Welcome
“Pinandita Sanggraha Nusantara”
sebagai wadah pemersatu
Para Pinandita/Pemangku/Wasi/Dukun
di seluruh Nusantara.
Kalender Bali
Profile
Basic Info
Religion & SpiritualtyContact Info
email:sanggrahanusantara@gmail.com office:Pinandita Sanggraha Nusantara "Pura ADITYA JAYA" Jl. Daksinapati No. 10 Rawamangun Jakarta Timur Telp:(+6221) 7098-3858, 770-3574, 546-3858 Fax:(+6221) 546-3811 Bank BRI Cab. Pancoran Jakarta Rekening Britama Nomer : 0390-01-001235-50-8 Bank Mandiri Cab. Jakarta KP Pertamina Rekening Giro Nomer : 119-0004754048 DONASI/PUNIA ANDA SANGAT BERARTI dan BERMANFAAT BAGI PENGEMBANGAN PINANDITA SANGGRAHA NUSANTARA |
Bagaimana blog PSN sekarang?
Friday, December 10, 2010
10 Keputusan (termasuk 1 Rekomendasi Munas) dan 1 Ketetapan Munas I PSN
Hasil-hasil MUNAS I PSN :
NOMOR : 001/KEP-PSN/MUNAS I/2010 Tentang JADUAL ACARA MUNAS I
NOMOR : 002/KEP-PSN/MUNAS I/2010 Tentang PERATURAN TATA TERTIB MUNAS I
NOMOR : 003/KEP-PSN/MUNAS I/2010 Tentang PIMPINAN SIDANG MUNAS I
NOMOR : 004/KEP-PSN/MUNAS I/2010 Tentang PEMBENTUKAN KOMISI MUNAS I
NOMOR : 005/TAP-PSN/MUNAS I/2010 Tentang ANGGARAN DASAR DAN ANGGARAN RUMAH TANGGA PINANDITA SANGGRAHA NUSANTARA
NOMOR : 006/KEP-PSN/MUNAS I/2010 Tentang VISI DAN MISI SERTA PROGRAM KERJA
NOMOR : 007/KEP-PSN/MUNAS I/2010 Tentang KODE ETIK (SESANA) PINANDITA
NOMOR : 008/KEP-PSN/MUNAS I/2010 Tentang PEDOMAN MANGGALA UPACARA
NOMOR : 009/KEP-PSN/MUNAS I/2010 Tentang REKOMENDASI MUSAYAWARAH NASIONAL I PINANDITA SANGGRAHA NUSANTARA 2010
NOMOR : 010/KEP-PSN/MUNAS I/2010 Tentang SUSUNAN PENGURUS PINANDITA SANGGRAHA NUSANTARA PUSAT MASA BAKTI PERIODE 2010 - 2015
NOMOR : 011/KEP-PSN/MUNAS I/2010 Tentang PENUNJUKAN KETUA PINANDITA SANGGRAHA NUSANTARA PUSAT MASA BAKTI PERIODE 2010 - 2015 UNTUK MENDAFTARKAN KE NOTARIS SEMUA KEPUTUSAN-KEPUTUSAN MUNAS I PSN.
Katagori
Pengumuman
Tuesday, November 30, 2010
PINANDITA SANGGRAHA NUSANTARA (PSN) BERPACU DALAM WAKTU
Di sajikan oleh Jro Mangku Wayan Rajin, Ketua III bidang Humas Pinandita Sanggraha Nusantara
Dalam usianya yang baru 23 bulan, pada hari Sabtu 10 juli 2010, Pinandita Sanggraha Nusantara telah menginjakkan kakinya di Mamuju desa Komo, Sulbar yang merupakan propinsi ke 26 dalam perkembangan dari wadah Suci ini. Bertepatan dengan hari Sabtu yang cerah di balai desa Komo, salah satu desa transmigran dengan penduduk hampir 300 kk telah dilantik, dikukuhkan Pengurus Pinandita Sanggraha Nusantara Koordinator Wilayah (Korwil) Sulawesi Barat dengan acara yang sangat mengesankan.
Pelantikan disaksikan oleh Ketua Parisada Propinsi Sulbar, Bpk dr. I Ketut Sidiarsa, Pembimas Hindu Kementrian Agama Sulbar Bpk IWaya Sukapta, Bpk. Kepala Desa Tomo, Ketua PHDI Kabupaten, Kota, tokoh tokoh masyarakat, undangan beserta perwakilan para pinandita dari setiap abupaten Sulbar.
Dalam acara pelantikan ini dibacakan Naskah Pelantikan oleh Ketua Umum PSN Pusat, Jro Mangku Ngurah Suyadnya, yang secara serentak diikuti oleh semua pengurus yang dilantik sedangkan, Doa Pelantikan dan Doa Pengukuhan dibacakan oleh Jro Mangku Gde setempat.
Sebelum acara Pelantikan dan Pengukuhan Pengurus acara diawali oleh sambutan dari Ketua Umum Pinadita Sanggraha Nusantara.
Ketua PHDI propinsi Sulbar Bpk dr. I Ketut Sidiarsa yang memfasilitasi terlaksananya acara tersebut, menyatakan sangat mendukung kegiatan ini serta memberikan apresiasi terhadap kehadiran pengurus Pusat PSN, serta menaruh harapan yang sangat besar tehadap keberadaan Lembaga ini yang nantinya diharapkan menjadi perpanjangan tangan dari Parisada dan Pembimas Kementrian Agama, sehingga program program keumatan yang selama ini belum dapat dilaksanakan secara baik, di masa yang akan datang diharapkan secara perlahan dan pasti dapat diatasi dengan tuntas.
Sehari sebelum pertemuan ini juga digelar dharmatula dimana pembicaranya adalah Ketua Pinandita Sangraha Nusantara Pusat, Ketua Parisada Propinsi Sulbar, dan Kepala Pembimas Hindu Kementrian Agama sebagai pemakalah, dan sekaligus sebagai nara sumber.
Rencana pelantikan dan pengukuhan ini sebenarnya sudah lama direncanakan oleh Ketua Parisada dan Pembimas Hindu Sulawesi Barat, namun karena kesibukan kesibukan beliau baru dapat direalisasikan 10 Juli 2010 ini.
Selanjutnya Ketua Umum Pinandita Sanggraha Nusantara Pusat dalam pengarahannya menekankan kembali kepada seluruh anggota bahwa sebagai pinandita di era modern ini tidak cukup dimaknai hanya dengan nganteb/muput saja, banyak membaca/menghafal mantra mantra, dalam kesehariannya berpakaian putih, rambut panjang, berjenggot, berkalungkan genitri serta hal hal lain sejenisnya. Sebagai seorang pinandita kita harus mampu menyikapi perayaan perayaan yang ada, agar kita tidak terjebak pada hal hal yang berkaitan denga ritrual semata. Disilah peran kita sebagai seorang pinandita harus meresapi apa semangat dari yadnya-yadnya yang kita lakukan.
Kalau saja kita sebagai umat Hindu memaknai hari raya - hari raya Hindu dengan baik dan tekun melaksanakan apa yang tersurat dari sastra agama, maka tidak ada alasan SDM Hindu ketinggalan seperti saat ini. Tujuan keberadaan pinandita di masyarakat adalah untuk menuntun umat agar mampu menjadikan informasi ajaran suci agama itu menumbuhkan transformasi diri untuk menjadi orang yang semakin berkuallitas. Dari adanya transformmasi diri inilah akan menumbuhkan transformasi sosial mennuju apa yang disebut jagadhita.
Kepada para pegurus yang baru dikukuhkan, diingatkan bahwa hidup yang berdisiplinlah yang menjadi landasan bagi pengurus. Disiplin hidup yang paling mendasar yang harus ditaati adalah kemampuan untuk mengamalkan Catur Purusa Artha dan Catur Asrama. Tidaklah tepat seseorang menyandang gelar sebagai pengurus pinandita kalau masih kuat pamrihnya, seperti ingin paling dihormati, merasa diri paling jago, meremehkan yang lain dsb.
Dan yang tidak kalah pentingnya dalam situasi jaman yang pluralistik ini bagaimana pengurus Pinandita Sanggraha Nusantara ini mengambil sikap atau strategi yang tepat bekerja sama dengan lembaga-lembaga keagamaan yang ada untuk secara terpadu mengejar ketertinggalan yang kita rasakan dewasa ini. Banyaknya kreasi melalui pengembangan tradisi yang ada hendaknya tidak menapak pada permukaan saja, namun mampu menyentuh substansi demi terjadinya transformasi diri ke-arah peningkatan derajat kerokhanian.
Bangkit-melangkah- maju.
Dalam usianya yang baru 23 bulan, pada hari Sabtu 10 juli 2010, Pinandita Sanggraha Nusantara telah menginjakkan kakinya di Mamuju desa Komo, Sulbar yang merupakan propinsi ke 26 dalam perkembangan dari wadah Suci ini. Bertepatan dengan hari Sabtu yang cerah di balai desa Komo, salah satu desa transmigran dengan penduduk hampir 300 kk telah dilantik, dikukuhkan Pengurus Pinandita Sanggraha Nusantara Koordinator Wilayah (Korwil) Sulawesi Barat dengan acara yang sangat mengesankan.
Pelantikan disaksikan oleh Ketua Parisada Propinsi Sulbar, Bpk dr. I Ketut Sidiarsa, Pembimas Hindu Kementrian Agama Sulbar Bpk IWaya Sukapta, Bpk. Kepala Desa Tomo, Ketua PHDI Kabupaten, Kota, tokoh tokoh masyarakat, undangan beserta perwakilan para pinandita dari setiap abupaten Sulbar.
Dalam acara pelantikan ini dibacakan Naskah Pelantikan oleh Ketua Umum PSN Pusat, Jro Mangku Ngurah Suyadnya, yang secara serentak diikuti oleh semua pengurus yang dilantik sedangkan, Doa Pelantikan dan Doa Pengukuhan dibacakan oleh Jro Mangku Gde setempat.
Sebelum acara Pelantikan dan Pengukuhan Pengurus acara diawali oleh sambutan dari Ketua Umum Pinadita Sanggraha Nusantara.
Ketua PHDI propinsi Sulbar Bpk dr. I Ketut Sidiarsa yang memfasilitasi terlaksananya acara tersebut, menyatakan sangat mendukung kegiatan ini serta memberikan apresiasi terhadap kehadiran pengurus Pusat PSN, serta menaruh harapan yang sangat besar tehadap keberadaan Lembaga ini yang nantinya diharapkan menjadi perpanjangan tangan dari Parisada dan Pembimas Kementrian Agama, sehingga program program keumatan yang selama ini belum dapat dilaksanakan secara baik, di masa yang akan datang diharapkan secara perlahan dan pasti dapat diatasi dengan tuntas.
Sehari sebelum pertemuan ini juga digelar dharmatula dimana pembicaranya adalah Ketua Pinandita Sangraha Nusantara Pusat, Ketua Parisada Propinsi Sulbar, dan Kepala Pembimas Hindu Kementrian Agama sebagai pemakalah, dan sekaligus sebagai nara sumber.
Rencana pelantikan dan pengukuhan ini sebenarnya sudah lama direncanakan oleh Ketua Parisada dan Pembimas Hindu Sulawesi Barat, namun karena kesibukan kesibukan beliau baru dapat direalisasikan 10 Juli 2010 ini.
Selanjutnya Ketua Umum Pinandita Sanggraha Nusantara Pusat dalam pengarahannya menekankan kembali kepada seluruh anggota bahwa sebagai pinandita di era modern ini tidak cukup dimaknai hanya dengan nganteb/muput saja, banyak membaca/menghafal mantra mantra, dalam kesehariannya berpakaian putih, rambut panjang, berjenggot, berkalungkan genitri serta hal hal lain sejenisnya. Sebagai seorang pinandita kita harus mampu menyikapi perayaan perayaan yang ada, agar kita tidak terjebak pada hal hal yang berkaitan denga ritrual semata. Disilah peran kita sebagai seorang pinandita harus meresapi apa semangat dari yadnya-yadnya yang kita lakukan.
Kalau saja kita sebagai umat Hindu memaknai hari raya - hari raya Hindu dengan baik dan tekun melaksanakan apa yang tersurat dari sastra agama, maka tidak ada alasan SDM Hindu ketinggalan seperti saat ini. Tujuan keberadaan pinandita di masyarakat adalah untuk menuntun umat agar mampu menjadikan informasi ajaran suci agama itu menumbuhkan transformasi diri untuk menjadi orang yang semakin berkuallitas. Dari adanya transformmasi diri inilah akan menumbuhkan transformasi sosial mennuju apa yang disebut jagadhita.
Kepada para pegurus yang baru dikukuhkan, diingatkan bahwa hidup yang berdisiplinlah yang menjadi landasan bagi pengurus. Disiplin hidup yang paling mendasar yang harus ditaati adalah kemampuan untuk mengamalkan Catur Purusa Artha dan Catur Asrama. Tidaklah tepat seseorang menyandang gelar sebagai pengurus pinandita kalau masih kuat pamrihnya, seperti ingin paling dihormati, merasa diri paling jago, meremehkan yang lain dsb.
Dan yang tidak kalah pentingnya dalam situasi jaman yang pluralistik ini bagaimana pengurus Pinandita Sanggraha Nusantara ini mengambil sikap atau strategi yang tepat bekerja sama dengan lembaga-lembaga keagamaan yang ada untuk secara terpadu mengejar ketertinggalan yang kita rasakan dewasa ini. Banyaknya kreasi melalui pengembangan tradisi yang ada hendaknya tidak menapak pada permukaan saja, namun mampu menyentuh substansi demi terjadinya transformasi diri ke-arah peningkatan derajat kerokhanian.
Bangkit-melangkah- maju.
Katagori
Program
Tuesday, October 26, 2010
TERIMA KASIH
Kepada semua pihak yang telah memberikan support dan dukungan kepada PINANDITA SANGGRAHA NUSANTARA untuk melaksanakan MUNAS I, baik berupa dukungan moril maupun materiil yang sangat berarti bagi kami para pengurus PSN.
Angayu bagya pelaksanaan MUNAS I PSN telah berjalan dengan lancar, tertib dan telah berhasil menelorkan hasil-hasil Keputusan dan Ketetapan MUNAS PSN.
Semoga segala karma dan dukungan yang sangat mulia dari para darmika tersebut mendapatkan pahala yang terbaik dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Kepada Pengurus PSN periode 2010 - 2015 senantiasa mendapatkan jalan yang terang dalam mengemban amanat yang telah diberikan oleh para Pinandita dari seluruh Indonesia.
R...A...H...A...Y...U......
Angayu bagya pelaksanaan MUNAS I PSN telah berjalan dengan lancar, tertib dan telah berhasil menelorkan hasil-hasil Keputusan dan Ketetapan MUNAS PSN.
Semoga segala karma dan dukungan yang sangat mulia dari para darmika tersebut mendapatkan pahala yang terbaik dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Kepada Pengurus PSN periode 2010 - 2015 senantiasa mendapatkan jalan yang terang dalam mengemban amanat yang telah diberikan oleh para Pinandita dari seluruh Indonesia.
R...A...H...A...Y...U......
Katagori
Pengumuman
Wednesday, October 20, 2010
MUNAS I PSN
OM Suastiastu,
Kepada seluruh pembaca yang budiman, para pengikut setia Blog ini yang terhormat serta kepada seluruh umat yang berbahagia.
Kami dari Pengurus Pusat PINANDITA SANGGRAHA NUSANTARA, memohon izin dan doa restu dari para Darmika sekalian, oleh karena mulai tanggal 22 Oktober 2010 sampai dengan tanggal 25 Oktober 2010, kami akan menyelenggarakan acara : Musyawarah Nasional I Pinandita Sanggraha Nusantara di Anjungan Propinsi Lampung Taman Mini Indonesia Indah.
Acara ini akan diikuti oleh sekitar 150 orang peserta dan peninjau dari seluruh Indonesia yang terdiri dari para Pinandita dan Sarati Banten.
Adapun acara intinya adalah sbb :
1) Tanggal 22 Oktober 2010, mulai jam 13 siang peserta dan peninjau sudah bisa registrasi dan masuk penginapan (anjungan Lampung, anjungan Jawa Barat dan NTB), Malam harinya melaksanakan Persembahyangan Purnama Kelima di Pura Penataran Agung Taman Mini, dilanjutkan acara Gladi Bersih Upacara Pembukaan Munas I PSN.
2) Tanggal 23 Oktober 2010, mulai jam 08 pagi dilaksanakan acara Pembukaan Munas I PSN, dilanjutkan dengan acara pembekalan peserta dan sidang-sidang komisi.
3) Tanggal 24 Oktober 2010, lanjutan acara sidang-sidang komisi, paripurna Pemilihan dan Pengukuhan Ketua Umum PSN periode 2010 - 2015, Penutupan Munas I PSN 2010
4) Tanggal 25 Oktober 2010, acara Tirta Yatra peserta dan peninjau ke pura Parahyangan Agung Jagatkartha Gunung Salak Bogor, dilanjutkan ke pura Aditya Jaya Rawamangun. Dan selanjutnya para peserta kembali kedaerah masing-masing.
Demikian kami sampaikan, "Om Ano Badrah Kratavo Yantu Viswatah, Semoga atas Karunia Hyang Widdhi segala Pikiran Yang Baik datang dari Segenap Penjuru".
Om Ksama Sampurna Ya Namah Swaha, Om Sidirasthu Karyane, Om Awighnamastu Namo Sidham, Om.
Ksamaswamam,
Pengurus Pusat Pinandita Sanggraha Nusantara
P Astono Chandra Dana,
Sekretaris Umum
Kepada seluruh pembaca yang budiman, para pengikut setia Blog ini yang terhormat serta kepada seluruh umat yang berbahagia.
Kami dari Pengurus Pusat PINANDITA SANGGRAHA NUSANTARA, memohon izin dan doa restu dari para Darmika sekalian, oleh karena mulai tanggal 22 Oktober 2010 sampai dengan tanggal 25 Oktober 2010, kami akan menyelenggarakan acara : Musyawarah Nasional I Pinandita Sanggraha Nusantara di Anjungan Propinsi Lampung Taman Mini Indonesia Indah.
Acara ini akan diikuti oleh sekitar 150 orang peserta dan peninjau dari seluruh Indonesia yang terdiri dari para Pinandita dan Sarati Banten.
Adapun acara intinya adalah sbb :
1) Tanggal 22 Oktober 2010, mulai jam 13 siang peserta dan peninjau sudah bisa registrasi dan masuk penginapan (anjungan Lampung, anjungan Jawa Barat dan NTB), Malam harinya melaksanakan Persembahyangan Purnama Kelima di Pura Penataran Agung Taman Mini, dilanjutkan acara Gladi Bersih Upacara Pembukaan Munas I PSN.
2) Tanggal 23 Oktober 2010, mulai jam 08 pagi dilaksanakan acara Pembukaan Munas I PSN, dilanjutkan dengan acara pembekalan peserta dan sidang-sidang komisi.
3) Tanggal 24 Oktober 2010, lanjutan acara sidang-sidang komisi, paripurna Pemilihan dan Pengukuhan Ketua Umum PSN periode 2010 - 2015, Penutupan Munas I PSN 2010
4) Tanggal 25 Oktober 2010, acara Tirta Yatra peserta dan peninjau ke pura Parahyangan Agung Jagatkartha Gunung Salak Bogor, dilanjutkan ke pura Aditya Jaya Rawamangun. Dan selanjutnya para peserta kembali kedaerah masing-masing.
Demikian kami sampaikan, "Om Ano Badrah Kratavo Yantu Viswatah, Semoga atas Karunia Hyang Widdhi segala Pikiran Yang Baik datang dari Segenap Penjuru".
Om Ksama Sampurna Ya Namah Swaha, Om Sidirasthu Karyane, Om Awighnamastu Namo Sidham, Om.
Ksamaswamam,
Pengurus Pusat Pinandita Sanggraha Nusantara
P Astono Chandra Dana,
Sekretaris Umum
Thursday, September 23, 2010
AGAMA ADALAH PRAKTEK bagian keempat
Oleh : JM Gusti Ngurah Made Suyadnya (Ketua Umum PSN)
LANGKAH 5 ; HITUNG ANUGRAH ANDA
Ambillah secarik kertas dan tulislah semua pemberian Tuhan yang anda syukuri. Tahukah anda apa yang harus anda syukuri? Tahukah anda nilai mata anda, telinga anda. Tangan anda dsb? Dan bukan hanya itu, Dia telah memberikan kita orang-orang yang menyayangi kita; keluaraga, kakak, adik, teman-teman dan orang orang yang berniat baik. Hitunglah berkahmu, bukan kesialanmu, hitunglah pendapatanmu, bukan kehilanganmu, hitunglah kebahagiaanmu, bukan kesedihanmu dsb.
