Monday, March 29, 2010

SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT PANGRUWATING DIYU (Bagian 2)

Disarikan kembali oleh : Pinandita Astono Chandra Dana (Sekum PSN Pusat)

Salah satu ilmu rahasia para dewata mengenai kehidupan di dunia adalah Serat Sastrajendra. Secara lengkap disebut Serat Sastrajendrahayuningrat Pangruwatingdiyu. Serat = ajaran, Sastrajendra = Ilmu mengenai raja. Hayuningrat = Kedamaian. Pangruwating = Memuliakan atau merubah menjadi baik. Diyu = raksasa atau keburukan. Raja disini bukan raja dalam artian harfiah, melainkan sifat yang harus dimiliki seorang manusia mampu menguasai hawa nafsu dan pancainderanya dari kejahatan. Seorang raja harus mampu menolak atau merubah keburukan menjadi kebaikan. Pengertiannya bahwa Serat Sastrajendra adalah ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk merubah keburukan mencapai kemuliaan dunia akhirat. Ilmu Sastrajendra adalah ilmu KEBATINAN yang menekankan sifat MENEGAKKAN KEBENARAN DARI SEGALA KEBATHILAN, sifat memimpin dengan amanah dan mau berkorban demi kepentingan rakyat.

Melalui ilmu Sastrajendra maka simbol sifat sifat keburukan raksasa yang masih dimiliki manusia akan menjadi dirubah menjadi sifat sifat manusia yang berbudi luhur.

Berikut kami sajikan kembali lanjutan ceriteranya :

”Wahai puteriku, jangan kalah, ngalirlah tetap. Kehidupan tetap mengalir.” Maka masuklah ke alam yang baru, lebih tinggi lagi. Di sana mereka tidak melihat masa lalu. Masa lalu tidak ada!

”Wahai Begawan, dimanakah aku waktu dilahirkan? Aku waktu remaja, saat bermanja pada Ayah dan Ibu?”

”Wahai Puteriku, masa lalumu tidak ada. Di sini tidak ada masa lalu, disini tidak ada bedanya. Masa lalu adalah kehidupan dunia. Di sini tidak ada masa lalu.”

”Wahai Begawan, manakah masa depanku?”

”Di sini tidak ada masa depan. Masa depan adalah kehidupan dunia, karena manusia dunia dirancang untuk bercita-cita, melihat masa depan. Dibangun oleh keinginan maka melihat masa depan, dibentuk oleh rencana kerja. Di sini Puteriku, tidak ada masa depan. Kita tidak ada lagi rencana keinginan, apa dan bagaimana. Di sini adalah keberadaan yang sesungguhnya. Bumi adalah bayang-bayang kita dalam kehidupan. Itulah Puteriku”, kata Begawan Wisrawa.

“Kalau demikian, wahai Begawan, apakah ’kerinduan’? Sedangkan aku merindukan masa depan yang lebih baik. Masa depan adalah kerinduan, dimanakah kerinduan. Ditempat ini tidak ada, wahai ayahku.”

”Wahai Puteriku, Kerinduan di sini tidak ada. Tapi ada dalam bathinmu dan jiwamu. Kerinduan akan sesuatu, ada dalam jiwamu. Dan dalam jiwamu lebih besar, lebih agung, lebih hebat dari alam ini, wahai anakku. Itulah Sastra Jendra. Sastra Jendra adalah kerinduan yang tersembunyi dalam bathin. Kerinduan bukan kepada anak isteri, kerinduan bukan pada suami, kerinduan bukan pada kekasih, kerinduan bukan pada harta dan kekuasaan. Kerinduan kepada sesuatu, dimana sesuatu itu pun kita tidak tahu. Itulah Sastra Jendra, wahai anakku.”

Maka, ”Wahai Puteriku, bila engkau merindukan sesuatu, jangan disini. Di sini tidak ada masa lalu dan masa depan. Di sini tidak ada keinginan dan harapan. Kembalilah kepada hati, wahai Puteriku. Hatimu yang ada kerinduan.”

