Wednesday, June 2, 2010

"Realisasi PANGRUWATING DIYU" dan Sejarah ” CUPU MANIK ASTAGINA ” (Bagian 1)

Disarikan kembali Oleh Pinadita Astono Chandra Dana

Om Swastyastu,

Setelah bersama-sama kita menyimak pendaran-pendaran sastra agung yang pernah diturunkan Hyang Murbeng Awisesa di alam jagat raya ini yakni SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT sebagai PANGRUWATING DIYU, sebagaimana 6 (enam) seri tulisan sebelumnya, maka pada kesempatan ini izinkan kami untuk kembali membuka dan menggali kembali keagungan falsafah suci dari Sastra Jendra Hayuningrat tersebut terutamanya mengenai realisasi dari Pangruwating Diyu.

Sebagaimana diketahui bahwa salah satu ilmu rahasia para dewata mengenai kehidupan di dunia adalah Serat Sastrajendra. Secara lengkap disebut Serat Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.

Serat = ajaran,
Sastrajendra = Ilmu mengenai raja.
Hayuningrat = Kedamaian.
Pangruwating = Memuliakan atau merubah menjadi baik.
Diyu = raksasa atau keburukan.


Raja disini bukan harfiah raja melainkan sifat yang harus dimiliki seorang manusia yang harus mampu untuk menguasai hawa nafsu dan panca inderanya dari kejahatan. Seorang raja harus mampu menolak atau merubah keburukan menjadi kebaikan.

Pengertiannya bahwa Serat Sastra Jendra adalah ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk merubah keburukan mencapai kemuliaan dunia dan akhirat.

Ilmu Sastrajendra adalah ilmu KEBATINAN yang menekankan sifat MENEGAKKAN KEBENARAN DARI SEGALA KEBATHILAN, sifat memimpin dengan amanah dan mau berkorban demi kepentingan rakyat.

Gambaran ilmu ini adalah mampu merubah raksasa menjadi manusia.

Dalam pewayangan, raksasa digambarkan sebagai mahluk yang tidak sesempurna manusia. Misalnya :
-Kisah prabu Salya yang malu karena memiliki ayah mertua seorang raksasa.
-Raden Sumantri atau dikenal dengan nama Patih Suwanda memiliki adik raksasa bajang bernama Sukrasana.
-Dewi Arimbi, istri Werkudara harus dirias sedemikian rupa oleh Dewi Kunti agar Werkudara mau menerima menjadi isterinya.
-Betari Uma yang disumpah/dikutuk menjadi raksesi oleh Betara Guru saat menolak melakukan hubungan suami istri pada waktu yang tidak tepat. Dimana anak hasil hubungan Betari Uma dengan Betara Guru tersebut terlahir sebagai raksasa sakti mandra guna dengan nama “ Betara Kala “ (kala berarti waktu, kala juga berarti keburukan atau kejahatan). Sedangkan Betari Uma kemudian bergelar Betari Durga menjadi pengayom kejahatan dan kenistaan di muka bumi dan memiliki tempat tersendiri yang disebut “ Kayangan Setra Gandamayit “. Wujud Betari Durga adalah raseksi yang memiliki taring dan gemar membantu terwujudnya kejahatan.

Melalui ilmu Sastrajendra maka simbol sifat-sifat keburukan raksasa yang masih dimiliki manusia akan dirubah menjadi sifat sifat manusia yang berbudi luhur. Karena melalui sifat manusia inilah kesempurnaan akal budi dan daya keruhanian mahluk ciptaan Tuhan diwujudkan.

Tulisan ini boleh dianggap sebagai kelanjutan pendaran Sastra Jendra Hayuningrat sebelumnya, dan kisahnya diawali dengan rasa Dendam yang dimiliki oleh Jambumangli yakni pamanda dari Dewi Sukesih kepada Bagawan Wisrawa, untuk lebih lengkapnya silahkan dikuti kisah berikut ini:


Ternyata ada dendam pada Begawan Wisrawa, dari seorang yang sangat sakti yaitu pamanda Dewi Sukesih, Jambumangli. Waktu para raja datang melamar Dewi Sukesih, semuanya dibunuh oleh Arya Jambumangli ini. Namun setelah tahu bahwa si keponakan diperisteri seorang resi, mengamuklah dia.

