Wednesday, April 21, 2010

SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT PANGRUWATING DIYU (Bagian 5)

Disarikan kembali oleh : Pinandita Astono Chandra Dana (Sekum PSN Pusat)


Salah satu ilmu rahasia para dewata mengenai kehidupan di dunia adalah Serat Sastrajendra. Secara lengkap disebut Serat Sastrajendrahayuningrat Pangruwatingdiyu. Serat = ajaran, Sastrajendra = Ilmu mengenai raja. Hayuningrat = Kedamaian. Pangruwating = Memuliakan atau merubah menjadi baik. Diyu = raksasa atau keburukan. Raja disini bukan raja dalam artian harfiah, melainkan sifat yang harus dimiliki seorang manusia mampu menguasai hawa nafsu dan pancainderanya dari kejahatan. Seorang raja harus mampu menolak atau merubah keburukan menjadi kebaikan.

Pengertiannya bahwa Serat Sastrajendra adalah ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk merubah keburukan mencapai kemuliaan dunia akhirat. Ilmu Sastrajendra adalah ilmu KEBATINAN yang menekankan sifat MENEGAKKAN KEBENARAN DARI SEGALA KEBATHILAN, sifat memimpin dengan amanah dan mau berkorban demi kepentingan rakyat.

Melalui ilmu Sastrajendra maka simbol sifat sifat keburukan raksasa yang masih dimiliki manusia akan menjadi dirubah menjadi sifat sifat manusia yang berbudi luhur.

Berikut kami sajikan kembali kisah lanjutannya (Bagian ke 5) :


”Wahai Kakanda, benar! Ternyata mereka masih merindukan dosa-dosa yang tersembunyi. Sekalipun sudah sampai ke jagad alam yang paling suci, melampaui kesucian kita para Dewa. Mereka masih memiliki kelamin yang ada dalam Jagad Sastra Jendra Hayuningrat. Wahai Kakanda, betapa keagungan dan kesucian Sastra Jendra masih harus diperankan oleh kelamin mereka. Mereka dengan kelaminnya harus kembali ke bumi.”

Sesungguhnyalah bahwa pada saat keduanya didera oleh birahi yang maha dahsyat, semakin tinggi birahi dirasakan oleh keduanya, maka semakin turunlah mereka dari Kahyangan. Desah erang kejantanan sang Begawan dan jeritan kewanitaan sang Dewi dipuncak hubungan kelamin sempurna, keduanya sudah berada di Taman Arga Soka. Taman yang memang dipersiapkan bagi keduanya oleh Prabu Sumali, ayahanda Dewi Sukesih.

Begitu sadar, maka keduanya dalam keadaan tanpa busana. Reaksi pertama dari keduanya adalah dengan cepat mengambil busana masing-masing yang ternyata tergeletak di sebelah mereka, dan segera menutupi tubuh masing-masing.

Keduanya pun dilanda, dicekam oleh rasa malu yang sangat! Setelah keduanya selesai mengenakan busana masing-masing, nampaklah bahwa busana sang Dewi, busana indah puteri seorang raja yang serba putih, penuh noda darah keperawanan sang Dewi.

Gugurlah Bunga Menur seorang gadis yang suci.

Berkata sang Begawan pada Dewi Sukesih, ”Wahai Dindaku, kita telah terikat sebagai suami isteri dan kita tidak perlu menikah kembali atas persetujuan orang tuamu. Kita tidak perlu akad nikah yang diresmikan oleh rakyat, oleh umat. Dan kitapun malu minta kepada sang Dewa untuk diresmikan dan disyahkan. Kita dinikahkan oleh syahwat kita. Bukan dinikahkan oleh alam ini, bukan dinikahkan oleh orang-tua kita, dan bukan pula dinikahkan oleh Sang Hyang Wenang, Tuhan yang Maha Esa.”

Dewi Sukesih menangis dengan segala penyesalan, dan air mata pun berderai tak henti-hentinya. Sementara sang Begawan tak berkata-kata, tak ada kalimat yang menyatakan tentang mohon pengampunan dosa. Tiada kata-kata yang menyatakan tentang rasa kebersalahan atau penyesalan dari sang Begawan.

”Wahai Dindaku”, kata sang Begawan, dengan nada getir yang kering, ”Engkau masih untung, kesakitan jiwamu dan rasa bersalahmu masih bisa diwakili oleh derai air matamu. Tapi aku tak mampu lagi yang bisa mewakili rasa sakit dari rasa bersalah ini.”

Ternyata walaupun tak ada kata atau kalimat yang menyatakan perasaannya ataupun derai air mata dari sang Begawan, ternyata sang Begawan lebih tinggi rasa penyesalannya. Karena dia adalah pendeta, seorang yang dianggap dekat dengan Hyang Widhi, seorang resi, seorang yang sangat suci.

Rasa penyesalan tak lagi mampu dapat diwakili oleh perangkat apapun, sekalipun dalam bentuk tangisan.