”Masuklah kembali ke dalam hati, di sana ada kerinduan. Di sana ada kehidupan yang sesungguhnya, wahai Puteriku.”

Maka sang Dewi masuk ke dalam bathinnya sendiri, ke dalam perasaannya sendiri. Maka dijemputlah sang Dewi oleh cahaya gemilang, gemerlap sinar yang keindahannya melampaui cahaya matahari. Dan seluruh cahaya matahari di alam raya padam, tiada arti oleh cahaya yang datang dari bathinnya sendiri ”Wahai Begawan, cahaya apakah itu?”

”Itu adalah cahaya dari yang engkau rindukan. Itulah Sastra Jendra, wahai Puteriku.”
manakala cahaya tersibak, disana ada Kebijaksanaan, kebijaksanaan yang tersembunyi, kebijaksanaan yang tersimpan dari ribuan lapis perasaan hati. Kebaikan hati, keikhlasan, kepasrahan, itu adalah membentang rapat menutupi Kebijaksanaan.

”Wahai Puteriku, sibaklah hati pasrahmu, Puteriku, sibaklah hati kebaikanmu, sibaklah hati keikhlasanmu maka ada Kebijaksanaan. Kebijaksanaan ada di tempat yang paling dasar dari sibakan keikhlasan. Sibaklah hati yang baik.”

”Mengapa demikian wahai Begawan?”

”Karena kebijaksanaan adalah tetesan dari kesakitan yang tak mampu lagi menimbulkan luka. Dari kesakitan yang tidak lagi memberikan hujan duka. Dari tetesan kesenangan yang tak mampu lagi menggembirakan. Kegembiraan dan duka, punah! Itulah kebijaksanaan, wahai Puteriku. Itulah Sastra Jendra.”

”Kebijaksanaan”, kata Sang Begawan, ”Seperti malam bersayap siang, seperti siang berparuh malam. Seperti kematian yang berkafankan kehidupan. Seperti kehidupan yang berselimutkan kematian. Rembulan di siang hari, matahari di malam hari, itulah kebijaksanaan. Itulah Sastra Jendra, wahai Puteriku.”

Sang Dewi pun tenggelam dalam kebijaksanaan. Di alam itu, sang Dewi muncul lagi rasa sengsara yang tak bertepi. Rasa duka yang luar biasa, Namun, manakala rasa kesakitan yang tinggi, muncul dalam jiwanya, tiba-tiba, tanpa proses. Tenang…senang yang melonjak! …..Terus demikian! Antara sakit dan senang diubah tiba-tiba. Proses psykologi yang tak mampu menampung perubahan yang sangat hebat. Dari sakit ke senang, dari duka ke tenang, dari resah ke aman, tiba-tiba. Terus demikian berganti-ganti.

”Wahai Begawan, apakah ini?”

”Ini adalah tangga-tangga menuju jagad raya, yang tak bertepi. Kita datang ke suatu tempat, Sumber Pencipta Alam Raya ini. Anakku, tangga-tangganya berlapis kesengsaraan yang tidak terhingga dan kebahagiaan yang tak terhingga.” Sang Dewi pun masuklah.

Manakala jiwanya tak terkecoh oleh duka dan senang, oleh rasa dan tenteram. Masuklah ke suatu alam, dimana di alam ini semuanya tidak ada lagi proses permulaan dari kejadian. Proses awal dan akhir. Maka Sang Dewi merasa malu kepada dirinya sendiri. Yang tadinya bangga dengan dirinya, bangga dengan kecantikanya. Saat itu, sang Dewi malu pada dirinya sendiri dan malu kepada alam, keadaan alam saat itu.

”Wahai Begawan, aku malu pada diriku.”

”Wahai Puteriku, manakala engkau malu pada dirimu berarti engkau kembali kepada kehidupan yang sesungguhnya. Manakala engkau malu pada alam ini, engkau sebenarnya kembali pada sumber awal kehidupan. Engkau berangkat dari sini, wahai anakku, dilahirkan ke bumi.”

