Monday, April 5, 2010

SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT PANGRUWATING DIYU (Bagian 3)

Disarikan kembali oleh : Pinandita Astono Chandra Dana (Sekum PSN Pusat)


Salah satu ilmu rahasia para dewata mengenai kehidupan di dunia adalah Serat Sastrajendra. Secara lengkap disebut Serat Sastrajendrahayuningrat Pangruwatingdiyu. Serat = ajaran, Sastrajendra = Ilmu mengenai raja. Hayuningrat = Kedamaian. Pangruwating = Memuliakan atau merubah menjadi baik. Diyu = raksasa atau keburukan. Raja disini bukan raja dalam artian harfiah, melainkan sifat yang harus dimiliki seorang manusia mampu menguasai hawa nafsu dan pancainderanya dari kejahatan. Seorang raja harus mampu menolak atau merubah keburukan menjadi kebaikan.

Pengertiannya bahwa Serat Sastrajendra adalah ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk merubah keburukan mencapai kemuliaan dunia akhirat. Ilmu Sastrajendra adalah ilmu KEBATINAN yang menekankan sifat MENEGAKKAN KEBENARAN DARI SEGALA KEBATHILAN, sifat memimpin dengan amanah dan mau berkorban demi kepentingan rakyat.

Melalui ilmu Sastrajendra maka simbol sifat sifat keburukan raksasa yang masih dimiliki manusia akan menjadi dirubah menjadi sifat sifat manusia yang berbudi luhur.

Berikut kembali kami sajikan lanjutan kisahnya (Bagian ke 3) :


Menjelang gerbang Sela Menangkep, maka goyanglah jagad tersebut. Jeritan-jeritan Raksasa datang. Berjuta raksasa datang, hawa nafsu-hawa nafsu membentuk berjuta raksasa-raksasa. Aroma bau. Bau kematian. Lebih bau daripada mayat basah. Erang harimau raksasa. Kemarahan para raksasa bergelombang.

”Wahai Puteriku, raksasa itu tidak ada di jagad ini, digerbang Kahyangan ini. Itu ada dalam jagad dirimu. Kecantikan wajahmu, itu mengerang seperti harimau. Sesungguhnya kecantikan adalah harimau. Senyummu sebenamya erangan harimau, keindahan tubuhmu sebenarnya raksasa yang buruk muka. Kemarahan mereka, sebenarnya kemarahan dirimu, wahai Puteriku, yang ada di jagad ini. Dan bau yang melampaui bau mayat yang basah, itu hatimu sendiri. Karena manusia tak mampu melepaskan dari rasa persaingan sesamanya, tidak mau melepaskan dari keterpenjaraan benci, kebencian. Perbedaan kebenaran saja, walaupun kebenaran yang sama, itu menimbulkan kebencian. Itulah bau yang sangat buruk, aroma mayat yang rusak, wahai Puteriku. Dan kau masih memiliki hati itu.”

Dan tiba-tiba muncul roh-roh halus, lembut, merekah beraroma sangat wangi, melampaui aroma wangi-wangian apapun. Berpakaian manik-manik putih, berbusana putih murni.

”Itu tidak ada dalam jagad ini, itu ada dalam jagadmu, wahai puteriku. Itu adalah rukhmu, kesucianmu, kelembutanmu. Engkau memiliki kemurnian dari Rukh yang suci.”

Dan tiba-tiba raksasa yang jahat berperang dengan rukh yang suci. Peperangan saling mengalahkan, tiada yang menang, tiada yang kalah. Rukh suci dikalahkan oleh rukh jahat, maka rukh suci bangun kembali seketika. Begitu pula sebaliknya. Maka peperangan tidak lagi dibatasi oleh kemenangan, juga tidak diakhiri oleh kekalahan.

”Wahai anakku, itulah kehidupan dunia. Tidak akan ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Cepatlah kembali pada kehidupan dunia., wahai Puteriku.”

