada yang transendent, yang berada di luar alam semesta dan ada juga Brahman yang imanent yang berada dalam alam semesta dan di dalam diri manusia.
Pandangan inilah yang diikuti oleh tokoh Vedanda Sankara, mereka memandang ada dua bentuk (rupa) dari Brahman, yaitu bentuk atau rupa yang lebih tinggi, yang tanpa sifat, yang disebut Para Brahman atau Nirguna Brahman dan bentuk atau rupa yang lebih rendah yang memiliki sifat-sifat, yang disebut Apara Brahman atau Saguna Brahman. Tetapi pada hakekatnya Brahman itu adalah tanpa sifat, tanpa bentuk dan tidak ada pembatasan. Agar Tuhan dapat dipuja, disembah, maka Brahman akan menjadi lebih rendah, yaitu dengan mengenakan pembatasan-pembatasan. Sekalipun demikian bahwa pembatasan-pembatasan itu adalah khayalan.
Jadi Brahman tidaklah rangkap dan tanpa hubungan dengan apapun dan hanya Brahman yang ada. Tetapi kita harus mengakui bahwa berdasarkan kepercayaan kita Brahmanlah yang menciptakan dunia ini, tetapi khayalan kita, sebenarnya dunia ini adalah penampakan Brahman yang khayali. Pada hakekatnya dunia ini adalah karena maya. Dengan adanya maya inilah kita melihat Para Brahman sebagai Apara Brahman atau Nirguna Brahman sebagai Saguna Brahman. Maka yang disebut saguna Brahman adalah Brahman yang bersatu dengan maya, yang menjadi sebab adanya dunia beserta isinya (Hadiwijono,1971: 82).
Bertitik tolak dari konsepsi tersebut di atas jelaslah bahwa ajaran agama Hindu menganut faham monotheis dan juga bersifat monistis. Monotheis adalah Percaya dengan adanya Yang Maha Esa dan monistis berarti bahwa Tuhan sebagai asal mula dari segala-galanya dan semuanya itu adalah Tuhan juga.
Sebagaimana penulis uraikan di atas, bahwa sistem Tattva di Bali mendapat pengaruh yang besar dari sistem filsafat Saṁkhya Yoga dan Vedanta. Demikian juga halnya agama Hindu di Bali lebih banyak dipengaruhi oleh Śiva Siddhānta. Dalam ajaran Śiva Siddhānta memandang para deva , seperti : Brahma, Visnu, Isvara, Mahadeva, dan sebagainya dihormati dan dipuja sesuai dengan tempat dan fungsinya, karena deva-deva itu tiada lain dari manifestasi Śiva (Tuhan), sesuai dengan fungsinya yang berbeda. Sebutan Śiva Siddhānta kalau ditinjau dari arti kata Siddhānta berarti kesimpulan, maka ajaran Śiva Siddhānta merupakan kesimpulan dari ajaran Śivaisme. Kitab Vedanya dikenal dengan nama Veda Sirah, adalah petikan-petikan dari Veda yang dipetik adalah pokok-pokoknya (sirah = kepala). Maka Veda Sirah berarti pokok-pokok Veda atau inti sari Veda. Vrhaspati Tattva adalah salah satu sistem filsafat peninggalan Śiva Siddhānta di Bali yang menguraikan konsepsi Ketuhanan. Yang mana pokok ajarannya berkiblat kepada Rva Bhineda Tattva dan Tri Purusa Tattva. Yang dimaksud dengan Rva Bhineda Tattva adalah unsur utama yang menjadikan adanya segala sesuatu, yakni Cetana yang merupakan unsur kesadaran dan Acetana yang merupakan unsur ketidaksadaran. Sedangkan Tri Purusa Tattva adalah pertemuan kedua unsur Rva Bhineda, yang menciptakan adanya Paramaśiva, Sadaśiva dan Śivātma. Paramaśiva, Sadaśiva dan Śivātma pada hakekatnya adalah Brahman Yang Esa. Maka untuk membayangkan Tuhan yang serba abstrak dan sebagai metode dalam rangka menumbuhkan keyakinan adanya Tuhan, maka dibuatlah sistem-sistem pengajaran sesuai dengan pandangan manusia.
Paramaśiva adalah Cetana/Purusa atau kejiwaan/kesadaran yang tertinggi (Tuhan), suci, murni, sama sekai belum kena pengaruh maya (Acetana/Pradhana/Prakrti) ,tenang, tentram, tanpa aktivitas, kekal abadi, tiada berawal tiada berakhir, ada di mana-mana, maha Tahu, tidak pernah lupa, maka dari itu diberi gelar Nirguna Brahman (Para Brahman). Dalam Vrhaspati Tattva 7-10, disebutkan:
"Paramaśiva tattva ngaranya:
Aprameyam anirdesyam anaupamyam anamayam suksmam
sarvagatam sarvatam nityam dhruvam avyayam isvaram". (Vrhaspati Tattva.7)
"Aprameyam anantatvad anirdesyam alaksanam anaupamyam
anadrsyam vimalatvad anamayam". (Vrhaspati Tattva.8)
"Sukamanca anupalabhyatvad vyapakatvacca sarvagam
nityakarena sunyatvam acalatvacca tad dhruvam". (Vrhaspati Tattva.9)
"Avyayam paripurnatvad saumyabhavam tathaiva ca
Siwa tattvam idam uktam sarvatah parisamsthitam". (Vrhaspati Tattva.10)
Yang disebut Paramaśiva Tattva adalah:
Isvara yang tak dapat diukur, tak dapat diberi jenis, tak dapat diumpamakan, tak dapat dikotori, maha halus, ada di mana-mana, kekal-abadi, senantiasa langgeng, tak pernah berkurang.
Tak dapat diukur, karena Dia tak terbatas, tak dapat diberi jenis, karena dia tak punya sifat, tak dapat diumpamakan, karena tiada sesuatu seperti Dia, tak dapat dikotori, karena Dia tak bernoda.
Maha gaib, karena Dia tak dapat diamati, berada di mana-mana, karena Dia menembus segalanya, kekal-abadi, karena Dia suci murni, dan selalu langgeng karena Dia tak bergerak.
Tak pernah berkurang, karena Dia maha sempurna, begitu pula keadaannya tengan, inilah Śiva Tattva (Paramaśiva Tattva) yang menempati segala-galanya.
(Radeg Astra, 1968: 45-46).
Dengan memperhatikan kutipan tersebut, maka telah terbayang dalam pikiran kita bahwa Tuhan Paramaśiva adalah Tuhan dalam keadaan suci murni, maka tidak ada sesuatu yang dapat mempengaruhi Beliau, sehingga sukarlah untuk memberi pembatasan dan memang Beliau tak terbatas, telah ada tanpa ada yang mengadakan, tiada berawal dan tiada berakhir (Anadi-Ananta), tiada terpengaruh oleh waktu, tempat dan keadaan.
Itulah sebabnya kita sebagai manusia yang seba terbatas yang hidup atas dasar materi, maka sulitlah untuk memberikan pembatasan terhadap Tuhan yang serba tak terbatas.
Tuhan Sadaśiva adalah Tuhan yang sudah dipengaruhi oleh maya (Acetana), maka Beliau mulai mempunyai sifat, fungsi dan aktivitas, dalam keadaan ini beliau diberi gelar Sadaśiva yang Saguna Brahman. Dalam Tattva di Bali Tuhan Sadaśivalah yang paling banyak mendapat perhatian yang disebut dengan Hyang Widhi dengan bermacam-macam gelar dan manifestasi. Demikian juga dibuatkan nyasa tertentu sebagai simbol Tuhan. Maka itu penulis akan lebih banyak mengungkapkan tentang aspek kemahakuasaan Tuhan dalam fungsi sebagai Sadaśiva.
Śivātma adalah unsur kejiwaan yang lebih banyak dipengaruhi oleh maya, jika dibandingkan dengan Sadaśiva, di mana kesadaranNya telah mulai kena pengaruh lupa (Avidya). Oleh karena itu unsur kesadaran aslinya yang murni dan lagi telah terpecah-pecah, serta menjadi segala makhluk, khususnya manusia, maka akhirnya di sebut Atma.
Jadi Atma adalah merupakan bagian dari Śivātma yang fungsinya memberikan energi atau tenaga pada jasmani pada setiap makhluk, sehingga sering disebut Jiwatma.
Dalam konsepsi Sadaśiva, dimana Beliau telah kena pengaruh maya, sehingga Beliau mulai mempunyai sifat, fungsi, dan aktivitas. Namun pengaruh maya belumlah begitu besar, hanya berupa 'guna' atau hukum kemahakuasaanNya, yang sering disebut dengan Sakti/Prakrti, sehingga kesadaran aslinya yang suci murni masih jauh lebih besar. Oleh karena itulah beliau dapat mengatur Utpeti, Sthiti, dan Pralina dari alam semesta dengan segala isinya atau Bhuvana Agung dan Bhuvana Alit.
