Thursday, June 24, 2010

"Realisasi PANGRUWATING DIYU" dan Sejarah ” CUPU MANIK ASTAGINA ” (Bagian 4)

Disarikan kembali oleh : Pinandita Astono Chandra Dana


”Adikku Batara Guru, barangkali engkau terpukau oleh pintu kewanitaannya?”

”Oh tidak Kakanda! Aku mengerti tentang keangkuhan wanita, tentang feminim, tentang harkat wanita. Tentang wanita yang merindukan, aku mengerti, aku memahami. Tetapi ada kekuatan yang mengusirku kembali ke tempat ini”, kata Batara Guru.

”Kalau demikian, aku akan mengadu kepada Hing Murbeng Agung yang berada dipuncak Surga”, demikian Batara Guru.

”Kahatur Hing Murbeng Agung, apa dan bagaimana Engkau tahu tentang semua, yang ada dalam jagad tamu yang satu ini. Berikanlah penerangan.”

Maka Hing Murbeng Agung, Tuhan Yang Maha Esa, bersabda :
”Para Dewa yang berada di Nirwana, engkau semua harus malu pada manusia yang akan masuk ke Nirwana ini. Dewi Windradi, sebuah nama yang sudah tertulis di Marcapada, Kahyangan. Namanya sudah tertulis dengan jelas. Wahai Para Dewa! Dewi Windradi adalah nama, yang sudah terukir dalam kalam-kalam-Ku, tulisan-Ku. Manusia itu masuk ke Nirwana ini oleh daya tarik tulisan-Ku. Kalau engkau menahannya, berarti engkau harus melawan Aku, Yang Menciptakanmu.”

Maka semua para Dewa bersujud patuh, para Bidadari menangis pilu, tangisan rindu untuk menjemput Dewi Windradi.

Dalam pada itu, sabda turun lagi :
”Wahai para Dewa, sebenarnya Dewi Windradi hanya mengambil tulisan namanya yang ada di Nirwana. Tetapi Dewi Windradi masih punya tugas di muka bumi, belum saatnya menikmati kenikmatan surgawi, belum saatnya bercengkerama dengan rahmat-Ku. Terimalah sementara, di singgasana Nirwana bersamamu. Namun Aku akan menciptakan Dewa baru untuk menemani sang Dewi.”

Kembali pada ”Cupu Manik Astagina.” Astagina ini isinya adalah puji-puji untuk Hyang Widhi, Nur Cahaya. Kesempurnaan cinta Hyang Widhi berkumpul dalam ”Cupu Manik Astagina.” Maka cahaya yang diambil kembali, cahaya dari Permata. Dan air kehidupannya, diambil oleh Begawan Wisrawa. Cahayanya diambil kembali oleh Sang Hyang Parama Wisesa. Didalamya ada sumber cahaya dari segala cahaya. Astagina adalah Maha Terpuji, dari energi Asma-Nya mengalir puji-pujian Astagina.

Hing Murbeng Agung menciptakan Dewa baru dari cahaya tersebut yang namanya Batara Surya (Batara Indra). Manakala para Dewa, para Bidadari terpekik kagum, dewi Windradi pun tak terkecuali. Terpesona kepada Batara Surya. Dalam jiwanya sang Dewi berkata :

”Betapa indah yang satu ini. Lebih indah dari Nirwana ini.” Dan ternyata ungkapan bawah sadar ini, terucapkan secara lisan.

”Benar wahai Dewi Windradi”, kata Batara Narada.

”Betul wahai Dewi Windradi”, kata Batara Guru,

”Lebih indah dari keindahan Nirwana beserta isinya.”

Ksatria lelanang Jagad, Batara Surya, tersenyum. Senyuman yang menggelisahkan para Bidadari yang ada di surga.

Sang Dewi pun berkata,
” Wahai,……Dimanakah cahaya yang aku kejar sejak dari bumi?”

”Cahaya itu tidak ada di surga ini”, jawab Batara Narada, ”Sudah diambil oleh Hing Murbeng Agung, dalam Cupu Manik Astagina.”

”Izinkanlah aku masuk ke sana”, pinta sang Dewi.

”Tidak bisa”, berkata Batara Guru, ”Kami pun tak mampu, apalagi engkau, wahai Dewi Windradi.”

