Thursday, June 10, 2010

Realisasi Pangruwating Diyu Dan Sejarah ” Cupu Manik Astagina ” (Bagian 2)

Cupu Manik Banyu Kahuripan ( Cupu Manik Astagina II )

Setelah Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih dengan sempurna menggunakan Atma yang dikirim oleh Batara Narada dari puncak Nirwana. Sang Begawan naik harkat, jadi Batara.

Batara Wisrawa berkunjung ke Nirwana membawa amanah Hing Murbeng Agung, untuk membawa Cupu Manik Banyu Kahuripan. Yaitu ”Cupu” yang berisi paduan air kehidupan dunia dengan cahaya permata sendu yang ada di Nirwana.

Pada saat Batara Wisrawa berkunjung ke Nirwana, sang Atma membawa fisiknya yang asli, jiwanya yang asli, fikirannya yang asli. Walaupun fisiknya yang biasa, yang dilahirkan bersila, bertapa di dalam pengosongan raga, mati raga. Namun manakala tugas mendidik anak-anaknya memanggil, maka sang Batara harus membawa serta fisik yang dilahirkan, bukan fisik atma. Karena fisik yang dilahirkan lebih pandai dalam menyampaikan ungkapan-ungkapan, ucapan-ucapan, kata-kata. Jadi, kebohongan manusia pada dasarnya berangkat dari ingin memperindah kata-kata dalam semua masalah. Ingin ”memoles” permasalahan yang diungkapkan, supaya lawan bicara tertarik.

Hal ini, sekalipun pas dengan kebenaran hakiki, ungkapan-ungkapan estetika, dialektika manusia, itu di hadapan Hyang Widhi adalah dosa-dosa kecil yang tidak terasa. Demikianlah Batara Wisrawa, dalam mendidik anak-anaknya, tanggung-jawab pada masyarakat, harus bangun dari tapanya. Sepenuhnya dengan fisik daging hasil proses pembuahan kedua orangtua-nya.

Dan manakala Cupu Manik Banyu Kahuripan di bawa kembali, mengalirlah cahaya-cahaya permata surgawi. Menyinari alam raya ini, menyinari semua planet. Dan anehnya, planet-planet lain, begitu terbiasi, teradiasi oleh cahaya Cupu Manik Banyu Kahuripan, maka dengan jelas kegelapan planet tersibak! Benderang oleh cahaya Cupu Manik Banyu Kahuripan ini, bukan oleh cahaya matahari.

Namun manakala sang Batara sampai ke bumi, cahaya itu lebih banyak lagi yang keluar, meradiasi, menyoroti, tapi tidak benderang di muka bumi ini, tidak bercahaya, diterima oleh muka bumi ini. Karena cahaya ini ternyata masuk langsung ke dalam hati manusia, ke dalam jiwa manusia, ke dalam kerinduan secara massal kepada Yang Menciptakan di bawah sadar manusia. Menyinari pemikiran-pemikiran manusia untuk berbuat baik, menciptakan strategi untuk menyajikan kebaikan. Maka seluruh umat manusia memiliki keinginan untuk menjadi baik, ingin menyayangi semua umat, walaupun cahaya ini bergelombang di balik kesadaran masing-masing manusia.

Manakala sang Batara bertapa, cahaya itu semakin bersinar, meradiasi semua permukaan bumi dan manusia itu sendiri. Yang tadinya induk-induk hewan hanya menyusui, tanpa kuasa untuk terus mendampingi hingga anaknya besar. Dan diam tak berdaya, tatkala baru saja melahirkan, harus melayani ajakan senggama dari pejantan. Namun Hikmah dari Cupu Manik Banyu Kahuripan ini, membuat induk-induk hewan dengan sabar menanti, menghantar anak-anaknya hingga besar. Dan ada kekuatan untuk berjuang melawan ajakan senggama sang pejantan.

Bunga-bunga yang tadinya cepat kuncup, enggan kuncup! Dia menuntut pada pencipta untuk menjadi buah. Maka beribu habitat jenis bunga, yang tadinya hanya sampai mekar dan layu, berlanjut menghasilkan berupa buah. Buah-buahan pun yang tadinya sekedar manis, menjadi sangat manis. Sebuah proses alam, evolusi alam raya.

Manakala sang Batara bertapa, saat itu pula jiwa-jiwa manusia berbunga dengan harapan-harapan masa depan yang gemilang, bergerak dalam membangun Dharma, amal Ibadah. Untuk menghasilkan buah bagi dirinya sendiri, buah keimanan bagi dirinya sendiri ataupun buah keimanan bagi umat manusia.

Manakala sang Batara bangun dari tapanya, hewan dan tumbuh-tumbuhan riang gembira dalam memperbesar masing-masing fungsinya.