Maka berkatalah sang Begawan, ”Dindaku, menangislah sepuasmu sekalipun tidak akan mensucikan noda-noda kita. Darah yang ada dalam busanamu menyebabkan semua anak manusia yang akan datang ke dunia ini harus tercekam, terpenjara kerinduan malam pertama pengantin. Biarlah, kita korban dari keserakahan nafsu kita sendiri.

Biarkanlah kita menjadi korban dari syahwat yang lebih besar dari raksasa apapun. Biarkanlah kita menjadi tumbal, menanggung dosa semuanya yang akan lahir ke dunia ini”, sang Begawan tercenung sejenak,

kemudian katanya,
”Wahai Dindaku, sperma yang keluar dari kelaminku telah menetes dalam jagad kewanitaanmu. Biarlah sperma itu menjadi makhluk baru dalam rahimmu, menjadi makhluk baru yang penuh kemerdekaan. Apapun sang janin jadinya. Kita serahkan kepada hawa nafsu yang telah kita ukir bersama. Biarlah sang nafsu yang telah kita ukir bersama akan membangunkan janin bayi yang ada didalam perutmu.

Wahai Dindaku, kita harus siap mencintai, merawat dan mendidik bayi-bayi yang akan lahir. Anakmu adalah anakku, anakmu seharusnya cucuku, tapi anakmu adalah anakku. Apapun sifat dari bayi ini, kita tak boleh mengurangi cinta kita pada mereka, kita didik dengan segala pengorbanan tanpa harus menuntut.

Sekalipun kita didik sebaik mungkin, karena lahir dari dosa kita, kitapun tak mampu untuk menjadikan mereka anak baik yang mendapat ridho dari sang Dewa. Biarkanlah berkembang dengan sifat keangkaraannya, dengan penuh kesalahannya. Biarkanlah anak kita berkembang dengan keinginannya, asal kita mensisakan kasih sayang yang ikhlas untuk mereka.

Dengan segala perlindungan dan pendidikan. Dan baik tidaknya anak ini bukan tugas kita lagi. Itu adalah tergantung kearifan dari Sang Hyang Widhi yang menciptakan kita. Kitapun tak mampu berdoa untuk mohon itu, karena doa itupun sudah mengutuk kita dari dalam perbuatan syahwat yang akan mengukir sampai akhir dunia.”

Maka rasa malu keduanya untuk berhadapan dengan mereka yang dicintai, harus tetap dilakukan. Sang Begawan harus mohon maaf, harus mencium kaki sahabatnya sendiri, Prabu Sumali. Dan harus minta maaf pada anaknya sendiri, Prabu Danareja, sebagai raja Lokapala.

Sementara itu di Alengka, di dalam istananya yang megah, Prabu Sumali muncul kerinduannya yang sangat pada puterinya. Dan kerinduan yang menggelisahkan Prabu Sumali, bersamaan dengan masuknya Betari Uma ke dalam jagad kewanitaan Dewi Sukesih.

”Wahai sang Dewa, mengapa puteriku yang kucintai hingga hari ini belum juga pulang. Sedangkan Semua rakyat menunggu anakku dalam membawa oleh-oleh dipedarnya Sastra Jendra Hayuningrat. Sekalipun darah para raja tidak mengalir lagi di tanah Alengka ini, namun kerinduanku pada puteriku laksana genangan darah yang tak mampu mengalir.

Mengapa aku gelisah wahai Dewa Maha Agung aku merindukan puteriku dengan segala kegelisahan. Jangan Engkau jadikan kegelisahanku sebagai ayah, menjadi kenyataan, Wahai Dewa Agung.”

Demikian ungkapan perasaan Prabu Sumali yang sedang dilanda kegelisahan. Di puncak kekhawatiran Prabu Sumali yang menanti penuh harap-harap cemas kepulangan puteri tercinta. Datanglah Dewi Sukesih bersimpuh di kaki ayahandanya, menangis dengan segala jeritan.

”Wahai Ayahanda, aku menciptakan bencana dan aku terbentur bencana, yang diciptakan dari keinginan dan keyakinanku sendiri.”

Betapa terkejut Prabu Sumali, ”Ada apakah gerangan wahai anakku.”

”Aku menciptakan bencana wahai ayahda, bencana yang memporak-porandakan semua yang kumiliki. Kini anakmu tak memiliki apa-apa, selain noda-noda dosa dan berkas-berkas syahwat yang begitu agung bercokol dalam jiwaku wahai ayahanda”, Kata Dewi Sukesih diantara sedu sedannya.

”Terangkanlah musibah itu, wahai Puteriku”, kata sang ayah, Prabu Sumali. Namun Dewi Sukesih diam…..terbungkam. Dalam diamnya air matanya tetap mengalir, tapi air mata darah yang terus menetes, mengalir. Ruang-ruang megah dari istana raja yang penuh dengan hiasan dan permadani yang indah, tegenang darah air mata sang Dewi. Alam diam. Dunia sepi. Semua rakyat tidur dalam kesyahduan. Bulan padam. Matahari padam. Kehidupan pun terhenti.

