Wednesday, April 28, 2010

SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT PANGRUWATING DIYU (Bagian 6 )

Disarikan kembali oleh : Pinandita Astono Chandra Dana (Sekum PSN Pusat)


Salah satu ilmu rahasia para dewata mengenai kehidupan di dunia adalah Serat Sastrajendra. Secara lengkap disebut Serat Sastrajendrahayuningrat Pangruwatingdiyu. Serat = ajaran, Sastrajendra = Ilmu mengenai raja. Hayuningrat = Kedamaian. Pangruwating = Memuliakan atau merubah menjadi baik. Diyu = raksasa atau keburukan. Raja disini bukan raja dalam artian harfiah, melainkan sifat yang harus dimiliki seorang manusia mampu menguasai hawa nafsu dan pancainderanya dari kejahatan. Seorang raja harus mampu menolak atau merubah keburukan menjadi kebaikan.

Pengertiannya bahwa Serat Sastrajendra adalah ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk merubah keburukan mencapai kemuliaan dunia akhirat. Ilmu Sastrajendra adalah ilmu KEBATINAN yang menekankan sifat MENEGAKKAN KEBENARAN DARI SEGALA KEBATHILAN, sifat memimpin dengan amanah dan mau berkorban demi kepentingan rakyat.

Melalui ilmu Sastrajendra maka simbol sifat sifat keburukan raksasa yang masih dimiliki manusia akan menjadi dirubah menjadi sifat sifat manusia yang berbudi luhur.

Berikut kami sajikan kembali kisah lanjutannya (Bagian ke 6 ) :

Sedangkan dikerajaan Lokapala, sang raja Prabu Danareja duduk tercenung, melamun. Makanan yang disiapkan oleh ibundanya, tak disentuh. Hari demi hari hingga datangnya bulan, sang anak puasa.

”Wahai anakku”, kata sang Ibu, ”mengapa engkau biarkan dirimu tersiksa oleh puasa?”

”Ibu, aku sangat merindukan kekasihku Dewi Sukesih. Kapankah Ayahanda dan Dewi Sukesih pulang. Kerinduanku pada Dewi Sukesih melenyapkan seleraku pada makanan apapun. Apapun kenikmatan dunia tak ada artinya dibandingkan kerinduanku kepada kekasihku, Dewi Sukesih.”

”Wahai anakku, ayahmu pasti berhasil membawa Dewi Sukesih. Dan aku ini, ibumu, telah membuktikan kepatuhan dan janji yang benar dari ayahmu. Sebagai wanita, sebagai isteri aku puas, sebagai orang tua anak-anakku, ayahmu telah menghantar aku ke alam yang sangat tinggi dari kenikmatan harkat wanita. Apalagi engkau sebagai anaknya, pasti diangkat lebih tinggi.”

Namun betapa kaget keduanya, ketika ada yang datang, yang ternyata adalah Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih.

”Mengapa mata ayah demikian redup?”, berkata Prabu Danareja, ”Dimana kegagahan Ayah?”

”Wahai anakku, aku telah mencuri cinta, mencuri cinta kepada anakku sendiri. Cintamu kepada dewi Sukesih telah aku curi. Sekarang kekasihmu adalah ibu tirimu.” Maka sujudlah Begawan Wisrawa kepada anaknya sendiri.

Sang anak tak mampu berkata-kata, diam seribu basa, sudah tidak ada lagi perasaan apapun dalam jiwanya. Dirinya sudah menjadi patung yang tidak mempunyai rasa hidup. Dirinya tak dapat menyalahkan ayahnya ataupun menyalahkan Dewi Sukesih, karena jiwanya menjadi batu yang tak punya rasa.

”Wahai anakku Danareja, ampunilah ayahmu ini. Ayahmu gagal dalam memenuhi keinginanmu. Namun biarlah semua apa yang aku raih sebagai manusia dalam tapaku, dalam meninggalkan kemasyhuran tahta dan harta. Maka seandainya Hyang Widhi memberikan nilai-nilai kepada aku, biarkanlah aku berikan kepadamu, wahai anakku.