Adapun sifat kemahakuasaan Tuhan Sadaśiva, meliputi : Guna, Sakti, dan Swabhawa. Guna meliputi tiga sifat, yang mulia, yakni:
1. Dura Darsana, yaitu: brpenglihatan serba jauh dan tembus pandang.
2. Dura Sarvajna, yaitu: berpengetahuan serba sempurna.
3. Dura Sravana, yaitu: berpendengaran serba jauh.
Yang disebut Sakti Tuhan Sadaśiva ,ada empat macam (Cadu Sakti), yaitu:
1. Vibhu Sakti, yaitu: Beliau berada pada segala yang ada dan amat gaib.
2. Prabhu Sakti, yaitu: Beliau maha kuasa, menguasai segala-galanya, serta tidak ada yang memadai kekuasaanNya.
3. Jñana Sakti, yaitu: Beliau maha tahu, sumber segala kebijaksnaan, sehingga dapat mengetahui segala-galanya.
4. Kriya Sakti, yaitu: Beliau maha karya, beliau dapat mengerjakan segalanya dengan sempurna.
Sedangkan yang dimaksud dengan Asta Aisvarya, adalah delapan sifat kemahakuasaan Tuhan Sadaśiva, yaitu:
1. Anima, yakni: bersifat sangat kecil sekecil-kecilnya.
2. Laghima, yakni: bersifat maha ringan.
3. Mahima, yakni: bersifat maha besar.
4. Prapti, yakni: bersifat dapat mencapai segala-galanya.
5. Prakamya, yakni: Bersifat berhasil dalam segalayang dikehendaki.
6. Isitva,yakni: bersifat merajai segala-galanya.
7. Vasitva, yakni: bersifat maha kuasa.
8. Yatrakamavasayitva, yakni: bersifat dapat memenuhi segala keinginan dan maha kuasa
Demikian hakekat kemahakuasaan Tuhan Sadaśiva yang meliputi Guna, Sakti dan Swabhawanya. Dengan sifat kemahakuasaannya itulah Tuhan Sadaśiva melakukan kridaNya dalam mengatur keharmonisan alam dengan segala isinya, menurut ketentuan waktu utpeti, sthiti, dan pralina. Secara simbolik Beliau dianggap bersinggasana di tengah-tengan bunga teratai yang disebut dengan Padmasana. Kata Padmasana berasal dari kata Padma yang artinya bunga, dan asana yang berarti sikap atua tempat. Maka Padmasana berarti sikap atau tempat duduk yang berwujud bunga teratai.
Bunga teratai adalah bunga yang dianggap suci dan sering dipakai persembahan dalam upacara keagamaan. Hal ini mungkin didasarkan atas suatu logika, bahwa kendatipun bunga teratai itu tumbuh dalam lumpur, namun bunganya tidak pernah dilekati oleh lumpur. Maka iti bung teratai disebut juga dengan pangkaja yang berarti tumbuh dalam lumpur. Demikian pula sikap bunga teratai ujungnya selalu muncul ke atas air dan kelopak bunganya senantiasa menunjukkan arah kiblatnya mata angin (Pudja, dkk., 1983: 44).
Padmasana dalam masyarakat Bali diwujudkan dalam bentuk bangunan suci, yang puncaknya terbuka seperti kursi dan berisi perlengkapan Bedawangnala, Naga Anantabhoga, sebagai dasar, penumpu dan pengikat bangunan suci itu. Bangunan Padmasana secara khusus dipergunakan sebagai media untuk melakukan pemujaan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud Sadaśiva.
Di samping itu pula juga lukisan Padma yang berdaun delapan, yang disebut dengan Padama Asta Dala. Lukisa itu dianggap simbol Bhuvana Agung dan Bhuvana Alit dan dipakai perlengkapan upacara serta dipakai sarana untuk mendapat kekuatan.(Sugriwa, 1978: 11).
Tuhan Sadaśiva dalam menggerakkan hukum kemahakuasaanNya beliau diwujudkan dalam bentuk 'Mantratma' yaitu jiwa dari doa mantra, yang dalam bentuk aksara diwujudkan dengan OM. Dalam Lontar Vrhaspati Tattva. 8, disebutkan:
" Sawyaparah, bhatara Sadaśiva sira, hana padmasana pinaka palungguhanira, aparan ikang padmasana ngaranya, saktinira, sakti ngaran: Vibhu Sakti, Prabhu Sakti, Kriya Sakti, Jñana Sakti, nahan yang Cadhu Sakti………………………………… nahan yang Cadhu Sakti ngaranya Padmasana, ri madyanngkana ta palungguhanira bhatara, kalanirab pasarira Mantratma ta sira, mantra pinaka sarira nira, Isana murdhaya, Tatpurusa waktraya, Aghora hredaya, Bhamadeva guhyaya, Sadyojata murtiya, AUM pinaka sarira bhatara"
Tuhan Sadaśiva dalam persatuan dengan hukum kemahakuasaanNya. Padmasana sebagai singgasana Beliau. Apakah yang dimaksud dengan Padmasana? Yaitu Sakti Beliau, yakni: Vibhu Sakti, Prabhu Sakti, Jñana Sakti, Kriya Sakti, itulah yang disebut dengan Cadhu Sakti…………………………………Cadhu Sakti itulah yang disimbolkan berupa Padma, di tengah-tengahnya itulah singgasana Tuhan Sadasiwa, pada waktu Beliau berbadankan Mantratma, mantra adalah badan Beliau, Isana sebagai kepala, Tatpurusa sebagai muka, Aghora sebagai hati, Bhamadeva sebagai anggota rahasia dan Sadyojata sebagai bentukNya dan AUM adalah sebagai wujud Beliau.
Berdasarkan kutipan di atas bahwa Tuhan Sadaśiva dalam wujud aksara, dilambangkan dengan AUM atau OM dan dalam hubungannya dengan Mantratma, ada lima bagiannya, yaitu: Isana, Tatpurusa, Aghora, Bhamadeva, Sadyojata. Kelimanya ini disebut Panca Brahma atau Panca Devata. Sedangkan menurut kepercayaan umat Hindu di Bali, masing-masing deva itu mempunyai nama lain, yakni: Isvara (Sadyojata), Brahma (Bhamadeva), Mahadewa (Tatpurusa), Visnu (Aghora), Śiva (Isana).
Demikian Tuhan Sadaśiva dalam menggerakkan dan mengatur keharmonisan alam dengan segala isinya. Menurut ketentuan waktu pada utpeti, sthiti dan pralina. Dalam halini Beliau diberi gelar Sanghyang Tri Murti, Brahma sebagai pencipta, Visnu sebagai pemelihara, dan Śiva sebagai pengembali yang ada. Sadaśiva dalam wujud Tri Murti disebut berbadankan Omkara. Omkara itu terdiri tiga (3) huruf, yaitu A-kara adalah simbol Tuhan Sadaśiva dalam fungsinya sebagai pencipta/Brahma, huruf U-kara adalah simbolis dari Tuhan Sadaśiva dalam fungsinya sebagai pemelihara/Visnu. Dan huruf MA adalah simbolis Tuhan Sadaśiva dalam fungsinya sebagai pelebur/Śiva. Huruf A-kara, U-kara,dan MA-kara disebut Tri Aksara.
Panca Brahma Vijaksara sering disertai dengan Panca DevataNya, yang dihubungkan dengan kiblat mata angin, sehingga masing-masing dianggap menguasai mata angin, yakni:
1. SA (SAM) - Sadyojata (Isvara) di Timur.
2. BA (BAM) -Bhamadeva (Brahma) di Selatan.
3. TA (TAM) - Tatpurusa (Mahadeva) di Barat.
4. A (AM) -Aghora (Visnu) di Utara.
5. I (IM) - Isana (Śiva) di Tengah.
6. NA (NAM) - Mahesvara di Tenggara.
7. MA (MAM) -Rudra di Barat Daya.
8. SI (SIM) - Sankara di Barat Laut.
9. VA (WAM) - Sambhu di Timur Laut
10. YA (YAM) - Śiva di Tengah.
Kalimat NA,MA,SI,VA,YA (namaŚivaya), berarti sujud kepada Śiva. Nama berasal dari kata Nam kelas I, yang artinya menghormat, Śivaya = dative, singulris, maskulin/neutrum/feminim, yang menyatakan untuk atau kepada Deva Śiva.
Dengan demikian maka dalam doa mantra, sering kita dapati SA, BA, TA, A, I, NA, MA, SI, VA, YA, yang disebut dengan Dasaksara. Jika ditambah dengan OM, maka dinamakan dengan "EKA DASAKSARA", yang dianggap Bija Mantra.
Jadi Dasaksara inilah yang merupakan perwujudan Sadaśiva, sebagai inti kekuatan Veda Mantra. Demikian juga sepuluh Deva yang menguasai masing-masing kiblat dan merupakan personifikasi dari Sakti dan SwabhawaNya Tuhan Sadaśiva, pada waktu beliau mengatur keharmonisan alam semesta dengan segala isinya.