”Aku pun malu yang tidak mengerti”, berkata sang Dewi.

”Wahai Puteriku, pengertian malu adalah malu pada Penciptamu. Ada disini Pencipta kita, kita tidak bisa melihat. Tapi kita ada dalam genggaman sang Maha Pencipta. Kita sedang berenang di Samudera keillahian, wahai Puteriku.”
Tidak lama kemudian, Dewi Sukesih menemukan keindahan, keindahan sebuah permulaan. Dimana segala sesuatu tidak lagi melalui pengertian. Pengertian yang tidak perlu dipelajari.

Pengertian tidak perlu dipelajari, perasaan-perasaan rasa tidak lagi harus dibuat. Dia sampai pada puncak keindahan tiada tara.

”Wahai anakku, kita sudah sampai pada puncak kebahagiaan. Tiada lagi kebahagiaan selain di tempat ini, wahai anakku. Kebahagiaan yang tak bisa dipetik dengan ilmu. Kebahagiaan ini, tak bisa dipetik, dipanen dari amal ibadah. Kebahagiaan yang bukan dipetik dari pengorbanan. Itulah puncak kebahagiaan.”

”Wahai Begawan, bilamana kebahagiaan ini yang bukan dipetik dari pengorbanan, apakah itu?”

”Itu adalah ’Hayuningrat’ anakku, Sastra Jendra Hayuningrat. Hayuningrat adalah kebahagiaan bukan yang dirintis dari keinginan berbuat baik, tapi Hayuningrat adalah

“Pangestu Hyang Widhi”’ dalam memberikan sesuatu. Bukan keinginan kita, bukan jerih payah kita, Kehendak-Nya. Itulah Sastra Jendra Hayuningrat, wahai anakku.”
Hayuningrat adalah penyerahan diri total. Kebahagiaan yang begitu meresap ke dalam jiwa sang Dewi. Maka muncul kebahagiaan baru yang berlapis-lapis. Tambah mengangkasa tambah indah. Ternyata kebahagiaan pun berlapis-lapis tak bersisi, kebahagiaan yang tak ada limitnya.

”Wahai Begawan, kita menuju kemana?”

”Kita arungi kebahagiaan yang tak bertepi.”

”Apakah…..apakah ada tempat puncak?”

”Ada, puncak kebahagiaan.”

”Bagaimanakah cara sampai ke sana, wahai Begawan”,

”Wahai Puteriku, adakah sisa perasaan dalam hatimu untuk dipersembahkan?”

”Ada.”

”Apa?”

”Aku rindu kepada Tuhan.”

Dewi Sukesih merasakan, kebebasan sebebas-bebasnya tanpa rasa kekangan dari perasaannya sendiri. Artinya, setiap manusia mengalami himpitan dalam mengarungi kehidupan. Namun saat itu, Dewi Sukesih terbebas dari apapun yang menghambat dalam perasaannya. Dia terbang di alam Yang Maha Merdeka, Maha Sentosa, Gemah Ripah Loh Jinawi. Angkasa kebebasan yang sangat demokrasi.

”Wahai Puteriku, terbanglah sejauh-jauhnya, kepakkan sayapmu.”

Maka Dewi Sukesih terbang yang sebebas-bebasnya, seperti merpati yang mengarungi angkasa luas.

”Namun Puteriku, jangan terlalu jauh dalam terbang. Sejauh-jauh merpati terbang, akhirnya akan lelah jua. Sebelum lelah engkau harus kembali.”

Dewi Sukesih merasa sebagai manusia yang punya harkat, merasa dirinya mempunyai makna. Betapa dekat dengan yang menciptakannya, kasih sayang-Nya, terasa membeli jiwa. Sang Dewi merasa mendapat titah dari Hyang Widhi, dan merasa seolah-olah dirinya tidak berhak lagi hidup di dunia. Dirinya enggan pulang ke bumi.