Maka rukh halus dan rukh jahat hilang, yang ada adalah jagad ketenangan dalam hatinya, Kemudian muncullah kekuatan, berupa sinar yang datang dari dada Dewi Sukesih.

”Puteriku, itulah Kencana Rukmi. Diantara keinginan menang, diantara takut kalah, ada sesuatu yang netral. Yang tidak ingin menang dan tidak ingin kalah. Itulah Kencana Rukmi dalam dadamu. Kencana Rukmi inilah tempat paling aman, tempat yang paling menyelamatkan. Di sini di Kahyangan engkau tenteram dan aman. Di bumi pun dengan Kencana Rukmi ini kamu akan selamat.”

Kencana Rukmi, mengikis habis keresahan di malam.hari, kekelaman jiwa dalam kegelapan. Kencana Rukmi memotong harapan-harapan illusi dari sebuah harapan kosong tentang kenikmatan. Kencana Rukmi membenarkan kenyataan hakiki dan menyalahkan kebenaran semu. Karena Kencana Rukmi, laksana sinar yang datang dari sumber Hyang Widhi, tembus sampai ke dasar bumi.

”Ikutilah wahai Puteriku, cahaya itu. Kencana Rukmi alat untuk mengarungi kehidupan. Cahaya dari Hyang Widhi, cahaya Widhi yang sampai ke dasar hati.” Begawan Wisrawa dengan Dewi Sukesih tambah tinggi-tambah tinggi, mengarungi lapisan-lapisan kebahagiaan yang tiada tara, melampaui ketenteraman dan kedamaian. Makna ketenteraman dan kedamaian itu adalah ”sela” atau batasan kecil dari rasa aman di muka bumi.

Tapi dijagad tersebut, di perbatasan alam Kahyangan, kedua orang ini terhanyut oleh alam kebahagiaan. Di mana alam kebahagiaan ini memiliki satu kenikmatan yang tak terhingga, walau masih kosong atau sepi dari energi Ke-Widhi-an. Berarti alam Kahyangan atau alam surga adalah jagad nikmat kebahagiaan yang mengandung energi ke- Widhi-an.

”Wahai Dewi Sukesih”, kata Begawan Wisrawa, ”Kita harus kembali secepatnya ke bumi.”

”Mengapa demikian wahai Begawan?”

”Karena kita ini masih memiliki raga. Di sini, di alam Kesucian tidak ada alatnya untuk mensucikan tubuh kita. Dan tiada mampu alam ini mensucikan jagad kotor yang kita simpan dalam jiwa kita. Sekalipun dunia penuh noda tapi di sana tempatnya ’pensucian’, tempat ’meruwat’.”

”Namun Begawan, saya tak mampu melepaskan kerinduan yang sangat kepada sesuatu yang ada di balik Kahyangan. Kita harus masuk ke pintu Kahyangan”, kata Dewi Sukesih.

”Apakah wahai Begawan, yang menarik jiwa ini untuk masuk ke Kahyangan. Walau pikiranku tidak merindukan kenikmatan Surgawi. Tidak merindukan kenikmatan Kahyangan. Bathinku merindukan yang menciptakan Kahyangan itu sendiri. Apakah itu, wahai Begawan?”

”Itu adalah ’Budi’, jawab Begawan Wisrawa, ”Budi yang ada dalam jiwa kita, yang tersembunyi, karena Budi berangkat dari Ke-Widhi-an. Maka, meronta, bergerak, selalu menuju pada sumber Ke-Widhi-an.”

Maka manakala menjelang Sela Menangkep, pintu surga terbuka, dengan kegembiraan yang sangat, sang Dewi masuk. Yang tadinya Begawan menasehati untuk mengajak pulang, sang Begawan pun tersedot untuk ingin masuk ke pintu Kahyangan tersebut. Maka bumi berguncang-guncang, evolusi matahari berubah, alam raya, acak! Samudera menggelegar, banyak permukaan bumi tergenang air laut. Daratan menjadi lautan. Para raksasa yang tadinya gagah, menangis pilu. Rukh jahat mengerang kesakitan, meronta, memanggil-manggil Hyang Widhi. Memanggil-manggil Tuhannya. Maka yang tadinya raksasa-raksasa dalam jagad sang Dewi pun keluar, masuk ke Kahyangan. Menghalangi pintu-pintu Surga.