Namun perlu dipahami bahwa Tuhan itu sebenarnya adalah Esa. Dibedakan sedemikian rupa, seperti Paramaśiva, Sadaśiva, dan Śivātma, adalah berdasarkan atas sifat, status, dan fungsi, aktivitasNya masing-masing, serta ada atau tidaknya pengaruh Maya/Prakerti yang menjadi sumber materi dan psykhis dari alam semesta dengan segala isinya. Atau dapat dikatakan bahwa Paramaśiva itu adalah Tuhan yang suci murni, Nirguna dan Niskala Brahma (Paramaśiva adalah Impersonal God without attributes). Sadaśiva adalah Tuhan yang telah bersatu dengan unsur acetana/prakerti/Swayaparah, yang maha kuasa, maha karya, sehinga disebut Saguna Brahma (Sadaśiva adalah Personal God with attributes). Sedangkan Śivātma adalah Tuhan yang memberikan tenaga hidup terhadap semua isi alam, khususnya manusia, besrta makhluk lain, sehingga disebut Jivatma (Śivātma adalah Personal God as individual Soul).
Jadi kesimpulan dari konsepsi Ketuhanan yang telah diuraiakn di atas, maka Saṁkhya mengajarkan hanya dua unsur, yaitu Purusa merupakan unsur kesadaran,dan Pradhana/Prakerti merupakan unsur ketidaksadaran, yang ada dengan sendirinya. Maka ajaran Saṁkhya bersifat Dualistis Nontheistis.
Demikian juga dalam ajaran Vrhaspati Tattva belumlah jelas menyebutkan dari mana asal Acetana dan Cetana itu. Tetapi dalam sistem filsafat Yoga dijelaskan bahwa Purusa (Cetana) dan Prakerti (Acetana) itu bersumber pada Tuhan, karena dalam sistem Yoga mengenal sistem Dualistis Theistis.
Jadi ajaran ini sudah jelas mengkui bahwa Tuhan/Brahman, sebagai asal segala-galanya dan merupakan asas tertinggi. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan dalam Bhagavadgita VII.6 :
"Etad-yonini bhutani sarvanity upadharaya aham krtsnasya jagatah prabhavah pralayas tatha".
Semua makhluk yang diciptakan bersumber dari kedua alam tersebut. Ketahuilah dengan pasti bahwa Aku adalah sumber perwujudan dan peleburan segala sesuatu di dunia ini, baik yang bersifat material maupun yang bersifat rohani. ( Prabhupada, 2000:372).
Berdasarkan uraian di atas tentang Konsepsi Ketuhanan menurut ajaran Tattwa di Bali, dapat diperinci sebagai berikut:
1. Konsepsi 2 + 1, yaitu Purusa dan Pradhana adalah bersumber pada Brahman, yang disimbulkan dengan akasara ANG ( ) , AH ( ) dan OM ( ) sebagai sumbernya.
2. Konsepsi 3 + 1, yaitu Brahma , Visnu, Śiva adalah bersumber pada Brahman, dengan simbol aksara: ANG ( ), UNG ( ), MANG ( ) dan OM ( ).
3. Konsepsi 5 + 1, yaitu: Sadyojata, Bhamadeva, Tatpurusa, Aghora, dan Isana bersumber pada Brahman, dengan aksara suci: SA ( ), BA ( ), TA ( ), A ( ), I ( ) dan Om ( ).
4. Konsepsi 10 + 1, yaitu: Ekadasaksara yang bersumber pada Brahman, dengan aksara suci: SA, BA, TA, A, I, NA, MA, SI, VA, YA, ( , , , , , , ,
, , ) dan OM ( )
C. Filosofis Omkara Dan Dasaksara Dalam Bhuvana Alit
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas bahwa Bhuwana Agung adalah sama dengan Bhuvana Alit. Yang dimaksud dengan Bhuvana Alit adalah tubuh semua makhluk, tetapi dalam penulisan ini terbatas pada diri manusia. Dalam kehidupan manusia dapat kita katakan terdiri dari dua unsur yaitu: jasmani dan jiwatma.
Jasmani manusia (badan wadag) adalah evolusi dari Panca Tan Matra atau Panca Maha Bhuta juga. Dari unsur Gandha (pertivi), menjadi tulang, daging, otot, kulit, urat, rambut, dan segala yang sifatnya padat dalam tubuh. Dari unsur Rasa (apah), menjadi: darah, serum, kelenjar, lendir dan segala yang cair. Dari unsur Rupa (teja), menjadi: temperatur/panas, yang terdapat dalam tubuh. Dari unsur Sparsa (bhayu), menjadi udara yang terdapat dalam tubuh. Dari unsur Sabda (akasa), menjadi benih suara.
Jasmani yang berasal dari Panca Maha Bhuta inilah yang disebut dengan badan kasar atau sthula sarira.( Hadiwijono,1971 : 66).
Bersamaan dengan terciptanya Sthula Sarira, maka seketika itu juga muncullah alam pikiran. Pada manusia alam pikiran itu adalah Buddhi, Manah, Ahamkara dan Indriya, demikian juga dengan Atma mulai memberikan tenaga hidup, sehingga Sthula Sarira dapat hidup dan berkembang, serta alam pikiran menjadi aktif sesuai dengan fungsinya. Buddhi adalah bagian dari alam pikiran, yang berfungsi untuk mengambil keputusan, karena mempunyai sifat kebajikan. Manah adalah bagian dari alam pikiran, yang berfungsi untuk menganalisa sesuatu. Ahamkara adalah bagian dari alam pikiran yang bersifat aku (egoistis). Buddhi, Manah, dan Ahamkara disebut dengan Tri Antah Karana, yang mewujudkan alat bathiniah atau badan halus yang disebut Suksma Sarira.( Hadiwijono,1971: 70).
Sedangkan Atma yang sebagai sumber tenaga hidup telah membawa badan dari tempat asalnya yang disebut Antahkarana Sarira (badan penyebab). Sehingga manusia mempunyai tiga lapisan badan, yaitu: Antahkarana Sarira, Suksma Sarira, dan Sthula Sarira.
Maka berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa sumber asal dari Bhuvana Agung dan Bhuvana Alit adalah sama.
Didalam tubuh manusia sebagai tempat/alat daripada alam pikiran untuk beraktivitas, disebut Golaka Indriya.
Golaka Indria itu terdiri dari 11 macam, yaitu:
1. Telinga untuk srotendriya.
2. Kulit untuk tvakindriya.
3. Mata untuk caksvindriya.
4. Lidah untuk jihvendriya.
5. Hidung ntuk Granendriya.
6. Mulut untuk Vakindriya.
7. Tangan untuk Panindriya.
8. Kaki untuk padendriya.
9. Dubur untuk Payvindriya.
10. Alat kelamin untuk upasthendriya.
11. Otak untuk rajendriya.(Transkripsi Lontar Vrhaspati Tattva, hal. 76).
Golaka dan Indriya pada dasarnya berbeda, akan tetapi tak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Golaka adalah tempat atau alat sedangkan Indriya adalah merupakan sifat. Dari kesebelas macam Indriya itu bersumber pada Manas dan oleh karena manas itulah Indriya dapat menikmati obyeknya (visaya), maka itulah manas sering disebut Rajendriya, yaitu raja dari semua indriya.
Disamping adanya Golaka dan Indriya pada tubuh manusia terdapat pula 10 pembuluh yang disebut Nadi. Kesepuluh Nadi itu adalah: Ida, Pinggala, Sumsuma, Gandhari, Hasti, Jihva, Dusa, Yasa, Alambusa, Kuhu, dan Sangkhini. Di antara ke-10 Nadi itu ada tiga yang terpenting, yakni: Ida, Pinggala,dan Sumsuma, yang terdapat pada tulang punggung, yang erat hubungannya dengan "Sapta Cakra", yaitu tujuh simpul syaraf, yang merupakan tempat dari kundalini. Kundalini itu adalah sumber kekuatan ilahi dan kebathinan.( Informan : Mahendra).
Sapta Cakra adalah tujuh simpul syaraf yang terdapat pada tulang punggung, yang disebut juga Sapta Padma, yaitu:
1. Muladhara Cakra, terletak pada dasar tulang punggung, di antara kemaluan dan lubang pantat.
2. Svadhisthana Cakra, terletak di dasar alat peranakan.
3. Manipura Cakra, terletak pada tulang punggug sejajar dengan pusar (nabhi).
4. Anahata Cakra, terletak pada tulang punggung sejajar dengan hulu hati.
5. Visudha Cakra, terletak pada tulang punggung sejajar dengan kerongkongan.
6. Ajna Cakra, terletak pada tulang punggung sejajar dengan Bhrumadya atau kening.
7. Sahasrara Cakra, tempatnya pada Śiva Dvara yaitu ubun-ubun. Cakra ini disebut juga Śivasthana/ Brahmarandra.
Cakra-cakra inilah merupakan tempat dari kundalini seseorang sudah hidup, maka ia akan bergerak ke atas dari Muladhara terus ke Sahasrara Cakra. Untuk menghidupkan kundalini, menurut ajaran oda harus melalui Pranayama, yaitu: pengaturan napas (prana) yang teratur dan sempurna dan dilanjutkan dengan Samadhi. Denag melaksanakan Pranayama yang teratur dan sempurna demikian juga Samadhi, maka kebahagiaan hidup akan dapt tercapai.
Jadi dasar untuk mencapai kebahagiaan itu adalah dengan pengaturan Prana, yaitu tenaga hidup yang timbul dari unsur material, setelah Atma memberikan kehidupan pada tubuh.