”Wahai Puteriku, jangan munculkan perasaan itu. Di sini adalah hak setiap manusia, di sini adalah hak setiap makhluk. Namun bumi pun adalah hak kita. Sekalipun engkau merasa tidak berhak lagi di dunia, namun fisikmu, dagingmu masih terikat oleh hukum dunia. Kematian masih memijak alam bumi ini. Engkau tidak akan mampu jauh di alam kebahagiaan ini, sedang kau masih punya raga di dunia. Jangan lupakan itu”, berkata Begawan Wisrawa.

Terus sang Dewi mencoba berusaha melupakan duniawi. Dunia terlalu hina dirasakan, niat baiknya sering dinodai.

”Wahai Begawan, segala keinginan yang baik selalu terjegal oleh noda dunia, aku enggan kembali ke bumi. Setiap pengorbanan yang kupersembahkan dengan ikhlas, selalu dihina oleh mereka yang hidup di dunia. Wahai Begawan, setiap bunga-bunga dihatiku kuungkapkan dalam kerinduan kepada rakyat, kepada mereka, kepada yang aku cintai. Namun mereka tidak pernah melihatku bahwa aku mempersembahkan keindahan, keikhlasan kepada mereka. Aku muak kepada dunia yang penuh kehinaan dan kekotoran.”

”Wahai Dewi Sukesih Puteriku, jangan engkau merasakan perasaan itu. Usirlah, rasa menghina bumi. Karena bumi, Tuhan pula yang menciptakan, sama pula menghina Tuhan, kalau engkau menghina dunia atau bumi. Stop gejolak penjelajahan perasaan seperti itu. Kita masih di dua alam. Keterikatan dengan bumi dan mengarungi hak kita di alam jagad ini.”

Namun Dewi Sukesih nakal, tetap diarungi. Tidak mau kembali ke dunia. Tiba-tiba keresahan bergelombang kembali. Keresahan bukan berasal dari alam keindahan ini. Alam surga Nirwana yang maha nikmat, tetap dengan segala keindahan dan kesempurnaan. Keresahan dan gejolak pilu datang dari bathinnya sendiri. Resah, merasa kotor, merasa terhina, ternoda.

”Wahai Begawan, aku merasa malu. Bukan malu seperti dulu, tapi aku malu kehinaan diriku. Betapa aku kotor di tempat ini, aku tidak pantas di tempat yang suci ini, wahai Begawan. Aku tidak pantas di tempat yang Agung ini, karena aku ternoda, karena noda itu aku sendiri yang menciptakan, wahai Begawan. Kenapa demikian wahai Begawan?”

”Wahai Puteriku, engkau, aku, memang datang dari noda, berangkat dari noda. Berangkat dari kesalahan, pergi menuju ke kesalahan. Kita menyimpan jagad kesalahan dalam diri kita, walau di tengah surga yang indah ini.”

Demikian Begawan Wisrawa berkata. ”Karena itu Puteriku, engkau harus ’diruwat’, supaya Tuhan mensucikan jagad kita yang ternoda. Pangruwating. Karena dalam jiwa kita penuh nafsu dan amarah. Angkara murka yang tak bersisi, keserakahan yang tak berbentuk lagi. Itu harus diruwat oleh Hyang Widhi. Pensucian jagad kita, karena kita tetap dalam kekotoran, walau kita mengangkasa di jagad keindahan yang sangat permai, yang sangat suci, yang sangat agung”, Begawan Wisrawa meneruskan keterangannya.

”Marilah kita kembali, Sastra Jendra sudah kupedar, Hayuningrat sudah kupedar, Kita harus kembali ke bumi, segera! Supaya Hyang Widhi mensucikan jagad kita yang sudah kelam dalam kekotoran dan noda.”

Namun karena keindahan yang luar biasa. Terhanyutlah sang Dewi Sukesih dengan Begawan Wisrawa sendiri, hingga sampai ke gerbang Kahyangan, pintu surga, pintu Nirwana, tempat para dewa bersemayam. Gerbang ini dinamakan Sela Menangkep pintu masuk surga.

Bersambung............

No comments:

Post a Comment