LANGKAH 6 ; TERIMALAH KEHENDAK TUHAN
Orang orang yang percaya pada kekuatan Yang Maha Esa, orang-orang yang belajar untuk menerima kemauanNya, tidak akan pernah jatuh dalam kemalasan dan pesimisme. Mereka akan berbuat seperti apa yang diperintahkan Tuhan dalam Bhagawadgita, mereka tidak bermalas-malasan, mereka melakukan yang terbaik yang mereka mampu untuk mencapai hasil yang mereka inginkan. Tetapi bila mereka tidak mendapatkan hasil seperti yang diinginkan, mereka tidak menjadi putus asa dan frustasi, mereka tidak jatuh dalam kekecewaan. Panggilan hidup adalah maju kedepan menuju Tuhan.
Tahukah anda siapa santo terbesar dunia? Tanya William Law, “Bukan dia yang berdoa atau berpuasa paling sering; bukan ia yang memberikan persembahan paling banyak atau yang paling dikenal untuk kesabaran,kemurahan hati dan keadilannya, melainkan dia yang selalu bersyukur pada Tuhan; yang menghendaki segala sesuatu yang dikehendaki Tuhan, yang menerima segala sesuatu sebagai bukti dari kebaikan Tuhan dan memiliki hati yang selalu siap untuk memuji Tuhan untuk hal-hal ini.
Penerimaan dengan semangat bersyukur membuka jalan bagi keutuhan dalam hidup kita. Penerimaan bisa mengubah keputusasaan menjadi kepercayaan, perselisihan menjadi kerukunan, kekacauan menjadi ketertiban, dan kebingungan menjadi pengertian penuh. Penerimaan melepaskan kedamaian ke dalam hati kita dan membantu kita untuk percaya bahwa Tuhan selalu beserta kita. Menyerahkan kehendak kita dan menerima kehendak Tuhan bisa mengakibatkan hilangnya rasa yang menyakitkan
LANGKAH 7; LAKUKAN YANG TERBAIK. SERAHKAN HASILNYA PADA TUHAN.
Kerja adalah ibadah dan karma, atau tindakan, tidak dapat dihindari oleh mereka yang hidup di bumi ini. Tetapi rasa dari kedamaian di dalam diri adalah untuk bekerja tanpa terpaku pada hasilnya. Hukum alam semuanya mengarahkan kita untuk bertindak, karena kita tak mungkin hidup tanpa kegiatan. Tetapi mereka yang bijak betindak tanpa keterkaitan, tanpa mencari hasil. Sukses maupun kegagalan tidak mempengaruhi sikap mereka terhadap kewajiban mereka. Cukup dengan menyerahkan hasil dari tindakan kita kepada Tuhan, jadikan pekerjaan kita sebagai persembahan kepadaNya. Lakukan yang terbaik yang anda bisa, tetapi serahkan hasilnya kepada Tuhan. Ketika anda mengijinkan diri anda sebagai sarana Tuhan, anda akan menemukan bahwa anda bisa bekerja lebih baik, dan mencapai kesuksesan yang lebih besar, karena akan terbebas dari keerbatasan pribadi anda. Dengan cara begini benar-benar anda mempraktekkan kepercayaan bahwa kerja itu ibadah, pekerjaan anda menjadi bentuk persembahan.
LANGKAH 8; BERDOALAH TANPA HENTI
Jika anda menginginkan kedamaian dalam diri, berdoalah tanpa henti. Ini adalah satu hukum spiritual yang akan berlangsung selamanya. Anda tidak bisa duduk dan bermeditasi terus menerus, anda tidak bisa berpuasa lebih dari beberapa hari. Setiap hukum spiritual lainnya memiliki keterbatasan sebatas kemampuan orang tersebut, tetapi doa bisa berlangsung selamanya.
Jangan khawatir atas apapun, tetapi berdoa dan bersyukurlah untuk segala sesuatu, dan panjatkan keinginanmu kepada Tuhan. Dan kedamaian dari Tuhan, yang melampaui segala pengertian, akan menjaga hati dan pikiranmu.
Kita diperintahkan, diharuskan agar jangan khawatir, jangan takut, tapi agar berdoa untuk permohonan kita; berdoa dengan penuh rasa syukur. Dan dengan cara ini Tuhan akan menjaga hati kita. Doa adalah sesuatu yang sangat sederhana, doa adalah berbicara dengan Tuhan. Dia bersama anda selalu. Anda tidak akan menemukan Dia sibuk, atau berhalangan. Mencapainya melalui doa lebih cepat daripada sambungan cepat telpon anda. Yang anda harus lakukan adalah memikirkanNya, menutup diri dari dunia untuk sesaat, dan memulai pembicaraan yang penuh kasih sayang denganNya.
Umumnya kita banyak menghabiskan waktu kita untuk kegiatan yang tidak penting. Pikiran kita demikian sibuknya, terus menerus berlari dari satu titik ke titik yang lainnya. Mengapa tidak kita alihkan pikiran kita yang sibuk ini dalam sebuah pembicaraan yang penuh kasih sayang Tuhan? Doa tidak perlu menjadi urusan yang rumit. Seperti halnya jarum kompas selalu mengarah kearah utara, hati dan pikiran kita juga harus selalu tertuju pada Tuhan
“Datanglah kepada-Ku”, Sri Krishna bersabda, “dan engkau akan menjadi tanggunganKu dan kebahagianmu akan menjadi kebahagianKU”. Karena itu, jangan meragukan keberadaan Tuhan atau bahkan kebesaranNya. Dia ada selalu untuk Anda, yang harus Anda lakukan adalah memanggilNya, dan Dia akan ada untuk membantu Anda. Anda juga harus menyadari bahwa segala apa yang tak mungkin bagi manusia sangat mungkin bagi Tuhan. Kapanpun Anda menemukan diri Anda terjebak dalam sitruasi sulit , melalui masa-masa yang gelap, ada Yang Maha Kuasa yang selalu ada bersama Anda.
Seseorang yang Anda sayangi mungkin terserang penyakit yang tak tersembuhkan, dan para dokter sudah putus asa. Anda sudah hampir bangkrut, dan tidak ada yang bisa Anda mintai pertolongan. Anda berada dalam krisis hubungan pribadi, dan ikatan ini nyaris putus. Anda telah melakukan yang terbaik, tapi nampaknya Anda tak mampu menyelesaikan masalah ini. Serahkan saja kepada Tuhan! Bagaimana Anda bisa menyerahkan kepada Tuhan? Berdoalah kepadaNya. Dalam doa anda serahkan masalah ini kepadaNya. Katakan kepadaNya, “Tuhan, hamba tidak bisa melakukan apa-apa dalam masalah ini tanpa bantuanMu. Saatnya bagiMu untuk datang dan menolong hamba.”
Tetapi ingatlah untuk bersyukur kepada Tuhan sebelum Anda menutup doa Anda. Berdoalah dan bersyukurlah. Bersyukurlah kepada Tuhan sreolah Dia telah menjawab doa Anda. Namun ingatlah bahwa jawabanNya mungkin membutuhkan waktu untuk mencapainya. Rasakan ketenangan dan kebahagiaan dalam diri anda, dan Anda akan menemukan bahwa kedamaian mengisi pikiran Anda seketika. Apa yang tidak mungkin bagi manusia menjadi sangat mungkin bagi Tuhan. Berdoalah terus menerus! Pemecahan bagi semua masalah adalah berhubungan dengan Tuhan, biasakan diri berdoa, biasakan diri berhubungan dengan Tuhan.
Sekali Anda memulai kebiasaan ini, hal ini akan menjadi usaha yang spontan, sampai akan terjadi secara otomatis, Anda tidak perlu melakukan usaha secara berlebihan. Anda akan selalu memikirkan Tuhan di saat Anda berjalan, disaat bicara, di saat Anda bekerja, Dia akan selalu hadir dalam diri Anda dan Anda akan merindukan saat saat di mana Anda bisa sendiri bersamaNya, di saat anda bisa membuka hati Anda terhadapNya. Rasa rindu inilah yang harus kita kembangkan melalui doa secara terus menerus. Tanpa kerinduan ini, tanpa penantian kita, doa kita hanya akan menjadi dangkal dan kosong, doa kita tidak bisa dibawa ke tahap yang lebih dalam dan di kedalaman inilah Tuhan menanti kita.
Ketika kita telah belajar untuk menghubungi Dia, akan mudah bagi kita untuk menyusuri kedalaman ini, dan mendengarkanNya, merasakan kehadiranNya dan bicara kepadaNya. Semua ini menjadi mungkin melalui doa yang terus menerus!
“Datanglah kepadaKU,” Sri Krishna bersabda, “dan engkau akan menjadi tanggunganKu, bebanmu akan menjadi bebanKu, dan kebahagianmu akan menjadi kebahagianKu!”
Carilah Tuhan bukan untuk keuntungan materiil, melainkan untuk mendapatkan cintaNya. Kedamaian tidak akan datang kepada kita dengan mencari hal hal yang diberikan oleh dunia dan yang kelak akan diambil kembali oleh dunia. Kedamaian tidak akan datang kepada kita dengan melawan keadaan dan berontak terhadap segala yang terjadi pada kita. Kedamaian akan datang ketika kita memasuki Kedamaian Besar Tuhan, melalui doa terus menerus.,
Hai pengelana, yang telah lelah akan pencarianmu! Jauh dari Rumah sejatimu, tidak ada ketenangan, kembalilah kerumahmu! Dan rumahmu adalah Tuhan. Ingatlah Dia selalu. Berdoalah kepadaNya tanpa henti.
Sungguh bahagia mereka yang bersatu dengan Tuhan melalui doa yang tanpa henti! Mereka telah terlepas dari belenggu duniawi; mereka tidak terikat apapun; Tuhan menjadi janngkar mereka!
Sangat bermakna sabda Sri Krishna dalam Bhagawad gita :
Berdiam dalam kegelisahanmu, Engkau berdiam tenang dalam diriku
Menyatu denganku, Engkau akan mencapai kedamaian
Dari keabadian, Kebahagiaan sejati Yang ada dalam diriKu
Mereka yang menyatu dengan Tuhan dalam doa yang tiada henti akan berbahagia! Mereka telah melepaskan diri dari belenggu keterikatan, mereka tidak lagi terikat; Tuhan adalah jangkar sejati mereka!
Pada awalnya Anda akan menemukan bahwa doa membutuhkan disiplin dan ketekunan. Tetapi seiring berjalannya waktu, disiplin menjadi tidak perlu, Karen doa menjadi bagian dari kesadaran. Selanjutnya doa tidak lain merupakan pikiran baik yang terkonsentrasi. Berdoa tanpa henti bukan merupakan ritual; bukan merupakan kata terus-menerus akan kesatuan kita dengan Tuhan. Tentu saja Anda bisa meminta semua hal baik yang Anda butuhkan dan anda bisa mendapatkan kepercayaan bahwa segala bisa Anda raih. Karena segala jenis doa efektif, tetapi doa tanpa henti memiliki pengaruh berlipat.
Seorang penulis dan pembicara terkenal mengatakan : “Tak ada seharipun berlalu tanpa saya memikirkan Tuhan. Lebih dari berpikir, saya merasa kehadiran Tuhan hampir di setiap sat kesadaran saya. Perasaan lega dan puas ini melebihi apapun yang bisa sayta gambarkan…..” “masalah dan kebingungan mendorong saya ke-arah doa”, seorang saudara menulis. “dan doa mendorong masalah dan kebingungan menjauh .” “Mengapa kita harus menunggu sampai berada dalam masalah?” Berdoalah tanpa henti bahkan saat anda sedang gembira, seperti dikatakan oleh Walter Mufffer, “Doa seharusnya tidak menjadi reakasi kita yang terkadang muncul di saat kita sedang kesulitan; doa adalah sikap dalam hidup.”
Jadikan doa sebagai sikap dalam hidup Anda. Biarlah setiap pikiran, setiap kata, setiap perbuatan, terpusat dalam doa.
Bersambung...........................
LANGKAH 5 ; HITUNG ANUGRAH ANDA
Ambillah secarik kertas dan tulislah semua pemberian Tuhan yang anda syukuri. Tahukah anda apa yang harus anda syukuri? Tahukah anda nilai mata anda, telinga anda. Tangan anda dsb? Dan bukan hanya itu, Dia telah memberikan kita orang-orang yang menyayangi kita; keluaraga, kakak, adik, teman-teman dan orang orang yang berniat baik. Hitunglah berkahmu, bukan kesialanmu, hitunglah pendapatanmu, bukan kehilanganmu, hitunglah kebahagiaanmu, bukan kesedihanmu dsb.
LANGKAH 6 ; TERIMALAH KEHENDAK TUHAN
Orang orang yang percaya pada kekuatan Yang Maha Esa, orang-orang yang belajar untuk menerima kemauanNya, tidak akan pernah jatuh dalam kemalasan dan pesimisme. Mereka akan berbuat seperti apa yang diperintahkan Tuhan dalam Bhagawadgita, mereka tidak bermalas-malasan, mereka melakukan yang terbaik yang mereka mampu untuk mencapai hasil yang mereka inginkan. Tetapi bila mereka tidak mendapatkan hasil seperti yang diinginkan, mereka tidak menjadi putus asa dan frustasi, mereka tidak jatuh dalam kekecewaan. Panggilan hidup adalah maju kedepan menuju Tuhan.
Tahukah anda siapa santo terbesar dunia? Tanya William Law, “Bukan dia yang berdoa atau berpuasa paling sering; bukan ia yang memberikan persembahan paling banyak atau yang paling dikenal untuk kesabaran,kemurahan hati dan keadilannya, melainkan dia yang selalu bersyukur pada Tuhan; yang menghendaki segala sesuatu yang dikehendaki Tuhan, yang menerima segala sesuatu sebagai bukti dari kebaikan Tuhan dan memiliki hati yang selalu siap untuk memuji Tuhan untuk hal-hal ini.
Penerimaan dengan semangat bersyukur membuka jalan bagi keutuhan dalam hidup kita. Penerimaan bisa mengubah keputusasaan menjadi kepercayaan, perselisihan menjadi kerukunan, kekacauan menjadi ketertiban, dan kebingungan menjadi pengertian penuh. Penerimaan melepaskan kedamaian ke dalam hati kita dan membantu kita untuk percaya bahwa Tuhan selalu beserta kita. Menyerahkan kehendak kita dan menerima kehendak Tuhan bisa mengakibatkan hilangnya rasa yang menyakitkan
LANGKAH 7; LAKUKAN YANG TERBAIK. SERAHKAN HASILNYA PADA TUHAN.
Kerja adalah ibadah dan karma, atau tindakan, tidak dapat dihindari oleh mereka yang hidup di bumi ini. Tetapi rasa dari kedamaian di dalam diri adalah untuk bekerja tanpa terpaku pada hasilnya. Hukum alam semuanya mengarahkan kita untuk bertindak, karena kita tak mungkin hidup tanpa kegiatan. Tetapi mereka yang bijak betindak tanpa keterkaitan, tanpa mencari hasil. Sukses maupun kegagalan tidak mempengaruhi sikap mereka terhadap kewajiban mereka. Cukup dengan menyerahkan hasil dari tindakan kita kepada Tuhan, jadikan pekerjaan kita sebagai persembahan kepadaNya. Lakukan yang terbaik yang anda bisa, tetapi serahkan hasilnya kepada Tuhan. Ketika anda mengijinkan diri anda sebagai sarana Tuhan, anda akan menemukan bahwa anda bisa bekerja lebih baik, dan mencapai kesuksesan yang lebih besar, karena akan terbebas dari keerbatasan pribadi anda. Dengan cara begini benar-benar anda mempraktekkan kepercayaan bahwa kerja itu ibadah, pekerjaan anda menjadi bentuk persembahan.
LANGKAH 8; BERDOALAH TANPA HENTI
Jika anda menginginkan kedamaian dalam diri, berdoalah tanpa henti. Ini adalah satu hukum spiritual yang akan berlangsung selamanya. Anda tidak bisa duduk dan bermeditasi terus menerus, anda tidak bisa berpuasa lebih dari beberapa hari. Setiap hukum spiritual lainnya memiliki keterbatasan sebatas kemampuan orang tersebut, tetapi doa bisa berlangsung selamanya.
Jangan khawatir atas apapun, tetapi berdoa dan bersyukurlah untuk segala sesuatu, dan panjatkan keinginanmu kepada Tuhan. Dan kedamaian dari Tuhan, yang melampaui segala pengertian, akan menjaga hati dan pikiranmu.
Kita diperintahkan, diharuskan agar jangan khawatir, jangan takut, tapi agar berdoa untuk permohonan kita; berdoa dengan penuh rasa syukur. Dan dengan cara ini Tuhan akan menjaga hati kita. Doa adalah sesuatu yang sangat sederhana, doa adalah berbicara dengan Tuhan. Dia bersama anda selalu. Anda tidak akan menemukan Dia sibuk, atau berhalangan. Mencapainya melalui doa lebih cepat daripada sambungan cepat telpon anda. Yang anda harus lakukan adalah memikirkanNya, menutup diri dari dunia untuk sesaat, dan memulai pembicaraan yang penuh kasih sayang denganNya.
Umumnya kita banyak menghabiskan waktu kita untuk kegiatan yang tidak penting. Pikiran kita demikian sibuknya, terus menerus berlari dari satu titik ke titik yang lainnya. Mengapa tidak kita alihkan pikiran kita yang sibuk ini dalam sebuah pembicaraan yang penuh kasih sayang Tuhan? Doa tidak perlu menjadi urusan yang rumit. Seperti halnya jarum kompas selalu mengarah kearah utara, hati dan pikiran kita juga harus selalu tertuju pada Tuhan
“Datanglah kepada-Ku”, Sri Krishna bersabda, “dan engkau akan menjadi tanggunganKu dan kebahagianmu akan menjadi kebahagianKU”. Karena itu, jangan meragukan keberadaan Tuhan atau bahkan kebesaranNya. Dia ada selalu untuk Anda, yang harus Anda lakukan adalah memanggilNya, dan Dia akan ada untuk membantu Anda. Anda juga harus menyadari bahwa segala apa yang tak mungkin bagi manusia sangat mungkin bagi Tuhan. Kapanpun Anda menemukan diri Anda terjebak dalam sitruasi sulit , melalui masa-masa yang gelap, ada Yang Maha Kuasa yang selalu ada bersama Anda.
Seseorang yang Anda sayangi mungkin terserang penyakit yang tak tersembuhkan, dan para dokter sudah putus asa. Anda sudah hampir bangkrut, dan tidak ada yang bisa Anda mintai pertolongan. Anda berada dalam krisis hubungan pribadi, dan ikatan ini nyaris putus. Anda telah melakukan yang terbaik, tapi nampaknya Anda tak mampu menyelesaikan masalah ini. Serahkan saja kepada Tuhan! Bagaimana Anda bisa menyerahkan kepada Tuhan? Berdoalah kepadaNya. Dalam doa anda serahkan masalah ini kepadaNya. Katakan kepadaNya, “Tuhan, hamba tidak bisa melakukan apa-apa dalam masalah ini tanpa bantuanMu. Saatnya bagiMu untuk datang dan menolong hamba.”
Tetapi ingatlah untuk bersyukur kepada Tuhan sebelum Anda menutup doa Anda. Berdoalah dan bersyukurlah. Bersyukurlah kepada Tuhan sreolah Dia telah menjawab doa Anda. Namun ingatlah bahwa jawabanNya mungkin membutuhkan waktu untuk mencapainya. Rasakan ketenangan dan kebahagiaan dalam diri anda, dan Anda akan menemukan bahwa kedamaian mengisi pikiran Anda seketika. Apa yang tidak mungkin bagi manusia menjadi sangat mungkin bagi Tuhan. Berdoalah terus menerus! Pemecahan bagi semua masalah adalah berhubungan dengan Tuhan, biasakan diri berdoa, biasakan diri berhubungan dengan Tuhan.