Prana juga disebut Vayu, yang menurut fungsinya ada sepuluh macam, yaitu: Prana, Apana, Samana, Udana, Vyana, Naga, Kurmara, Krekara, Devadatta, dan Dhananjaya. Prana fungsinya mengatur pernapasan, Apana fungsinya untuk mengatur pembenihan dan membuangkotora, Samana berfungsi untuk mengatur pencernaan, Udana berfungsi sebagai pengatur gerak dahi dan kelopak mata, Vyana berfungsi untuk mengatur gerak persendian, Naga fungsinya untuk mengempiskan perut, Kurmara berfungsi sebagai alat untuk menggetarkan badan, Krekara fungsinya untuk menguap dan Dhananjaya fungsinya untuk menciptakan suara. (Oka, 1969: 56).
Demikianlah keterangan-keterangan secara ringkas mengenai keadaan Bhuvana Alit, yang pada hakekatnya tidaklah berbeda dengan unsur-unsur yang mengadakan Bhuvana Agung.
Bhuvana Agung yang berada dalam keadaan sejahtera dan seimbang dilambangkan dengan Svastika atau Padma Asta Dala, demikian juga tubuh manusia (Bhuvana Alit).
Dalam Lontar Dasaksara, disebutkan:
"Bahwa tubuh manusia juga disebut "Brahma Pura" (singhasana Tuhan), yang dilambangkan dengan Dasaksara sebagai sthanaNya. SA tempatnya pada Papusuh (jantung), BA letaknya di Hati, TA tempatnya pada Ungsilan (ginjal), A tempatnya pada Nyali (empedu), I tempatnya pada bungkahing hati (pangkal hati), NA tempatnya pada Paparu (paru-paru), MA tempatnya pada Waduk Vredha (usus besar), SI tempatnya pada Limpa, Va tempatnya pada kakulungan atau ineban (Kerongkongan) dan YA tempatnya pada Tungtunging hati (ujung hati)". (Lontar keputusan Dasaksara, Lembar 1b).
Dalam Lontar Punggung Tiwas juga ada disebutkan sebagai berikut:
"Demikian juga Vijaksara-Vijaksara yang lain, seperti: Ekaksara (OM), tempatnya di Śiva Dvara (Polo Jati), Aksara Rvabhineda " AM" di mata kanan (ring netra tengen), "AH" di mata kiri (ring netra kiwa) dan Tryaksara tempatnya "AM" di kening kiri, "UM" di kening kanan dan "MAM " di sela-selanya kening.(Lontar Punggung Tiwas, Lembar 17a-b).
Om Swastyastu
Pendahuluan
Agama Hindu sebagaimana juga agama yang lainnya adalah agama yang monotheis, yaitu agama yang percaya dengan satu Tuhan Yang Maha Esa. Demikian juga konsep Ketuhanan dalam Agama Hindupun menunjukkan ajaran yang monistis, yaitu menganggap segala sesuatu itu berasal dari Tuhan dan dianggap sama dengan Tuhan.(Adiputra,1984: 85). Konsep kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa tercantum dalam kitab Veda, yaitu kitab suci Hindu yang merupakan Sruti, yakni wahyu dari Tuhan. Karena Veda adalah kitab suci, maka Veda itulah merupakan sumber pokok ajaran agama Hindu. Sebagaimana tercantum dalam kitab Manavadharmasastra II.6. sebagai berikut:
" Idanim dharma pramananyaha; Vedo' khilo dharmamulam Smrtisile ca tadvidam Acarascaiva sadhunam Atmanastutireva ca".
Seluruh pustaka suci Veda adalah sumber pertama dari pada Dharma, kemudian adat istiadat, dan lalu tingkah laku yang terpuji dari orang-orang budiman yang mendalami ajaran pustaka suci Veda, juga tata cara perikehidupan orang-orang suci, akhirnya kepuasan dari pribadi.( Pudja, dan Sudharta,1996: 62).
Selanjutnya Manavadharmasastra XII.95. menyebutkan:
" Ya veda vahyah smrtayo yasca kasca kudrstayah, sarvasta nisphalah pretya tamo nistha hitah smrtah".
Semua Smrti dan semua sistem filsafat yang rendah yang tidak berdasarkan Veda, tidak akan membawa pahala sesudah mati, karena dinyatakan didasarkan atas kegelapan.(Pudja, dan Sudharta,1996:741).
Berdasarkan kutipan yang pertama di atas, secara tegas dinyatakan Vedalah sumber ajaran agama Hindu. Filsafat atau Tattva adalah salah atu aspek ajaran agama Hindu, maka filsafat atau tattva itupun sumber pertamanya adalah Veda, dan Smrti. Demikian pula berdasarkan kutipan yang kedua, jelaslah bahwa semua sistem filsafat yang ada juga mempunyai makna sama dengan tattwa yang bersumber pada Veda dan Smrti, jika tidak bersumber pada Veda dan Smrti tidak akan memberi pahala.
Dilihat dari sejarah pertumbuhan seluruh Veda itu di mana pengembangan sistimatikanya tidak saja dilihat dari segi fungsi dan penggunaannya saja tetapi juga dilihat dari aspek bentuk kejadiannya. Dalam hal ini ada tiga hal dalam Veda, yaitu:
1. Kelompok Mantra, yaitu: Rgveda, Samaveda, Yajurveda, dan Atharvaveda.
2. Kelompok Brahmana, yaitu kelompok kitab Sruti yang merupakan penjelasan pokok untuk tiap-tiap mantra, khusus di bidang yajna atau karma. Karena itu kelompok ini disebut kelompok Karma Kanda.
3. Kelompok Upanisad atau Aranyaka, yaitu: yang merupakan kelompok ketiga yang fungsi dan kedudukannya sama denga kitab Brahmana hanya saja khusus di bidang pemahaman Ketuhanan Yang Maha Esa saja. Oleh karena itu kitab ini merupakan kitab rahasia (Rahasya Jñana), yang paling penting dan merupakan kitab Jñana Kanda.( Pudja, 1983-1984: 36).
Dari ketiga kelompok Veda ini yang menjadi sumber pembahasan Filsafat/ Tattwa adalah Jñana Kanda. Sistem filsafat yang mengakui otoritas Veda, banyaknya enam aliran yang disebut Sad Darsana. Darsana adalah istilah yang umum untuk menunjuk sistem filsafat India. Kata ini diturunkan dari urat kata drs yang berarti memandang. Maka Darsana berarti pandangan terhadap sesuatu. Sehingga Sad Darsana berarti enam sistem pandangan terhadap sesuatu. Mereka mempunyai perbedaan pandangan akan satu kebenaran. Dalam hal ini bukan kebenaran itu yang berbeda-beda melainkan hanya caranya yang berbeda di dalam memandang sesuatu. Semua sistem filsafat ini percaya dengan adanya hukum karma, punarbhawa, dharma dan moksa. Ajaran-ajaran ini ditulis dalam bahasa Sanskerta dalam bentuk sutra yaitu suatu bentuk rumus-rumus dalam kalimat-kalimat yang pendek. Tujuan penulisan yang demikian adalah untuk memudahkan menghafalkannya dan mengulanginya waktu guru mengajarkanya kepada para muridnya. Sad Darsana, yaitu:
1. Saṁkhya : Menurut tradisi yang mula-mula mengajarkan ajaran Saṁkhya ialah Rsi Kapila. Saṁkhya mengajarka ajaran yang sistematis tentang proses perkembangan kejadian alam semesta.
2. Yoga : Pendiri ajaran ini adalah Rsi Patanjali. Yoga mengajarkan latihan mengendalikan badan dan pikiran untuk mencapai tujuan terakhir yang disebut samadhi. Ajaran Patanjali lebih dikenal dengan Yoga Sutra Patanjali, yang meliputi delapan tahapan dalam yoga yang disebut Astangga Yoga.
3. Nyaya : Pendiri ajaran ini adalah Rsi Gotama. Kadang-kadang beliau juga memakai Aksapada atau Dirghatapa. Pokok ajaran Nyaya adalah logika (Tarka Vada).
4. Vaisesika : Pendirinya adalah Rsi Kanada. Beliau juga terkenal dengan nama Kanabhaksaka. Vaisesika mengajarkan tentang pengetahuan yang menuntut orang untuk realisasi sang diri.
5. Mimamsa : Ajaran Mimamsa didirikan oleh Rsi Jaimini. Ajaran ini mengajarkan tentang dasar-dasar ajaran dharma, lebih menekankan kepada ritual dan etika dari pada ajaran filsafat.
6. Vedanta : Vedanta artinya akhir dari Veda. Ajaran ini disebut juga Uttara Mimamsa Vedanta, merupakan puncak filsafat India yang berdasarkan atas ajaran Upanisad. Pokok ajaran Vedanta ialah membicarakan hubungan antara Tuhan dengan dunia, antara Atma dengan Paramatma. Tokoh pendiri Vedanta adalah Rsi Badrayana. Di dalam kitab Bhagavadgita,Vedanta disebut Brahma Sutra.(Sura,1984:13).