Datang kehadapan Begawan Wisrawa.
”Wahai Begawan, aku tidak mengira, kesucian dirimu sebagai pengemban Wedha, pengemban kebenaran, pengemban kesucian, ternyata hanyalah srigala yang berbadankan kebenaran dan kesucian. Wahai Begawan! Ternyata kependetaanmu hanyalah sandiwara. Padahal, aku cukup lama di puncak penghormatan hati ini, menyimpan penghormatan kepadamu, penghormatan ini runtuh dalam jiwa ini! Ternyata penghormatan kepadamu sebagai Resi tak pantas! Dan engkau tidak malu menghancurkan puteri Kakandaku, mencuri cinta anakmu sendiri! Dan engkau menodai dirimu sendiri di hadapan rakyat Alengka. Menghitamkan segala kesucianmu di hadapan rakyat Lokapala. Karena itu, aku memiliki ilmu yang belum pernah kugunakan. Seribu Ksatria akan mati, akan hancur oleh ilmuku ini. Aku tidak takut! Sekalipun engkau sakti mandraguna, wahai Resi.”

Ternyata segala caci-maki dan hinaan ini diterima sebagai ’nikmat’ oleh Begawan Wisrawa. Sang Begawan tunduk, malah bersimpuh kepada Arya Jambumangli. Sang Arya yang sedang mengamuk ini memanah sang Resi, dengan panah yang sakti. Berbagai panah menusuk ke tubuh sang resi. Beratus pusaka ditusukkan ke tubuh sang resi, sang resi membiarkan. Diam tak melawan. Karena ini semua dianggap pahala dari karmanya, siksa dunia atas noda yang diciptakannya.

Dalam hati sang Begawan berkata, ”Terima kasih wahai Dewa, Engkau telah menjadikan pengadilan di Nirwana, di dunia ini. Engkau mendahulukan pengadilan di Nirwana, di dunia ini. Bagiku ini adalah kehormatan yang sangat tinggi, wahai Sang Dewa. Ternyata Engkau masih menghormati diriku yang ternoda. Ternyata engkau tidak rela mengadili aku di Nirwana, tapi mengadili aku di jagad bumi ini. Betapa Engkau dan semua para Dewa menghormati aku. Biarkanlah siksaan ini membawa noda-noda dosa yang ada dalam jiwa dan fikiranku, wahai Dewa-Dewa .”

Dan ternyata, setiap senjata yang masuk dan keluar dari tubuhnya, tidak mengeluarkan darah setetes pun. Tambah disiksa oleh Jambumangli, tambah ikhlas, tambah nikmat dan tambah tinggi kesaktian yang ada dalam diri sang Begawan ini. Sampai ilmu apapun telah dikeluarkan, habis semua kesaktian Jambumangli.

”Wahai Resi, Pendeta yang melacur! Pendeta yang bersyahwat! Ternyata engkau sakti. Dan aku tidak menyimpan lagi kesaktian, karena aku tahu, kesaktian engkau karena kekuatan birahi yang engkau agungkan bersama keponakanku, Dewi Sukesih! Ternyata kesaktian engkau melampui kesaktian semua ksatria, karena engkau beli dengan syahwat yang tinggi. Karena engkau beli dengan tapa yang lama di dunia, dengan keserakahan cinta dan keserakahan syahwat menundukkan Dewi Sukesih. Aku mengaku atas kesaktianmu dan aku mengakui, kesaktian itu kau dibeli oleh syahwat dan puasa untuk mengejar syahwat, tapa untuk mengejar syahwat”, demikian Jambumangli.

Yang tadinya hinaan dirasakan sebagai sebuah kenikmatan bagi sang Begawan. Tapi fitnah ini, sanggup menimbulkan rasa sakit di jiwanya. Maka manakala sakit di jiwanya karena tidak merasa seperti itu muncul dengan deras, justru saat itu anak-anaknya yang tiga itu, tambah besar, tambah dewasa dengan cepat, tanpa lagi melalui proses waktu. Ketersinggungan sang Resi, cepat mendewasakan mereka. Sang Resi kembali ke jagad kesuciannya. Hanya jagad kesuciannyalah sebagai Iman seorang resi yang sempurna, yang dapat mengalahkan perasaan – perasaan ketersinggungan tersebut.