Sekali Anda memulai kebiasaan ini, hal ini akan menjadi usaha yang spontan, sampai akan terjadi secara otomatis, Anda tidak perlu melakukan usaha secara berlebihan. Anda akan selalu memikirkan Tuhan di saat Anda berjalan, disaat bicara, di saat Anda bekerja, Dia akan selalu hadir dalam diri Anda dan Anda akan merindukan saat saat di mana Anda bisa sendiri bersamaNya, di saat anda bisa membuka hati Anda terhadapNya. Rasa rindu inilah yang harus kita kembangkan melalui doa secara terus menerus. Tanpa kerinduan ini, tanpa penantian kita, doa kita hanya akan menjadi dangkal dan kosong, doa kita tidak bisa dibawa ke tahap yang lebih dalam dan di kedalaman inilah Tuhan menanti kita.
Ketika kita telah belajar untuk menghubungi Dia, akan mudah bagi kita untuk menyusuri kedalaman ini, dan mendengarkanNya, merasakan kehadiranNya dan bicara kepadaNya. Semua ini menjadi mungkin melalui doa yang terus menerus!
“Datanglah kepadaKU,” Sri Krishna bersabda, “dan engkau akan menjadi tanggunganKu, bebanmu akan menjadi bebanKu, dan kebahagianmu akan menjadi kebahagianKu!”
Carilah Tuhan bukan untuk keuntungan materiil, melainkan untuk mendapatkan cintaNya. Kedamaian tidak akan datang kepada kita dengan mencari hal hal yang diberikan oleh dunia dan yang kelak akan diambil kembali oleh dunia. Kedamaian tidak akan datang kepada kita dengan melawan keadaan dan berontak terhadap segala yang terjadi pada kita. Kedamaian akan datang ketika kita memasuki Kedamaian Besar Tuhan, melalui doa terus menerus.,
Hai pengelana, yang telah lelah akan pencarianmu! Jauh dari Rumah sejatimu, tidak ada ketenangan, kembalilah kerumahmu! Dan rumahmu adalah Tuhan. Ingatlah Dia selalu. Berdoalah kepadaNya tanpa henti.
Sungguh bahagia mereka yang bersatu dengan Tuhan melalui doa yang tanpa henti! Mereka telah terlepas dari belenggu duniawi; mereka tidak terikat apapun; Tuhan menjadi janngkar mereka!
Sangat bermakna sabda Sri Krishna dalam Bhagawad gita :
Berdiam dalam kegelisahanmu, Engkau berdiam tenang dalam diriku
Menyatu denganku, Engkau akan mencapai kedamaian
Dari keabadian, Kebahagiaan sejati Yang ada dalam diriKu
Mereka yang menyatu dengan Tuhan dalam doa yang tiada henti akan berbahagia! Mereka telah melepaskan diri dari belenggu keterikatan, mereka tidak lagi terikat; Tuhan adalah jangkar sejati mereka!
Pada awalnya Anda akan menemukan bahwa doa membutuhkan disiplin dan ketekunan. Tetapi seiring berjalannya waktu, disiplin menjadi tidak perlu, Karen doa menjadi bagian dari kesadaran. Selanjutnya doa tidak lain merupakan pikiran baik yang terkonsentrasi. Berdoa tanpa henti bukan merupakan ritual; bukan merupakan kata terus-menerus akan kesatuan kita dengan Tuhan. Tentu saja Anda bisa meminta semua hal baik yang Anda butuhkan dan anda bisa mendapatkan kepercayaan bahwa segala bisa Anda raih. Karena segala jenis doa efektif, tetapi doa tanpa henti memiliki pengaruh berlipat.
Seorang penulis dan pembicara terkenal mengatakan : “Tak ada seharipun berlalu tanpa saya memikirkan Tuhan. Lebih dari berpikir, saya merasa kehadiran Tuhan hampir di setiap sat kesadaran saya. Perasaan lega dan puas ini melebihi apapun yang bisa sayta gambarkan…..” “masalah dan kebingungan mendorong saya ke-arah doa”, seorang saudara menulis. “dan doa mendorong masalah dan kebingungan menjauh .” “Mengapa kita harus menunggu sampai berada dalam masalah?” Berdoalah tanpa henti bahkan saat anda sedang gembira, seperti dikatakan oleh Walter Mufffer, “Doa seharusnya tidak menjadi reakasi kita yang terkadang muncul di saat kita sedang kesulitan; doa adalah sikap dalam hidup.”
Jadikan doa sebagai sikap dalam hidup Anda. Biarlah setiap pikiran, setiap kata, setiap perbuatan, terpusat dalam doa.
Bersambung...........................
Katagori
Article
Thursday, September 16, 2010
AGAMA ADALAH PRAKTEK bagian ketiga
Oleh : Jro Mangku Ir. Gusti Ngurah Made Suyadnya (Ketua Umum PSN Pusat)
LANGKAH 2 ; ISTIRAHATKAN PIKIRAN DALAM TUHAN
Engkau akan memberikan kedamaian bagi mereka yang pikirannya terpusat pada-Mu. Anda pasti menemukan bahwa setiap kali pikiran anda berada dalam Tuhan, setiap kali anda merasakan kehadiran-Nya, anda berada dalam kedamaian.
Dapatkah anda mencoba sebuah latihan sederhana? Setiap kali anda mulai sadar pikiran anda melayang, perlahan-lahan dengan penuh kasih sayang bawalah pikiran anda kembali kepada Yang Maha Kuasa. Memang tidak mudah! Bahkan saat anda sadar bahwa pikiran anda mulai melayang, kita ikut melayang bersama pikiran kita! Akan tetapi lakukan sebisa anda untuk menghentikan pikiran anda yang sedang melayang ini, dan bawalah kembali kepada Yang Maha Kuasa.
Jangan berusaha untuk melawan pikiran kita----karena pikiran dapat menjadi musuh yang berbahaya. Ber-temanlah dengannya, bujuklah dia, seperti anda membujuk seorang anak yang keras kepala, bahwa akan baik baginya untuk terfokus pada Yang Maha Kuasa. Ijinkan pikiran anda untuk sedikit menikmati kedamaian yang timbul. Katakan padanya, “Lihat, lihatlah betapa bahagianya bila kita diam dihadapanNya! Dia akan membuat kita merasa damai saat kita beristirahat denganNya. Mengapa kita tak bisa berdiam saja dihadapanNya dan merasakan kebahagiaan dalam hidup?”
Pikiran yang cepat tidaklah sehat. Pikiran yang pelan adalah sehat. Pikiran yang hening adalah suci. Jika anda menginginkan kesucian anda nyata, pelankan laju pikiran anda, heningkan pikiran anda dalam hadirat Yang Maha Kuasa. Pikiran yang kosong mengundang penghuni yang berbahaya, seperti sebuah rumah besar yang kosong, mengundang glandangan dan buronan untuk mengisi kamar-kamarnya, karenanya isilah pikiran dengan segala yang baik dan mulia.
Bagaimana kita mengharapkan dapat menemukan kedamaian di dunia luar, ketika kita gagal menyadari bahwa kebahagiaan sebenarnya berpusat dalam pikiran kita sendiri.
Mengapa pikiran kita berkeliaran? Penyebab berkeliarannya itu ada tiga hal, seperti halnya maya memiliki tiga wajah;
1. Yang pertama adalah kenikmatan, kepuasan duniawi. Kenikmatan mengundang kita bagaikan magnet. Pikirkan tempat tempat hiburan kesukaan anda seperti bioskop, theater, bar, klub, dan seterusnya, semua ini dan masih banyak lagi yang sangat menarik bagi pikiran manusia. Hal hal ini menarik imajinasi dan membangunkan hasrat dalam diri anda. Hasrat inilah yang membuat pikiran berkeliaran.
2. Wajah kedua dari maya adalah kekayaan. Kita terus mengumpulkan kekayaan yang semakin banyak. Kita bahkan tidak memiliki waktu untuk menghabiskannya! Suatu waktu kematian menerkam kita dengan tiba tiba, dan pada saat meninggal kita terpaksa meninggalkannya, kita berjalan terus dengan tangan kosong ke Dunia lain.
3. Wajah ketiga maya adalah ketenaran, keagungan duniawi, pengaruh dan kekuasaan. Ada orang-orang yang mengutuk hasrat dan menjauhi kekayaan, tetapi mereka sangat tertarik akan kebesaran nama, ketenaran, kehormatan dan pendapat umum. Mereka juga merupakan tahanan dari Maya! Kita tidak mungkin mencapai kesempurnaan ini dalam semalam, tetapi kita bisa dan harus berusaha memusatkan pikiran yang berkeliaran sehingga kita bisa mempergunakan kekuatannya untuk kebaikan. Fokus terhadap Tuhan mendekatkanmu dengan Keabadian, sehingga pikiranmu bisa mengatur yang tidak abadi sebaik-baiknya.
Lord Chesterfield berkata bahwa pikiran yang lemah dan berkeliaran menjadi seperti mikroskop, yang hanya terpaku pada hal hal yang tidak penting. Pikiran yang berkeliaran menjadikan gundukan seperti gunung dan membayangkan halangan yang tak teratasi dalam jalan menuju kemajuan. Sebaliknya pikiran yang terpusat mempunyai kebijakan, kekuatan dan kebesaran untuk membantu kita mengatasi tantangan dalam hidup.
Dalam kata-kata filsuf Zen, Chang Tsu : Jika air mendapatkan kejernihannya dengan tetap diam, pikiran bisa lebih hebat lagi! Pikiran yang tenang menjadi cermin dari alam semesta, teropong untuk melihat seluruh ciptaan. Engkau akan memberikan kedamaian sempurna bagi mereka yang pikirannya terpusat pada-Mu.
LANGKAH 3; JADILAH SINGA BUKAN ANJING
Orang Suci menjelaskan hal ini sbb; “Jika kamu melempar bola pada anjing, apa yang terjadi? Ia berlari mengejarnya. Jika kamu melempar apapun pada singa, apa yang terjadi, ia akan mengacuhkan benda tersebut dan berlari mengejarmu. Dia akan mengejar pelemparnya, bukan benda yang dilemparkan.
Setiap saat kita berpikir mengenai benda-benda yang dilemparkan pada kita, mengenai kondisi dan keadaan kita hidup, mengenai pola dalam hidup yang berubah-ubah, saat saat dalam hidup yang segera akan berlalu. Kita tidak memikirkanNya, Sang Pelempar yang telah melemparkan semua ini pada kita.
Kita harus menyadari berulang-ulang bahwa ada anugerah dalam semua yang terjadi pada kita. Semua pengalaman hidup akan mengajarkan kita sesuatu . Kita harus menerimanya sebagai sebuah anugerah dan kita akan dianugrahi dengan berlimpah. Berpalinglah pada Tuhan dalam doa dan meletakkan semua kekhawatiran, kebingungan kita di kakiNya. Ini akan memberI kita perasaan damai dan rileks secara langsung, sehingga kita bisa menangani masalah dalam jiwa penyerahan yang tenang.
Kosongkan pikiran anda dari segala kekhawatiran. Letakkan beban anda di kakiNya dan Dia akan memberi anda ketenangan, keberanian dan kepercayaan diri untuk menghadapi tantangan hidup.
Que sera,sera! Apapun yang akan terjadi, terjadilah! Jadi mengapa harus khawatir? “Apapun yang telah terjadi, apapun yang sedang terjadi, apapun yang akan terjadi semuanya terjadi untuk yang terbaik.” Kita harus menegaskan berulang-ulang bahwa ada anugerah dalam semua yang terjadi pada kita. Semua pengalaman hidup akan mengajarkan kita sesuatu. Kita harus menerimanya sebagai sebuah anugerah, dan kita akan dianugerahi dengan berlimpah.
Daripada khawatir, marilah kita berpaling pada Tuhan dalam doa dan meletakkan semua kekhawatiran kita di kaki-Nya. Ini akan memberikan kita perasaan damai dan rileks secara langsung, sehinhgga kita bisa menangani masalah dan kesulitan dalam hidup dalam jiwa penyerahan yang tenang. Mengapa kita harus membawa beban berat dalam pikiran dan hati kita, ketika kita bisa dengan mudah meletakkan beban kita dikaki-Nya yang cukup kuat untuk memanggul semua beban di dunia ini?
Letakkan beban anda di kaki-Nya dan Dia akan memberi anda ketenangan, keberanian dan kepercayaan diri untuk menghadapi tantangan hidup.
LANGKAH 4; JANGAN BERKONSENTRASI PADA MASALAH.
BERKONSENTRASILAH PADA PEMECAHAN
Masalah ada bagi kita semua; setiap orang pasti menghadapinya; masalah kesehatan, keuangan, hubungan keluarga, diplomatic, pekerjaan, anak-anak. Setiap orang menghadapi masalahnya masing-masing, tanpa kecuali, kita semua selalu membayangkan bahwa masalah kita yang paling berat dari semuanya.
Ingatlah bahwa setiap masalah punya solusi. Tidak ada masalah yang tidak punya pemecahan.
Ada tiga cara untuk menghadapi masalah;
1. Cara pertama adalah dengan cara menghindarinya, menantang masalah ini membuat anda gentar, jadi anda memutuskan untuk kabur. Menghindari masalah, bisa dipastikan masalah ini akan kembali pada anda cepat atau lambat. Menghindari terus menerus akan membuat masalah ini menjadi semakin besar, berat, sampai pada suatu saat anda tak akan dapat menghindarinya lagi.
2. Cara kedua lagi lagi cara yang salah dimana untuk menghadapinya dengan sikap pasrah yang pasif. Apa yang tak dapat disembuhkan harus diderita. Apa yang bisa kita lakukan, kita harus menghadapi masalah ini, tidak ada jalan keluar.
3. Cara ketiga menghadapi masalah dengan cara yang benar, cara kemenangan. Kita terima masalah ini dengan senang hati, menyambutnya dan meminta pesan apa yang terkandung dalam masalah ini yang merupakan pesan dari Tuhan. Percaya bahwa hidup ini tidak diberikan dengan syarat yang mudah, hidup adalah penuh tantangan, kesulitan, cobaan dan konflik. Masalah masalah diberikanNya untuk kebaikan bagi kita.
Hidup adalah sekolah, bukan ladang untuk memanen kenikmatan belaka. Majulah untuk menyambut masalah saat muncul di cakrawala. Janganlah takut, janganlah melarikan diri, hadapi, atasi dan bekerja samalah dengannya, sambil memahami dan ia akan membawa anda ke sebuah penemuan berharga, sebuah penghargaan yang semestinya anda terima. Inilah cara yang benar untuk menghadapi masalah, cara kemenangan.
Masalah tanda dari kehidupan; masalah adalah ciri-ciri kehidupan. Jika anda pernah mengalami hari dimana anda tidak perlu menghadapi masalah satu pun juga, sebaiknya anda membaca berita kematian di koran, kalau-kalau nama anda ada disana. Hanya mereka yang sudah mati yang tak menghadapi masalah!
Masalah tidak datang kepada kita tanpa di sengaja. Masalah sengaja dilempar di jalan kita oleh Tuhan demi kebaikan kita sendiri. Di saat kita bisa menangani masalah-masalah ini dengan baik, di saat ini kita bisa membuka kekuatan dari dalam jiwa kita sendiri, energy besar yang tersimpan dalam diri kita. Jika kita dapat melepaskan sedikit saja kekuatan yang tak terhingga ini, kita akan menyadari bahwa tak ada yang tak dapat kita capai. Dan cara terbaik untuk membuka, mengeluarkan kekuatan-kekuatan terpendam ini adalah dengan menghadapi masalah dan tantangan dengan cara yang benar.
Jangan lihat masalahnya, lihat pemecahannya. Kepuasan terbesar dalam hidup datang pada anda bukan dengan lari dari masalah, bukan dengan mengacuhkan kewajiban-kewajiban berat, tetapi dengan menghadapi dan menyelesaikan masalah, dengan menerima tantangan sebagai individu yang bertanggung jawab dan bisa dipercaya. Masalah tidak membawa anda pada jalan buntu. Masalah tidak akan menghalangi jalan anda untuk selamanya. Masalah bukan penghalang melainkan batu loncatan menuju hidup yang lebih kaya dan lebih indah.
Bhagawad Gita memberi tahu kita bahwa hidup kita berdasarkan dwanda, pasangan yang saling berlawanan; gelap dan terang, siang dan malam, panas dan dingin, kelebihan dan kekurangan, jauh dan dekat, baik dan jahat, pujian dan hinaan, daftar ini tak ada habisnya. Anda tak tahu rasanya panas tanpa merasakan dingin, tak tahu rasanya terang tanpa merasakan gelap. Begitu juga halnya dengan masalah Kapanpun anda punya masalah, anda pasti punya pemecahannya, pemecahan yang terkandung dalam masalah itu sendiri.
Bersambung............
LANGKAH 2 ; ISTIRAHATKAN PIKIRAN DALAM TUHAN
Engkau akan memberikan kedamaian bagi mereka yang pikirannya terpusat pada-Mu. Anda pasti menemukan bahwa setiap kali pikiran anda berada dalam Tuhan, setiap kali anda merasakan kehadiran-Nya, anda berada dalam kedamaian.
Dapatkah anda mencoba sebuah latihan sederhana? Setiap kali anda mulai sadar pikiran anda melayang, perlahan-lahan dengan penuh kasih sayang bawalah pikiran anda kembali kepada Yang Maha Kuasa. Memang tidak mudah! Bahkan saat anda sadar bahwa pikiran anda mulai melayang, kita ikut melayang bersama pikiran kita! Akan tetapi lakukan sebisa anda untuk menghentikan pikiran anda yang sedang melayang ini, dan bawalah kembali kepada Yang Maha Kuasa.
Jangan berusaha untuk melawan pikiran kita----karena pikiran dapat menjadi musuh yang berbahaya. Ber-temanlah dengannya, bujuklah dia, seperti anda membujuk seorang anak yang keras kepala, bahwa akan baik baginya untuk terfokus pada Yang Maha Kuasa. Ijinkan pikiran anda untuk sedikit menikmati kedamaian yang timbul. Katakan padanya, “Lihat, lihatlah betapa bahagianya bila kita diam dihadapanNya! Dia akan membuat kita merasa damai saat kita beristirahat denganNya. Mengapa kita tak bisa berdiam saja dihadapanNya dan merasakan kebahagiaan dalam hidup?”
Pikiran yang cepat tidaklah sehat. Pikiran yang pelan adalah sehat. Pikiran yang hening adalah suci. Jika anda menginginkan kesucian anda nyata, pelankan laju pikiran anda, heningkan pikiran anda dalam hadirat Yang Maha Kuasa. Pikiran yang kosong mengundang penghuni yang berbahaya, seperti sebuah rumah besar yang kosong, mengundang glandangan dan buronan untuk mengisi kamar-kamarnya, karenanya isilah pikiran dengan segala yang baik dan mulia.
Bagaimana kita mengharapkan dapat menemukan kedamaian di dunia luar, ketika kita gagal menyadari bahwa kebahagiaan sebenarnya berpusat dalam pikiran kita sendiri.
Mengapa pikiran kita berkeliaran? Penyebab berkeliarannya itu ada tiga hal, seperti halnya maya memiliki tiga wajah;
1. Yang pertama adalah kenikmatan, kepuasan duniawi. Kenikmatan mengundang kita bagaikan magnet. Pikirkan tempat tempat hiburan kesukaan anda seperti bioskop, theater, bar, klub, dan seterusnya, semua ini dan masih banyak lagi yang sangat menarik bagi pikiran manusia. Hal hal ini menarik imajinasi dan membangunkan hasrat dalam diri anda. Hasrat inilah yang membuat pikiran berkeliaran.
2. Wajah kedua dari maya adalah kekayaan. Kita terus mengumpulkan kekayaan yang semakin banyak. Kita bahkan tidak memiliki waktu untuk menghabiskannya! Suatu waktu kematian menerkam kita dengan tiba tiba, dan pada saat meninggal kita terpaksa meninggalkannya, kita berjalan terus dengan tangan kosong ke Dunia lain.
3. Wajah ketiga maya adalah ketenaran, keagungan duniawi, pengaruh dan kekuasaan. Ada orang-orang yang mengutuk hasrat dan menjauhi kekayaan, tetapi mereka sangat tertarik akan kebesaran nama, ketenaran, kehormatan dan pendapat umum. Mereka juga merupakan tahanan dari Maya! Kita tidak mungkin mencapai kesempurnaan ini dalam semalam, tetapi kita bisa dan harus berusaha memusatkan pikiran yang berkeliaran sehingga kita bisa mempergunakan kekuatannya untuk kebaikan. Fokus terhadap Tuhan mendekatkanmu dengan Keabadian, sehingga pikiranmu bisa mengatur yang tidak abadi sebaik-baiknya.