”Wahai wanita”, berkata Batara Surya, ”Hadapi aku, kalau mampu menghadapi aku, maka engkau berhak untuk naik lebih tinggi lagi. Menuju Yang Maha Pencipta.”

Pada saat Batara Surya berkata-kata, jiwa sang Dewi bergetar!
”Inikah cinta, yang tidak pernah aku miliki selama ini? lnikah syahwat? Yang tidak pernah mampu aku miliki di bumi?”

Getaran-getaran ini melumpuhkan sang Dewi. Sang Dewi terduduk, merunduk.
”Wahai para Dewa, aku kalah! Jangankan datang pada surga yang lebih tinggi tempat Cupu Manik Astagina. Berhadapan dengan Batara Surya pun, aku sudah tak mampu.”
”Wahai Batara Surya, apakah perasaan, seperti yang aku rasakan ini?”

”Itu adalah cinta”, kata Batara Surya.

”Dan apa yang menggetarkan darah dagingku?”

”Itu adalah syahwat.”

”Wahai Batara Surya, dosakah aku memiliki ini semua?”

”Tidak dosa, malah anugerah. Cinta dekat di tempat ini, namun syahwat engkau harus buang dari tempat ini.”

”Bagaimakah cara membuangnya, wahai Batara Surya?”

”Karena itu engkau belum saatnya menikmati surgawi ini. Kau harus membuang syahwat di muka bumi, supaya kegairahan kehidupan manusia bumi bertarnbah gejolaknya dan cepat menurunkan keturunan sebagai khalifah di muka bumi.”

”Berikanlah keindahan hubungan suami-isteri dengan illusi-ilusi yang hadir dalam perasaan. Buanglah syahwatmu wahai Dewi Windradi, supaya para isteri bertambah mesra dengan suaminya.”

”Buanglah syahwatmu wahai sang Dewi, supaya para isteri walaupun sakit oleh suaminya, tetap setia dalam menghadapi rumah-tangga. Syahwatmu akan mengikat rumah-tangga agar tetap setia sebagai isteri. Supaya anak manusia terlindungi dan terawat oleh Ibu dan Ayahnya. Karena asmara yang engkau buang pada jiwa-jiwa mereka.”

”Tumpahkanlah wahai sang Dewi Asmara ini, Asmaradana akan merekah di muka bumi. Dan engkau bisa kembali tanpa syahwat. Hanya cinta”, Demikian Batara Surya.

”Wahai Batara Surya, cinta ini, untuk siapa?”

”Wahai sang Dewi. Cintamu untuk siapa. Tanyakan pada hatimu, cinta itu untuk siapa.”

”Untuk tempat ini, dengan segala kenikmatan”, kata sang Dewi.

”Bisa, tapi bukan”, jawab Batara Surya.

”Untuk para Dewa yang berada di sini?”

”Benar, tapi tidak.”

Dan dengan malu-malu, ”Untuk engkau, Batara Surya.”

”Kuterima. Tapi aku tak mampu menerima.”

”Lalu untuk siapa wahai Batara Surya?”

”Untuk Yang Menciptakan kita, Hing Murbeng Agung. Maka ungkapkanlah perasaan itu pada Sang Maha Pencipta.”

Dewi Windradi mengerti dan memahami. Maka bersujudlah memohon takdir perjodohan denganTuhan Yang Maha Esa.

”Wahai Sang Hyang Agung, Rajanya para Dewa, Terimalah cinta ini, hanya untuk Engkau.”

Turunlah sabdanya-Nya :
”Dewi Windradi, betapa aku tak sia-sia menciptakan engkau. Betapa aku bangga pada diriku sendiri. Engkau telah membuktikan bahwa Aku adalah Segalanya. Bagi-Ku sendiri apalagi bagi mereka, para Dewa ciptaanku. Dan engkau adalah milik Aku, Kuberikan dengan izin-Ku pada semua para Dewa. Dan akan aku berikan keindahan cintamu, hanya pada seseorang.”

”Siapa?”

”Dia ada di hadapamu, mengerti Dewi Windradi? Dia itu, Batara Surya.”