”Wahai manusia, belum saatnya engkau meninggalkan dunia. Kasihan bumi kau hina, kasihan bumi kau injak-injak, kasihan bumi kau lecehkan”, kata raksasa-raksasa dan rukh-rukh jahat lainnya.

Para Dewa pun resah!

Maka Batara Guru mengumpulkan para Dewa, para Batara dan para Bidadari.

”Jagad kita, jagad Nirwana ini mulai terancam”, kata Batara Guru.

”Ada anak manusia mencoba masuk kesini, melalui tangga-tangga Sastra Jendra Hayuningrat. Kita harus menutup pintu masuk ini, karena mereka belum saatnya masuk ke Indra Prastha yang kita cintai ini.”

”Wahai Batara Guru, siapakah yang datang?” bertanya Batara Narada.

”Dua anak manusia, perempuan dan laki-laki”, jawab Batara Guru.

”Wahai Batara Guru, kita tidak perlu resah. Tempat kita Kahyangan ini mana mampu dimasuki oleh manusia sebagai perempuan dan laki-laki. Di sini tidak ada batasan perempuan dan laki-laki, kita tidak perlu resah. Dua manusia itu belum saatnya masuk Kahyangan”, Batara Narada melanjutkan keterangannya,

”Karena walaupun mereka sudah masuk ke Sastra Jendra, tetapi di balik hatinya yang terdalam masih merindukan dosa-dosa, masih merindukan noda-noda. Walaupun mereka sudah hening dari kerinduan-kerinduan itu sendiri.”

”Wahai Dindaku”, berkata Batara Guru pada isterinya, Betari Uma.”

”Bagaimanakah pendapatmu, tentang dua orang yang mencoba memasuki Kahyangan ini?”

”Wahai Kakandaku, walau aku wanita tapi di sini aku kehilangan kewanitaanku. Karena kewanitaanku sudah kukorbankan dalam Sastra Jendra yang panjang. Aku dihadapanmu wahai suamiku, bukan lagi feminim. tapi aku adalah aku sebagai sumber awal kehidupan”, jawab Betari Uma.

”Dan bagaimanakah dengan Dewi Sukesih yang mencoba masuk ke Kahyangan ini?”

”Biarlah, dia masih membawa keangkuhan wanita, sang Begawan pun masih membawa keangkuhan pria. Bukankah Nirwana ini dibentengi oleh keangkuhan rasa wanita dan keangkuhan rasa lelaki? seperti aku, wahai suamiku. Sewaktu aku pernah ke bumi”,
kata Betari Uma selanjutnya,

”Perempuan di puncak keanggunannya, di puncak kesuciannya. Taman bunga di jiwanya, taman bunga di dagingnya, taman bunga di perasaannya. Bunga-bunga Menur tercuri oleh lelaki. Maka wanita tak merasa tercuri kesuciannya oleh lelaki. Bunga Menur, aku pun tercuri oleh lelaki saat di bumi.

Namun aku tak mampu, tak bisa, merampas bunga Menur. Karena keperawanan bukan dua kali, hanya sekali. Keperawananku dicuri lelaki. Seperti seorang gadis yang tidak tahu, bunganya telah dicuri dari Taman hatinya. Rasa ego wanita, merasa tak tercuri kesuciannya. Karena rasa ego wanita, dirinya harus mempersembahkan kepada sang suami. Itulah cinta yang aku rasakan sebagai penduduk bumi, wahai suamiku.”