Lord Chesterfield berkata bahwa pikiran yang lemah dan berkeliaran menjadi seperti mikroskop, yang hanya terpaku pada hal hal yang tidak penting. Pikiran yang berkeliaran menjadikan gundukan seperti gunung dan membayangkan halangan yang tak teratasi dalam jalan menuju kemajuan. Sebaliknya pikiran yang terpusat mempunyai kebijakan, kekuatan dan kebesaran untuk membantu kita mengatasi tantangan dalam hidup.
Dalam kata-kata filsuf Zen, Chang Tsu : Jika air mendapatkan kejernihannya dengan tetap diam, pikiran bisa lebih hebat lagi! Pikiran yang tenang menjadi cermin dari alam semesta, teropong untuk melihat seluruh ciptaan. Engkau akan memberikan kedamaian sempurna bagi mereka yang pikirannya terpusat pada-Mu.
LANGKAH 3; JADILAH SINGA BUKAN ANJING
Orang Suci menjelaskan hal ini sbb; “Jika kamu melempar bola pada anjing, apa yang terjadi? Ia berlari mengejarnya. Jika kamu melempar apapun pada singa, apa yang terjadi, ia akan mengacuhkan benda tersebut dan berlari mengejarmu. Dia akan mengejar pelemparnya, bukan benda yang dilemparkan.
Setiap saat kita berpikir mengenai benda-benda yang dilemparkan pada kita, mengenai kondisi dan keadaan kita hidup, mengenai pola dalam hidup yang berubah-ubah, saat saat dalam hidup yang segera akan berlalu. Kita tidak memikirkanNya, Sang Pelempar yang telah melemparkan semua ini pada kita.
Kita harus menyadari berulang-ulang bahwa ada anugerah dalam semua yang terjadi pada kita. Semua pengalaman hidup akan mengajarkan kita sesuatu . Kita harus menerimanya sebagai sebuah anugerah dan kita akan dianugrahi dengan berlimpah. Berpalinglah pada Tuhan dalam doa dan meletakkan semua kekhawatiran, kebingungan kita di kakiNya. Ini akan memberI kita perasaan damai dan rileks secara langsung, sehingga kita bisa menangani masalah dalam jiwa penyerahan yang tenang.
Kosongkan pikiran anda dari segala kekhawatiran. Letakkan beban anda di kakiNya dan Dia akan memberi anda ketenangan, keberanian dan kepercayaan diri untuk menghadapi tantangan hidup.
Que sera,sera! Apapun yang akan terjadi, terjadilah! Jadi mengapa harus khawatir? “Apapun yang telah terjadi, apapun yang sedang terjadi, apapun yang akan terjadi semuanya terjadi untuk yang terbaik.” Kita harus menegaskan berulang-ulang bahwa ada anugerah dalam semua yang terjadi pada kita. Semua pengalaman hidup akan mengajarkan kita sesuatu. Kita harus menerimanya sebagai sebuah anugerah, dan kita akan dianugerahi dengan berlimpah.
Daripada khawatir, marilah kita berpaling pada Tuhan dalam doa dan meletakkan semua kekhawatiran kita di kaki-Nya. Ini akan memberikan kita perasaan damai dan rileks secara langsung, sehinhgga kita bisa menangani masalah dan kesulitan dalam hidup dalam jiwa penyerahan yang tenang. Mengapa kita harus membawa beban berat dalam pikiran dan hati kita, ketika kita bisa dengan mudah meletakkan beban kita dikaki-Nya yang cukup kuat untuk memanggul semua beban di dunia ini?
Letakkan beban anda di kaki-Nya dan Dia akan memberi anda ketenangan, keberanian dan kepercayaan diri untuk menghadapi tantangan hidup.
LANGKAH 4; JANGAN BERKONSENTRASI PADA MASALAH.
BERKONSENTRASILAH PADA PEMECAHAN
Masalah ada bagi kita semua; setiap orang pasti menghadapinya; masalah kesehatan, keuangan, hubungan keluarga, diplomatic, pekerjaan, anak-anak. Setiap orang menghadapi masalahnya masing-masing, tanpa kecuali, kita semua selalu membayangkan bahwa masalah kita yang paling berat dari semuanya.
Ingatlah bahwa setiap masalah punya solusi. Tidak ada masalah yang tidak punya pemecahan.
Ada tiga cara untuk menghadapi masalah;
1. Cara pertama adalah dengan cara menghindarinya, menantang masalah ini membuat anda gentar, jadi anda memutuskan untuk kabur. Menghindari masalah, bisa dipastikan masalah ini akan kembali pada anda cepat atau lambat. Menghindari terus menerus akan membuat masalah ini menjadi semakin besar, berat, sampai pada suatu saat anda tak akan dapat menghindarinya lagi.
2. Cara kedua lagi lagi cara yang salah dimana untuk menghadapinya dengan sikap pasrah yang pasif. Apa yang tak dapat disembuhkan harus diderita. Apa yang bisa kita lakukan, kita harus menghadapi masalah ini, tidak ada jalan keluar.
3. Cara ketiga menghadapi masalah dengan cara yang benar, cara kemenangan. Kita terima masalah ini dengan senang hati, menyambutnya dan meminta pesan apa yang terkandung dalam masalah ini yang merupakan pesan dari Tuhan. Percaya bahwa hidup ini tidak diberikan dengan syarat yang mudah, hidup adalah penuh tantangan, kesulitan, cobaan dan konflik. Masalah masalah diberikanNya untuk kebaikan bagi kita.
Hidup adalah sekolah, bukan ladang untuk memanen kenikmatan belaka. Majulah untuk menyambut masalah saat muncul di cakrawala. Janganlah takut, janganlah melarikan diri, hadapi, atasi dan bekerja samalah dengannya, sambil memahami dan ia akan membawa anda ke sebuah penemuan berharga, sebuah penghargaan yang semestinya anda terima. Inilah cara yang benar untuk menghadapi masalah, cara kemenangan.
Masalah tanda dari kehidupan; masalah adalah ciri-ciri kehidupan. Jika anda pernah mengalami hari dimana anda tidak perlu menghadapi masalah satu pun juga, sebaiknya anda membaca berita kematian di koran, kalau-kalau nama anda ada disana. Hanya mereka yang sudah mati yang tak menghadapi masalah!
Masalah tidak datang kepada kita tanpa di sengaja. Masalah sengaja dilempar di jalan kita oleh Tuhan demi kebaikan kita sendiri. Di saat kita bisa menangani masalah-masalah ini dengan baik, di saat ini kita bisa membuka kekuatan dari dalam jiwa kita sendiri, energy besar yang tersimpan dalam diri kita. Jika kita dapat melepaskan sedikit saja kekuatan yang tak terhingga ini, kita akan menyadari bahwa tak ada yang tak dapat kita capai. Dan cara terbaik untuk membuka, mengeluarkan kekuatan-kekuatan terpendam ini adalah dengan menghadapi masalah dan tantangan dengan cara yang benar.
Jangan lihat masalahnya, lihat pemecahannya. Kepuasan terbesar dalam hidup datang pada anda bukan dengan lari dari masalah, bukan dengan mengacuhkan kewajiban-kewajiban berat, tetapi dengan menghadapi dan menyelesaikan masalah, dengan menerima tantangan sebagai individu yang bertanggung jawab dan bisa dipercaya. Masalah tidak membawa anda pada jalan buntu. Masalah tidak akan menghalangi jalan anda untuk selamanya. Masalah bukan penghalang melainkan batu loncatan menuju hidup yang lebih kaya dan lebih indah.
Bhagawad Gita memberi tahu kita bahwa hidup kita berdasarkan dwanda, pasangan yang saling berlawanan; gelap dan terang, siang dan malam, panas dan dingin, kelebihan dan kekurangan, jauh dan dekat, baik dan jahat, pujian dan hinaan, daftar ini tak ada habisnya. Anda tak tahu rasanya panas tanpa merasakan dingin, tak tahu rasanya terang tanpa merasakan gelap. Begitu juga halnya dengan masalah Kapanpun anda punya masalah, anda pasti punya pemecahannya, pemecahan yang terkandung dalam masalah itu sendiri.
Bersambung............
Katagori
Article
Monday, September 6, 2010
AGAMA ADALAH PRAKTEK bagian kedua
disajikan oleh : Jro Mangku Gusti Ngurah Suyadnya
(Ketua Umum Pinandita Sanggraha Nusantara Pusat)
Ya, hanya ada satu cara untuk mencapai kedamaian dalam pikiran, caranya dengan menyadari bahwa semua yang terjadi, terjadi sesuai keinginan Tuhan. Mengapa kita sering kehilanagn kedamaian pikiran kita? Sebab keinginan kita, nafsu kita, tidak dituruti. Kita menginginkan hal tertentu terjadi dengan cara tertentu pula. Saat kenyataan menjadikannya bebeda, barangkali dengan jalan berlawanan, kedamaian kita hilang.
Mengapa kita merasa kesal, frustasi, kecewa? Karena kita terikat, karena kiita terlibat. Jika saya menjalankan tugas saya, jika saya menjalankan hidup saya, seperti memainkan bagian dari sandiwara, saya tidak akan merasa kesal. Jika ada sesuatu yang terjadi dalam sandiwara, apakah anda merasakesal? Seandainya tokoh lain dalam sandiwara ini memarahi Anda atau bicara jelek tentang Anda, apakah Anda akan kesal? Tidak! Anda tahu Anda harus memainkan peran Anda dengan baik.
Jika saja kita bisa menyadari hal ini, bahwa kita semua hanya pemeran dalam sandiwara kehidupan; bahwa peran yang Anda mainkan telah diberikan pada Anda oleh sutradara alam semesta---kita tidak akan pernah merasa kesal. Kita tidak akan pernah terlibat. Tapi tentu saja ada syaratnya. Dalam sandiwara alam semesta dan kehidupan; Anda harus memainkan peran ganda. Anda harus jadi pemeran dan Anda juga harus menjadi penonton. Anda harus menyaksikan sandiwara ini bermain di depan mata Anda dan Anda juga hrus memainkan peran. Bilamana Anda mampu melakukan ini, niscaya Anda tidak akan kehilangan kedamaian pikiran.
Melakukan hal ini tidaklah mudah-----menjaga keseimbangan anda pada semua situasi. Sadhu Vaswani pernah mengatakan : “Tuhan menggagalkan rencana kita untuk menjalankan rencanaNya sendiri. Dan rencanaNya selalu sempurna”. Jika saya percaya sepenuh hati apapun yang telah terjadi pada diri saya merupakan bagian rencana Yang Maha Kuasa, bahwa ada hikmah yang terkandung didalamnya bagi saya, saya tidak akan merasa kesal. Sadhu Vaswani juga mengatakan; “Setiap kekecewaan adalah janjiNya. Dan Dia tahu yang terbaik. Saat anda telah menyadari ini, tak ada lagi kekecewaan, tak ada lagi ketidak bahagiaan. Hal ini adalah proses yang harus kita yakini dan jalani.
Saat anda telah menyadari hal ini, tak ada lagi kekecewaan, tak ada lagi ketidakbahagiaan. Anda akan tetap berada dalam keadaan tenteram dan damai. Anda mungkin tak dapat mencapai hal ini secara langsung. Hal ini adalah hasil dari proses yang harus Anda jalani.
Satu cara mudah untuk mencapai kedamaian pikiran adalah dengan bermeditasi selama sepuluh sampai lima belas menit setiap harinya, dan menjelaskan hal berikut kepada diri anda sendiri, “Apapun yang terjadi, terjadi sesuai dengan keinginan Tuhan. Jika ada sesuatu yang terjadi yang tidak sesuai dengan keinginan anda, hal ini terjadi karena kehendak Tuhan. Karena itu pasti ada hikmahnya bagi anda”
Jelaskan hal ini kepada pikiran anda setiap hari. “Wahai pikiran kenapa kau kehilangan kedamaianmu?’ Ijinkan saya katakan kepadamu, anda bisa mendapatkan kedamian pikiran jika anda berbagi kepada orang lain.
Santo Tulsidas, penyair yang agung berkata; “Tulsi is sansar mein kar leejiye do kaam. (Hei Tulsi, lakukan dua hal dalam hidup ini)
“Dene ko tukda bhala, lne ko Heri naam. (Berikan dari sebagian dan sebutkan nama Tuhan ). Terus memberi, santo ini berkata; “Ketika kamu sudah belajar untuk memberi, kamu telah belajar hidup dengan benar. Kedamaian akan terbit secara langsung dihatimu”. Hanya karena kita begitu egois, maka kedamaian kita terganggu. Kadamaian adalah asal wujud kita. Kita dibentuk dari kedamaian. Kita semua adalah Sat Cit Ananda. Ananda adalah kebahagiaan tanpa batas. Ini adalah wujud asal kita, kita hanya harus kembali kepadaNya.
DELAPAN LANGKAH MENUJU KEDAMAIAN DARI DALAM
LANGKH 1: AWALI HARI DENGAN TUHAN
Sebuah billboard mengiklankan sebuah obat syaraf. “Apa yang Anda rasakan besok tergantung dari langkah yang Anda ambil hari ini”. Hari esok kita tergantung pada hari ini dan setiap hari kita tergantung banyak pada apa yang kita lakukan di pagi hari.
Setiap pagi, ketika anda bangun ada pilihan dalam diri anda; anda bisa memilih optimis, harapan, pikiran positip dan sikap yang benar, atau anda bisa memilih pessimisme, kekalahan, keputusasaan.
Berikut adalah cara indah dari seorang penulis Amerika Dan Custer untuk mengungkapkan hal ini.
Setiap pagi adalah awal yang segar. Setiap hari dunia dibuat baru. Hari ini adalah hari baru. Hari ini dunia saya dibuat baru……saya akan membuat hari ini, setiap saat dalam hari ini, bagaikan sorga di bumi. Hari ini adalah hari kesempatan bagi saya.
Awali hari dengan baik, dan Tuhan akan mengurus sisa hari tersebut!
Setiap hari, saat anda bangun pagi hari, bacakan doa dari bibir anda, sebuah doa sederhana seperti:
Ya Tuhan, hari baru ini tiba sebagai anugerah dari tanganMu Yang Agung. Engkau telah menjagaku di waktu malam, dan Engkau akan menjagaku di waktu siang. Segala pujian bagiMu, ya Tuhan terpujilah namaMu!
Apa yang terjadi dan kita rasakan sekarang?. Kita jarang bersyukur atas banyaknya anugrah yang dilimpahkanNya pada kita. Kita menerimaNya seperti hak kita, kita menerima anugrahNya seperti sudah menjadi tugasNya. Coba awali segalanya dengan rasa syukur dan setelah anda mengucapkan syukur padaNya, biarkan pikiran anda selama semenit dua menit merenungkan sebuah perkataan mendalam, sebaris atau satu sloka dari kitab Suci. Ambillah satu sloka dari Bhagawadgita misalnya, atau pilihlah baris manapun yang dekat dengan hati anda, dan renungilah. Dengan cara ini secara rutin anda lakukan akan menimbulkan perubahan besar pada pikiran anda.
Jika anda benar benar ingin menjalani hari secara utuh, sukses, berlatihlah meditasi, setidaknya sebentar saja setiap pagi, Dengan cara ini anda akan menemukan bahwa anda telah membuat investasi tak ternilai untuk kedamaian dalam diri anda.
Bersambung..........
(Ketua Umum Pinandita Sanggraha Nusantara Pusat)
Ya, hanya ada satu cara untuk mencapai kedamaian dalam pikiran, caranya dengan menyadari bahwa semua yang terjadi, terjadi sesuai keinginan Tuhan. Mengapa kita sering kehilanagn kedamaian pikiran kita? Sebab keinginan kita, nafsu kita, tidak dituruti. Kita menginginkan hal tertentu terjadi dengan cara tertentu pula. Saat kenyataan menjadikannya bebeda, barangkali dengan jalan berlawanan, kedamaian kita hilang.
Mengapa kita merasa kesal, frustasi, kecewa? Karena kita terikat, karena kiita terlibat. Jika saya menjalankan tugas saya, jika saya menjalankan hidup saya, seperti memainkan bagian dari sandiwara, saya tidak akan merasa kesal. Jika ada sesuatu yang terjadi dalam sandiwara, apakah anda merasakesal? Seandainya tokoh lain dalam sandiwara ini memarahi Anda atau bicara jelek tentang Anda, apakah Anda akan kesal? Tidak! Anda tahu Anda harus memainkan peran Anda dengan baik.
Jika saja kita bisa menyadari hal ini, bahwa kita semua hanya pemeran dalam sandiwara kehidupan; bahwa peran yang Anda mainkan telah diberikan pada Anda oleh sutradara alam semesta---kita tidak akan pernah merasa kesal. Kita tidak akan pernah terlibat. Tapi tentu saja ada syaratnya. Dalam sandiwara alam semesta dan kehidupan; Anda harus memainkan peran ganda. Anda harus jadi pemeran dan Anda juga harus menjadi penonton. Anda harus menyaksikan sandiwara ini bermain di depan mata Anda dan Anda juga hrus memainkan peran. Bilamana Anda mampu melakukan ini, niscaya Anda tidak akan kehilangan kedamaian pikiran.
Melakukan hal ini tidaklah mudah-----menjaga keseimbangan anda pada semua situasi. Sadhu Vaswani pernah mengatakan : “Tuhan menggagalkan rencana kita untuk menjalankan rencanaNya sendiri. Dan rencanaNya selalu sempurna”. Jika saya percaya sepenuh hati apapun yang telah terjadi pada diri saya merupakan bagian rencana Yang Maha Kuasa, bahwa ada hikmah yang terkandung didalamnya bagi saya, saya tidak akan merasa kesal. Sadhu Vaswani juga mengatakan; “Setiap kekecewaan adalah janjiNya. Dan Dia tahu yang terbaik. Saat anda telah menyadari ini, tak ada lagi kekecewaan, tak ada lagi ketidak bahagiaan. Hal ini adalah proses yang harus kita yakini dan jalani.
Saat anda telah menyadari hal ini, tak ada lagi kekecewaan, tak ada lagi ketidakbahagiaan. Anda akan tetap berada dalam keadaan tenteram dan damai. Anda mungkin tak dapat mencapai hal ini secara langsung. Hal ini adalah hasil dari proses yang harus Anda jalani.
Satu cara mudah untuk mencapai kedamaian pikiran adalah dengan bermeditasi selama sepuluh sampai lima belas menit setiap harinya, dan menjelaskan hal berikut kepada diri anda sendiri, “Apapun yang terjadi, terjadi sesuai dengan keinginan Tuhan. Jika ada sesuatu yang terjadi yang tidak sesuai dengan keinginan anda, hal ini terjadi karena kehendak Tuhan. Karena itu pasti ada hikmahnya bagi anda”
Jelaskan hal ini kepada pikiran anda setiap hari. “Wahai pikiran kenapa kau kehilangan kedamaianmu?’ Ijinkan saya katakan kepadamu, anda bisa mendapatkan kedamian pikiran jika anda berbagi kepada orang lain.
Santo Tulsidas, penyair yang agung berkata; “Tulsi is sansar mein kar leejiye do kaam. (Hei Tulsi, lakukan dua hal dalam hidup ini)
“Dene ko tukda bhala, lne ko Heri naam. (Berikan dari sebagian dan sebutkan nama Tuhan ). Terus memberi, santo ini berkata; “Ketika kamu sudah belajar untuk memberi, kamu telah belajar hidup dengan benar. Kedamaian akan terbit secara langsung dihatimu”. Hanya karena kita begitu egois, maka kedamaian kita terganggu. Kadamaian adalah asal wujud kita. Kita dibentuk dari kedamaian. Kita semua adalah Sat Cit Ananda. Ananda adalah kebahagiaan tanpa batas. Ini adalah wujud asal kita, kita hanya harus kembali kepadaNya.
DELAPAN LANGKAH MENUJU KEDAMAIAN DARI DALAM
LANGKH 1: AWALI HARI DENGAN TUHAN
Sebuah billboard mengiklankan sebuah obat syaraf. “Apa yang Anda rasakan besok tergantung dari langkah yang Anda ambil hari ini”. Hari esok kita tergantung pada hari ini dan setiap hari kita tergantung banyak pada apa yang kita lakukan di pagi hari.