Datanglah suara dari Nirwana, ”Wahai Begawan Wisrawa, bunuhlah Arya Jambumangli. Karena keangkara murkaan yang telah disebar oleh anak-anakmu, cukup melampaui kemurkaan dunia, melampui noda dunia. Jangan sampai ditambah noda-noda angkara Jambumangli. Namun, bunuhlah Jambumangli, bukan dengan siksaan. Tapi bunuhlah dengan kenikmatan yang telah engkau bawa dari Sastra Jendra!”

Maka Sang Begawan mengeluarkan ”alat” dari tubuh dirinya sendiri. Pusaka itu bukan tersimpan di luar tubuhnya, tapi di dalam tubuh fisiknya. Diambillah sebuah pusaka dari perutnya, maka keluarlah satu cahaya kuning yang menyilaukan mata Jambumangli.

Jambumangli yang tadinya marah, mengamuk. Tiba-tiba, tersenyum, keluarlah keringat dari sekujur tubuhnya terus membuka bajunya sendiri, telanjang bulat! Maka tampaklah suatu pandangan yang ganjil.

Jambumangli sebagaimana seseorang (laki-laki) yang sedang dipermainkan oleh suatu birahi yang maha dahsyat, seksnya terangsang, nafasnya mendengus sebagaimana nafas kuda jantan yang binal, gelisah!

Ternyata cahaya kuning dari Pusaka ini, membawa kabar, rekaman-rekaman peristiwa jadi kudanya Begawan sewaktu hubungan suami-isteri, pesta pora seks dengan Dewi Sukesih. Peristiwa itu, terulang kembali! Jambumangli ikut serta dalam pengulangan peristiwa tersebut. Dan di puncak syahwat, Jambumangli berguling-guling di tanah, yang disaksikan oleh sang Begawan. Akhirnya terungkaplah desah Jambumangli.

”Wahai Dewi Sukesih, ternyata aku berhasil memiliki dirimu, engkau jadi isteriku. Aku menyentuh tubuhmu, aku mencium tubuhmu, engkau mencintai aku Dindaku, isteriku. Engkau berhasil menjadi milikku dan aku puas hidup di dunia ini. Kekasihku, Cintaku, Dewi Sukesih”, demikian Jambumangli sambil tersenyum.

Maka senyuman itu sekaligus tarikan nafas yang terakhir. Jambumangli mati dalam kesempurnaan nikmat syahwat bersama Dewi Sukesih, seolah-olah. Padahal memang sesungguhnya terjadi seperti itu, karena Karunia Hyang Widhi terlalu luas. Tetap diberikan kenikmatan dan kenyataan memiliki Dewi Sukesih. Tetapi yang dimiliki bukan keikhlasan kesucian ilmu Sastra Jendra yang sudah ada dalam diri Dewi Sukesih. Yang dimiliki adalah fisik syahwatnya dan kewanitaan Dewi Sukesih. Dibawa serta dalam kematiannya.

Maka datanglah suara dari Nirwana.

”Wahai Begawan, engkau telah menyelesaikan tugasmu membunuh Jambumangli, demi ketenteraman dunia, dengan ilmumu. Dibunuh oleh peristiwa hidupmu, dibunuh oleh pengalaman hidupmu, oleh nafasmu, oleh cintamu. Dibunuh oleh keikhlasanmu dan dibunuh oleh kesaktian engkau. Namun bagian-bagian syahwat yang tersisa dari dirimu, karena peristiwa ’senggama’ telah engkau wariskan kepada Jambumangli. Dan oleh Jambumangli telah dibawa kembali ke sumbernya. Biarkanlah Jambumangli, kematiannya di alam kenikmatan seksual, karena itu semua kehendak Dewa Yang Agung.”

Dewi Sukesih menyaksikan peristiwa ini.

”Kakanda, betapa tragis! Aku takut, aku dibawa. Syahwatku, fisik tubuh kewanitaanku. Aku takut. Bukankah aku manusia yang harus menyertakan perasaan kewanitaanku?”

”Wahai Dewi Sukesih isteriku kau harus mensyukuri”, jawab Begawan Wisrawa. ”Engkau telah diruwat oleh pamanmu sendiri, yang mencintai syahwatmu, yang mencintai kewanitaanmu. Pesona tubuhmu telah sirna kini, di dunia, kembali ke tempat asalnya. Dibawa oleh kendaraan cinta yang ada dalam diri pamanmu.”