”Begitupun seorang lelaki, wahai isteriku”, berkata Batara Guru, ”Setelah mencuri bunga Menur dari Taman hati seorang wanita, seperti lebah yang kehilangan sengatnya. Jangan harap mereka mampu menikmati Surga, karena mulutpun mereka tak punya. Lelaki datang ke surga mau menikmati kenikmatan Surgawi, namun seperti kumbang yang datang pada bunga raksasa penuh madu, tapi tak punya alat untuk menghisap. Karena isapannya cuma satu, sudah digunakannya untuk mencuri bunga Menur dari taman hati seorang gadis.”

”Dimanakah Sastra Jendra wahai suamiku? Manakala seorang wanita kehilangan bunga Menurnya, dan saat lelaki kehilangan sengatnya?”

”Sastra Jendra tetap ada”, jawab Batara Guru, ”Menunggu sampai mengerti, kenapa kehilangan bunga Menur dan kenapa kehilangan sengatnya. Tetap tidak berakhir kesempatan untuk meraih Sastra Jendra, wahai isteriku.”

Maka seluruh makhluk di alam raya, berbondong-bondong datang. Diantaranya ada Warudoyong, Pocong, Singabarong, Jerangkong (rukh-rukh yang belum sempat memiliki fisik).

Warudoyong adalah sejenis rukh yang mendambakan fisik, untuk makan tidur.
Singabarong, perlu fisik untuk menyatakan cintanya, untuk menyatakan kebenciannya.
Pocong adalah bentuk rukh yang mendambakan fisik, daging dan darah, supaya kelaminnya bisa kumpul, untuk menikmati seksual. Mereka merasakan sensual, tapi tak punya kelamin karena tak berfisik.

Jerangkong, perlu fisik untuk bisa menyayangi, untuk bisa membunuh, untuk bisa menyiksa sesamanya.

Adapun rukh-rukh marakahyangan, yang pernah hidup di dunia, namun kematiannya masih membawa nafsu secara sempurna.

Brakasaan, Banaspati, Gandarwa dan seluruh rukh-rukh baik yang tidak punya fisik, yang pernah punya fisik, rukh-rukh marakahyangan, para diyu dan para jin, kumpul.

Demonstrasi!

“Wahai Sang Dewa Batara Guru, jangan biarkan dua anak manusia ini masuk, karena kalau mereka masuk dunia akan hancur. Kami belum siap memiliki daging dan darah, wahai Dewa Batara”, berkata rukh-rukh yang belum sempat mempunyai fisik.

”Wahai Dewa Agung, jangan biarkan dua anak manusia ini masuk, karena aku masih ingin lahir kembali ke dunia. Walau sempat hidup di dunia, aku tidak bosannya bergumul dengan darah dan daging. Itu adalah kenikmatanku”, kata rukh-rukh marakayangan.

Maka darah-darah pun mengalir, darah yang aromanya bau, hitam dan kelam berkata,

”Wahai sang Dewa, kami adalah tetesan dosa , kami menangis. Walaupun dunia tidak hancur, manusianya kehilangan kerinduan kepada aku. Bukankah wahai sang Dewa, kerinduan seksual adalah menghisap darah, Kerinduan kelamin adalah penyimpanan darah? Bukankah memakan harta yang lain adalah menghisap darah, dan mengkhianati yang lain adalah berenang dalam darah? Kami adalah darah-darah yang masih punya hak bergenang di bumi. Jangan engkau biarkan darah tidak dirindukan lagi oleh penduduk bumi.”

”Wahai Kakanda”, berkata Batara Guru pada Batara Narada, ”Bagaimanakah cara membendung mereka supaya tidak masuk ke kahyangan ini?”

”Wahai Dindaku, Jagad Kahyangan ini akan mengusir mereka yang masih dibatasi oleh rasa lelaki dan rasa wanita. Memang mereka sudah terbebas dari rasa memiliki dan rasa dimiliki oleh siapapun dan oleh apapun. Tetapi mereka dipisahkan oleh rasa ke-dewi-an dari Sukesih dan ke-resi-an dari sang Begawan Wisrawa. Adindaku, cobalah mereka. Benarkah tidak menyimpan lagi batasan-batasan kerinduan untuk berbuat dosa lagi. Turunlah (masuklah) ke salah satu bergiliran”, kata Batara Narada.