Setiap pagi, ketika anda bangun ada pilihan dalam diri anda; anda bisa memilih optimis, harapan, pikiran positip dan sikap yang benar, atau anda bisa memilih pessimisme, kekalahan, keputusasaan.
Berikut adalah cara indah dari seorang penulis Amerika Dan Custer untuk mengungkapkan hal ini.
Setiap pagi adalah awal yang segar. Setiap hari dunia dibuat baru. Hari ini adalah hari baru. Hari ini dunia saya dibuat baru……saya akan membuat hari ini, setiap saat dalam hari ini, bagaikan sorga di bumi. Hari ini adalah hari kesempatan bagi saya.
Awali hari dengan baik, dan Tuhan akan mengurus sisa hari tersebut!
Setiap hari, saat anda bangun pagi hari, bacakan doa dari bibir anda, sebuah doa sederhana seperti:
Ya Tuhan, hari baru ini tiba sebagai anugerah dari tanganMu Yang Agung. Engkau telah menjagaku di waktu malam, dan Engkau akan menjagaku di waktu siang. Segala pujian bagiMu, ya Tuhan terpujilah namaMu!
Apa yang terjadi dan kita rasakan sekarang?. Kita jarang bersyukur atas banyaknya anugrah yang dilimpahkanNya pada kita. Kita menerimaNya seperti hak kita, kita menerima anugrahNya seperti sudah menjadi tugasNya. Coba awali segalanya dengan rasa syukur dan setelah anda mengucapkan syukur padaNya, biarkan pikiran anda selama semenit dua menit merenungkan sebuah perkataan mendalam, sebaris atau satu sloka dari kitab Suci. Ambillah satu sloka dari Bhagawadgita misalnya, atau pilihlah baris manapun yang dekat dengan hati anda, dan renungilah. Dengan cara ini secara rutin anda lakukan akan menimbulkan perubahan besar pada pikiran anda.
Jika anda benar benar ingin menjalani hari secara utuh, sukses, berlatihlah meditasi, setidaknya sebentar saja setiap pagi, Dengan cara ini anda akan menemukan bahwa anda telah membuat investasi tak ternilai untuk kedamaian dalam diri anda.
Bersambung..........
Katagori
Article
Tuesday, August 31, 2010
AGAMA ADALAH PRAKTEK
disajikan oleh : Jro Mangku Gusti Ngurah Suyadnya
(Ketua Umum Pinandita Sanggraha Nusantara Pusat)
DAMAI BESERTAMU
Dimasa kini orang semakin kehilangan kepercayaan pada agama, karena agama telah menjadi terpisah dari kehidupan. Pertengkaran, perpecahan, kebencian dan kekerasan telah memasuki ruang lingkup keagamaan. Menyedihkan, agama yang pada awalnya sebagai perekat persatuan, kini telah menjadi alasan untuk perpecahan antar sekte.
Atas nama sekulerisme, kita membuat kesalahan tragis memisahkan agama dari kehidupan kita. Kita telah membersihkan pendidikan kita di sekolah, perguruan tinggi dari pengaruh Tuhan. Bagaimana pendidikan semacam itu dapat bekerja?
Kini agama semakin dilecehkan oleh kaum “liberal” dan kaum ‘intelektual’. Sesungguhnya bukan agama yang telah mengecewakan kita, tetapi kitalah yang telah mengecewakan agama. Kita sering sekali membicarakan agama, tetapi kita tidak menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kita tidak memperhatikan lagi ajaran dari para Awatara,Nabi, Santo tentang kemanusiaan.
Yang dibutuhkan adalah kehidupan, bukan cuma perkataan. Setiap orang bisa saja ke Pura, Mesjid, Gereja, ke Kuil setiap hari, membacakan doa-doa, menyanyikan lagu-lagu pujian, membaca ayat-ayat Suci dari Kitab Sucinya tanpa hentinya, puasa dari pagi hingga malam, namun jika perbuatannya tidak terpengaruh oleh agama dalam kesehariannya, yang berangkuan tidaklah lebih dari sebuah mesin perekam!
Seseorang bisa saja menyampaikan khotbah-khotbah, dharma wecana, pencerahan yang memberi inspirasi, menuliskan analisa mengenai Bhagawadgita, Upanishad, Brahmasutra, atau kitab suci yang lainnya, tetapi jika kehidupan yang bersangkutan tidak menyiratkan kebenaran-kebenaran atas ajaran ajaran ini, maka yang bersangkutan tidaklah lebih dari mesin pencetak.
Di masa kini dunia tidak lagi membutuhkan mesin perekam, pencetak belaka, yang dibutuhkan adalah kehidupan, bukan perkataan. Yang dibutuhkan adalah perbuatan, bukan upacara semata. Agama harus diartikan kembali dalam bentuk energi, vitalitas, dan kehidupan.
Apa yang terjadi saat ini?
Dalam dunia yang terpecah oleh sekte, agama dimanfaatkan oleh pihak-pihak tak bermoral untuk menyebarkan kebencian atas nama agama dan kepercayaan mereka. Pada saat yang bersamaan, telah menjadi kebiasaan bagi para politisi untuk menyalahkan agama atas nama kejahatan dalam masyarakat.
Saat ini kemanapun kita menoleh, kita melihat hasrat akan kedudukan, kerkuasaan dan ketenaran; ketamakan akan harta. Saat ini negara-negara seakan akan berkelana dalam hutan kegelapan dimana kekuatan berarti kebenaran. Saat ini manusia berdiri ditengah reruntuhan nilai dan idealisme. Ibu Pertiwi merinding ketakutan di saat anak-anaknya sibuk membangun senjata senjata kematian dan kehancuran.
Psichiater Swiss Carl Yung mengatakan: “Peradaban masa kini menderita karena manusia telah mengasingkan diri dari Tuhan” Bukankah ini musibah terbesar yang telah menimpa manusia modern?
Kita hidup dalam zaman kemajuan ilmiah dan perkembangan teknologi yang luar biasa. Ilmu pengetahuan telah menganugrahkan pada kita begitu banyak kenyamanan, kemudahan, begitu banyak peralatan, sayangnya semua ini telah membesarkan ego kita dan membutakan kita terhadap kebenaran mengenai diri kita sendiri, bahwa kita sesungguhnya adalah ciptaan Sang Pencipta. Kegagalan terbesar peradaban modern adalah kita bergerak menjauh dari Tuhan sampai kita melupakan bahwa kita semua adalah ciptaan-Nya.
Bahkan ada ateis muda yang berkata, “Kita tidak membutuhkan Tuhan. Tak ada yang tak bisa dilakukan oleh umat manusia. Manusia telah mampu menginjakkan kakinya di bulan. Roket buatan manusia telah mampu terbang melintasi planet-planet jauh. Manusia telah mampu memasang satelit di luar angkasa. Siapa yang butuh Tuhan di masa kini?”
Tuhan adalah sumber dan penopang kehidupan, dan manusia tak akan bisa menjalani hidup yang sehat secara fisik, mental, moral dan spiritual selama kita tetap memisahkan diri dari Tuhan. Sangat mudah melupakan Ruh suci, namun sekali kita lakukan, hidup kehilangan rasa; “garam kehidupan terasa hambar”. Ya inilah yang telah terjadi pada kita dewasa ini. Hidup telah kehilangan rasanya; garam kehidupan telah menjadi hambar; saat ini semakin banyak orang menyatakan bahwa hidup tak memiliki arti apapun--- oleh sebab itu apa gunanya hidup?
Berkat kemajuan material, kita memiliki semakin banyak cara, tetapi semakin sedikit makna. Materi kemewahan semakin bertambah tetapi angka bunuh diri meningkat juga.
Internet, jaringan luas…. komunikasi berkecepatan tinggi…… tetapi hipertensi terus meningkat. Ruang olahraga dan lift….. tapi lebih banyak yang berpenyakit jantung.
Megabit, gigabit……. Jutaan sel data yang dipindahkan dalam hitungan nanodetik……. tapi semakin banyak kesalahpahaman dan tidak adanya komunikasi nyata.
Hp, SMS, layar datar, LCD, TV plasma, Laptop, resolusi digital yang semakin besar….. tapi tak ada waktu untuk keluarga atau teman-teman.
Rumah Sakit bintang lima, peralatan tingkat tinggi, kamar perawatan yang nyaman….. tapi lebih sedikit kasih sayang dan perhatian.
Standar hidup yang lebih tinggi…… tapi kualitas kehidupan yang kian berkurang!
Apakah obatnya?
Nampaknya dewasa ini, ada keinginan untuk semua yang ‘besar’ dan ‘hebat’. Hal-hal kecil tidak lagi dapat memuaskan kita. Kelihatannya ego-ego kita semakin membesar saja, kita ingin meraih keuntungan yang semakin besar, mendirikan bangunan yang lebih gagah, membentuk yayasan yang lebih hebat, dan menulis buku-buku yang lebih tebal, dimana semua ini hanya akan mengarah pada ketidakbahagiaan yang lebih besar dan lebih berat juga, ini suatu cermin kebobrokan moral. Dasar dasar moral kehidupan umum telah berantakan; nilai-nilai tak lagi dihargai. Di seluruh dunia, pada saat ini juga, ada ratapan mengangankan dunia baru, kehidupan baru. Karena baik pria maupun wanita, tua dan muda, sudah lelah terhadap kondisi dunia yang ada sekarang.
Ratapan ini berasal dari kuil, pura, gereja, dari mesjid-mesjid, dari pabrik dan peternakan, dari pemukiman dan perkantoran, dari jiwa-jiwa yang menginginkan kedamaian, dan hati yang dipenuhi harapan akan datangnya masa depan yang lebih baik.
Saat ini kita telah tiba pada tahap di mana setiap bangsa dan individu harus belajar untuk saling memahami---untuk mencapai kedamaian atau kehancuran! Tidak ada jalan lain!
B A G A I M A N A K I T A D A P A T M E N C A P A I K E D A M A I A N ?
Bila kita cermati secara mendalam selama berabad-abad, berbagai negara termasuk negara kita telah mencari berbagai usaha/cara untuk mencapai perdamaian. Berbagai metode telah dicoba melalui kekerasan, agresi, negoisasi, konfrensi, perjanjian dan diskusi-diskusi. Secara internasional membentuk Persatuan Bangsa Bangsa dimasa lalu, dan kini mereka telah membentuk United Nations, tetapi dimanakah gerangan perdamaian yang sesungguhnya?
Dalam buku dari J. P. Vaswani yang berjudul “Peace or Perish” – Damai atau Hancur –
“Bagaimana bisa ada kedamaian di bumi bila hati manusia bagaikan gunung berapi”.
How can there be peace among the nations, when there is no peace in our homes, offices, schools – in our own hearts?
(SADHU VASWANI).
Damai!! Seolah-olah kita telah menjadi kebal terhadap kata ini! Walaupun sering kita dengar, kenyataannya begitu asing. Tetapi bukankah kedamaian merupakan tujuan utama dari setiap manusia? Tidakkah kita semuanya merupakan pencinta kedamaian? Kedamaian adalah apa yang diinginkan kita semua. Kedamaian adalah apa yang diangankan oleh umat manusia, masa demi masa. Damai, damai, damai --- dalam satu kata ini anda memiliki rahasia alam semesta.
Damai itu agung, karena nama Tuhan sendiri merupakan kedamaian…. Damai itu agiung, karena meliputi semua anugerah….. damai itu agung, karena bahkan dalam masa peperangan, kedamaian tetap dicari….. Damai itu agung karena melihat saat Messiah datang, Dia akan memulai saat saat kedamaian, seperti dikatakan, “Betapa indahnya pegunungan terlihat dari kaki para pembawa kabar gembira, yang mengumumkan perdamaian.” Bahkan kata Islam itu sendiri berakar dari kata yang berarti damai.
Menurut etimologi, Islam berasal si-lam-mim, yang arti dasarnya adalah keamanan dan kedamaian. Para rsi agung dari India, para rsi dari Aryavanta menyimpan kedamaian dalam hati mereka. Itulah sebabnya di akhir setiap doa Vedic kita mendengar bacaan suci – Om Shanti, Shanti, Shanti!
Menurut para pemikir, kata keramat yang diucapkan tiga kali untuk menyembuhkan kita, melindungi kita, dan membebaskan kita dari ke-tiga jenis kondisi yang menghancurkan kedamaian kita :
1. Adhyatmika – permasalahan mental, fisik dan spiritual yang penyebanbnya adalah dari kita sendiri.
2. Adhibhautikam --- permasalahan dan penyakit yang disebabkan oleh mereka di luar diri kita.
3. Aadhidhaivikam--- permasalahan yang disebabkan oleh fenomena alam seperti hujan, badai, petir, api, banjitr dsb.
Bacaan Om Shanti, Shanti, Shanti memberi kita kedamaian dengan membebaskan kita dari tiga jenis bencana.
Om Shanti Shanti Shanti, rasa tenteram bagi semua, rasa positip bagi semua, kedamaian bagi semua. Shanti adalah Shalomica! Shalomica adalah damai! Om Shanti damai, damai besertamu! Inilah petunjuk yang dibutuhkan oleh semua bangsa dewasa ini. Yesus bersabda mengenai kedamaian ini: Terberkatilah para pencipta kedamaian!
Dalam buku J.P.Vaswani dijelaskan bahwa kedamaian itu terdiri atas tiga dimensi :
Dimensi pertama kedamaian; Kedamaian dari dalam diri sendiri. Dimensi kedua; kedamaian antar kita/antar bangsa, dan dimensi ketiga; kedamaian dengan alam
Apa itu kedamaian? Seperti cinta, kedamaian harus dirasakan. Anda adalah anak Tuhan, dan ia merupakan sumber kebahagiaan yang abadi. Di saat Anda sadar bahwa Anda merupakan anak Tuhan, Anda tak akan membiarkan apapun juga mempengaruhi Anda. Yang perlu Anda lakukan hanyalah melupakan diri Anda sendiri, dan menyadari jati diri Anda sebagai anak Tuhan. Ketika kita sudah melupakan bagian luar diri kita dan melewati dunia nyata yang materialistis dan fenomental, kita semakin mendekati diri kita sesungguhnya di dalam yakni kedamaian.
Dalam Bhagadgita Bab II. 64, 65,
Tuhan memberikan kita gambaran mengenai stitha prajna, manusia seimbang : Seseorang dengan pikiran yang seimbang, yang inderanya terkendali dan bebas dari keterikatan dan pantangan, dia memasuki tahap yang dinamakan prasadam, kedamaian……. Setelah mencapai kedamaian, baginya semua penderitaan berakhir; orang yang penuh kedamaian seperti itu telah mencapai keseimbangan.
Sloka ini semakin mempertegas kebenaran bahwa hanya orang yang tidak terusik oleh hasrat yang tiada habisnya yang dapat mencapai kedamaian; bukan orang yang keinginannya memenuhi nafsu belaka. Sloka ini sangat dekat dengan hati Mahatma Gandhi, dia minta dibacakan setiap hari dalam sembahyang bersama.
Bersambung...........
(Ketua Umum Pinandita Sanggraha Nusantara Pusat)
DAMAI BESERTAMU
Dimasa kini orang semakin kehilangan kepercayaan pada agama, karena agama telah menjadi terpisah dari kehidupan. Pertengkaran, perpecahan, kebencian dan kekerasan telah memasuki ruang lingkup keagamaan. Menyedihkan, agama yang pada awalnya sebagai perekat persatuan, kini telah menjadi alasan untuk perpecahan antar sekte.
Atas nama sekulerisme, kita membuat kesalahan tragis memisahkan agama dari kehidupan kita. Kita telah membersihkan pendidikan kita di sekolah, perguruan tinggi dari pengaruh Tuhan. Bagaimana pendidikan semacam itu dapat bekerja?
Kini agama semakin dilecehkan oleh kaum “liberal” dan kaum ‘intelektual’. Sesungguhnya bukan agama yang telah mengecewakan kita, tetapi kitalah yang telah mengecewakan agama. Kita sering sekali membicarakan agama, tetapi kita tidak menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kita tidak memperhatikan lagi ajaran dari para Awatara,Nabi, Santo tentang kemanusiaan.
Yang dibutuhkan adalah kehidupan, bukan cuma perkataan. Setiap orang bisa saja ke Pura, Mesjid, Gereja, ke Kuil setiap hari, membacakan doa-doa, menyanyikan lagu-lagu pujian, membaca ayat-ayat Suci dari Kitab Sucinya tanpa hentinya, puasa dari pagi hingga malam, namun jika perbuatannya tidak terpengaruh oleh agama dalam kesehariannya, yang berangkuan tidaklah lebih dari sebuah mesin perekam!
Seseorang bisa saja menyampaikan khotbah-khotbah, dharma wecana, pencerahan yang memberi inspirasi, menuliskan analisa mengenai Bhagawadgita, Upanishad, Brahmasutra, atau kitab suci yang lainnya, tetapi jika kehidupan yang bersangkutan tidak menyiratkan kebenaran-kebenaran atas ajaran ajaran ini, maka yang bersangkutan tidaklah lebih dari mesin pencetak.
Di masa kini dunia tidak lagi membutuhkan mesin perekam, pencetak belaka, yang dibutuhkan adalah kehidupan, bukan perkataan. Yang dibutuhkan adalah perbuatan, bukan upacara semata. Agama harus diartikan kembali dalam bentuk energi, vitalitas, dan kehidupan.
Apa yang terjadi saat ini?
Dalam dunia yang terpecah oleh sekte, agama dimanfaatkan oleh pihak-pihak tak bermoral untuk menyebarkan kebencian atas nama agama dan kepercayaan mereka. Pada saat yang bersamaan, telah menjadi kebiasaan bagi para politisi untuk menyalahkan agama atas nama kejahatan dalam masyarakat.
Saat ini kemanapun kita menoleh, kita melihat hasrat akan kedudukan, kerkuasaan dan ketenaran; ketamakan akan harta. Saat ini negara-negara seakan akan berkelana dalam hutan kegelapan dimana kekuatan berarti kebenaran. Saat ini manusia berdiri ditengah reruntuhan nilai dan idealisme. Ibu Pertiwi merinding ketakutan di saat anak-anaknya sibuk membangun senjata senjata kematian dan kehancuran.
Psichiater Swiss Carl Yung mengatakan: “Peradaban masa kini menderita karena manusia telah mengasingkan diri dari Tuhan” Bukankah ini musibah terbesar yang telah menimpa manusia modern?
Kita hidup dalam zaman kemajuan ilmiah dan perkembangan teknologi yang luar biasa. Ilmu pengetahuan telah menganugrahkan pada kita begitu banyak kenyamanan, kemudahan, begitu banyak peralatan, sayangnya semua ini telah membesarkan ego kita dan membutakan kita terhadap kebenaran mengenai diri kita sendiri, bahwa kita sesungguhnya adalah ciptaan Sang Pencipta. Kegagalan terbesar peradaban modern adalah kita bergerak menjauh dari Tuhan sampai kita melupakan bahwa kita semua adalah ciptaan-Nya.
Bahkan ada ateis muda yang berkata, “Kita tidak membutuhkan Tuhan. Tak ada yang tak bisa dilakukan oleh umat manusia. Manusia telah mampu menginjakkan kakinya di bulan. Roket buatan manusia telah mampu terbang melintasi planet-planet jauh. Manusia telah mampu memasang satelit di luar angkasa. Siapa yang butuh Tuhan di masa kini?”
Tuhan adalah sumber dan penopang kehidupan, dan manusia tak akan bisa menjalani hidup yang sehat secara fisik, mental, moral dan spiritual selama kita tetap memisahkan diri dari Tuhan. Sangat mudah melupakan Ruh suci, namun sekali kita lakukan, hidup kehilangan rasa; “garam kehidupan terasa hambar”. Ya inilah yang telah terjadi pada kita dewasa ini. Hidup telah kehilangan rasanya; garam kehidupan telah menjadi hambar; saat ini semakin banyak orang menyatakan bahwa hidup tak memiliki arti apapun--- oleh sebab itu apa gunanya hidup?
Berkat kemajuan material, kita memiliki semakin banyak cara, tetapi semakin sedikit makna. Materi kemewahan semakin bertambah tetapi angka bunuh diri meningkat juga.