Batara Narada pun datang menyampaikan sabdanya.

”Anak-anakku, engkau telah menghantar bayi-bayi hingga besar. Seiring dengan usia bayi yang membesar, seiring pula dengan ampunan dari Yang Maha Murbeng, menyertai engkau. Kini engkau terbebas dari dosa, noda. Engkau suci dari ujung rambut hingga ujung kaki. Suci segala gejolak jagad fikiranmu, suci segala gejolak jagad bathinmu, jagad jiwamu, dan suci pula rukhmu. Aku kirimkan ’Atma’ dari puncak Surgawi, ’Atma’ dirimu. Atma dirimu akan Kukembalikan wahai Begawan, dan Atma dirimu wahai Dewi Sukesih. Pakailah kembali Atma dirimu, jati dirimu, yang telah lama engkau simpan di arsip Kahyangan, atas kehendak Hyang Widhi.”

Maka datanglah cahaya yang persis wajahnya, yang persis fisiknya. Dan sang Atma itupun mengucapkan salam.

”Wahai sang Begawan, aku terlalu lama engkau tinggalkan. Dan aku terlalu lama engkau lupakan, namun aku rindu padamu. Kerinduan ini dapat izin dari Hyang Widhi untuk kembali kepadamu. Terimalah aku, dalam rumah jiwamu, dalam rumah fikirarmu.”

Berkata sang Begawan.

”Selamat datang wahai diriku yang sudah lama kurindukan. Selamat datang hatiku yang sudah lama kulukis dengan kerinduan kepada kebenaran. Selamat datang, wahai jiwaku yang selama ini kugapai, masuklah ke dalam rumahmu, yang sudah lama engkau aku kotori. Masuklah ke dalam rumahmu, yang sudah lama aku nodai. Dan tidurlah dengan nyenyak, di tempat tidur yang terpercik oleh spermaku, Wahai diriku. Masuklah ke jagad yang lama kosong di dunia ini.”

Maka masuklah Atma itu ke dalam diri keduanya, Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih.

Bersabda Batara Narada.

”Wahai Begawan, engkau telah kembali pada dirimu. Engkau telah kembali kepada haq yang telah engkau genggam. Penderitaan yang telah engkau genggam, usai sudah. Pengorbanan yang harus engkau bayar telah selesai, dharma tak perlu lagi karena sang Atma adalah dharma. Ibadah sudah tak perlu lagi, karena sang Atma, adalah ibadah. Engkau menjadi bagian dari kami, para dewa di Surgawi. Dan engkau telah menjadi dewa di dunia ini, di bumi ini. Wahai Begawan, segeralah berkunjung ke Nirwana. Tapi engkau, wahai Dewi Sukesih, masih punya tugas untuk membesarkan anak-anakmu. Maka manakala engkau rindu kepada Hyang Widhi, datanglah ke Nirwana dalam tapamu. Dan manakala engkau terpanggil oleh tanggung-jawab kepada cinta anak-anakmu, bangunlah dari tapamu.”

Sang Dewi menjerit

”Wahai sang Dewa Narada, kenapa aku tak diundang ke Nirwana?”

Batara Narada menjawab.

”Wahai Ratu Bumi, wahai Ratu Dunia, cinta kasihmu masih diperlukan oleh umat manusia. Cinta kasihmu masih diperlukan untuk mengembangkan keturunan manusia untuk mengembangkan semua habitat hewan dan tumbuh-tumbuhan. Supaya daun tetap lestari, supaya bumi tetap berjalan. Engkau harus terima dharma ini sebagai penghormatan dari kami para Dewa. Biarkanlah suami lebih dulu berkunjung ke Nirwana. Tunggulah, sampai sang Dewa mengajak engkau ke Nirwana. Dengan rukhmu, dengan tubuhmu, dengan jiwamu.”

Sang Begawan pun bolak-balik, Nirwana Dunia (bumi) di dalam tapanya. Manakala Begawan Wisrawa dijemput di Nirwana oleh para Dewa, para Bidadari, khususnya Batara Narada dan Batara Guru, dan Batara-batara lainnya. Mereka bertanya kepada sang Begawan ini yang namanya bukan lagi Begawan atau Resi, tetapi sudah menjadi Batara.