Sedangkan sistem filsafat yang ada di Bali disebut dengan Tattva. Kata Tattva itu berasal dari bahasa Sanskerta yang dapat diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan kebenaran atau kenyataan. Dalam lontar-lontar di Bali kata Tattva inilah yang dipakai untuk mengatakan kebenaran itu. Karena dalam memandang kebenaran itu berbeda-beda, maka kebenaran itu tampaknya juga berbeda-beda, sesuai dengan segi memandangnya, walaupun kebenaran itu tetap satu adanya. Lontar-lontar yang memuat tentang Tattva adalah: Bhuvana Koṣa, Bhuvana Samksepa, Jñana Siddhānta dan ada juga yang langsung memakai nama Tattva, seperti: Ganapati Tattva, Vṛhaspati Tattva, Tattva Jñana, dan lain sebagainya. Yang pada dasarnya semua lontar itu mengandung ajaran Śivaistis. Sebab kita ketahui agama Hindu di Bali mendapat pengaruh yang sangat kuat dari aliran Śiva Siddhānta.
Dari semua sistem filsafat India yang paling banyak memberikan pengaruh terhadap sistem Tattva di Bali adalah ajaran Saṁkhya, Yoga dan Vedanta. Sistem filsafat Saṁkhya dan Yoga sering pula dijadikan satu istilah yaitu Saṁkhya Yoga. Kedua sistem ini sangat jelas memberi pengaruh pada sistem Tattva di Bali. Yang mana hal ini dapat kita jumpai dalam Aji Saṁkhya dengan konsepsi dualistisnya yaitu Purusa dan Prakerti yang dianggap sebagai awal dari segala-galanya. Hal ini mudah diterima oleh bangsa Indonesia umumnya dan orang-orang Bali khususnya karena hal itu telah ada yang merupakan suatu kepercayaan asli. Seperti alam bawah (bumi) dengan alam atas (langit), baik (ayu) dengan buruk (ala), laki dengan perempuan dan kaja dengan kelod. (Subagia, 1981: 75). Hanya saja Saṁkhya ajarannya bersifat Nir Isvara Saṁkhya, yaitu tidak membicarakan masalah Tuhan.
Sedangkan filsafat Yoga menerima secara mutlak ajaran Saṁkhya yang banyaknya 25 asas unsur dasar (tattvas), yaitu: Purusa, Prakrti, Mahat, Ahamkara, Manas, Panca Budhindrya, Panca Karmendrya, Panca Tan Matra, dana Panca Maha Bhuta. Sesudah diambil oleh Yoga menjadi 26 asas dasar (tattvas), yakni dengan tambahan Isvara (Sa Isvara Saṁkhya), itulah sebabnya disebut dengan Saṁkhya Yoga. Maka jelaslah dalam filsafat Saṁkhya Yoga adalah timbul konsep 2 + 1, yaitu: Purusa-Prakrti + Isvara.( Kempers, 1977: 68). Maksudnya adalah Isvara atau Tuhan itulah sebagai sumber yang menciptakan Purusa dan Prakrti. Konsepsi ini akan lebih jelas pada sistem filsafat Vedanta. Vedanta adalah suatu sistem yang membicarakan bagian Veda yang tergolong Jñana Kanda yakni Upanisad. Kitab-kitab Upanisad sendiri juga disebut Vedanta yang berisi maksud Veda yang sebenarnya.
Yang jelas bahwa kitab-kitab Upanisad, mengandung suatu ajaran yang monistis dan absolutis, maksudnya adalah suatu ajaran yang mengajarkan bahwa segala sesuatu yang bermacam-macam ini berasal dari satu asas, satu realitas yang tertinggi. Realitas ini tidak kelihatan, bebas dari segala hubungan, tidak terbagi-bagi, tidak dapat ditembus oleh akal manusia, tetapi yang menyelami segala sesuatu. Realitas inilah yang disebut Brahman.
Di dalam kitab-kitab Upanisad ada beberapa penjelasan tentang Brahman, yaitu:
1. Brahman adalah Deva tertinggi, yang lebih kuasa dari para Dewata yang lain, Deva yang menjadi Devanya para Devata atau Tuhan segala yang diper-Tuhan. Pada kitab Kena Upanisad ada disebutkan, bahwa Deva Agni dan Deva Vayu tidak dapat berbuat apa-apa tanpa Brahman. Jadi api akan dapat membakar dan angin akan dapat menghamburkan segala sesuatu kalau mendapat kekuatan dari Brahman. Disebutkan sebagai berikut:
" Sa brahmeti hovaca, brahmano va etad vijaya mahiyadhvam iti, tato haiva vidamcakara brahman iti". (Kena Upanisad IV. 1).
Ia menjawab; Ini adalah Brahman, untuk meyakiniNya dan dalam kejayaan Brahman, sesungguhnya menyebabkan engkau jaya seperti itu. Hanya dengan demikianlah Ia mengenal Brahman itu. (Pudja, 1983: 32).
Berdasarkan ungkapan di atas jelaslah Brahman adalah sumber segala kekuatan, bagaikan api baru dapat membakar kalau ada kekuatan dari Brahman, Demikian juga angin baru dapat meniup sesuatu kalau telah mendapat kekuatan dari Brahman.
2. Brahman adalah sumber dari Devata. Di dalam kitab Taitiriya Upanisad, disebutkan bahwa Deva Mitra, Varuna, Aryaman, Indra, Brhaspati, Visnu adalah Brahman yang kelihatan. Jadi sebenarnya hanya ada satu Deva, yaitu Brahman. Di dalam kitab Isa Upanisad.1, disebutkan:
" Isavasyam idam sarvam yat kinca jagatyam jagat, tena tyaktena bhunjitha ma grdhah kasya svid dhanam".
Sesungguhnya apa yang ada di dunia ini, yang berjiwa ataupun yang tidak berjiwa, dikendalikan oleh Isa ( Yang Maha Esa), oleh karena itu orang hendaknya menerima apa yang perlu dan diperuntukkan baginya dan tidak menginginkan milik orang lain.( Pudja,1990:31).
Berdasarkan kutipan tersbut di atas jelaslah Tuhan pencipta segala-galanya, oleh karena itu Deva adalah ciptaan Tuhan.
3. Di samping pandangan seperti tersebut di atas ada juga pandangan yang lain, bahwa Brahman ada yang transendent, yang berada di luar alam semesta dan ada juga Brahman yang imanent yang berada dalam alam semesta dan di dalam diri manusia.
Pandangan inilah yang diikuti oleh tokoh Vedanda Sankara, mereka memandang ada dua bentuk (rupa) dari Brahman, yaitu bentuk atau rupa yang lebih tinggi, yang tanpa sifat, yang disebut Para Brahman atau Nirguna Brahman dan bentuk atau rupa yang lebih rendah yang memiliki sifat-sifat, yang disebut Apara Brahman atau Saguna Brahman. Tetapi pada hakekatnya Brahman itu adalah tanpa sifat, tanpa bentuk dan tidak ada pembatasan. Agar Tuhan dapat dipuja, disembah, maka Brahman akan menjadi lebih rendah, yaitu dengan mengenakan pembatasan-pembatasan. Sekalipun demikian bahwa pembatasan-pembatasan itu adalah khayalan.
Jadi Brahman tidaklah rangkap dan tanpa hubungan dengan apapun dan hanya Brahman yang ada. Tetapi kita harus mengakui bahwa berdasarkan kepercayaan kita Brahmanlah yang menciptakan dunia ini, tetapi khayalan kita, sebenarnya dunia ini adalah penampakan Brahman yang khayali. Pada hakekatnya dunia ini adalah karena maya. Dengan adanya maya inilah kita melihat Para Brahman sebagai Apara Brahman atau Nirguna Brahman sebagai Saguna Brahman. Maka yang disebut saguna Brahman adalah Brahman yang bersatu dengan maya, yang menjadi sebab adanya dunia beserta isinya (Hadiwijono,1971: 82).
Bertitik tolak dari konsepsi tersebut di atas jelaslah bahwa ajaran agama Hindu menganut faham monotheis dan juga bersifat monistis. Monotheis adalah Percaya dengan adanya Yang Maha Esa dan monistis berarti bahwa Tuhan sebagai asal mula dari segala-galanya dan semuanya itu adalah Tuhan juga.
Sebagaimana penulis uraikan di atas, bahwa sistem Tattva di Bali mendapat pengaruh yang besar dari sistem filsafat Saṁkhya Yoga dan Vedanta. Demikian juga halnya agama Hindu di Bali lebih banyak dipengaruhi oleh Śiva Siddhānta. Dalam ajaran Śiva Siddhānta memandang para deva , seperti : Brahma, Visnu, Isvara, Mahadeva, dan sebagainya dihormati dan dipuja sesuai dengan tempat dan fungsinya, karena deva-deva itu tiada lain dari manifestasi Śiva (Tuhan), sesuai dengan fungsinya yang berbeda. Sebutan Śiva Siddhānta kalau ditinjau dari arti kata Siddhānta berarti kesimpulan, maka ajaran Śiva Siddhānta merupakan kesimpulan dari ajaran Śivaisme. Kitab Vedanya dikenal dengan nama Veda Sirah, adalah petikan-petikan dari Veda yang dipetik adalah pokok-pokoknya (sirah = kepala). Maka Veda Sirah berarti pokok-pokok Veda atau inti sari Veda. Vrhaspati Tattva adalah salah satu sistem filsafat peninggalan Śiva Siddhānta di Bali yang menguraikan konsepsi Ketuhanan. Yang mana pokok ajarannya berkiblat kepada Rva Bhineda Tattva dan Tri Purusa Tattva. Yang dimaksud dengan Rva Bhineda Tattva adalah unsur utama yang menjadikan adanya segala sesuatu, yakni Cetana yang merupakan unsur kesadaran dan Acetana yang merupakan unsur ketidaksadaran. Sedangkan Tri Purusa Tattva adalah pertemuan kedua unsur Rva Bhineda, yang menciptakan adanya Paramaśiva, Sadaśiva dan Śivātma. Paramaśiva, Sadaśiva dan Śivātma pada hakekatnya adalah Brahman Yang Esa. Maka untuk membayangkan Tuhan yang serba abstrak dan sebagai metode dalam rangka menumbuhkan keyakinan adanya Tuhan, maka dibuatlah sistem-sistem pengajaran sesuai dengan pandangan manusia.