Namun demikian, Batara Wisrawa sendu. Batara Wisrawa melihat keberkahan cahaya ini diterima oleh semua pihak. Mengapa anak-anakku tidak menerima cahaya ini?
Sebuah pertanyaan yang paling menyakitkan, yang tersembunyi di balik jiwa Batara Wisrawa. Kesakitan bertambah sakit dan luka, karena tak mampu mengadu kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tak mampu memohon kepada-Nya, kalau ada hubungannya dengan anak-anaknya. Jeritan hatinya hanya diobati oleh kesempurnaan cinta kepada anak-anaknya. Suara hatinya bergelora, dalam kesakitan.

”Wahai anakku Rahwana, hanya cinta ayahmu yang dapat menghantarmu. Hanya cinta ibumu yang dapat menghangatkan, dalam membesarkan dirimu.”

”Wahai anakku Sarpa Kenaka, aku tak mampu menghantar engkau dengan cahaya cinta yang kugenggam, tetapi engkau akan kuhantar dengan kekuatan cinta yang kukumpulkan, yang aku besarkan, yang aku rawat dengan segala pengorbanan.”

”Wahai anakku Kumbakarna, tidurlah engkau dalam cintaku, tidurlah engkau dalam genggaman ibumu.”

Itulah. Hanya suara hati yang meronta!

Karena Titis tulis Hing Widhi, tak mampu diubah. Anak-anaknya mengalir, terpenjara oleh takdir yang tak mampu dibedah.

Sang waktu pun bergulir terus, Batara Wisrawa membelainya dengan tapa dan tugas membesarkan anak-anaknya, serta berangkat dan pulang ke Nirwana. Setiap pulang dari Nirwana, cahaya Kesucian Permata Sendu bertambah camerlang, yang tersimpan dalam Cupu manik Banyu Kahuripan. Maka habitat hewan dan tumbuhan terus berkembang dan berkembang. Manusia pun keturunannya bertambah dan berkembang, meramaikan hiruk pikuk kehidupan di muka bumi.

Cupu Manik Hayuningrat (Cupu Manik Astagina III)

Sementara Batara Wisrawa mengisi waktunya dengan tapa dan tugas mendidik anak-anaknya.

Di lain tempat, ada satu negeri. Kerajaan, yang memiliki seorang Puteri yang sangat cantik jelita, Dewi Windradi (Retna Windradi, dalam wayang), tengah diperebutkan oleh para raja, para pangeran, para satria ataupun para pembesar negeri lainnya. Dan sang raja, ayahanda Dewi Windradi begitu terpukau oleh kegagahan raja-raja yang melamar. Sang Dewi pun dipanggil oleh ayahandanya.

”Wahai anakku, Dewi Windradi. Engkau telah mekar, Wanodya yang sangat cantik. Betapa seluruh dunia mengagumi kejelitaanmu, sudah saatnya memilih mereka, menjadi calon suamimu.”

”Anakku Dewi Windradi”, berkata pula ibunya, ”Ibumu dulu memilih ayahmu sebagai tempat menumpahkan kasih sayang. Sebagai kawan dalam berjalan, sebagai sahabat di dalam kegembiraan. Dan, Engkau lahir karena itu semua wahai anakku.”

Namun sang anak meronta, menangis. Menolak! Dan semua raja, semua pangeran, semua ksatria atau siapapun yang melamar di tolaknya. Marahlah kedua orang-tuanya, hingga ia pun akhirnya diadili oleh kedua orang-tuanya.

”Anakku Dewi Windradi, engkau telah mencemari namaku sebagai Raja. Penolakan engkau adalah penghinaan. Penghinaan engkau kepada ayahmu berarti penghinaan raja-raja kepada aku. Engkau telah melawan ayahmu!”

”Wahai ayahku, engkau bapakku ternyata lebih mencintai penghomatan sebagai raja, daripada cinta kepada anakmu”, jawab Dewi Windradi.

”Engkau lebih mencintai penghormatan dari umat, dari masyarakat, daripada cinta padaku. Aku pun, anakmu, harus mengakui bahwa aku lebih menghormati cinta Hing Murbeng Asih daripada aku menerima cintamu sebagai ayah. Dan matahatiku lebih jelas sekarang, wahai ayahku. Engkau tidak mencintai aku, tapi engkau memanfaatkan aku demi ambisimu sebagai raja! Namun hatiku bertambah peka. Betapa cinta Hing Murbeng Agung lebih tinggi, lebih agung, daripada engkau wahai ayahku.”

”Dewi Windradi!” sang ibu terpekik, ”Oh anakku, engkau jangan melawan ayahmu, walau bagaimanapun juga engkau sudah kami besarkan dalam pelukan cinta dan belaian kasih, mengapa engkau melawan?”

Dengan tenang, bahkan terlalu tenang, Dewi Windardi menatap Ibunya, namun dengan bibir yang agak tergetar.