Maka masuklah Batara Guru ke diri Dewi Sukesih, masuk ke alam jiwanya terdalam. Batara Guru tidak masuk ke jagad fikiran dan jagad rukhnya, karena jagad fikiran adalah dunia bumi dan jagad rukh, hanya milik Sang Hyang Wenang.

Begitu masuk kepada sentral terdalam jiwa dewi Sukesih, muncullah perasaan tertentu dalam diri Dewi Sukesih. Dipuncak kesucian dari jagad perbatasan Kahyangan, Keagungan dan Kesucian memadu dengan keagungan dari Begawan Wisrawa. Dalam pandangan Dewi Sukesih, betapa gagah, betapa agung, betapa indah akhlak yang dipancarkan oleh sang Begawan. Menimbulkan kekaguman yang sangat dalam pada perasaan sang Dewi sebagai wanita.

Keagungan jagad Nirwana yang suci, memberi sentuhan keagungan dari sikap Begawan Wisrawa. Maka terlihatlah laksana Dewa Batara Kamajaya, simbol kesempurnaan seorang lelaki. Muncullah cinta asmara yang hebat pada sang Begawan, cinta dari anak ke Bapak, punah! Yang ada hanyalah sebagaimana cinta wanita pada pria. Rontaan-rontaan perasaan ini tidak kuat untuk diungkapkan.

”Wahai Begawan, Aku cinta padamu. Betapa engkau mempesona aku, betapa bertambah indahnya alam ini dan betapa bahagianya jiwa ini, sentuhlah kulitku ini, wahai Begawan.” Sang Begawan pun tersentak kaget!

”Dewi Sukesih anakku!….. Aku datang untuk anakku Danareja. Oh, Dewi Sukesih, kenapa pipimu yang merah dan indah itu harus dipoles oleh kembang api neraka? Dan alismu yang hitam, harus dihitamkan oleh abu neraka? Kulitmu yang halus, mengapa harus diperhalus oleh awan-awan nafsu yang kuning? Yang menyorot tubuhmu yang kuning.”

Maka pada saat Begawan Wisrawa bicara demikian, Dewi Sukesih kembali kepada jagad kesuciannya.

”Mohon ampun Begawan….. Mohon ampun raja Dewa. Aku tidak mengerti, kenapa tumbuh perasaan seperti itu. Dan akupun sadar, betapa aku belum pantas untuk masuk ke Nirwana yang Suci”, berkata sang Dewi dengan terbata-bata.

Begitu kesadaran kesucian dari sang Dewi muncul, Batara Guru terpental dari jagad jiwa Dewi Sukesih yang tersembunyi. Ternyata kekuatan yang terpancar dari kesucian bathin, lebih hebat, lebih sakti dari segala macam ilmu dan kesaktian apapun. Bahkan Batara Guru, seorang Dewa, bisa terpental!

Dalam keterpentalannya, Batara Guru bicara dari jarak jauh kepada kakandanya, Batara Narada.

”Wahai Kakanda, betapa hebat kekuatan yang ada dalam kesadaran yang tinggi dari jagad bathin Dewi Sukesih. Memang pantaslah dia menjadi bidadari Surgawi. Pantas Dewi Sukesih menjadi raja dari segala Bidadari.”

Bersambung.............

1 comment:

  1. sekedar informasi .... cerita ini di sadur dari karya budayawan Bapak Imam Mudrika yang berjudul "SASTRA JENDRA HAYUNING PANGRUWATING DIYU" ... saya sudah baca edisi lengkapnya .... adalah sebuah mahakarya yang sangat indah ...trim's

    ReplyDelete