Paramaśiva adalah Cetana/Purusa atau kejiwaan/kesadaran yang tertinggi (Tuhan), suci, murni, sama sekai belum kena pengaruh maya (Acetana/Pradhana/Prakrti) ,tenang, tentram, tanpa aktivitas, kekal abadi, tiada berawal tiada berakhir, ada di mana-mana, maha Tahu, tidak pernah lupa, maka dari itu diberi gelar Nirguna Brahman (Para Brahman). Dalam Vrhaspati Tattva 7-10, disebutkan:
"Paramaśiva tattva ngaranya:
Aprameyam anirdesyam anaupamyam anamayam suksmam
sarvagatam sarvatam nityam dhruvam avyayam isvaram". (Vrhaspati Tattva.7)
"Aprameyam anantatvad anirdesyam alaksanam anaupamyam
anadrsyam vimalatvad anamayam". (Vrhaspati Tattva.8)
"Sukamanca anupalabhyatvad vyapakatvacca sarvagam
nityakarena sunyatvam acalatvacca tad dhruvam". (Vrhaspati Tattva.9)
"Avyayam paripurnatvad saumyabhavam tathaiva ca
Siwa tattvam idam uktam sarvatah parisamsthitam". (Vrhaspati Tattva.10)
Yang disebut Paramaśiva Tattva adalah:
Isvara yang tak dapat diukur, tak dapat diberi jenis, tak dapat diumpamakan, tak dapat dikotori, maha halus, ada di mana-mana, kekal-abadi, senantiasa langgeng, tak pernah berkurang.
Tak dapat diukur, karena Dia tak terbatas, tak dapat diberi jenis, karena dia tak punya sifat, tak dapat diumpamakan, karena tiada sesuatu seperti Dia, tak dapat dikotori, karena Dia tak bernoda.
Maha gaib, karena Dia tak dapat diamati, berada di mana-mana, karena Dia menembus segalanya, kekal-abadi, karena Dia suci murni, dan selalu langgeng karena Dia tak bergerak.
Tak pernah berkurang, karena Dia maha sempurna, begitu pula keadaannya tengan, inilah Śiva Tattva (Paramaśiva Tattva) yang menempati segala-galanya.
(Radeg Astra, 1968: 45-46).
Dengan memperhatikan kutipan tersebut, maka telah terbayang dalam pikiran kita bahwa Tuhan Paramaśiva adalah Tuhan dalam keadaan suci murni, maka tidak ada sesuatu yang dapat mempengaruhi Beliau, sehingga sukarlah untuk memberi pembatasan dan memang Beliau tak terbatas, telah ada tanpa ada yang mengadakan, tiada berawal dan tiada berakhir (Anadi-Ananta), tiada terpengaruh oleh waktu, tempat dan keadaan.
Itulah sebabnya kita sebagai manusia yang seba terbatas yang hidup atas dasar materi, maka sulitlah untuk memberikan pembatasan terhadap Tuhan yang serba tak terbatas.
Tuhan Sadaśiva adalah Tuhan yang sudah dipengaruhi oleh maya (Acetana), maka Beliau mulai mempunyai sifat, fungsi dan aktivitas, dalam keadaan ini beliau diberi gelar Sadaśiva yang Saguna Brahman. Dalam Tattva di Bali Tuhan Sadaśivalah yang paling banyak mendapat perhatian yang disebut dengan Hyang Widhi dengan bermacam-macam gelar dan manifestasi. Demikian juga dibuatkan nyasa tertentu sebagai simbol Tuhan. Maka itu penulis akan lebih banyak mengungkapkan tentang aspek kemahakuasaan Tuhan dalam fungsi sebagai Sadaśiva.
Śivātma adalah unsur kejiwaan yang lebih banyak dipengaruhi oleh maya, jika dibandingkan dengan Sadaśiva, di mana kesadaranNya telah mulai kena pengaruh lupa (Avidya). Oleh karena itu unsur kesadaran aslinya yang murni dan lagi telah terpecah-pecah, serta menjadi segala makhluk, khususnya manusia, maka akhirnya di sebut Atma.
Jadi Atma adalah merupakan bagian dari Śivātma yang fungsinya memberikan energi atau tenaga pada jasmani pada setiap makhluk, sehingga sering disebut Jiwatma.
Dalam konsepsi Sadaśiva, dimana Beliau telah kena pengaruh maya, sehingga Beliau mulai mempunyai sifat, fungsi, dan aktivitas. Namun pengaruh maya belumlah begitu besar, hanya berupa 'guna' atau hukum kemahakuasaanNya, yang sering disebut dengan Sakti/Prakrti, sehingga kesadaran aslinya yang suci murni masih jauh lebih besar. Oleh karena itulah beliau dapat mengatur Utpeti, Sthiti, dan Pralina dari alam semesta dengan segala isinya atau Bhuvana Agung dan Bhuvana Alit.
Adapun sifat kemahakuasaan Tuhan Sadaśiva, meliputi : Guna, Sakti, dan Swabhawa. Guna meliputi tiga sifat, yang mulia, yakni:
1. Dura Darsana, yaitu: brpenglihatan serba jauh dan tembus pandang.
2. Dura Sarvajna, yaitu: berpengetahuan serba sempurna.
3. Dura Sravana, yaitu: berpendengaran serba jauh.
Yang disebut Sakti Tuhan Sadaśiva ,ada empat macam (Cadu Sakti), yaitu:
1. Vibhu Sakti, yaitu: Beliau berada pada segala yang ada dan amat gaib.
2. Prabhu Sakti, yaitu: Beliau maha kuasa, menguasai segala-galanya, serta tidak ada yang memadai kekuasaanNya.
3. Jñana Sakti, yaitu: Beliau maha tahu, sumber segala kebijaksnaan, sehingga dapat mengetahui segala-galanya.
4. Kriya Sakti, yaitu: Beliau maha karya, beliau dapat mengerjakan segalanya dengan sempurna.
Sedangkan yang dimaksud dengan Asta Aisvarya, adalah delapan sifat kemahakuasaan Tuhan Sadaśiva, yaitu:
1. Anima, yakni: bersifat sangat kecil sekecil-kecilnya.
2. Laghima, yakni: bersifat maha ringan.
3. Mahima, yakni: bersifat maha besar.
4. Prapti, yakni: bersifat dapat mencapai segala-galanya.
5. Prakamya, yakni: Bersifat berhasil dalam segalayang dikehendaki.
6. Isitva,yakni: bersifat merajai segala-galanya.
7. Vasitva, yakni: bersifat maha kuasa.
8. Yatrakamavasayitva, yakni: bersifat dapat memenuhi segala keinginan dan maha kuasa
Demikian hakekat kemahakuasaan Tuhan Sadaśiva yang meliputi Guna, Sakti dan Swabhawanya. Dengan sifat kemahakuasaannya itulah Tuhan Sadaśiva melakukan kridaNya dalam mengatur keharmonisan alam dengan segala isinya, menurut ketentuan waktu utpeti, sthiti, dan pralina. Secara simbolik Beliau dianggap bersinggasana di tengah-tengan bunga teratai yang disebut dengan Padmasana. Kata Padmasana berasal dari kata Padma yang artinya bunga, dan asana yang berarti sikap atua tempat. Maka Padmasana berarti sikap atau tempat duduk yang berwujud bunga teratai.
Bunga teratai adalah bunga yang dianggap suci dan sering dipakai persembahan dalam upacara keagamaan. Hal ini mungkin didasarkan atas suatu logika, bahwa kendatipun bunga teratai itu tumbuh dalam lumpur, namun bunganya tidak pernah dilekati oleh lumpur. Maka iti bung teratai disebut juga dengan pangkaja yang berarti tumbuh dalam lumpur. Demikian pula sikap bunga teratai ujungnya selalu muncul ke atas air dan kelopak bunganya senantiasa menunjukkan arah kiblatnya mata angin (Pudja, dkk., 1983: 44).
Padmasana dalam masyarakat Bali diwujudkan dalam bentuk bangunan suci, yang puncaknya terbuka seperti kursi dan berisi perlengkapan Bedawangnala, Naga Anantabhoga, sebagai dasar, penumpu dan pengikat bangunan suci itu. Bangunan Padmasana secara khusus dipergunakan sebagai media untuk melakukan pemujaan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud Sadaśiva.
Di samping itu pula juga lukisan Padma yang berdaun delapan, yang disebut dengan Padama Asta Dala. Lukisa itu dianggap simbol Bhuvana Agung dan Bhuvana Alit dan dipakai perlengkapan upacara serta dipakai sarana untuk mendapat kekuatan.(Sugriwa, 1978: 11).