Biarkanlah aku tidak ada arti selama alam raya ada, sampai aku bertemu dengan Hyang Widhi nanti. Biar kemegahan di hadapan Tuhan engkau yang merasakan, wahai anakku. Karena diantara noda dosaku, aku merasa lebih cinta kepada anakku. Engkau adalah kulahirkan dengan kesucian jiwaku. Namun engkau dihancurkan harapanmu, oleh rasa ayah yang dapat menyelamatkan anaknya.”

Kemudian sang Begawan bersimpuh kepada isterinya,

”Maafkanlah aku, wahai isteriku.”

”Wahai kanda”, berkata sang isteri, ”Tiada yang harus engkau ungkapkan. Namun cintaku yang murni, dalam kerinduan begitu utuh dan indah manakala kerinduanku sebagai wanita muncul. Dan aku tenang dengan cinta itu karena engkau, wahai suamiku, sedang bertapa dalam Sastra Jendra Hayuningrat. Namun kali ini cintaku merasa di uji. Yang berarti aku tidak perlu lagi merindukan dirimu. Manakala aku paksakan merindukan cinta pada suamiku, berarti aku harus berhadapan dengan cemburu, karena engkau telah memiliki isteri yang baru. Biarkanlah cinta ini akan kugenggam.

Kalaupun aku rindu kepadamu, itu adalah kerinduan dari kenangan masa lalu kita. Biarkanlah cinta ini aku persembahkan teruntuk Sang Hyang Wenang. Maka tidak ada ampunan dariku. Pergilah, aku pun seharusnya seperti isterimu Dewi Sukesih, namun aku lebih beruntung karena aku telah dihantar oleh harkat.”

Dewi Sukesih dihantar kesombongannya dalam merasa dirinya mampu memedar Sastra Jendra Hayuningrat.

Maka kedua orang ini berjalan setapak demi setapak di muka bumi ini. Hingga di suatu saat datanglah suara atau wangsit dari Kahyangan. Batara Narada menyampaikan wangsit Sabdo Palon pada keduanya :

”Wahai anak-anaku, jangan sesali kemalanganmu, apakah engkau lupa wahai anakku. Kemalangan adalah hak setiap penduduk bumi, hidup itu sendiri adalah kemalangan. Wahai anak-anakku! Dunia adalah kemalangan, kamu harus ramah terhadap kemalangan. Jangan engkau lawan kemalangan. Kalau engkau ingin mendapatkan pengakuan penghormatan dari Sang Hyang Wenang, terimalah kemalangan sebagai kesadaran kehidupan di muka bumi ini. Karena kemalangan menyimpan rahasia kebahagiaan, kebahagiaan mereka yang ada di muka bumi, itu ada di balik kemalangan. Jangan engkau lawan, akrabilah, hingga kemalangan memberikan permata kebahagiaan kepada engkau”, Sabda Batara Narada.

”Wahai anakku, setinggi apapun harkat manusia, setinggi apapun ilmunya, ibadahnya, dharmanya, itu tak akan mampu mencari jatidirinya, karena jatidiri semakin dikejar semakin jauh. Jatidiri adalah dekat dalam jauh, jauh dalam dekat. Kau harus pandai-pandai melihat dimana ada jatidiri, tapi jangan mencoba memetik. Jatidiri bukan milik makhluk tapi milik Sang Hyang Tunggal”, demikian Sabda Palon dari Batara Narada.