Batara Wisrawa (Dalam pewayangan disebut Batara Ismaya).

”Wahai Batara Wisrawa, apakah engkau bisa membersihkan air-air noda dunia dari Permata Kehidupan, Permata yang ada di dinding Nirwana ini? Kami para Dewa tak mampu membersihkan air noda dunia ini, cahaya surga berkurang oleh air noda dunia. Hanya engkau, Batara Wisrawa. Yang mampu membersihkan, dan bawalah kembali air noda dunia ini ke bumi, karena engkau bisa kembali ke bumi.”

Maka Batara Wisrawapun mengumpulkan air noda dunia yang memercik pada permata cahaya di dinding surga. Namun, setelah dibersihkan ternyata cahaya yang berkurang dari surga tak bisa terang kembali.

Berkatalah para dewa, ”Wahai Batara Wisrawa, engkau telah berhasil menyimpan kembali air noda dunia dalam mangkok jagad jiwamu. Tetapi cahaya gemerlap yang biasa ada di Surgawi berkurang. Permata-permata indah yang biasanya mengeluarkan cahaya gemerlap di alam Kahyangan, agak buram. Tetap buram walaupun air noda dunia itu sudah diambil.”

Bersabda Batara Narada, ”Wahai para Dewa, lihatlah! Karena peristiwa anak manusia yang mencoba masuk ke Nirwana, disebabkan oleh ketinggian ilmu Sastra Jendra Hayuningrat, menyebabkan cahaya Nirwana berkurang. Walau sang Batara Wisrawa telah mengambil air noda dunia itu ke mangkok bathinnya, cahaya tetap buram. Permata-permata itu sendu. Permata indah di dinding surga menjadi sendu.”

Batara Narada memberikan istilah kepada sumber cahaya yang ada di surga menjadi redup, permata menjadi sendu, adalah ”Air permata sendu.” Jadilah Air Permata Sendu, permata air kehidupan yang sendu.

Selanjutnya Batara Narada, mohon pada Sang Hyang Widhi di puncak Nirwana,

”Duhai Hyang Widhi Yang Agung, Dewata Sang Pencipta Segala Dewa, hanya Engkaulah yang mampu mengembalikan cahaya yang telah memudar di Nirwana ini.”

Terdengarlah sabda suci dari Hyang Widhi :

”Memang, hanya Aku-lah yang mampu mengembalikan cahaya semua surya yang Aku ciptakan. Hanya Aku-lah yang mampu mengembalikan cahaya. Aku akan turun ke Nirwana, dalam membawa cahaya.”

Maka, Sang Hyang Wenang Maha Dewata Agung, Hing Murbeng Agung, Hyang Widhi Wasa, turun ke Nirwana. Turun dari Puncak Nirwana ke Nirwana membawa serta cahaya, sabda-Nya :

”Siapakah yang bisa menerima ’Anugrah Jodoh’, dari cahaya ini?”

Semua bungkam, semua bisu. Batara Guru bungkam, Batara Narada bungkam, semua Dewa bungkam, Batara Wisrawa pun bungkam.

”Engkau Wisrawa?”, sabda Hyang Agung, ”Bisa membawa Anugrah Jodoh cahaya ini? Engkau telah menyimpan kembali air noda dunia ke dalam jagad jiwamu. Maka Aku terpanggil untuk turun ke Nirwana ini. Berarti engkau bisa mewakili semua dewa-dewa untuk menerima cahaya Nirwana ini.”

Batara Wisrawa tunduk tak berkata-kata, sampai-sampai keindahan perasaannya yang sucipun, padam! Betapa malu. Malu kepada Yang Maha Menciptakan.

”Berarti, siapapun tak mampu menerima cahaya, sumber cahaya dari segala cahaya ini”,

kembali Hyang Widhi bersabda :

”Cahaya puji-pujian dari Negeri-Ku, dari Istana-Ku. Cahaya puji-pujian, cahaya yang terpuji, Nur yang terpuji. Berarti Aku yang harus tentukan siapa yang mewakili sumber Cahaya Terpuji ini. Biarkanlah, Aku lebih tahu, kepada siapa Aku lebih mencintai dari semua Dewa di sini.”

Hing Murbeng Agung memandang semua Dewa, satu persatu. Akhirnya, tatapan kesempurnaan Sang Hyang Widhi terhenti pada Batara Guru.