Tuhan Sadaśiva dalam menggerakkan hukum kemahakuasaanNya beliau diwujudkan dalam bentuk 'Mantratma' yaitu jiwa dari doa mantra, yang dalam bentuk aksara diwujudkan dengan OM. Dalam Lontar Vrhaspati Tattva. 8, disebutkan:
" Sawyaparah, bhatara Sadaśiva sira, hana padmasana pinaka palungguhanira, aparan ikang padmasana ngaranya, saktinira, sakti ngaran: Vibhu Sakti, Prabhu Sakti, Kriya Sakti, Jñana Sakti, nahan yang Cadhu Sakti………………………………… nahan yang Cadhu Sakti ngaranya Padmasana, ri madyanngkana ta palungguhanira bhatara, kalanirab pasarira Mantratma ta sira, mantra pinaka sarira nira, Isana murdhaya, Tatpurusa waktraya, Aghora hredaya, Bhamadeva guhyaya, Sadyojata murtiya, AUM pinaka sarira bhatara"
Tuhan Sadaśiva dalam persatuan dengan hukum kemahakuasaanNya. Padmasana sebagai singgasana Beliau. Apakah yang dimaksud dengan Padmasana? Yaitu Sakti Beliau, yakni: Vibhu Sakti, Prabhu Sakti, Jñana Sakti, Kriya Sakti, itulah yang disebut dengan Cadhu Sakti…………………………………Cadhu Sakti itulah yang disimbolkan berupa Padma, di tengah-tengahnya itulah singgasana Tuhan Sadasiwa, pada waktu Beliau berbadankan Mantratma, mantra adalah badan Beliau, Isana sebagai kepala, Tatpurusa sebagai muka, Aghora sebagai hati, Bhamadeva sebagai anggota rahasia dan Sadyojata sebagai bentukNya dan AUM adalah sebagai wujud Beliau.
Berdasarkan kutipan di atas bahwa Tuhan Sadaśiva dalam wujud aksara, dilambangkan dengan AUM atau OM dan dalam hubungannya dengan Mantratma, ada lima bagiannya, yaitu: Isana, Tatpurusa, Aghora, Bhamadeva, Sadyojata. Kelimanya ini disebut Panca Brahma atau Panca Devata. Sedangkan menurut kepercayaan umat Hindu di Bali, masing-masing deva itu mempunyai nama lain, yakni: Isvara (Sadyojata), Brahma (Bhamadeva), Mahadewa (Tatpurusa), Visnu (Aghora), Śiva (Isana).
Demikian Tuhan Sadaśiva dalam menggerakkan dan mengatur keharmonisan alam dengan segala isinya. Menurut ketentuan waktu pada utpeti, sthiti dan pralina. Dalam halini Beliau diberi gelar Sanghyang Tri Murti, Brahma sebagai pencipta, Visnu sebagai pemelihara, dan Śiva sebagai pengembali yang ada. Sadaśiva dalam wujud Tri Murti disebut berbadankan Omkara. Omkara itu terdiri tiga (3) huruf, yaitu A-kara adalah simbol Tuhan Sadaśiva dalam fungsinya sebagai pencipta/Brahma, huruf U-kara adalah simbolis dari Tuhan Sadaśiva dalam fungsinya sebagai pemelihara/Visnu. Dan huruf MA adalah simbolis Tuhan Sadaśiva dalam fungsinya sebagai pelebur/Śiva. Huruf A-kara, U-kara,dan MA-kara disebut Tri Aksara.
Panca Brahma Vijaksara sering disertai dengan Panca DevataNya, yang dihubungkan dengan kiblat mata angin, sehingga masing-masing dianggap menguasai mata angin, yakni:
1. SA (SAM) - Sadyojata (Isvara) di Timur.
2. BA (BAM) -Bhamadeva (Brahma) di Selatan.
3. TA (TAM) - Tatpurusa (Mahadeva) di Barat.
4. A (AM) -Aghora (Visnu) di Utara.
5. I (IM) - Isana (Śiva) di Tengah.
6. NA (NAM) - Mahesvara di Tenggara.
7. MA (MAM) -Rudra di Barat Daya.
8. SI (SIM) - Sankara di Barat Laut.
9. VA (WAM) - Sambhu di Timur Laut
10. YA (YAM) - Śiva di Tengah.
Kalimat NA,MA,SI,VA,YA (namaŚivaya), berarti sujud kepada Śiva. Nama berasal dari kata Nam kelas I, yang artinya menghormat, Śivaya = dative, singulris, maskulin/neutrum/feminim, yang menyatakan untuk atau kepada Deva Śiva.
Dengan demikian maka dalam doa mantra, sering kita dapati SA, BA, TA, A, I, NA, MA, SI, VA, YA, yang disebut dengan Dasaksara. Jika ditambah dengan OM, maka dinamakan dengan "EKA DASAKSARA", yang dianggap Bija Mantra.
Jadi Dasaksara inilah yang merupakan perwujudan Sadaśiva, sebagai inti kekuatan Veda Mantra. Demikian juga sepuluh Deva yang menguasai masing-masing kiblat dan merupakan personifikasi dari Sakti dan SwabhawaNya Tuhan Sadaśiva, pada waktu beliau mengatur keharmonisan alam semesta dengan segala isinya.
Namun perlu dipahami bahwa Tuhan itu sebenarnya adalah Esa. Dibedakan sedemikian rupa, seperti Paramaśiva, Sadaśiva, dan Śivātma, adalah berdasarkan atas sifat, status, dan fungsi, aktivitasNya masing-masing, serta ada atau tidaknya pengaruh Maya/Prakerti yang menjadi sumber materi dan psykhis dari alam semesta dengan segala isinya. Atau dapat dikatakan bahwa Paramaśiva itu adalah Tuhan yang suci murni, Nirguna dan Niskala Brahma (Paramaśiva adalah Impersonal God without attributes). Sadaśiva adalah Tuhan yang telah bersatu dengan unsur acetana/prakerti/Swayaparah, yang maha kuasa, maha karya, sehinga disebut Saguna Brahma (Sadaśiva adalah Personal God with attributes). Sedangkan Śivātma adalah Tuhan yang memberikan tenaga hidup terhadap semua isi alam, khususnya manusia, besrta makhluk lain, sehingga disebut Jivatma (Śivātma adalah Personal God as individual Soul).
Jadi kesimpulan dari konsepsi Ketuhanan yang telah diuraiakn di atas, maka Saṁkhya mengajarkan hanya dua unsur, yaitu Purusa merupakan unsur kesadaran,dan Pradhana/Prakerti merupakan unsur ketidaksadaran, yang ada dengan sendirinya. Maka ajaran Saṁkhya bersifat Dualistis Nontheistis.
Demikian juga dalam ajaran Vrhaspati Tattva belumlah jelas menyebutkan dari mana asal Acetana dan Cetana itu. Tetapi dalam sistem filsafat Yoga dijelaskan bahwa Purusa (Cetana) dan Prakerti (Acetana) itu bersumber pada Tuhan, karena dalam sistem Yoga mengenal sistem Dualistis Theistis.
Jadi ajaran ini sudah jelas mengkui bahwa Tuhan/Brahman, sebagai asal segala-galanya dan merupakan asas tertinggi. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan dalam Bhagavadgita VII.6 :
"Etad-yonini bhutani sarvanity upadharaya aham krtsnasya jagatah prabhavah pralayas tatha".
Semua makhluk yang diciptakan bersumber dari kedua alam tersebut. Ketahuilah dengan pasti bahwa Aku adalah sumber perwujudan dan peleburan segala sesuatu di dunia ini, baik yang bersifat material maupun yang bersifat rohani. ( Prabhupada, 2000:372).
Berdasarkan uraian di atas tentang Konsepsi Ketuhanan menurut ajaran Tattwa di Bali, dapat diperinci sebagai berikut:
1. Konsepsi 2 + 1, yaitu Purusa dan Pradhana adalah bersumber pada Brahman, yang disimbulkan dengan akasara ANG ( ) , AH ( ) dan OM ( ) sebagai sumbernya.
2. Konsepsi 3 + 1, yaitu Brahma , Visnu, Śiva adalah bersumber pada Brahman, dengan simbol aksara: ANG ( ), UNG ( ), MANG ( ) dan OM ( ).
3. Konsepsi 5 + 1, yaitu: Sadyojata, Bhamadeva, Tatpurusa, Aghora, dan Isana bersumber pada Brahman, dengan aksara suci: SA ( ), BA ( ), TA ( ), A ( ), I ( ) dan Om ( ).
4. Konsepsi 10 + 1, yaitu: Ekadasaksara yang bersumber pada Brahman, dengan aksara suci: SA, BA, TA, A, I, NA, MA, SI, VA, YA, ( , , , , , , ,
, , ) dan OM ( )
C. Filosofis Omkara Dan Dasaksara Dalam Bhuvana Alit
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas bahwa Bhuwana Agung adalah sama dengan Bhuvana Alit. Yang dimaksud dengan Bhuvana Alit adalah tubuh semua makhluk, tetapi dalam penulisan ini terbatas pada diri manusia. Dalam kehidupan manusia dapat kita katakan terdiri dari dua unsur yaitu: jasmani dan jiwatma.