”Dan engkau pun lupa wahai anak-anakku, kejahatan adalah bagian nafas kehidupan manusia. Segala apapun nilai-nilai yang suci dan benar, itu tetap ada dalam nafas kejahatan. Karena dagingmu menghirup udara kejahatan, darahmu mengecap udara kejahatan, fikiranmu menerima air kajahatan. Dan jiwamu adalah samudera kejahatan”, sabda Batara Narada,

”Dharma yang luhur dan agung tetap harus tersimpan dalam gelombang kejahatan. Karena itu anakku, kejahatan jangan kau lawan. lkutlah dengan kejahatan, tetapi manakala kejahatan akan menghancurkanmu, simpan dulu kejahatan. Biarkanlah kejahatan jadi milik hawa nafsumu, bukan milik anak-anakku. Engkau adalah milik kebenaran.

Pisahkanlah kepemilikan kejahatan dan kebenaran, tanpa harus melawan kejahatan. Manakala engkau mencoba melawan kejahatan, engkau akan di makan oleh kejahatan itu sendiri. Begitulah wahai anak-anakku, dari Sabda Palon Hing Puri Agung Hayuningrat yang ada di Puncak Tahta Kerajaan Arya Loka di Parahyangan.”

Tahta Parahyangan adalah menyimpan tahta Kahyangan, didalammya ada Sabda palon, yang bisa di kumandangkan oleh Batara Narada, Dewa nilai-nilai, Dewa kesucian dan Dewa kearifan.

”Wahai anak-anakku, kemalangan memadu dengan kejahatan. Maka hukum dunia, hukum bumi adalah anak yang lahir dari kejahatan dan kemalangan. Terimalah hukum dunia dari anak perpaduan perkimpoian kemalangan dan kejahatan, dan ramahlah kepada hukum-hukum yang lahir dari keduanya. Karena daging dan darah sangat dekat dengan hukum bumi yang dilahirkan dari bayi-bayi dari perkimpoian kemalangan dengan kejahatan. Itulah Sabda Palon, wahai anakku.”

”Karena hukum dunia lahir dari kedua faktor tadi, maka kemanapun manusia pergi dalam mencari jatidirinya, apalagi mencari Maha Pencipta, tetap kesombongan dominan dalam diri manusia. Kalaupun memiliki ketersembunyian Nurani, tetap kesombongan perahu besar dalam mengarungi samudera kehidupan dunia. Terimalah itu semua sebagai takdir, wahai anak-anakku. Itulah Sabda Palon.”

”Wahai anak-anakku, Sastra Jendra bukanlah wedaran budi yang luhur, bukanlah wedaran dari kesucian yang tinggi, bukanlah wedaran dari ilmu yang sangat tinggi. Melainkan seruan kekuatan hati Nurani yang tersembunyi, karena hati Nurani, walaupun kalah oleh kekuasaan kejahatan, tetap suaranya mampu sampai ke Nirwana. Sampai pada puncak Nirwana, Tahta Parahyangan. Karena hanya Nuranilah yang mampu menggedor pintu Tahta Kahyangan.”

”Anakku, dalam ’diri yang jahat’, dalam ’diri yang malang’, simpanlah desir suara kecil dari Nurani. Walaupun kecil mampu sampai menggedor Tahta Parahyangan. Supaya bumi menjadi subur oleh Parahyangan. Dan janji Hyang Maha Tunggal, suatu saat bumi ini harus menjadi Parahyangan, baru Sang Hyang Wenang, Hing Murbeng Agung, akan tersenyum dan melupakan kemarahannya kepada penduduk bumi ini. Jadikanlah wahai anakku, turunanmu membawa Amanat Tahta Parahyangan. Itulah Sabda Palon, wahai anakku.”

”Dan mengapa engkau teruji, diuji oleh gelora syahwat yang tinggi, sehingga engkau menjadi suami isteri? Itu semua adalah suatu kekuatan yang tak mampu lagi dibendung olehmu. Terimalah darah-darah yang menetes dari setiap rahim yang akan lahir ke dunia, dengan demikian engkau telah memberikan kekuasaan kemalangan dari kejahatan lebih kokoh di dunia ini, hingga Hyang Widhi bosan kepada kekuasaan kemalangan dan kejahatan di dunia ini. Kebosanan Sang Hyang Widhi, itu akan menimbulkan ’kerinduan’ Sang Hyang Widhi datang langsung ke bumi yang hina. Itulah janji-Nya, untuk membangun Parahyangan. Wahai anakku, itulah Sabda Palon.”