Internet, jaringan luas…. komunikasi berkecepatan tinggi…… tetapi hipertensi terus meningkat. Ruang olahraga dan lift….. tapi lebih banyak yang berpenyakit jantung.
Megabit, gigabit……. Jutaan sel data yang dipindahkan dalam hitungan nanodetik……. tapi semakin banyak kesalahpahaman dan tidak adanya komunikasi nyata.
Hp, SMS, layar datar, LCD, TV plasma, Laptop, resolusi digital yang semakin besar….. tapi tak ada waktu untuk keluarga atau teman-teman.
Rumah Sakit bintang lima, peralatan tingkat tinggi, kamar perawatan yang nyaman….. tapi lebih sedikit kasih sayang dan perhatian.
Standar hidup yang lebih tinggi…… tapi kualitas kehidupan yang kian berkurang!
Apakah obatnya?
Nampaknya dewasa ini, ada keinginan untuk semua yang ‘besar’ dan ‘hebat’. Hal-hal kecil tidak lagi dapat memuaskan kita. Kelihatannya ego-ego kita semakin membesar saja, kita ingin meraih keuntungan yang semakin besar, mendirikan bangunan yang lebih gagah, membentuk yayasan yang lebih hebat, dan menulis buku-buku yang lebih tebal, dimana semua ini hanya akan mengarah pada ketidakbahagiaan yang lebih besar dan lebih berat juga, ini suatu cermin kebobrokan moral. Dasar dasar moral kehidupan umum telah berantakan; nilai-nilai tak lagi dihargai. Di seluruh dunia, pada saat ini juga, ada ratapan mengangankan dunia baru, kehidupan baru. Karena baik pria maupun wanita, tua dan muda, sudah lelah terhadap kondisi dunia yang ada sekarang.
Ratapan ini berasal dari kuil, pura, gereja, dari mesjid-mesjid, dari pabrik dan peternakan, dari pemukiman dan perkantoran, dari jiwa-jiwa yang menginginkan kedamaian, dan hati yang dipenuhi harapan akan datangnya masa depan yang lebih baik.
Saat ini kita telah tiba pada tahap di mana setiap bangsa dan individu harus belajar untuk saling memahami---untuk mencapai kedamaian atau kehancuran! Tidak ada jalan lain!
B A G A I M A N A K I T A D A P A T M E N C A P A I K E D A M A I A N ?
Bila kita cermati secara mendalam selama berabad-abad, berbagai negara termasuk negara kita telah mencari berbagai usaha/cara untuk mencapai perdamaian. Berbagai metode telah dicoba melalui kekerasan, agresi, negoisasi, konfrensi, perjanjian dan diskusi-diskusi. Secara internasional membentuk Persatuan Bangsa Bangsa dimasa lalu, dan kini mereka telah membentuk United Nations, tetapi dimanakah gerangan perdamaian yang sesungguhnya?
Dalam buku dari J. P. Vaswani yang berjudul “Peace or Perish” – Damai atau Hancur –
“Bagaimana bisa ada kedamaian di bumi bila hati manusia bagaikan gunung berapi”.
How can there be peace among the nations, when there is no peace in our homes, offices, schools – in our own hearts?
(SADHU VASWANI).
Damai!! Seolah-olah kita telah menjadi kebal terhadap kata ini! Walaupun sering kita dengar, kenyataannya begitu asing. Tetapi bukankah kedamaian merupakan tujuan utama dari setiap manusia? Tidakkah kita semuanya merupakan pencinta kedamaian? Kedamaian adalah apa yang diinginkan kita semua. Kedamaian adalah apa yang diangankan oleh umat manusia, masa demi masa. Damai, damai, damai --- dalam satu kata ini anda memiliki rahasia alam semesta.
Damai itu agung, karena nama Tuhan sendiri merupakan kedamaian…. Damai itu agiung, karena meliputi semua anugerah….. damai itu agung, karena bahkan dalam masa peperangan, kedamaian tetap dicari….. Damai itu agung karena melihat saat Messiah datang, Dia akan memulai saat saat kedamaian, seperti dikatakan, “Betapa indahnya pegunungan terlihat dari kaki para pembawa kabar gembira, yang mengumumkan perdamaian.” Bahkan kata Islam itu sendiri berakar dari kata yang berarti damai.
Menurut etimologi, Islam berasal si-lam-mim, yang arti dasarnya adalah keamanan dan kedamaian. Para rsi agung dari India, para rsi dari Aryavanta menyimpan kedamaian dalam hati mereka. Itulah sebabnya di akhir setiap doa Vedic kita mendengar bacaan suci – Om Shanti, Shanti, Shanti!
Menurut para pemikir, kata keramat yang diucapkan tiga kali untuk menyembuhkan kita, melindungi kita, dan membebaskan kita dari ke-tiga jenis kondisi yang menghancurkan kedamaian kita :
1. Adhyatmika – permasalahan mental, fisik dan spiritual yang penyebanbnya adalah dari kita sendiri.
2. Adhibhautikam --- permasalahan dan penyakit yang disebabkan oleh mereka di luar diri kita.
3. Aadhidhaivikam--- permasalahan yang disebabkan oleh fenomena alam seperti hujan, badai, petir, api, banjitr dsb.
Bacaan Om Shanti, Shanti, Shanti memberi kita kedamaian dengan membebaskan kita dari tiga jenis bencana.
Om Shanti Shanti Shanti, rasa tenteram bagi semua, rasa positip bagi semua, kedamaian bagi semua. Shanti adalah Shalomica! Shalomica adalah damai! Om Shanti damai, damai besertamu! Inilah petunjuk yang dibutuhkan oleh semua bangsa dewasa ini. Yesus bersabda mengenai kedamaian ini: Terberkatilah para pencipta kedamaian!
Dalam buku J.P.Vaswani dijelaskan bahwa kedamaian itu terdiri atas tiga dimensi :
Dimensi pertama kedamaian; Kedamaian dari dalam diri sendiri. Dimensi kedua; kedamaian antar kita/antar bangsa, dan dimensi ketiga; kedamaian dengan alam
Apa itu kedamaian? Seperti cinta, kedamaian harus dirasakan. Anda adalah anak Tuhan, dan ia merupakan sumber kebahagiaan yang abadi. Di saat Anda sadar bahwa Anda merupakan anak Tuhan, Anda tak akan membiarkan apapun juga mempengaruhi Anda. Yang perlu Anda lakukan hanyalah melupakan diri Anda sendiri, dan menyadari jati diri Anda sebagai anak Tuhan. Ketika kita sudah melupakan bagian luar diri kita dan melewati dunia nyata yang materialistis dan fenomental, kita semakin mendekati diri kita sesungguhnya di dalam yakni kedamaian.
Dalam Bhagadgita Bab II. 64, 65,
Tuhan memberikan kita gambaran mengenai stitha prajna, manusia seimbang : Seseorang dengan pikiran yang seimbang, yang inderanya terkendali dan bebas dari keterikatan dan pantangan, dia memasuki tahap yang dinamakan prasadam, kedamaian……. Setelah mencapai kedamaian, baginya semua penderitaan berakhir; orang yang penuh kedamaian seperti itu telah mencapai keseimbangan.
Sloka ini semakin mempertegas kebenaran bahwa hanya orang yang tidak terusik oleh hasrat yang tiada habisnya yang dapat mencapai kedamaian; bukan orang yang keinginannya memenuhi nafsu belaka. Sloka ini sangat dekat dengan hati Mahatma Gandhi, dia minta dibacakan setiap hari dalam sembahyang bersama.
Bersambung...........
Katagori
Article
Friday, August 27, 2010
Tutur tinular Mahapatih Gajahmada!!
Jagra angkara winangun
Sudira marjayeng westhi
Puwara kasub kuwasa
Sastraning jro wedha muni
Sura dira jayaningrat
Lebur dening pangastuti
Artinya:
Jika keserakahan dikembangkan
Bertekad demi kejayaan semata
Didukung ambisi kekuasaan
Ingat petuah sastra wedha
Bahwa kekuatan lahiriah itu....
Lebur dan tergusur oleh kekuatan nurani dan batiniah.
**Kitab Hukum Kutara Manawa Kerajaan Majapahit
Sudira marjayeng westhi
Puwara kasub kuwasa
Sastraning jro wedha muni
Sura dira jayaningrat
Lebur dening pangastuti
Artinya:
Jika keserakahan dikembangkan
Bertekad demi kejayaan semata
Didukung ambisi kekuasaan
Ingat petuah sastra wedha
Bahwa kekuatan lahiriah itu....
Lebur dan tergusur oleh kekuatan nurani dan batiniah.
**Kitab Hukum Kutara Manawa Kerajaan Majapahit
Katagori
Pustaka-Pustaka
Tuesday, August 10, 2010
DEWATA NAWA SANGA
ERSANYA / TIMUR LAUT
Urip : 6;
Dewa : Sambu;
Sakti : Maha Dewi;
Senjata : Trisula;
Warna : Biru;
Aksara : Wa;
Bhuwana Alit : Ineban;
Tunggangannya : Wilmana;
Bhuta : Pelung;
Tastra : Pa dan Ja;
Sabda : Mang mang;
Wuku : Kulantir,Kuningan,Medangkungan,Kelawu;
Caturwara : Sri;
Sadwara : Urukung;
Saptawara : Sukra;
Astawara : Sri;
Sangawara : Tulus;
Dasawara : Sri;
Banten : Dewata-dewati, Sesayut Telik Jati, Tirta Sunia Merta;
Mantra : Ong trisula yantu namo tasme nara yawe namo namah, ersanya desa raksa baya kala raja astra, jayeng satru, Ong kalo byo namah.
PURWA / TIMUR
Urip : 5;
Dewa : Iswara;
Sakti : Uma Dewi;
Senjata : Bajra;
Warna : Putih;
Aksara : Sa (Sadhya);
Bhuwana Alit : Pepusuh;
Tunggangannya : Gajah;
Bhuta : Jangkitan;
Tastra : A dan Na;
Sabda : Ngong ngong;
Wuku : Taulu, Langkir, Matal, Dukut;
Dwiwara : Menga;
Pancawara : Umanis;
Sadwara : Aryang;
Saptawara : Redite;
Astawara : Indra;
Sangawara : Dangu;
Dasawara : Pandita;
Banten : Penyeneng, Sesayut Puja Kerti;
Mantra : Ong bajra yantuname tasme tikna rayawe namo namah purwa desa, raksana ya kala rajastra sarwa, satya kala byoh namah namo swaha.
GENYA / TENGGARA
Urip : 8;
Dewa : Mahesora;
Sakti : Laksmi Dewa;
Senjata : Dupa;
Warna : Dadu/Merah Muda;
Aksara : Na;
Bhuwana Alit ; Peparu;
Tunggangannya : Macan;
Bhuta : Dadu;
Tastra : Ca dan Ra;
Sabda : Bang bang;
Wuku : Uye, Gumbreg, Medangsia, Watugunung;
Caturwara : Mandala;
Sadwara : Paniron;
Saptawara : Wraspati;
Astawara : Guru;
Sangawara : Jangu;
Dasawara : Raja;
Banten : Canang, sesayut Sida Karya, Tirta Pemarisuda;
Mantra : Ong dupa yantu namo tasme tiksena nara yawe namo namah, genian dasa raksa raksa baya kala rajastra, jayeng satru kala byoh namo namah.
DAKSINA / SELATAN
Urip : 9;
Dewa : Brahma;
Sakti: Saraswati Dewi;
Senjata : Gada / Danda;
Warna : Merah;
Aksara : Ba;
Bhuwana Alit : Hati;
Tunggangannya : Angsa;
Bhuta : Langkir;
Tastra : Ka dan Da;
Sabda : Ang ang;
Wuku : Wariga, Pujut, Menail;
Triwara : Pasah;
Pancawara : Paing;
Sadwara : Was;
Saptawara : Saniscara;
Astawara : Yama;
Sangawara : Gigis;
Dasawara : Desa;
Banten : Daksina, Sesayut Candra Geni, Tirta Kamandalu;
Mantra : Ong danda yantu namo tasme tiksena nara yawe namo namah, daksina desa raksa baya, kala rajastra jayeng satru, Ong kala byoh nama swaha.
NORITYA / BARAT DAYA
Urip : 3;
Dewa : Rudra;
Sakti : Santani Dewi;
Senjata : Moksala;
Warna : Jingga;
Aksara : Ma;
Bhuwana Alit : Usus;
Tunggangannya : Kebo;
Bhuta : Jingga;
Tastra : Ta Dan Sa;
Sabda : Ngi ngi;
Wuku : Warigadian, Pahang, Prangbakat;
Caturwara : Laba;
Sadwara : Maulu;
Saptawara : Anggara;
Astawara : Ludra;
Sangawara : Nohan;
Dasawara : Manusa
Banten : Dengen dengen, Sesayut Sida Lungguh, Tirta Merta Kala, Tempa pada Usus;
Mantra : Ong moksala yantu namo tasme tiksena nara yawe namo namah, noritya desanya raksa baya kala rajastra, jayeng satru Ong kala byoh nama swaha.
PASCIMA / BARAT
Urip : 7;
Dewa : Mahadewa;
Sakti : Saci Dewi;
Senjata : Nagapasa;
Warna : Kuning;
Aksara : Ta;
Bhuwana Alit : Ungsilan;
Tunggangannya : Naga;
Bhuta : Lembu Kanya;
Tastra : Wa dan La;
Sabda : Ring ring;
Wuku : Sinta, Julungwangi, Krulut, Bala;
Triwara : Kajeng;
Pancawara : Pon;
Sadwara : Tungleh;
Saptawara : Buda;
Astawara : Brahma;
Sangawara : Ogan;
Dasawara : Pati;
Banten : Danan, Sesayut tirta merta sari, Tirta Kundalini;
Mantra : Ong Naga pasa yantu namo tasme tiksena nara yawe namo, pascima desa raksa bala kala rajastra, jayeng satru, Ong kala byoh namo namah swaha.
WAYABYA / BARAT LAUT
Urip : 1;
Dewa : Sangkara;
Sakti : Rodri Dewi;
Senjata : Angkus /Duaja;
Warna : Wilis / Hijau;
Aksara : Si;
Bhuwana Alit : Limpa;
Tunggangannya : Singa;
Bhuta : Gadang/Hijau;
Tastra : Ma dan Ga;
Sabda : Eng eng;
Wuku : Landep, Sungsang, Merakih, Ugu;
Ekawara : Luang;
Caturwara : Jaya;
Astawara : Kala;
Sangawara : Erangan;
Dasawara : Raksasa;
Banten : Caru, Sesayut candi kesuma, Tirta Mahaning;
Mantra : Ong duaja yantu namo tiksena nara yawe namo, waybya desa raksa baya kala rajastra, jayeng satru, Ong kalo byoh namo namah swaha.
UTTARA / UTARA
Urip : 4;
Dewa : Wisnu;
Sakti : Sri Dewi;
Senjata : Cakra;
Warna : Ireng / Hitam;
Aksara : A;
Bhuwana Alit : Ampru;
Tunggangannya : Garuda;
Bhuta : Taruna;
Tastra : Ba dan Nga;
Sabda : Ung;
Wuku : Ukir, Dungulan, Tambir, Wayang;
Dwiwara : Pepet;
Triwara : Beteng;
Pancawara : Wage;
Saptawara : Soma;
Astawara : Uma;
Sangawara : Urungan;
Dasawara : Duka;
Banten : Peras, Sesayut ratu agung ring nyali, Tirta Pawitra;
Mantra : Ong cakra yantu namo tasme tiksena ra yawe namo namah utara desa raksa baya, kala raja astra jayeng satru, Ong kala byoh namo namah swaha.
MADYA / TENGAH
Urip : 8;
Dewa : Siwa;
Sakti : Uma Dewi (Parwati);
Senjata : Padma;
Warna : Panca Warna;
Aksara : I (Isana) dan Ya;
Bhuwana Alit : Tumpuking Hati;
Tunggangannya : Lembu;
Bhuta : Tiga Sakti;
Tastra : Ya dan Nya;
Sabda : Ong;
Saptawara : Kliwon;
Sangawara : Dadi;
Banten : Suci, Sesayut Darmawika, Tirta Siwa Merta, Sunia Merta, Maha Merta;
Mantra : Ong padma yantu namo tasme tiksena nara yawe namo namah, madya desa raksa baya, kala rajastra jayeng satru kala byoh namo swaha.
Urip : 6;
Dewa : Sambu;
Sakti : Maha Dewi;
Senjata : Trisula;
Warna : Biru;
Aksara : Wa;
Bhuwana Alit : Ineban;
Tunggangannya : Wilmana;
Bhuta : Pelung;
Tastra : Pa dan Ja;
Sabda : Mang mang;
Wuku : Kulantir,Kuningan,Medangkungan,Kelawu;
Caturwara : Sri;
Sadwara : Urukung;
Saptawara : Sukra;
Astawara : Sri;
Sangawara : Tulus;
Dasawara : Sri;
Banten : Dewata-dewati, Sesayut Telik Jati, Tirta Sunia Merta;
Mantra : Ong trisula yantu namo tasme nara yawe namo namah, ersanya desa raksa baya kala raja astra, jayeng satru, Ong kalo byo namah.
PURWA / TIMUR
Urip : 5;
Dewa : Iswara;
Sakti : Uma Dewi;
Senjata : Bajra;
Warna : Putih;
Aksara : Sa (Sadhya);
Bhuwana Alit : Pepusuh;
Tunggangannya : Gajah;
Bhuta : Jangkitan;
Tastra : A dan Na;
Sabda : Ngong ngong;
Wuku : Taulu, Langkir, Matal, Dukut;
Dwiwara : Menga;
Pancawara : Umanis;
Sadwara : Aryang;
Saptawara : Redite;
Astawara : Indra;
Sangawara : Dangu;
Dasawara : Pandita;
Banten : Penyeneng, Sesayut Puja Kerti;
Mantra : Ong bajra yantuname tasme tikna rayawe namo namah purwa desa, raksana ya kala rajastra sarwa, satya kala byoh namah namo swaha.
GENYA / TENGGARA
Urip : 8;
Dewa : Mahesora;
Sakti : Laksmi Dewa;
Senjata : Dupa;
Warna : Dadu/Merah Muda;
Aksara : Na;
Bhuwana Alit ; Peparu;
Tunggangannya : Macan;
Bhuta : Dadu;
Tastra : Ca dan Ra;
Sabda : Bang bang;
Wuku : Uye, Gumbreg, Medangsia, Watugunung;
Caturwara : Mandala;
Sadwara : Paniron;
Saptawara : Wraspati;
Astawara : Guru;
Sangawara : Jangu;
Dasawara : Raja;
Banten : Canang, sesayut Sida Karya, Tirta Pemarisuda;
Mantra : Ong dupa yantu namo tasme tiksena nara yawe namo namah, genian dasa raksa raksa baya kala rajastra, jayeng satru kala byoh namo namah.
DAKSINA / SELATAN
Urip : 9;
Dewa : Brahma;
Sakti: Saraswati Dewi;
Senjata : Gada / Danda;
Warna : Merah;
Aksara : Ba;
Bhuwana Alit : Hati;
Tunggangannya : Angsa;
Bhuta : Langkir;
Tastra : Ka dan Da;
Sabda : Ang ang;
Wuku : Wariga, Pujut, Menail;
Triwara : Pasah;
Pancawara : Paing;
Sadwara : Was;
Saptawara : Saniscara;
Astawara : Yama;
Sangawara : Gigis;
Dasawara : Desa;
Banten : Daksina, Sesayut Candra Geni, Tirta Kamandalu;
Mantra : Ong danda yantu namo tasme tiksena nara yawe namo namah, daksina desa raksa baya, kala rajastra jayeng satru, Ong kala byoh nama swaha.
NORITYA / BARAT DAYA
Urip : 3;
Dewa : Rudra;
Sakti : Santani Dewi;
Senjata : Moksala;
Warna : Jingga;
Aksara : Ma;
Bhuwana Alit : Usus;
Tunggangannya : Kebo;
Bhuta : Jingga;
Tastra : Ta Dan Sa;
Sabda : Ngi ngi;
Wuku : Warigadian, Pahang, Prangbakat;
Caturwara : Laba;
Sadwara : Maulu;
Saptawara : Anggara;
Astawara : Ludra;
Sangawara : Nohan;
Dasawara : Manusa
Banten : Dengen dengen, Sesayut Sida Lungguh, Tirta Merta Kala, Tempa pada Usus;
Mantra : Ong moksala yantu namo tasme tiksena nara yawe namo namah, noritya desanya raksa baya kala rajastra, jayeng satru Ong kala byoh nama swaha.