Jasmani manusia (badan wadag) adalah evolusi dari Panca Tan Matra atau Panca Maha Bhuta juga. Dari unsur Gandha (pertivi), menjadi tulang, daging, otot, kulit, urat, rambut, dan segala yang sifatnya padat dalam tubuh. Dari unsur Rasa (apah), menjadi: darah, serum, kelenjar, lendir dan segala yang cair. Dari unsur Rupa (teja), menjadi: temperatur/panas, yang terdapat dalam tubuh. Dari unsur Sparsa (bhayu), menjadi udara yang terdapat dalam tubuh. Dari unsur Sabda (akasa), menjadi benih suara.
Jasmani yang berasal dari Panca Maha Bhuta inilah yang disebut dengan badan kasar atau sthula sarira.( Hadiwijono,1971 : 66).
Bersamaan dengan terciptanya Sthula Sarira, maka seketika itu juga muncullah alam pikiran. Pada manusia alam pikiran itu adalah Buddhi, Manah, Ahamkara dan Indriya, demikian juga dengan Atma mulai memberikan tenaga hidup, sehingga Sthula Sarira dapat hidup dan berkembang, serta alam pikiran menjadi aktif sesuai dengan fungsinya. Buddhi adalah bagian dari alam pikiran, yang berfungsi untuk mengambil keputusan, karena mempunyai sifat kebajikan. Manah adalah bagian dari alam pikiran, yang berfungsi untuk menganalisa sesuatu. Ahamkara adalah bagian dari alam pikiran yang bersifat aku (egoistis). Buddhi, Manah, dan Ahamkara disebut dengan Tri Antah Karana, yang mewujudkan alat bathiniah atau badan halus yang disebut Suksma Sarira.( Hadiwijono,1971: 70).
Sedangkan Atma yang sebagai sumber tenaga hidup telah membawa badan dari tempat asalnya yang disebut Antahkarana Sarira (badan penyebab). Sehingga manusia mempunyai tiga lapisan badan, yaitu: Antahkarana Sarira, Suksma Sarira, dan Sthula Sarira.
Maka berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa sumber asal dari Bhuvana Agung dan Bhuvana Alit adalah sama.
Didalam tubuh manusia sebagai tempat/alat daripada alam pikiran untuk beraktivitas, disebut Golaka Indriya.
Golaka Indria itu terdiri dari 11 macam, yaitu:
1. Telinga untuk srotendriya.
2. Kulit untuk tvakindriya.
3. Mata untuk caksvindriya.
4. Lidah untuk jihvendriya.
5. Hidung ntuk Granendriya.
6. Mulut untuk Vakindriya.
7. Tangan untuk Panindriya.
8. Kaki untuk padendriya.
9. Dubur untuk Payvindriya.
10. Alat kelamin untuk upasthendriya.
11. Otak untuk rajendriya.(Transkripsi Lontar Vrhaspati Tattva, hal. 76).
Golaka dan Indriya pada dasarnya berbeda, akan tetapi tak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Golaka adalah tempat atau alat sedangkan Indriya adalah merupakan sifat. Dari kesebelas macam Indriya itu bersumber pada Manas dan oleh karena manas itulah Indriya dapat menikmati obyeknya (visaya), maka itulah manas sering disebut Rajendriya, yaitu raja dari semua indriya.
Disamping adanya Golaka dan Indriya pada tubuh manusia terdapat pula 10 pembuluh yang disebut Nadi. Kesepuluh Nadi itu adalah: Ida, Pinggala, Sumsuma, Gandhari, Hasti, Jihva, Dusa, Yasa, Alambusa, Kuhu, dan Sangkhini. Di antara ke-10 Nadi itu ada tiga yang terpenting, yakni: Ida, Pinggala,dan Sumsuma, yang terdapat pada tulang punggung, yang erat hubungannya dengan "Sapta Cakra", yaitu tujuh simpul syaraf, yang merupakan tempat dari kundalini. Kundalini itu adalah sumber kekuatan ilahi dan kebathinan.( Informan : Mahendra).
Sapta Cakra adalah tujuh simpul syaraf yang terdapat pada tulang punggung, yang disebut juga Sapta Padma, yaitu:
1. Muladhara Cakra, terletak pada dasar tulang punggung, di antara kemaluan dan lubang pantat.
2. Svadhisthana Cakra, terletak di dasar alat peranakan.
3. Manipura Cakra, terletak pada tulang punggug sejajar dengan pusar (nabhi).
4. Anahata Cakra, terletak pada tulang punggung sejajar dengan hulu hati.
5. Visudha Cakra, terletak pada tulang punggung sejajar dengan kerongkongan.
6. Ajna Cakra, terletak pada tulang punggung sejajar dengan Bhrumadya atau kening.
7. Sahasrara Cakra, tempatnya pada Śiva Dvara yaitu ubun-ubun. Cakra ini disebut juga Śivasthana/ Brahmarandra.
Cakra-cakra inilah merupakan tempat dari kundalini seseorang sudah hidup, maka ia akan bergerak ke atas dari Muladhara terus ke Sahasrara Cakra. Untuk menghidupkan kundalini, menurut ajaran oda harus melalui Pranayama, yaitu: pengaturan napas (prana) yang teratur dan sempurna dan dilanjutkan dengan Samadhi. Denag melaksanakan Pranayama yang teratur dan sempurna demikian juga Samadhi, maka kebahagiaan hidup akan dapt tercapai.
Jadi dasar untuk mencapai kebahagiaan itu adalah dengan pengaturan Prana, yaitu tenaga hidup yang timbul dari unsur material, setelah Atma memberikan kehidupan pada tubuh.
Prana juga disebut Vayu, yang menurut fungsinya ada sepuluh macam, yaitu: Prana, Apana, Samana, Udana, Vyana, Naga, Kurmara, Krekara, Devadatta, dan Dhananjaya. Prana fungsinya mengatur pernapasan, Apana fungsinya untuk mengatur pembenihan dan membuangkotora, Samana berfungsi untuk mengatur pencernaan, Udana berfungsi sebagai pengatur gerak dahi dan kelopak mata, Vyana berfungsi untuk mengatur gerak persendian, Naga fungsinya untuk mengempiskan perut, Kurmara berfungsi sebagai alat untuk menggetarkan badan, Krekara fungsinya untuk menguap dan Dhananjaya fungsinya untuk menciptakan suara. (Oka, 1969: 56).
Demikianlah keterangan-keterangan secara ringkas mengenai keadaan Bhuvana Alit, yang pada hakekatnya tidaklah berbeda dengan unsur-unsur yang mengadakan Bhuvana Agung.
Bhuvana Agung yang berada dalam keadaan sejahtera dan seimbang dilambangkan dengan Svastika atau Padma Asta Dala, demikian juga tubuh manusia (Bhuvana Alit).
Dalam Lontar Dasaksara, disebutkan:
"Bahwa tubuh manusia juga disebut "Brahma Pura" (singhasana Tuhan), yang dilambangkan dengan Dasaksara sebagai sthanaNya. SA tempatnya pada Papusuh (jantung), BA letaknya di Hati, TA tempatnya pada Ungsilan (ginjal), A tempatnya pada Nyali (empedu), I tempatnya pada bungkahing hati (pangkal hati), NA tempatnya pada Paparu (paru-paru), MA tempatnya pada Waduk Vredha (usus besar), SI tempatnya pada Limpa, Va tempatnya pada kakulungan atau ineban (Kerongkongan) dan YA tempatnya pada Tungtunging hati (ujung hati)". (Lontar keputusan Dasaksara, Lembar 1b).
Dalam Lontar Punggung Tiwas juga ada disebutkan sebagai berikut:
"Demikian juga Vijaksara-Vijaksara yang lain, seperti: Ekaksara (OM), tempatnya di Śiva Dvara (Polo Jati), Aksara Rvabhineda " AM" di mata kanan (ring netra tengen), "AH" di mata kiri (ring netra kiwa) dan Tryaksara tempatnya "AM" di kening kiri, "UM" di kening kanan dan "MAM " di sela-selanya kening.(Lontar Punggung Tiwas, Lembar 17a-b).
Katagori
Article
Subscribe to:
Posts (Atom)
Katagori
- Article (79)
- Asuransi PSN (2)
- Events (4)
- Pengumuman (17)
- Profile (10)
- Program (2)
- Pustaka-Pustaka (23)
- Religion (11)
- Sarati Banten (1)
- Tirtha Yatra (2)
- Umum (7)
Blog Archive
-
▼
2009
(115)
-
▼
May
(11)
- Aplikasi Nilai Tat Tvam Asi Dalam Kehidupan
- JANGAN SIA-SIAKAN HIDUP INI !
- Mencari Damai
- Hidup Adalah Persaingan-Berjuang lah! (Pesan seora...
- Cakra Indigo
- TIGA KUNCI RAHASIA UNTUK MERAIH SUKSES
- Spiritualitas dalam Praktek, Balancing of Mind, Bo...
- Silakramaning Aguron-guron-3
- Konsepsi Ketuhanan Dalam Hinduisme (Siva Tattva)
- Isvara
- JIWA
-
▼
May
(11)