Thursday, June 17, 2010

Realisasi Pangruwating Diyu Dan Sejarah ” Cupu Manik Astagina ” (Bagian 3)

Disarikan kembali oleh : Pinandita Astono Chandra Dana


Tetapi dendam kepada Puterinya, tak ada obatnya! Cinta kepada anak tak mampu digantikan atau dialihkan kepada siapapun manusianya. Secinta apapun pada orang lain yang dianggap sebagai anak, tidak seindah dan sekokoh cinta kepada anak yang dilahirkan. Ini hukum alam. Namun, Seandainya manusia bisa mencintai anak yang tidak dilahirkan, itu berarti sedang meraih cinta Hyang Parama Kawi.

Dendam Sang Prabu sebagai ayah, tak mampu terobati. Karena cinta pada anak yang dilahirkan tak bisa dipungkiri, lebih tinggi gejolaknya daripada cintanya kepada anak yang tidak dilahirkan. Dan pada puncak dendamnya, sang raja pun menjatuhkan perintah kepada pasukan pilihan, melalui Senopati tertinggi untuk menangkap Dewi Windradi.

Maka langkah gontai dengan segala penderitaan Dewi Windradi berhadapan dengan pasukan pilihan dari ayahandanya. Sang Dewi pun dikembalikan ke Istana, sebagai tawanan! Dan dipenjarakan di bawah tanah, di bawah istananya sendiri.

”Anakku engkau harus menerima ganjaran atas dosa-dosamu. Bagi Sang Dewa, wahai anakku, lebih senang kepada aku sebagai raja daripada kepadamu, kepada anak durhaka. Supaya sang Dewa membebaskan dosa-dosamu. Sang Dewa bersabda kepadaku, supaya memenjarakan engkau di bawah tanah.”

”Ayah. Aku terima, aku siap dipenjara. Bukan atas nama Dewa, tapi atas nama cinta Ayah, cinta Ibu. Aku siap dipenjarakan karena hutang cinta dan perawatan saat aku dilahirkan hingga dewasa. Dan akupun yakin sang Dewa akan membebaskan diriku, manakala hutang ini telah selesai.”

Sang Dewi pun dipenjara dengan senyum kepasrahan. Dan disuatu saat, dalam salah satu kunjungan Ayahandanya ke tempat dia dipenjarakan, Sang Dewi menyampaikan isi hatinya kepada sang Prabu.

”Wahai Ayahanda”, ujar sang Dewi, ”Izinkanlah aku mengungkapkan isi hatiku. Ayahku, kenapa aku menolak dijodohkan. Aku tak mengerti apa yang dikatakan cinta kepada lelaki. Jiwaku dan perasaanku tidak tahu tentang cinta itu sendiri, walau kawan-kawanku berkata tentang Ksatria yang gagah dengan segala keceriaan dan perasaan.

Di relung jiwaku, tak ada perasaan cinta seperti itu. Manakala kawan-kawanku bercerita tentang kegagahan lelaki, tubuhnya, keindahan wajahnya dan kesaktiannya. Sekali lagi, di relung hatiku tak mempunyai perasaan kagum kepada mereka. Dan, saudara-saudaraku yang telah menikah, bercerita tentang kenikmatan hubungan suami-Isteri di ranjang. Akupun tak punya perasaan seperti itu, wahai Ayahku. Cinta dan syahwat, barangkali bukan milikku.

Biarkanlah aku merdeka dari cinta dan syahwat. Hanya itulah wahai Ayahanda, yang perlu engkau ketahui kenapa aku menolak permintaanmu. semoga hal ini mengurangi murkamu”, Demikian Dewi Windradi.

Dalam penjara bawah tanah, dalam ruang yang sempit, sang Dewi bertapa. Diantara kerinduan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kerinduan kepada Ibundanya yang telah tiada di istana dan rasa memaafkan kepada ayahandanya. Memadu dalam tapanya. Maka rukhnya, jiwanya, keluar dari badannya.

Fisiknya di penjara tapi rukh dan jiwanya keluar, bebas dari penjara. Begitu keluar dari penjara, ternyata rukh dan jiwanya melihat cahaya. Cahaya itu pun diikutinya. Dan akhirnya dari perjalanan mengikuti cahaya itu adalah, tatkala ternyata cahaya tersebut masuk ke dalam diri seorang wanita, seorang ibu yang sedang menjaga anak-anaknya. Begitu masuk ke tubuh wanita tersebut yang ternyata adalah Dewi Sukesih, Dewi Windradi bertanya,

”Kakanda. Aku datang mengejar cahaya. Cahaya itu masuk ke dalam tubuhmu, cahaya apakah itu?”

Dewi Sukesih karena sudah memakai Atma, lulus dalam Sastra Jendra dan sudah mendapat ridho para Dewa. Cepat menangkap maksud Dewi Windradi ini.