PASCIMA / BARAT
Urip : 7;
Dewa : Mahadewa;
Sakti : Saci Dewi;
Senjata : Nagapasa;
Warna : Kuning;
Aksara : Ta;
Bhuwana Alit : Ungsilan;
Tunggangannya : Naga;
Bhuta : Lembu Kanya;
Tastra : Wa dan La;
Sabda : Ring ring;
Wuku : Sinta, Julungwangi, Krulut, Bala;
Triwara : Kajeng;
Pancawara : Pon;
Sadwara : Tungleh;
Saptawara : Buda;
Astawara : Brahma;
Sangawara : Ogan;
Dasawara : Pati;
Banten : Danan, Sesayut tirta merta sari, Tirta Kundalini;
Mantra : Ong Naga pasa yantu namo tasme tiksena nara yawe namo, pascima desa raksa bala kala rajastra, jayeng satru, Ong kala byoh namo namah swaha.
WAYABYA / BARAT LAUT
Urip : 1;
Dewa : Sangkara;
Sakti : Rodri Dewi;
Senjata : Angkus /Duaja;
Warna : Wilis / Hijau;
Aksara : Si;
Bhuwana Alit : Limpa;
Tunggangannya : Singa;
Bhuta : Gadang/Hijau;
Tastra : Ma dan Ga;
Sabda : Eng eng;
Wuku : Landep, Sungsang, Merakih, Ugu;
Ekawara : Luang;
Caturwara : Jaya;
Astawara : Kala;
Sangawara : Erangan;
Dasawara : Raksasa;
Banten : Caru, Sesayut candi kesuma, Tirta Mahaning;
Mantra : Ong duaja yantu namo tiksena nara yawe namo, waybya desa raksa baya kala rajastra, jayeng satru, Ong kalo byoh namo namah swaha.
UTTARA / UTARA
Urip : 4;
Dewa : Wisnu;
Sakti : Sri Dewi;
Senjata : Cakra;
Warna : Ireng / Hitam;
Aksara : A;
Bhuwana Alit : Ampru;
Tunggangannya : Garuda;
Bhuta : Taruna;
Tastra : Ba dan Nga;
Sabda : Ung;
Wuku : Ukir, Dungulan, Tambir, Wayang;
Dwiwara : Pepet;
Triwara : Beteng;
Pancawara : Wage;
Saptawara : Soma;
Astawara : Uma;
Sangawara : Urungan;
Dasawara : Duka;
Banten : Peras, Sesayut ratu agung ring nyali, Tirta Pawitra;
Mantra : Ong cakra yantu namo tasme tiksena ra yawe namo namah utara desa raksa baya, kala raja astra jayeng satru, Ong kala byoh namo namah swaha.
MADYA / TENGAH
Urip : 8;
Dewa : Siwa;
Sakti : Uma Dewi (Parwati);
Senjata : Padma;
Warna : Panca Warna;
Aksara : I (Isana) dan Ya;
Bhuwana Alit : Tumpuking Hati;
Tunggangannya : Lembu;
Bhuta : Tiga Sakti;
Tastra : Ya dan Nya;
Sabda : Ong;
Saptawara : Kliwon;
Sangawara : Dadi;
Banten : Suci, Sesayut Darmawika, Tirta Siwa Merta, Sunia Merta, Maha Merta;
Mantra : Ong padma yantu namo tasme tiksena nara yawe namo namah, madya desa raksa baya, kala rajastra jayeng satru kala byoh namo swaha.
Tuesday, July 27, 2010
"Realisasi PANGRUWATING DIYU" dan Sejarah ” CUPU MANIK ASTAGINA ” (Bagian Akhir)
Disarikan kembali oleh : Pinandita Astono Chandra Dana
Tapa – nya ; Subali, Sugriwa Dan Retna Anjani
Kekuatan kasih yang yang tinggi dari resi Gotama, kepada putera-puterinya berat untuk dipisahkan di dalam tugas. Yang tadinya cintanya terpaut, terampas oleh isterinya, Dewi Windradi. Anak-anak hanyalah mendapat cinta yang sifatnya ”sisa” dari cinta kepada isterinya. Cinta kepada anak, lahir dari aliran sungai kecil dari sebuah samudera. Cinta sang ayah adalah bagian terkecil, karena cinta yang suci kepada anak anaknya yang seharusnya hadir sebelum anak-anaknya lahir itu, terbius oleh cinta segalanya kepada isterinya sendiri.
Namun saat itu sang Resi merasakan bahwa kehadiran cinta kepada anaknya, yang cukup lama terbius oleh kebesaran cinta kepada isterinya, muncul perasaan cinta yang suci kepada anak-anaknya dan tambah memuncak saat dirinya menyadari, betapa selama ini dirinya kurang memperhatikan anak-anaknya.
Ternyata asmara, ”jagad asmara”, mengeruhkan jagad cinta seorang ayah kepada anak-anaknya yang dilahirkan. Seandainya jagad cinta sang ayah memenuhi permukaan bathin seorang anak, sukar memindahkan cinta baru, cinta asmara baru kepada wanita lain. Karena kebeningan cinta seorang ayah kepada anak yang sesungguhnya itu, menghalangi sikap keangkuhan lelaki dalam melangkah di alam dunia ini, dalam mengisi alam dunia ini.
Kebeningan cinta sang Resi kepada anaknya, menggugat jiwa dan fikirannya, betapa dirinya akrab dengan harkat kelaki-lakiannya. Dan terlalu akrab dengan cinta egonya, kepada isterinya. Saat itu pula sang Resi merasa berdosa yang sangat, kepada putera puterinya.
Maka dirangkullah putera-puterinya, Subali, Sugriwa dan Retna Anjani.
”Anak-anakku, maafkanlah dosa ayahmu ini, yang telah lama menyimpan kebeningan cinta yang seharusnya ada, telah kuselipkan di ’gunung kemurkaan’ aku sebagai laki-laki, wahai anakku! Cinta yang bening kepadamu kusembunyikan di sela nafas kelaki-lakianku, di sela nafas syahwatku. Tak mungkin engkau kehilangan kebeningan cinta yang ada dalam dadaku, tak mungkin sirna, kalau aku tak mengejar-ngejar syahwat selama seabad. Karena itu anak-anakku, maafkanlah ayahmu”, kata resi Gotama.
”Ayahku, apapun dosa yang dirasakan, kesalahan yang dipanggul oleh punggung jiwamu, itu adalah bukan hak kami untuk menilai”, jawab Retna Anjani,
”Itu adalah hak engkau dengan jatidirimu dan dengan segala alam yang telah membesarkan kami semua.”
”Namun demikian, kami sebagai anak-anakmu, tak mampu mengelak untuk tidak memaafkan engkau, ayahku. Kami tidak akan mempersembahkan maaf kepadamu, tapi kami akan berikrar kepada Hyang Widhi, Hing Murbeng Agung. Bahwa engkau adalah ayah yang baik bagi kami semua. Engkau adalah ayah yang sempurna dan berharkat tinggi, telah membesarkan kami semuanya. Kami bersaksi, atas segala kebaikan yang telah engkau berikan kepada kami. Semoga alam pun bersaksi atas kebaikan engkau, wahai ayahku tercinta.”
”Ayahanda, tak mungkin kami menerima keluh kesah tentang dosa masa lalu, tentang keresahan kebeningan cinta yang tak mampu engkau ungkapkan, engkau ekspresikan kepada kami”, Subali menyambung kata-kata adiknya,
”Karena kami terlahir dari betapa cintanya engkau kepada ibuku. Tanpa cinta kepada ibuku, tak mungkin kami terlahir ke dunia ini. Dan biarlah, wahai ayahku, cintamu kepada ibu kami, sebagai pembelian kembali beningnya cinta engkau, untuk kami, dan menghantar ayahanda untuk melangkah ke Nirwana yang dituntun oleh para dewa. Tinggalkanlah kami wahai ayahanda, menuju keagungan singgasana maaf yang diberikan kepada ibu.”
Betapa sang ayah terharu mendengar kebesaran jiwa anak anaknya. Padahal sebelumnya, anaknya bertanya, ”Mengapa kami berwajah kera? Bertubuh monyet?”
Sang resi telah memberi kebanggaan nurani, bahwa rendah diri adalah kekuatan untuk mengalahkan keangkuhan dunia ini. Namun kali itu, anak-anaknya membutuhkan dirinya tentang ungkapan sebuah hati yang rendah diri. Dari buruk rupa dan jelek tubuh sang kera. Dan sang ayah merasa, kemanusiaan dirinya yang gagah, yang mampu bertapa, sakti mandraguna, merasa menjadi ”lelanang jagad.” Sirna sesaat oleh ungkapan kesucian, keikhlasan bathin anak-anaknya.
Manakala anak-anaknya selesai mengikrarkan itu semua, saat itu pula sang resi, moksa. Ilmunya kembali, tapanya satu abad hanya untuk meminta bidadari kepada Hyang Widhi, terhapus oleh rasa maaf yang sangat kepada isterinya. Dan dimaafkan oleh putera-puterinya. Kembali kepada jati diri yang paling bening dari jiwanya. Kembali kepada jati diri yang paling suci dalam hatinya. Maka beliau moksa pergi ke Suralaya.
Suralaya adalah puncak kebahagiaan, berbatasan dengan nirwana. Puncak yang diraih oleh Sastra Jendra dari Wisrawa dan isterinya. Suralaya adalah tempat surgawi yang sudah terisi energi ke-Widhi-an, tapi masih terhalang oleh pintu ”Sela Manangkep.”
Tatkala resi Gotama ke angkasa sambil menangis, tetes airmatanya membasahi ketiga putera-puterinya. Maka lenyaplah sang ayah dari pandang mata kepala putera-puterinya. Akhirnya masing-masing melaksanakan tapanya, sebagaimana di amanatkan sang ayah.
Subali menuju gunung Sunyapringga, melaksanakan ”tapa ngalong.”
Sugriwa ke hutannya Sunyapringga, melaksanakan ”tapa ngidang.”
Retna Anjani di telaga Nirmala, melaksanakan ”tapa nyantuka.”
SUBALI
Subali, dalam kesunyian tanpa cinta ibunda dan tanpa cinta sang ayah. Keheningan gunung Sunyapringga, menambah mencekamnya kerinduan cinta yang ditinggalkan oleh kedua orangtuanya.
”Wahai gunung, siapakah yang mengisi kekosongan cinta ini?”
”Aku sendiri hening dari kekayaan cinta kepada diriku sendiri, jangankan aku mencintai diri sendiri, aku ini pun terkoyakkan oleh cinta orangtua kami, wahai gunung Sunyapringga. Sempurnakanlah kesunyian kami, sempurnakanlah kekosongan cinta kami. Supaya kami, masuk ke alam rahasia, supaya kami masuk ke alam yang oleh dunia dirahasiakan. Ke alam yang oleh hutan dirahasiakan, ke alam yang oleh tumbuh-tumbuhan dirahasiakan. Wahai gunung, gunakanlah kesepian kami sesepi-sepinya, supaya kami melupakan diriku sendiri. Janganlah engkau biarkan tubuh kami, jiwa kami, dan fikiran kami, terpenjarakan oleh kesepian yang kepalang tanggung. Kesepian yang sempurna mampu membebaskan diriku dari rasa memiliki tubuh dan jiwa ini.”
Demikianlah Subali dalam ”tapa ngalong-nya”, kaki ke atas berpegangan pada dahan pohon dan kepala! Menghadap ke bumi.
Di puncak kesepian Subali yang paling pekat, sang daging seperti meninggalkan dirinya, bukan daging yang ditinggalkan oleh dirinya. Satu-persatu, tangannya meninggalkan dirinya, daging di perutnya, tulang di kakinya, satu-persatu organ tubuh meninggalkan dirinya, yang tersisa adalah jantung dan hati, yang terasa masih ada.
”Mengapa jantung dan hati tidak mau pamit dariku? Bukankah karena engkau, aku merasa memiliki tubuh ini? Bukankah karena engkau, aku merasa memiliki denyut daging dan getar syaraf? Bukankah karena engkau, wahai hati, aku dapat memandang dengan mataku pesona dunia ini? Cepatlah engkau berjalan! Tinggalkan aku.”
Hati dan jantung menjawab :
”Bukan aku tak mau berpamitan kepadamu, namun katakanlah, bahwa aku pernah hadir dalam dirimu, dalam memperkenalkan dunia ini dengan isinya. Tanpaku, engkau tak mengerti arti duniawi, tanpa kami, engkau tak mampu bercengkerama dengan dunia. Izinkanlah kami pamit dan isilah jejak kami oleh dirimu. Dan suatu saat kami akan datang lagi mengisi tempat ini.”
Maka jantung dan hati pamitan tanpa kesedihan dan kegembiraan. Subali pun melepas organ tubuhnya yang terakhir.
Manakala hati dan jantung meninggalkan dirinya. Saat itu pula seluruh pohon-pohon di hutan Sunyapringga berbicara menyampaikan rahasia dirinya. Menyampaikan rahasia dirinya. Menyampaikan rahasia alam ini dan menyampaikan rahasia para dewa.
Hingga setiap pohon bercerita, aku ditakdirkan berbuah sampai sekian. Berapa yang gugur, berapa yang matang dan berapa yang dimakan ulat. Kami ditakdirkan berdaun sekian, dari pucuk pertama dan daun terakhir yang gugur.
Dan hewan-hewan pun, bercerita tentang kerahasiaan dirinya secara sempurna.
Maka telinga-telinga dari bathinnya, mendengar semua suara yang ada di dunia ini. Penglihatan mata bathinnya, tembus membelah samudera, masuk ke langit. Subali mulai masuk ke alam kebahagiaan bertemankan rahasia-rahasia. Dikatakan rahasia, karena terhalang oleh daging. Namun saat itu bukan rahasia lagi. Ternyata di balik daging, ada keindahan yang lebih sempurna, dari syahwat itu sendiri, dari indera itu sendiri, dari fikiran itu sendiri.
Subali menuju alam pertapaan yang sangat ramai. Sendiri dalam kesepian tetapi ramai dalam kehidupan. Subali dalam ”tapa ngalong-nya” menyaksikan kehidupan dunia. Setiap manusia terlihat takdimya. Tingkah laku, gerak tubuh yang menghasilkan problematik hidup setiap individu manusia, jelas di saksikan. Persoalan umat pun dilihatnya secara sempurna.
Maka pengetahuan-pengetahuan, ilmu, bukan datang dari pelajaran-pelajaran yang didapatkan dari ayahandanya. Semua memberikan pelajaran, semuanya yang dilihat memberikan pengertian. Dunia bukan lagi sekedar benda. Dunia adalah kalam Widhi yang bergerak-gerak. Dunia adalah ungkapan wahyu Hyang Widhi yang bercerita. Sabda-Nya mengalir tanpa perantara. Sabda yang bukan melalui malaikat, tapi sabda yang berasal dari isyarat alam, sebagai perwakilan-perwakilan sang Maha Kuasa.
SUGRIWA
Sugriwa di dalam ”tapa ngidang-nya”, tak seperti Subali. Kalau Subali, dalam ”tapa ngalong-nya”, ditinggalkan oleh seluruh organ tubuhnya. Maka yang dialami Sugriwa adalah organ tubuhnya tetap dirasakan utuh, tapi dirinya ditinggalkan oleh fikirannya.
Yang pertama kali meninggalkan dirinya adalah illusinya, ”Selamat tinggal wahai diriku”, kata ilusi,
”Aku akan mengangkasa dan akan kembali ke alamku sendiri, di awang-awang jagad raya, di mega-mega yang tak bersisi. Karena kami bercerita tanpa ada awal dan akhir, karena kami mengungkap masalah tanpa judul. Dan engkau mengenal aku, karena rekayasa perasaamu sendiri. Yang sesungguhnya, aku tidak ada. Aku adalah embun yang kembali kepada embun. Aku adalah asap yang kembali kepada awan. Aku tidak memiliki judul, kalaupun berjudul, bukan aku yang membuat. Tapi engkau yang membuat judul atas angan-anganmu tentang kehidupan ini.”
”Selamat jalan daya khayalku. Engkau terlalu kucintai, dan engkau jangan terlalu jauh melayang-layang di angkasa. Tanpa engkau, aku tidak mampu memahami dunia ini. Tanpa engkau, aku akan terpenjara oleh kenyataan hidup. Tapi engkau membebaskan diriku dari keterpenjaraan kehidupan yang sesungguhnya. Engkau adalah memberikan kemerdekaan semantara kepadaku”, demikian Sugriwa.
Perpisahan ini adalah tangisan, walau daya khayal dari illusi, tetapi tetap ditangisi, dan perpisahan ini terasa menyakitkan.
”Tanpamu, aku kehilangan diriku sendiri. Karena aku dikatakan sebagai manusia karena dirimu, yang telah hadir dalam diriku sebelum aku dilahirkan di muka bumi ini.”
Maka setelah kepergian daya cipta illusi, daya lamun, berpamitan pada logika. Logika berkata tentang atas dan bawah, sisi dan ujung, jumlah, matematika, sebab akibat, analisa-analisa, kesimpulan-kesimpulan, penjelasan mengapa begini, mengapa begitu, mengapa demikian.
”Selamat tinggal wahai Sugriwa. Aku matematika harus berpisah dari fikiranmu. Engkau sering resah karena perhitungan-perhitungan dariku. Engkau sering bergulana, karena aku menari dalam hitungan jumlah, dan engkau sakit oleh kekurangan-kekurangan. Dan engkaupun sering gembira manakala aku menambah. Engkau dipenjarakan olehku, dari sebuah sebab akibat. Yang paling menggoda kekhawatiran adalah aku, Sugriwa. Namun ingatlah aku, kenanglah aku! Tanpa aku, engkau tidak akan dapat mengerti, mengapa engkau harus mengejar-ngejar Cupu Manik Hayuningrat, karena aku, engkau dipicu dalam usaha dan ikhtiar.”
”Selamat jalan, wahai sebab akibat, suatu saat aku merindukanmu.”
”Ya! Aku akan datang manakala sang dewa telah mensucikan engkau. Dan akupun akan datang dengan sebab akibat dan matematika, jumlah dan kurang. Namun aku akan berbakti kepada ’kesucian’ engkau, yang telah disucikan dalam pertapaan yang panjang.”
”Berilah aku keleluasaan untuk mencari rahasia-rahasia alam, untuk mencari rahasia-rahasia mega-mega mengangkasa. Supaya manakala aku kembali, bila engkau mengenal aku 3+2=5, tapi 3+2 adalah 5+x+n+n, aku adalah kaya. Kalau pun aku matematik, tapi mampu membelah rahasia gaib, kalau engkau menambah kesucian dirimu. Karena aku harus diperkosa oleh kesucian dirimu. Bukan aku yang memperkosa dirimu, wahai Sugriwa”, demikian kata logika.
Yang terakhir pamit adalah fikirannya :
”Aku pamit Sugriwa. Telah lama aku bercokol dalam ruang-ruang fikiranmu. Aku adalah rencana yang panjang dari dirimu. Penggalan- penggalan kamar yang telah kau isi dari rencana kerja itu adalah aku. Biarlah aku kembali kepada pusat perencanaan Yang Maha Sempurna, Sang Pencipta Rencana itu sendiri, Hyang Agung Mahesa. Hing Murbeng Mahesa, adalah tempat aku kembali karena di sana ada rencana Yang Maha Sempurna. Aku adalah bayangan-bayangan kecil dari rencana-Nya. Aku adalah wayang dari rencana, dan engkau mau menggapai rencana dalam bayangan dirimu sendiri. Aku mengucapkan salam kepada dirimu. Dan aku pun, terima kembali suatu saat, manakala engkau telah membuat ’Istana kesucian’ di dalam fikiranmu. Fikiranmu adalah rukh, fikiranmu adalah sayap-sayap yang ku isi. Tanpa rukh, aku tak mampu hadir dalam sayap rukh. Kau kembali kepada jati yang tersuci dari rukhmu sendiri. Hewan tanpa rukh, aku pun tak mampu hadir di alam mereka.”
