Monday, April 12, 2010

SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT PANGRUWATING DIYU (Bagian 4)

Disarikan kembali oleh : Pinandita Astono Chandra Dana (Sekum PSN Pusat)


Salah satu ilmu rahasia para dewata mengenai kehidupan di dunia adalah Serat Sastrajendra. Secara lengkap disebut Serat Sastrajendrahayuningrat Pangruwatingdiyu. Serat = ajaran, Sastrajendra = Ilmu mengenai raja. Hayuningrat = Kedamaian. Pangruwating = Memuliakan atau merubah menjadi baik. Diyu = raksasa atau keburukan. Raja disini bukan raja dalam artian harfiah, melainkan sifat yang harus dimiliki seorang manusia mampu menguasai hawa nafsu dan pancainderanya dari kejahatan. Seorang raja harus mampu menolak atau merubah keburukan menjadi kebaikan.

Pengertiannya bahwa Serat Sastrajendra adalah ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk merubah keburukan mencapai kemuliaan dunia akhirat. Ilmu Sastrajendra adalah ilmu KEBATINAN yang menekankan sifat MENEGAKKAN KEBENARAN DARI SEGALA KEBATHILAN, sifat memimpin dengan amanah dan mau berkorban demi kepentingan rakyat.

Melalui ilmu Sastrajendra maka simbol sifat sifat keburukan raksasa yang masih dimiliki manusia akan menjadi dirubah menjadi sifat sifat manusia yang berbudi luhur.

Berikut kami sajikan kembali kisah lanjutannya (Bagian ke 4) :


”Memang benar wahai Dindaku”, kata Batara Narada, ”Dewi Sukesih lebih cantik dari semua Bidadari yang ada di Surga. Karena, bilamana manusia bumi mampu mencapai ketinggian harkat, itu melampaui kecantikan dan keindahan penghuni Surga itu sendiri. Manakala anak manusia mencapai ketinggian harkat yang suci dalam keikhlasan, suci dalam kepasrahan, suci dalam rasa memiliki dan dimiliki. Itu adalah lebih tinggi harkatnya dari harga Nirwana itu sendiri, harga Surga itu sendiri”, Batara Narada menerangkan.

Perasaan cinta sang Begawan sebagai seorang ayah, ternyata telah menyelamatkan dirinya dari belaian maut cinta asmara. Dan ternyata kalau cinta, suami isteri telah membuahkan anak, seharusnya ”menambah” kokoh cinta yang ada. Sehingga apabila saat-saat kritis menghadang, terutama dari hempasan badai asmara dari pihak ketiga, ataupun saat-saat kejenuhan mencengkeram jiwa masing-masing, maka cinta kepada anak adalah kekuatan yang agung, dalam menghadapi semua itu.

Ternyata sang Dewa Batara Guru, dalam harkat kedewaannya, sangat menaruh hormat atas kesucian bathinya yang dimiliki oleh insan manusia.

”Namun demikian…..lupakah engkau wahai Dindaku, bahwa Dewi Sukesih datang ke tempat ini karena masalah mencari calon suami. Sekalipun sudah sampai ke Sastra Jendra, sampai pada puncak nilai dan kesucian. Tapi berangkatnya dari mencari suami. lkatlah keberangkatan mencari suami dengan kesucian Sastra Jendra maka Dewi Sukesih akan ditarik kembali oleh aibnya, dari kekuatan daya tarik bumi. Dan cobalah sekarang masuk lagi ke Begawan Wisrawa, masuk ke pusat jagad lelanang-nya Begawan, keangkuhan kelelakiannya, jagad kegagahannya. Munculkan tentang ’mandra guna’ kelelakiannya. Laki-laki ’Lelanang ing jagad mandra guna wiwaha’. Sekalipun Dindaku tidak merasa memiliki, tapi engkau mampu membawa ’lelanang jagad’ pada jagad kelelakian Begawan Wisrawa.”

Maka masuklah Batara Guru ke alam bathin Begawan Wisrawa, masuk ke pusat jagad lelanangnya (ego maskulin), keangkuhan kelelakiannya, jagad kegagahannya. Batara Guru terkagum-kagum melihat keikhlasan kelaki-lakian sang Begawan. Ternyata dengan sukarela sang Begawan memperlihatkan kekuatan jiwanya, karena mampu meninggalkan keangkuhan kelelakiannya. Ada suatu keindahan didalamnya, keindahan karena sang Begawan Wisrawa telah meninggalkan dirinya sebagai raja, meninggalkan dirinya yang berkuasa atas rakyatnya. Meninggalkan dirinya yang beristerikan seorang ratu. Dan telah meninggalkan semua unsur manusiawi, terutama naluri seksual.