”Wahai Batara Guru, engkaulah yang paling Aku cintai dari semua makhluk, dari pada Nirwana yang Aku ciptakan dengan segala isinya. Aku pun hampir mengalahkan cinta-Ku pada diri-Ku sendiri. Bawalah Kekuasaan Cahaya ini oleh engkau, wahai Batara Guru.”

Batara Guru sujud. Dan setelah Batara Guru bangun, maka Kecintaan Hyang Widhi pada Diri-Nya sendiri, pindah, ke jagad jiwa Batara Guru. Cinta Hyang Widhi pada Diri-Nya sendiri ada dalam diri Batara Guru. Cahaya Terpuji dari segala Yang Terpuji, diterima.

”Simpanlah dalam jagad dirimu, wahai Batara Guru.”

Maka cahaya Surgawi yang pudar kembali terang, lebih terang dari semula, sebelum terkena air noda dunia. Permata Sendu, kembali gemerlap! Ternyata Cahaya yang ada dalam Jagad Bathin Batara Guru, lebih cemerlang dari cahaya Nirwana itu sendiri.

Sabda Hyang Widhi, pada Batara Guru.

”Wahai Batara Guru, serahkanlah kembali pada-Ku cahaya itu.”

Batara Guru pun menyerahkan kembali cahaya yang terpuji dari segala yang terpuji, bersama jagad bathinnya sendiri, sebagai wadah. Inilah yang dinamakan Cupu Manik Astagina. Di dalamnya ada Kekuasaan Hyang Widhi, Cinta Hyang Widhi Yang Maha sempurna.

Demikian dipersembahkan kembali pada Hyang Widhi, cahaya tetap cahaya di Nirwana. Cahaya dalam bathin Batara Guru pun tetap bercahaya.

Sabda-Nya : ”Cupu Manik Astagina ini Ku-bawa dulu sementara waktu, ke tempat-Ku. Manakala engkau turun ke bumi, bawalah Cupu Manik Astagina ini. Guna mempersiapkan turunnya Aku di negeri dunia.”

Begitu semuanya usai, Batara Wisrawa menangis.

”Wahai Dewa-dewa, aku tak mau pulang! Ternyata selama waktu yang panjang, engkau, Dewa-Dewa, belum pernah bersua dengan Sang Hyang Widhi, bertatap muka dengan Hing Murbeng Asih. Kebetulan aku ke Nirwana ini, bersama engkau aku bertemu. Akupun bertemu, bertatap muka dengan Hyang Maha Agung.”

Ternyata semua dewa belum pernah bersua, bertatap muka dengan Sang Hyang tunggal. Batara Wisrawa sangat beruntung, namun dampaknya tak mau kembali pulang kebumi.

Akhirnya datanglah Sabda-Nya :
”Wahai Batara Wisrawa, belum saatnya engkau meninggalkan dunia, engkau masih dibutuhkan oleh dunia. Bawalah Cupu Manik Astagina yang telah Ku-genggam, namun cupunya saja. Isilah dengan air kehidupan dunia yang telah tersimpan dalam jiwamu. Cukuplah dunia akan diruwat oleh air yang telah Ku-simpan pada jagadmu yang diisi ke dalam wadah, Cupu Manik Astagina.”

Isi Cupu Manik Astagina yaitu : Nur atau Cahaya suci, tetap digenggam oleh Hyang Widhi Wasa. Maka turunlah Begawan Wisrawa, dari Nirwana kembali ke bumi. Dengan membawa Cupu Manik Astagina yang isinya Air Kehidupan Dunia.

Untuk selanjutnya, Cupu Manik Astagina yang berisi air kehidupan dunia ini, kita sebut sebagai Cupu Manik Banyu Kahuripan.

Bersambung...............

1 comment:

  1. Salam Indonesia, tanpa mengurangi rasa hormat kepada Bapak Astono yang susah payah telah mengetik dan menuliskan Buku Sastera Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu di blog ini, seharusnya dituliskan penulis sebenarnya yaitu Bpk Raden Imam Mudrika dari Bogor. Hal tersebut tidak akan mengurangi penghormatan kepada Pak Astono yang telah mencantumkan buku tersebut disini. Saya saksi langsung tersusunnya buku tersebut. Salam

    ReplyDelete