Tinggallah cekam kesepian yang begitu merasuk dari jiwa ketakutan sang ayah menimbulkan goncangan-goncangan yang sangat hebat dalam dadanya.

Terjadilah kehendak Dewa, cekam kesepian justeru bercerita tentang riwayat puterinya sendiri, tentang riwayat sahabatnya sendiri.

Pengulangan kembali peristiwa Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih, sekaligus ”berulang” dengan melibatkan sang raja. Dari cerita dua tokoh lelaki-wanita dari peristiwa panjang sampai bencana. Alam bercerita kembali tentang peristiwa itu, yang langsung dirasakan oleh Prabu Sumali.

Seusai pengulangan peristiwa itu, Prabu Sumali pun bersujud kepada Sang Dewa Agung, Sang Hyang Widhi.

”Wahai Hyang Maha Agung, Dewa, Batara, apakah ini sebuah perbuatan dari harga manusia, atau ada keterlibatan Engkau dalam mengobarkan, membangunkan api-api birahi yang ada dalam diri kami. Aku tak percaya, sahabatku yang begitu suci, yang mulia akhlaknya, yang suci ibadahnya, yang sempurna dalam meninggalkan kekuasaan kekayaan. Harus terlena oleh peristiwa itu, aku tak percaya! Pasti…….ada keterlibatan Engkau, wahai Dewa Agung di Nirwana.”

Demikianlah Prabu sumali berkata dalam sujudnya. Begitu sujudnya selesai, sang Prabu pun bangkit berdiri.

Tak lama kemudian, sahabatnya, Resi Wisrawa, sujud dipelukan kaki sang Prabu. Maka diangkatnya sahabatnya, dipeluknya.

”Wahai sahabatku, jangan engkau sesali semua ini, karena kita berangkat dari noda, jangan terlalu berharap banyak untuk mencapai kesucian seperti para Dewa. Biarkanlah kesucian menjadi keangkuhan para Dewa di Nirwana.” Sang Prabu Semakin erat memeluk sahabatnya.

”Jangan menyesal, aku tidak saja memaafkan engkau. Tapi cinta aku dalam jiwa sebagai sahabat tambah sempurna untuk mencintai engkau, begitupun cinta aku kepada puteriku. Puteriku korban dari harapannya sendiri. Biarkanlah para Bidadari mengutuk puteriku, tetapi aku yakin, suatu saat puteriku akan mengalahkan harkat Bidadari Kahyangan semuanya. Wahai puteriku, bangunlah, peluklah aku, jangan malu.”

Sang Dewi pun memeluk ayahandanya, di dadanya dia bersandar. Maka tumbuhlah perasaan tentram, setentram bayi dalam pelukan pelindungnya. Sang Dewi pun tenggelam dalam kesempurnaan cinta seorang ayah.

”Wahai puteriku, siapapun engkau dengan noda dosa yang sangat tinggi, cintaku tidak pernah berubah. Cintaku tambah tinggi karena aku tahu engkau memiliki kecintaan kepada rakyat, dan aku tahu engkau memiliki kecintaan kepada orang tuamu, melampaui saudara-saudaramu, melampaui cintanya rakyat kepadaku sebagai raja, dulu. Dan akupun mampu meninggalkan kekuasaan tahta, harta, serta ibumu. Itu adalah karena dorongan cintamu yang agung untuk segera meninggalkan istana, dan segera menuju pertapaan. Itu adalah jasamu, anakku. Dan ini akan menyelamatkan engkau dan mengalahkan keagungan bidadari yang ada di Kahyangan. Senyumlah, puteriku…..”, Sang Prabu mengangkat wajah Dewi Sukesih, ”Senyumlah….”, sang Dewi pun tersenyum.

”Teruskanlah perjalananmu bersama suamimu. Dan engkau wahai sahabatku, bertanggung jawablah, bahwa inilah isterimu. Walaupun engkau tidak dinikahkan oleh alam dan sang dewa. Tapi engkau akan dinikahkan oleh cinta aku sebagai sahabatmu. Wahai Begawan dan engkau wahai Puteriku, akan kunikahkan dengan cinta yang agung, yang pernah engkau berikan padaku, itulah mahar.”

Tak lama kemudian, Prabu Sumali mempersilakan keduanya berangkat.

”Berangkatlah menuju kepada kehidupan. Jemputlah darah-darah yang akan mengalir ke muka bumi ini. Wahai puteriku, tampunglah darah-darah para wanita, engkau membuktikan diri kepada para Dewa. Membuktikan bahwa engkau mampu lebih agung daripada para Bidadari, bahkan dari para Dewa itu sendiri. Berangkatlah, tundukkan dunia ini dengan darah yang engkau tampung, jangan coba kau tundukkan dengan kesucian Sastra Jendra”, kata Sang Prabu mengakhiri pesannya.

Setelah berpamitan maka berangkatlah keduanya, melanjutkan perjalanan.

Bersambung..............

No comments:

Post a Comment