”Maka kemalangan manusia dengan noda dosa tidak lagi harus diruwat. Karena Sang Hyang Widhi Maha Agung akan turun ke muka bumi, yang didampingi oleh adikku Batara Guru.”

”Batara Guru, adalah menjadi kendaraan yang indah dari Sang Hyang Wenang Hing Maha Agung, untuk mensucikan segala darah-darah yang telah engkau tampung, yang telah engkau simpan, supaya Parahyangan menjadi kenyataan. Parahyangan itu hanya bisa dilakukan, dibentuk, dipersiapkan oleh adikku Batara Guru, dan disempurnakan oleh kerinduan Yang Maha Agung untuk menjadikan parahyangan bagian dari jagad Kahyangan. Walaupun sesaat, tapi senyuman Hing Murbeng Agung menerpa, mengagungkan, mensucikan semua yang suci. Dan Pangruwating Diyu sudah tidak ada lagi. Karena Pangruwating Diyu telah menjadi Kendaraan kejahatan dan kemalangan, untuk kembali kepada pusatnya yang amat rahasia.”

”Yang ada adalah Batara Guru menjadi Satria Lelanang Jagad. Dialah nanti di bumi yang akan memedar ’Naya Genggong’. Naya Genggong akan dipedar oleh keagungan Lelanang ing Jagad dari Sang Hyang Jagad Nata, Prabu Siliwangi Kahyangan, ngahyang (moksa) dan muncul dimuka bumi. Di bumi yang ditentukan dalam tugasnya adalah memedar Naya Genggong.”

”Naya Genggong anakku, adalah Gemah Ripah Loh Jinawi. Hanya Prabu Jagad Nata, Panata Jagad, Panata Negara, Panata Manungsa, yaitu adikku sendiri [Batara Guru] yang mampu demikian. Karena menjadi ’raga’nya Hyang Widhi.”

”Adikku tidak lagi sebagai Dewa, tetapi menjelma menjadi manusia yang berdarah berdaging. Ilmu punah! Karena budi menjelma. Budi dan jatidiri bukan lagi rahasia, tapi menjelma menjadi darah dan daging adikku sendiri, untuk memedar Naya Genggong, Gemah Ripah Loh Jinawi.”

”Wahai anakku, terimalah kemalangan dan kejahatan di dalam wadah keikhlasan supaya dengan cepat dan pasti mengundang Adikku dan Sang Hyang Agung turun ke bumi. Dan darah-darahmu, yang ditampung dari darah umat Manusia. Tambah banyak penampungan tetes darah Perawan, tambah cepat mengundang Sang Hyang Batara Pengasih Sukma, Panata Gama, Panata Buana, Panata Cinta, Panata Asmara, Batara Panata Sakti untuk segera hadir.”

”Wahai Dewa Narada”, berkata Begawan Wisrawa, ”Mengapa demikian? Kenapa Sang Hyang Murbeng Agung turun ke bumi ini? betapa malu. Aku tenoda, noda ini harus didekati oleh Yang Punya Kesucian, Sumber Kesucian. Mungkinkah itu terjadi? betapa malu, aku.”

”Wahai anakku, biarkanlah rasa malumu terkikis habis oleh senyuman dari Batara Hing Murbeng Asih. Dan Batara Hing Murbeng Asih sudah sejak lama hendak turun ke dunia ini, cuma Batara Narada masih malu untuk mengajak Sang Hyang Widhi datang ke bumi ini. Karena genangan darah belum lengkap mengisi mangkok kehidupan dunia ini.”

Bersambung......

No comments:

Post a Comment