”Wahai anakku, engkau telah hadir. Kerinduan aku tentang anak, dambaan aku tentang anak yang memiliki keindahan bathin dan keindahan hati. Sang Dewa mengutus engkau sebagai anakku. Engkau adalah anakku yang tidak pernah kulahirkan. Rukhmu, Jiwamu adalah anakku. Manakala aku menjelang masuk ke Surgawi. Dalam tubuhku meronta seorang bayi, namun aku belun tersentuh lelaki. Tubuhku meronta, menolak engkau hadir dalam kehamilan. Engkau adalah anakku, bayi yang kurasakan sejak di perbatasan Nirwana. Karena sang Dewa mendengar rontaan hatiku. Kehamilanku diambil alih oleh seorang wanita yang kau kenal sebagai ibumu. Engkau adalah anakku, darah dagingku, jiwaku”, Dewi Windradi pun dipeluknya.

Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih, saat gagal digoda oleh Batara Guru, sebenarnya jiwa masing-masing sudah saling bermesraan. Walau tanpa sentuhan fisik. Saat ini terjadilah ”pembuahan” di bumi, terlahir jabang bayi, Dewi Windradi.

”Yang Maha Agung, Yang Maha Esa. Betapa Engkau mengabulkan kerinduan kepada anak-anakku. Sarpa Kenaka, biarlah terpenjara oleh kemurkaan Engkau. Tetapi anakku yang satu ini adalah Sarpa Kenaka yang telah Engkau selamatkan. Terima kasih, Duhai, Yang Maha Agung”, Demikian doa syukur dari Dewi Sukesih.

”Ibuku, akupun merasa, betapa saat aku dibesarkan oleh ayahku dan ibuku. Aku merasa terasing dalam Istana. Kasih sayang mereka tetap kurasakan, tetapi keterasingan jiwa ini, keterasingan fikiran ini seolah-olah aku bukan anak mereka. Hari ini, ternyata Maha Dewa telah mempertemukan aku dengan Ibuku sejati.”

Demikianlah proses Ibu dan anak yang tidak pernah dilahirkan, namun dititipkan sebagai ”anak titipan.”

”Wahai Ibuku”, kata Dewi Windradi, ”Cahaya yang lebih terang, telah hadir di hadapanku. Izinkan aku mengikuti cahaya ini.”

Dan setelah mendapat restu dari sang Ibu, Dewi Windradi pun mengikuti cahaya itu. Ternyata, cahaya itu berasal dari Batara, Wisrawa yang sedang bertapa. Dan Batara Wisrawa ternyata lebih memahami makna kehadiran sang Dewi.

”Selamat datang wahai anak jati diriku. Engkau telah menggembirakan aku dari kesakitan tentang anak-anaku yang terpenjara. Selamat datang Puteriku, engkau telah membebaskan penderitaan aku dari kecintaan yang dalam kepada Sarpa Kenaka. Engkau adalah jelmaan Sarpa Kenaka yang telah terbebas dari penjara. Engkau lahir dari ukiran cinta kami berdua, engkau lahir dari keikhlasan kami berdua, engkau dari kepasrahan kami berdua. Dan saudaramu Sarpa Kenaka adalah lahir dari ukiran syahwat kami berdua, syahwat yang telah kami renda bersama. Engkau adalah hasil ukiran keikhlasan kami di hadapan para Dewa. Izinkanlah, aku memelukmu, wahai Puteriku.”

Manakala Batara Wisrawa memeluk Dewi Windradi, terjadilah kekuatan yang hebat! Dewi Windradi naik, mengangkasa. Jejak-jejak dari sang Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih, jejaknya sampai ke Nirwana. Diulang kembali oleh Dewi Windradi. Sang Dewi pun berangkat. Langit demi langit, alam demi alam, nilai demi nilai, terarungi. Sastra Jendra Hayuningrat jelas mengalir di jiwa dan perasaannya. Langsung dimengerti dan dipahami, tanpa terjemah dan tanpa penjelasan. Karena Nurani Sang Dewi adalah suara para Dewa di Kahyangan. Nurani Dewi Windradi adalah perwakilan cinta yang diukir oleh Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih. Maka sampailah Dewi Windradi di perbatasan Kahyangan. Sampai di pintu Sela Menangkep. Gerbang Loka dari Surga, Gerbang loka dari kesempurnaan nikmat.

Para Dewa gempar! Para Bidadari ramai!

”Itu ada anak manusia datang kembali akan mencoba masuk ke Nirwana ini”, kata salah satu dari para Dewa.

Sebagaimana biasa, Batara Narada bicara dengan adiknya, Batara Guru.
”Dindaku Batara Guru, engkau ada tugas. Halangilah anak manusia itu. Masuklah ke jagad jiwanya, godalah kewanitaannya. Agar dia gagal masuk ke Nirwana ini.”

Namun betapa kaget batara Guru, tatkala dirinya mencoba masuk ke jagad jiwa Dewi Windradi. Batara Guru mental kembali ke Nirwana.

”Wahai kakanda Batara Narada, aku gagal masuk ke jagad jiwanya. Pintu kewanitaannya tertutup rapat, segala daya sudah kuusahakan. Namun kekuatan tak terlihat keluar dari jagad bathinnya.”

Batara Narada bingung. Mengapa hal seperti ini bisa terjadi?


Bersambung..........

No comments:

Post a Comment