Betapa Batara guru terpukau, terpesona, betapa indahnya! Kahyangan adalah jagad yang penuh dengan kenikmatan nan mempesona, namun jagad bathin sang Begawan ternyata lebih mempesona, lebih anggun.

Kekaguman Batara Guru diketahui oleh kakandanya, Batara Narada. ”Wahai Dindaku, kenapa engkau terpesona? Di jagad kita memang tidak ada pesona keindahan seperti itu. Jagad itu ada di atas jagad Kahyangan ini. Itu sangat dekat dengan Sang Hyang Wenang, sangat dekat dengan Yang Maha Tunggal, Yang Maha Esa, Tuhan kita semua. Jagad bathin yang ada dalam dada sang Begawan adalah jagad tertinggi dari surga. Jagad Widhi.”

”Wahai Kakanda, bagaimanakah cara aku menggodanya?”

”Engkau begitu terpesona sehingga engkau lupa, wahai Dindaku. Kau lupa bahwa jagad itu adanya dalam daging Begawan Wisrawa. Cobalah munculkan, jagad dagingnya, jagad diyu-nya.” Jawab Batara Narada.

Begitu dimunculkan jagad daging sang Begawan, bergetar syaraf-syarafnya, muncul perasaan aneh dari sang Begawan. Terlihatlah, wajah cantik nan rupawan Dewi Sukesih, bertambah cantik. Betapa keindahan jagad suci kahyangan bertambah indah dengan kehadiran Dewi Sukesih. Pesona Kahyangan pun bertambah mempesona oleh wajah dan keindahan tubuh Dewi Sukesih. Terungkaplah rontaan perasaan yang tak bisa lagi dikendalikan. Yang biasanya ”wahai anakku” tapi kini, ”wahai dindaku”

Dewi Sukesih tersentak, kaget!

”Wahai Dindaku”, mengapa kita tidak manunggal ? Manunggal dalam jiwa, manunggal dalam perasaan, manunggal dalam bathin. Manunggal dalam jagad fikiran dan jagad raga kita. Supaya engkau meneteskan darah dari rahimmu, supaya dunia bertambah indah oleh darah-darah yang indah. Marilah kita lewati malam pertama dari sebuah perkimpoian, supaya perkimpoian manusia di dunia tambah dirasakan indah. Dan menjadi dambaan tertinggi dari harapan kehidupan dunia.”

”Wahai Begawan, Aku melihat di matamu yang teduh, keluar mega-mega hitam dari nafsu seluruh manusia. Mengapa engkau ambil alih semua nafsu manusia yang ada di bumi? Yang katanya tak boleh dicela, wahai Begawan, walaupun engkau berhasil untuk tidak menghina dunia, namun kau ambil alih noda nafsu seluruh manusia di seluruh jagad bumi. Mengapa engkau isi mega-mega hitam itu dengan birahi? Yang telah engkau mampu padamkan. Dan engkaupun telah membawa obor birahi dari bumi, padahal aku tak melihat engkau mengambilnya dari bumi. Mengapa demikian, wahai Begawan?”

Tersadarlah sang Begawan.

”Wahai Maha Dewa yang ada di Kahyangan, betapa aku masih mensisakan rasa manusiaku, aku tak pantas menjadi penghuni Kahyangan. Izinkanlah aku dan Dewi Sukesih untuk segera kembali ke bumi, supaya kami tidak terjebak oleh sisa manusiawi kami, yang temyata masih kuat, teguh menjadi raja dalam jiwa kami.”

Begitu ada kesadaran yang suci dari sang Begawan, Batara Guruh terpental jauh. Tidak hanya keluar dari jagad bathin sang Begawan, namun terus jatuh di hadapan Batara Narada di Kahyangan.

Ternyata ada kekuatan yang dahsyat dari miniatur Surga yang ada dalam jagad bathin sang Begawan.

”Wahai Dindaku, ternyata engkau masih tetap kalah oleh mandragunanya kekuatan manusia bumi”, berkata Batara Narada yang nampak kekagetan di paras mukanya.

”Mengapa demikian Kakanda?”

”Karena Sang Hyang Wenang Hing Murbeng Agung, pencipta kita. Walaupun marah kepada penduduk bumi, namun masih menyimpan kekuatan kekuasaan-Nya, yang tersembunyi dalam nurani manusia. Yang tidak diberikan kepada kita.”