Dewi Windradi menjawab.
”Wahai Ibuku, aku tahu. Ibu, di dalam kamar hatimu, tersimpan cinta kepada suamimu dan kepadaku sebagai anakmu. Engkau tersudut oleh dua kekuatan cinta, yang kadang-kadang seimbang, yang kadang bertengkar. Wahai Ibuku, Engkau menderita karena pertengkaran cinta kami. Karena itu Ibu, persembahkan kembali pertengkaran itu pada Hing Murbeng Asih. Jangan Ibu tersiksa oleh cinta pada suami dan cintamu kepada aku.”
Sang ayah bertambah murka!

”Dewi Windradi, ternyata engkau adalah anak yang sia-sia, berarti engkau adalah anak yang durhaka! Maka enyahlah dari Istana ini! Aku sudah tidak memiliki anak seperti engkau. Adik-adikmu, kakak-kakakmu, masih banyak yang akan mencintai aku. Dan juga adik-adikmu akan lahir. Akan lahir kembali bayi yang lain. Yang akan lebih mencintai aku daripada Engkau. Enyahlah engkau dari Istana ini!”

Sang Ibu terpekik! Sang Dewi tercekat! Sekilas tampak kilatan di matanya yang bening dan tenang, namun dalam sekejap sinar matanya kembali tenang. Setenang permukaan danau tanpa riak oleh buaian sang bayu, dengan tatap seolah tanpa ada kejadian apapun yang menimpa dirinya. Dewi Windradi, sambil langsung menatap mata sang ayah, dia berkata/

”Wahai ayahku, terima kasih atas jasamu dan perlindunganmu selama ini, itu tidak akan kulupakan, menggores dalam jiwa ini. Dan suatu saat akan aku ungkapkan kepada Hing Murbeng Agung bahwa engkau telah mencintai dan menyayangi aku. Namun akupun akan mengadu pada Sang Dewata Agung, bahwa engkau pun telah menjualku demi ambisimu. Aku, bukan barang, tapi harkat dan hati yang diciptakan oleh Hing Murbeng Agung. Karena ayah menganggapku barang, maka izinkanlah sang barang ini mengucapkan selamat tinggal.”

Maka Dewi Windradi pun meninggalkan istana. Sang Ibu menangis, meronta! Cinta kepada anaknya diputuskan oleh cinta kepada suaminya.

”Suamiku, mengapa engkau kejam seperti itu. Aku lebih tersiksa dari kedurhakaan anak kita, dan cinta inipun mudah-mudahan tidak selamanya utuh padamu. Semoga cinta aku kepadamu wahai suamiku, dibawa oleh cinta Dewi Windradi.”

”Isteriku”, kata Sang Prabu, ”Engkaupun harus tunduk padaku. Seorang isteri adalah kaki dari tubuhku, seorang isteri adalah lutut dari tubuhku, seorang isteri adalah dada dari tubuhku. Aku tidak takut kehilangan jari dari tubuhku, masih ada dada yang lain, masih ada punggung yang lain. Beribu kecantikan wajah, siap untuk diperisteri olehku. Enyahlah engkau! Kalau memang kau lebih mencintai Dewi Windradi.”

”Wahai suamiku cintaku tak utuh, kalau aku bersujud pada Hyang Widhi, namun cintaku utuh kembali, manakala aku menyujudi dirimu sebagai suamiku. Biarkanlah, aku memilih menyujudi Hing Murbeng Asih, supaya aku tidak tersiksa oleh cinta kepadamu. Izinkanlah cinta ini, yang telah kupersembahkan kepada Tuhan. Mengucapkan salam perpisahan, wahai suamiku.”

Sang isteri pun meninggalkan istana. Kepergian kedua wanita ini, masing-masing dengan langkahnya, dengan tujuannya yang belum jelas. Dewi Windradi dan Ibunya, masing-masing melangkah, pergi tak tentu arah. Sekedar mengikuti ujung jari kakinya.
Sang Prabu di Istananya yang megah. Resah, gelisah, berbagai perasaan bergolak di dadanya membakar jiwanya. Sebagai raja, dia merasa tak disujudi oleh hambanya, sebagai suami dia merasa betapa kelelakiannya dicampakkan begitu saja, sebagai ayah betapa dirinya dianggap sepi oleh sang anak. Pergolakan perasaan yang demikian dahsyat dimana antara keangkuhan, merasa terhina dan dilecehkan, silih menyusul, memadu, dan tumpang-tindih dalam jiwanya. Hingga menghempaskan sang Prabu pada suatu dendam. Dendam yang sangat tinggi! Dendam yang menghanguskan jiwanya, dendam yang menghujat dirinya sebagai raja! Dendam sang Prabu kepada Isterinya, untuk sementara waktu terobati dengan mengambil wanita cantik sebagai selir. Nafsu syahwat, keangkuhan lelaki dari sang raja, itu adalah hiburan dalam mengurangi dendam kepada mantan isterinya.


Bersambung..........

No comments:

Post a Comment