Batara Surya menjawab :
”Aku menerima. Yang tadinya aku menerima tapi tak bisa merangkul, tapi sekarang aku terima. Engkau adalah isteriku. Kita telah dinikahkan oleh Yang Menciptakan kita. Aku adalah suamimu. Dan mereka, para Dewa dan para Bidadari adalah saksi, pernikahan agung di surgawi ini.”

Dewi Windradi dengan puncak kebahagiaan di atas Sastra Jendra Yang paling bahagia, Hayuningrat. Hayuningrat kewanitaannya sempurna.

Dikatakan Hayuningrat adalah : Suasana-suasana dialog ini semua, mulai dari Dewi Windradi naik ke Nirwana, dialog dengan para Dewa, Sabda Hyang Widhi. ltu semua adalah Hayuningrat. Tanpa ada lagi ”pangruwating” karena sang Dewi dilahirkan tanpa diruwat lagi. Lahir dari ukiran-ukiran cinta, kasih-sayang Batara Wisrawa dan Dewi Sukesih.

Bisakah kita melahirkan anak tanpa diruwat lagi?…..Bisa. Dewi Windradi adalah bukti, anak yang langsung tanpa ruwat. Langsung ada dalam wadah Hayuningrat Sastra Jendra adalah proses pencarian nilai-nilai, dalam mengejar sinar.

Dialog Dewi Windradi dengan Bapaknya, dengan Ibunya, diusir dari Istana, di penjara tubuhnya. Keluar rukh dan jiwanya dari penjara, bertemu dengan orang-tua sejati, berangkat ke langit-langit sampai masuk Nirwana. lni semua adalah Hayuningrat.
Suasana dialog selanjutnya adalah Hayuningrat. ltu adalah kebahagiaan yang sesungguhnya, bukan kenikmatan illusi. Kenikmatan duniawi sebenarnya adalah kenikmatan illusi, manakala kita makan, lidah kita merasakan nikmat. Kita menikmati dengan kenyang. Kenikmatan seksual suami-isteri. ltu semua adalah kenikmatan illusi. semua kenikmatan dunia pada dasarnya adalah illusi, bayang-bayang atau wayang. Senda-gurau dan permainan. Saat sang Dewi akan mengecap kebahagiaan yang sempurna, dirangkullah Batara Surya, suaminya.

Saat itu pula turun sabda Hyang Widhi :
”Wahai Dewi, wahai Batara Surya, belum waktunya engkau menikmati kebahagiaan, walaupun Aku yang telah menikahkan. Tapi engkau belum mampu bersenggama dengan rasa, bersenggama dalam rukhani, bersenggama dalam fikiran. Di surga tidak ada daging dan kelamin. Pulanglah engkau Dewi, bawalah ’Cupu Manik Astagina’ yang isinya cahaya Hayuningrat.”

Maka sejak saat ini, telah datang duplikat kedua ”Cupu Manik Astagina.”
Untuk selanjutnya Cupu Manik ini kita sebut dengan ”Cupu Manik Hayuningrat”, yang dibawa oleh Dewi Windradi.

Sebagaimana sabda-Nya :
”Wahai Dewi Windradi, bawalah ’Cupu Manik Hayuningrat’, supaya kehidupan di bumi walaupun illusi, akan ’adem-ayem’. Hayuningrat, akan membangunkan mimpi-mimpi indah dari kenyataan, akan membangunkan nikmat illusi menjadi kenyataan. Dan supaya Aku pun rindu, pada makhluk yang ada di muka bumi. Bawalah wahai Dewi Windradi.”


Bersambung...................

5 comments:

  1. sungguh cinta yang sangat indah.
    ijinkanlah saya bertanya : apakah bhatara surya bisa diutus juga ke bumi, diturunkan sebagai manusia?

    ReplyDelete
  2. Sesuai susastra yang ada, disebutkan bahwa beliau yang pernah diturunkan kebumi menjadi manusia adalah para AVATARA WISNU sebagai pemelihara alam semesta, bila bumi sudah dianggap perlu direvitalisasi akibat segala keangkaramurkaan manusia.

    ReplyDelete
  3. mohon maaf kapan bersambung,.......di edit? terimakasih,

    ReplyDelete
  4. mohon maaf kapan bersambung,.......di edit? terimakasih,

    ReplyDelete