”Kalau demikian Kakanda, Sang Begawan sangat pantas menjadi penghuni Kahyangan ini.”

”Lebih dari pantas”, jawab Batara Narada,

”Lebih dari kita para Dewa, lebih dari para Bidadari. Karena kita menjadi penghuni Nirwana ini adalah Titis Tulis Hyang Widhi, sekalipun menolak kita tetap menjadi penghuni Kahyangan ini.

Kalau sang Begawan menjadi penghuni di sini, itu adalah karena perjuangan dari sebuah makhluk. Yang dilahirkan tanpa harkat, namun mampu meraih harkat. Itu adalah bagian pengembangan dari sisi lain Kekuatan Kuasa Widdhi.”

”Kalau demikian berarti Sastra Jendra Hayuningrat bukan milik kita”, kata Batara Guru.

”Benar, kita tidak memiliki Sastra Jendra, walaupun Kahyangan ini adalah buah dari Sastra Jendra Hayuningrat. Sastra Jendra Hayuningrat adalah milik Hyang Widhi, milik Hyang Parama Kawi, yang hanya diberikan kepada mereka penduduk bumi yang mampu mengangkat harkat dirinya".

"Baiklah dinda Batara Guru, sekarang engkau masuklah pada keduanya dalam kebersamaan dengan isterimu, Betari Uma. Bercintalah kalian dengan menggunakan fisik kedua anak manusia itu. Engkau tidak boleh lagi terpesona oleh alam jagad bathin keduanya. Langsung saja kembalikan diyu keduanya. Kita para Dewa punya hak dari Hyang Agung, untuk membangun ’diyu-diyu’ dalam jagad diri manusia.”

Batara Guru pun memanggil isterinya, Betari Uma. ”Wahai kekasihku, kita akan bercinta melalui raga dari kedua orang ini.”

”Wahai Kakanda”, berkata Batari Uma, ”Bukankah kita bercumbu di Surgawi ini tanpa harus bersentuhan fisik? Bukankah keindahan kenikmatan Illahi tanpa harus melewati kelamin? Dan kita tidak lagi memiliki kalamin, kenapa harus memakai kelamin mereka? Bukankah kita akan menodai kesucian yang telah lama kita lakukan.”

”Duhai Dindaku, ini adalah demi kesucian Nirwana. Jangan sampai tersentuh oleh darah dan daging kedua orang ini. Kita usir mereka melalui percintaan kita.”

Maka masuklah Batara Guru dan Betari Uma ke dalam jagad jiwa Begawan Wisrawa, dan Dewi Sukesih. Batara Guru masuk ke alam perasaan lelaki sang Begawan, sedang Betari Uma masuk ke perasaan kewanitaan dari Dewi Sukesih.

Begitu masuk ke jagad manusiawi keduanya, maka bergetarlah seluruh syaraf-syaraf inderawi keduanya, memunculkan perasaan aneh yang tak mampu dibendung oleh kedua orang ini.

Reaksi pertama muncul dari alam jiwa, alam pikiran dan alam fisik Begawan Wisrawa.
Dirasakan oleh sang Begawan, dirinya seperti masuk ke suatu padang yang panjang. Dirinya sendiri menjadi kuda jantan yang gagah perkasa, berlari-lari dengan congkaknya. Maka energi birahi sang lelaki menimbulkan meregangnya semua syaraf dan pori-pori tubuh. Maka secara fisik dan dalam alam fikiran, alam jiwa, sang Begawan merasa menjadi kuda jantan yang gagah dengan otot-ototnya yang teguh serta urat-urat yang menegang. Resah! Diterpa birahi. Semakin meregang tubuhnya semakin keras pula keresahan yang menerpa. Melejitlah bak anak panah yang tersentak dari busurnya, sang kuda jantan berlari dengan desah nafas memburu dan keringat yang membanjir, mencari kuda betina! Sang kuda pun meringkik dengan kedua kaki depan terangkat ke atas, menendang, melompat-lompat, tak tahan atas desakan birahi yang maha tinggi, melampaui kekuatan keikhlasan dan keimanan jiwanya sendiri.

Kuda jantan semakin tegang, gelisah! Dalam larinya tidak saja tubuhnya yang menegang dengan urat-urat menonjol, otot kelaminnya pun meregang pula bersama dengan larinya kaki dipadang panjang yang terjal dan berliku.

Betapa hebat udara birahi yang menerpa sang Begawan, birahi yang tidak pernah dirasakan, sekalipun dalam kehidupan remaja dan akil balikhnya. Sang kuda pun turun, naik, di setiap celah-celah gunung, jurang-jurang yang dilaluinya. Berlari terus bak kuda sembrani yang menjelajahi seluruh padang panjang kegelisahan, dengan satu tujuan, mencari kuda betina!

Maka jagad perasaan manusiawi sang Begawan dirasakan lebih sempurna dari puncak hawa nafsu manusia di bumi. Hal ini adalah disebabkan oleh Batara Guru sedang masuk ke pusat jagad manusiawi sang Begawan dan membangunkan, menggetarkan semua simpul syaraf dan indera sang Begawan. Para Dewa punya hak untuk bangunkan diyu-diyu hawa nafsu yang ada dalam jagad manusia.

Dalam waktu yang bersamaan, Betari Uma pun membangun nuansa-nuansa imajiner sang Dewi. Karena sesungguhnyalah bahwa birahi itu tak lebih dari ilusi/imajinasi belaka. Cuma karena imajinasi itu datangnya dari pikiran dan perasaan kita, maka seolah-olah itu adalah sesuatu yang nyata.

Maka Dewi Sukesih pun seperti wanita telanjang yang sedang mandi di telaga Taman Surgawi, telaga Nirmala. Kemudian tangan sang Dewi pun menyentuh-nyentuh tubuhnya yang telanjang, menimbulkan erotisme yang sangat tinggi. Lentik jemarinya pun menelusuri seluruh lekuk tubuhnya sendiri.

Maka seketika kesucian alam Sastra Jendra Hayuningrat, punah!

Bahkan sentuhan sibakan air pun mampu menimbulkan erotisme tersendiri. Berenanglah sang Dewi di telaga Nirmala, dipetiknya bunga-bunga yang tumbuh di atas telaga, sang bunga pun disentuh-sentuhkan pada tubuhnya, sehingga menimbulkan erotisme yang maha tinggi, erotisme yang tidak ada di dunia.

Ternyata benda-benda saja sudah mampu menimbulkan erotisme yang sangat tinggi bagi tubuh sang Dewi, tanpa apapun, tanpa kelamin laki-laki, tanpa pria! Dan betapa hebat nafsu dari Dewi Sukesih ini. Sentuhan-sentuhan bunga teratai surgawi menambah rangsangan erotisme sensual sang Dewi. Ikan-ikan yang ada dalam telaga pun menyentuh dengan nakal tubuh telanjang sang Dewi. Juga menimbulkan kenikmatan yang sangat indah dari sebuah rasa sensual sang Dewi.

Maka puncak sensual sang Dewi masih harus menuntut. Dan naiklah sang Dewi dari telaga yang indah, berguling-guling di taman. Sentuhan-sentuhan rumput di taman menimbulkan erotis yang begitu menggelitik. Dari sela-sela taman muncullah ular besar, sang Dewi membiarkan sang ular menghampiri, kemudian menjalar dan menjilati tubuhnya. Lilitan ular mulai dari ujung kaki hingga lehernya, menimbulkan puncak erotisme yang sangat sempurna. Tidak ada dimanapun. Maka sampailah ke puncak jeritan yang begitu mempesona dari sang Dewi. Jeritan itu adalah kesadaran betapa dirinya merindukan fisik lelaki, merindukan sentuhan lelaki, ciuman lelaki dan terutama merindukan kelamin lelaki. Terlontarlah erangan jerit sang Dewi.

Resah jeritan, desah sang Dewi, berubah diri; membentuk kuda betina yang sedang menggosek-gosek, berguling-guling, menggesek-gesek tubuhnya, tersiksa deraan birahi!

Kuda jantan yang memang sedang mencari kuda betina, bertemulah keduanya. Berguling-guling bersama, saling menggigit sambil bersenggama. Pada saat alat kelamin kuda jantan masuk ke alat kelamin kuda betina, sadarlah sang Dewi! Sadarlah Sang Begawan!

Namun segala sesuatunya sudah terlambat.

Sempurnalah sudah tetesan dari fisik sang Begawan, puncak ketegangan kelamin yang masuk kedalam rahim sang Dewi mengeluarkan sperma. Hubungan suami isteri sempurna melampaui kenikmatan yang telah dirasakan dari semua itu.

Dalam pada itu menjelang puncak hubungan dari keduanya, dengan cepat Batara Guru dan Betari Uma keluar dari tubuh keduanya, lapor pada Batara Narada.


Bersambung..........

No comments:

Post a Comment