Maka menangislah Sugriwa dalam tapanya. Betapa kesepian panjang tanpa perhitungan, tanpa rencana, tanpa obsesi. Obsesi adalah kenakalan alam fikiran, gejolak alam fikiran akibat rencana yang diperhitungkan secara rinci dan sangat matematis. Sangat berfungsi dalam matematik dan pengetahuan alam.
Maka keheningan mengiringi Sugriwa, dan di puncak kesepiannya Sugriwa melihat perhitungan lain. Sugriwa mengetahui jauhnya bumi dengan bulan, mengetahui berapa banyak energi matahari yang selama ini telah mengalir ke bumi, berapa usia dunia ini dengan matematika yang tanpa batas logika. Bulan pun bercerita telah berapa kali mengelilingi bumi ini dan mengelilingi matahari. Matahari pun bercerita berapa jumlah energi panas yang disimpan dalam tubuhnya. Oksigen dan hidrogen menari-nari, memberikan informasi tentang eksis dirinya.
Maka rahasia jumlah dari hari dan tahun yang telah terlalui oleh alam ini, dari berapa jumlah yang akan lahir dari tahun dan bulan, diketahuinya dalam jumlah. Rencana pun teraba, kapan kiamat, kapan gunung hancur, kapan planet bertemu planet, meteor dengan meteor, komet dengan komet. Dan berapa jumlah planet yang ada di cakrawala ini, diketahui dengan pasti dan sistematis. Karena rukh, ternyata sumber logika yang paling murni. Yang terpandai dari otak. Otak ternyata jagad terkecil dari transfer fikiran, kepandaian rukh itu sendiri.
Sugriwa dalam tapa ngidangnya, menemukan rahasia jumlah dan perencanaan, mengetahui sebab dan akibat, awal dan akhir dari sesuatu proses.
Subali mata bathinnya bertambah tajam dalam dialog dengan alam dan sifatnya.
Sugriwa kepandaian rukhnya, menghitung dan membuat rencana dari sisi jumlah dan dimensi.
Subali adalah makna sifat yang dimensional dari fisik alam ini.
Sugriwa adalah dimensi jumlah dari fisik sifat alam ini.
Tapa ini ”wajib” bagi makhluk di muka bumi. Karena adalah tanggung jawab kepercayaan Hyang Widhi kepada manusia. Manusia sebagai perawat dunia dengan bermodalkan dua faktor tersebut di atas. Tanpa modal dua faktor ini, adalah tinja yang ada di bumi, kotoran yang menodai bumi ini.
Sabda Batara Narada dari Nirwana :
”Cucuku, Subali dan Sugriwa. Engkau pantas merawat dunia, engkau pantas mencintai bumi ini, pantas sebagai penghuni yang syah dari alam yang Tuhan telah ciptakan. Engkau adalah jagad, dimana dunia akan bersekutu dengan jagad dirimu. Bukan engkau yang bersekutu dengan bumi. Tapi bumi kembali bersekutu ke dalam jagad rukh dan jiwamu. Karena Hing Murbeng Agung, Sang Hyang Wenang, tak mungkin memberikan kepercayaan kepada penghuni yang namanya manusia, kalau tidak lebih mulia dari alam dan isinya.”
RETNA ANJANI
Retna Anjani, tapa nyantuka, seperti kodok yang berendam di air Sumala. Air kehidupan yang sudah keruh. Retna Anjani dalam kesunyian.
Kesunyian hatinya, kesunyian jiwanya, tambah mencekam dengan dinginnya telaga Sumala. Malam hari bertemankan kodok-kodok yang bernyanyi, menambah kerinduan dan keharuan kepada bundanya. Gigil tubuh Retna Anjani dan dinginnya air keruh Sumala, menghantar dirinya pada puncak kesempurnaan dari kesepiannya. Retna Anjani, tidak seperti Subali dan Sugriwa, yang diperlihatkan seluruh rahasia alam ini. Di puncak kesempurnaan kesepiannya, Retna Anjani :
- fisiknya tidak lagi memberikan perasaan,
- fikirannya tidak lagi memberikan pengertian, namun
- jiwanya sebagai wanita yang feminim, yang lembut, yang penuh kebijaksanaan, terbuka.
- jagad kesucian seorang wanita, pintunya terbuka.
Retna Anjani, masuk ke jagad cinta yang tertinggi. Dan dijemput oleh sebentuk cinta.
”Selamat datang Ratu Retna Anjani, aku adalah kerinduanmu. Tanpa aku, engkau tidak akan merindukan sesuatu, tidak akan merindukan apapun. Mengapa aku ada dalam jagad dirimu? Mengapa aku bertemu dengan dirimu? Padahal aku sering, aku tak pernah memperkenalkan diri kepada penghuni bumi yang namanya wanita. Karena aku tersembunyi, bisa di rasakan tak mungkin di raba. Bisa dihayati tak mmgkin di fikirkan. Karena aku, tersembunyi dalam emosi. Kalau pun aku datang memperkenalkan diri, membentuk diriku sendiri di hadapanmu, karena engkau telah masuk, mengalami terpaksa, hadir di dalam Cupu Manik Hayuningrat. Hayuningrat menyebabkan ketersem-bunyian aku di dalam emosimu sebagai wanita, tak kuasa tidak menjelmakan diri di hadapanmu.”
Hayuningrat :
- mampu menjelmakan sesuatu nilai-nilai menjadi nyata,
- sesuatu perasaan menjadi benda,
- sesuatu khayal menjadi teraba.
”Dan kerinduan yang engkau rasakan, karena aku adalah kerinduan kepada kesejukan kasih sayang ibu. Dan semua manusia merasakan kesejukan kasih sayang ibu, dan kenyataan perlindungan ayah. Dan untukmu wanita, merindukan perlindungan ksatria seorang lelaki. ltu adalah aku, kerinduan.”
”Selamat berjumpa wahai kerinduan, maafkan aku. Karena seusai tragedi aku menjadi kera, kerinduan apapun tak pernah hadir lagi dari jiwaku. Kalaupun kau ada dan memperkenalkan diri kepadaku, akupun terpaksa mengucapkan selamat datang, wahai kerinduan. Wahai kerinduan, ajaklah aku kepada misteri yang ada dalam jagad cinta. Jagad cinta wanita yang ada dalam jiwaku.”
Maka kerinduan, memperkenalkan perasaan lain, datanglah rasa nyaman, rasa terlindungi.
”Siapakah engkau?”, kata Retna Anjani.
”Aku adalah rasa tenteram karena kenyamanan, rasa aman karena perlindungan.”
”Siapa dirimu?”
”Aku adalah Hawa. Karena aku, terlahir generasi manusia. Karena aku manusia mewariskan cinta kepada keturunannya. Tanpa aku, manusia akan meninggalkan keturunannya. Aku adalah ’hawa kasih sayang’ yang tersembunyi dalam rasa aman, yang diam di dalam kerinduan. Dan aku sebenarnya cahaya dari perlindungan Hyang Widhi. Kerinduan kepada orang tua, kepada anak, kepada kekasih itu pun anak-anak yang dariku, Hawa. Dan aku adalah percik cahaya dari rasa aman yang datang dari Sang Hyang Widhi, kepada makhluk-Nya”, demikian sang kerinduan memperkenalkan dirinya.
Dan kerinduan tidak akan berfungsi. Kerinduan akan mati, manakala kerinduan hanya sampai kepada suami, hanya sampai kepada isteri, manusia. Hanya sampai kepada anak-anak dan kekasih. Kerinduan yang terhenti, adalah memotong cinta yang panjang dari makhluk kepada Penciptanya.
”Wahai ratu, jangan engkau terhenti di belokan cinta, terhenti di tikungan cinta. Karena engkau akan diperbudak oleh kerinduan itu sendiri. Kerinduan seperti itu meresahkan dan menyiksa, karena kerinduan belum usai, belum pulang kembali kepada sumbernya, Sang Hyang Widhi. Maka jadikanlah aku, Hawa, sebagai jembatan cahaya yang panjang. Supaya engkau melaju, mengalir menuju sumber Cinta. Bawalah cinta engkau kepada orangtuamu bersama aku, kembalikan dengan cahayaku kepada sumbemya. Bawalah cinta asmaramu kepada ksatria, idamanmu, memakai perahu cahaya yang mengalir di samudera yang panjang. Menuju pulau-pulau Sumber Cahaya Cinta Sang Hyang Murbeng Asih. Jangan engkau biarkan, dirimu dalam cinta, tenggelam dalam samudera cinta yang terseok-seok di bawah samudera asmara. Namun asmara akan menjadi lebih indah, manakala aku mengisinya dengan cahaya yang panjang sebagai jembatan cinta kepada sumbernya, Hing Murbeng Asih, Tuhan Yang Maha Esa.”
”Wahai Hawa”, kata Retna Anjani, ”Adakah dibalik engkau yang aku ingin kenal padanya?”
”Ada, di belakangku adalah dirimu yang sejati. Diri sejati yang merindukanmu yang ingin memberikan cinta kasih kepada semua yang ada. Tidak saja ksatria yang engkau berikan cinta, tidak saja ayah ibumu yang engkau berikan cinta. Tapi alam raya dan isinya, menunggu dengan sangat, dari abad ke abad, berjuta tahun, alam raya dan isinya, menunggu belaian kasih sayang dari jati dirimu sebagai wanita.”
Manakala Hawa tersibak, tampaklah di belakangnya. Dimana Retna Anjani rasanya seperti mengaca di kaca yang besar, segalanya persis. Persis wajah, sama persis tubuhnya. Sebagaimana Retna Anjani sendiri.
”Ucapkanlah salam kepada dirimu sendiri. ltu bukan bayangan, itu adalah dirimu yang sesungguhnya, wahai Retna Anjani”, kata Hawa.
Retna Anjani membanding-banding dirinya, dengan tubuh yang ada di depannya. Mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki, ternyata ada bedanya. ”Mengapa payudara yang di depanku bersinar terang?”
”Oh Retna Anjani”, kata Hawa, ”Cahaya itu adalah warisan dari cinta sebening kaca, cinta yang sempurna, yang telah disimpan oleh Bundamu yang telah melahirkanmu. Dan engkau pun akan mewariskan cahaya itu, memberikan kehidupan kepada anak-anak manusia. Beribu bayi bergantung kepada cahaya dari payudara, karena kesaktian alam berkumpul dalam cahaya itu. Memberikan vitamin dan kesegeran (air susu), kepada setiap bayi yang dilahirkan. Dan engkau telah menghisap kesaktian ibumu sendiri dengan keikhlasan yang sempurna. Cinta ibumu, membuat iri semua dewi di Kahyangan. Karena mereka tak memiliki cahaya dari payudara. Yang mereka miliki adalah keagungan nilai dari payudara, yang tidak bisa memberikan susu kepada bayi-bayi. Kalau pun bidadari diturunkan ke dunia, matilah setiap bayi, karena tak mampu memberikan susu. Berbahagialah engkau, wahai Retna Anjani, sebagai manusia yang berharkat bidadari.”
”Bisakah aku bertemu ibuku di payudara yang bercahaya?”
”Bisa, wahai Retna Anjani, mengapa tak kau panggil kalau rindu pada ibu?”
”Karena aku tak mampu, tak sempat mengungkapkan maaf dan terima kasih.
Bahwa aku telah dilahirkan, pernah dikandung dan telah dibesarkan. Tragedi Cupu Manik Hayuningrat, menyebabkan aku tak sempat mengungkapkan terimakasih dan sujudku kepada bundaku.”
”Wahai ratu, panggillah bundamu”, kata Hawa.
Maka dipanggil bundanya. Susu yang bening dan bercahaya itu, seperti alam yang di dalamnya ada bundanya. Dewi Windradi tersenyum.
”Peluklah aku, anakku.”
Maka dengan tangisan yang menjerit, dipeluknya ibunya. Namun yang ada hanya bayangan sinar saja. Ternyata Retna Anjani meninggalkan tubuhnya sendiri, kembali kepada dirinya yang sejati.
Retna Anjani berjalan dan berjalan semakin jauh, di jagat dirinya yang sungguhnya. Maka sampailah kembali kepada dirinya yang sedang bertapa.
Ternyata perjalanan Retna Anjani di dalam jagad dirinya yang sesungguhnya, terlihat sebagai cahaya yang gemilang. Maka cahaya gilang gemilang ini adalah cahaya yang mengeluarkan kasih sayang, cahaya yang menebarkan serta merangsang kerinduan semua alam yang menebarkan rasa kasihan yang tinggi. Rasa kasihan yang tinggi ini, sampai ke Marcapada, menembus perbatasan Sela Manangkep, Suralaya dan terus sampai ke Kahyangan.
Para dewa gempar! Cahaya apa ini?
Dan sebagaimana biasa, Batara Narada berdialog dengan adiknya, Batara Guru.
”Dinda Batara Guru, engkau mengerti apa dan bagaimana cahaya ini. Sepertinya cahaya ini bukan milik nirwana, datang dari luar nirwana. Tapi mengapa memberikan benderang yang lebih gemilang dari cahaya yang ada di nirwana?”
”Aku pun tak melihat cahaya ini datang dari puncak nirwana.”
”Wahai Dindaku, ikutilah cahaya itu, darimana datangnya.”
Batara Guru mengikuti cahaya itu yang ternyata sampai ke bumi, yang kemudian sampailah kepada sumbemya, Retna Anjani. Maka terharulah Batara Guru. Cinta yang sempurna yang ada dalam bathin Batara Guru, hampir dikalahkan oleh pesona cinta yang datang dari Retna Anjani.
Proses kembalinya suatu cinta kepada sumbernya.
”Retna Anjani”, sabda Batara Guru, ”Keangkuhanku yang menyebabkan lelaki di lahirkan, goyah dan hampir kalah oleh cahaya yang datang dari dirimu. Kukatakan, engkau kucintai dan engkau kumiliki.”
Batara Guru, muncul kecintaan yang mendalam, melampaui keindahan nirwana.
Dan bersabda Batara Guru :
”Terimalah cintaku ini, cahaya yang sebenarnya belum saatnya ada di bumi. Namun cahaya yang keluar dari dirimu ’mempercepat proses’ untuk segera cahaya ini hadir di muka bumi ini. Dan terimalah bagian dari diriku ini, dan berubah ujud menjadi ’ron jati malela’, daun jati malela.”
Retna Anjani, dalam ”tapa Nyantuka-nya”, memakan makanan apa saja yang mendekati dirinya. Buah yang mengambang, daun yang mengambang. Dan minumnya adalah uap-uap udara, embun pagi. Ron jati malela mengambang, dan masuk ke dalam mulutnya.
Begitu di telan oleh Retna Anjani, dirinya merasakan keindahan yang mempesona. Sebagaimana yang dirasakan oleh Dewi Sukesih sewaktu melayang-layang di puncak kenikmatan cinta dan puncak kebahagiaan di perbatasan kahyangan. Cinta, kerinduan, kerinduan yang tadi memperkenalkan diri, menemukan siapa yang dirindukan.
”Izinkanlah wahai Batara Guru, ternyata engkau kurindukan. Bayanganmu telah lama hadir dalam jiwa ini. Saat aku kecil, bayanganmu seringkali hadir di telaga hatiku. Dan engkau menjadi kenyataan di telaga Sumala ini.”
Sabda Batara Guru :
”Engkau akan mengandung anak kita. Anak kita, bukan lahir dari syahwat. Diukir bukan dari cinta kerinduan, bukan dari ’hawa’, bukan cinta dari jatidirimu sendiri. Tapi perpaduan Hayuningrat yang sudah engkau sucikan di Sumala, bersekutu dengan cahaya yang kubawa dari kahyangan.”
”Telaga Sumala, telaga kehidupan yang kotor, yang cemar. Kini suci kembali, kesucian yang datang dari dirimu dan yang datang dari cahaya permata surgawi. Maka anak kita, menjelma dari kekuatan keduanya.”
Tatkala sang bayi lahir, Batara Guru datang lagi dari nirwana, menaiki Lembu Andhini. Begitu Lembu Andhini melihat Retna Anjani dan bayinya, Lembu Andhini lari kembali ke nirwana, dan mendobrak Sela Menangkep!
Batara Guru terkejut!
”Wahai Andhini. Engkau kurang ajar! Mengapa tanpa izinku engkau kembali ke nirwana? dan engkau menghancurkan Sela Menangkep!”
Maka terdengarlah sabda Batara Narada :
”Dindaku, Andhini adalah kesempurnaan cinta yang tidak pernah berkata-kata, biarlah aku mewakili Andini. Tahukah engkau? Andhini merasa, bahwa Retna Anjani secepatnya dibawa sebagai penghuni nirwana. Dan Andhini kecewa, dan berontak. Mengapa anak sesuci dan seagung itu harus lahir sebagai kera. Andhini tak mampu membendung kemarahan, dari kenyataan seperti ini, kekaguman yang sangat kepada pribadi sang bayi, dikecewakan oleh wajah kera.”
Batara Guru memahami itu semua, dan menghampiri Retna Anjani.
”Isteriku, penghuni nirwana, termasuk tungganganku Lembu Andhini, merindukan kehadiranmu. Karena penderitaamu sudah pindah pada bayimu. Anakmu akan menanggung semua deritamu dalam pertapaan yang panjang. Engkau usailah! Bangunlah wahai isteriku dari tapamu yang panjang. Dosa-dosamu, karena ambisi memiliki Cupu Manik Hayuningrat. Di bawa oleh anakmu, karena dia mampu menghabiskan dan menghilangkan semua dosa.”
”Wahai isteriku, setiap anak yang lahir membawa dosa orang-tuanya dan mampu membuangnya. Namun, karena anak kebanyakan lahir dari dosa, bagaimana bisa membuangnya? Anakmu lahir dari kesucian hatimu, mampu membawa, membuang dan sekaligus melenyapkan dosa, tanpa bekas.”
”Manusia, sekali berdosa, maka dosa itu akan dibawa oleh mereka yang mencinta. Sekali berdosa, maka akan disebarkan oleh yang kau cinta. Sekali berdosa akan diturunkan kepada anak-cucumu. Maka dosa pun bertambah panjang. Hanya Hayuningrat yang mampu mengakhiri.”
”Anak kita, bayimu Hanoman. Mampu melenyapkan dosa turunan, dosa yang dibawa oleh yang dicintainya. Pangruwating Diyu, tak mampu mengakhiri dosa. Hanya memperkecil dosa. Demikianlah wahai isteriku”, sabda Batara Guru.
”Hanoman, anak kita itu. Berilah nama sesuatu yang agung, hatinya seagung gunung yang bening. Kesucian hatinya melampaui, keagungan gunung yang agung. Berilah nama Giri Suci. Keikhlasannya sebening air Sumala, air keruh yang menjadi sebening air surgawi.”
”Ia memiliki kewibawaan. Wibawa dalam jiwanya mampu mengalahkan kewibawaan samudera.
Katakanlah namanya, Jaladri Prawat.”
”Budinya lebih terang dari semua mentari, lebih cemerlang dari semua cahaya cakrawala. Tutur katanya, selembut cahaya yang tak terlihat. Berilah sebuah nama, Surya Sasangka.”
”Rasa juangnya sangat tinggi, tak pernah menyerah kalah, tak mau menyerah, tak mau mengakui akan segala penderitaannya. Penderitaan adalah pengakuan. Anak kita tak pernah mengakui akan rasa kekalahan. Sekali menentukan sikap, seperti angin prahara yang tak mampu dibendung oleh apapun juga. Sebutlah Anita Tanu.”
”Dan apabila saatnya tiba, anak kita harus kembali kepada alam, bergaul dengan penghuni hutan ini. Engkau harus kembali kepada kesempurnaan Hayuningrat, yang sudah menunggu di kahyangan.”
Para pembaca yang budiman demikianlah kisah cerita mengenai Realisasi dari Pangruwating Diyu serta Sejarah Cupu Manik ASTAGINA, yang kami sarikan kembali dari beberapa sumber dan kami sajikan menjadi rangkaian ceritera bersambung.
Semoga kita semua mampu menangkap intisari dan hakikat dari Ajaran Adiluhung SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT, serta mampu mengimplementasikannya dalam setiap langkah kehidupan kita. Om Awighnamastu dumogi bermanfaat.
Ksamaswamam,
Astono Chandra Dana
Tapa – nya ; Subali, Sugriwa Dan Retna Anjani
Kekuatan kasih yang yang tinggi dari resi Gotama, kepada putera-puterinya berat untuk dipisahkan di dalam tugas. Yang tadinya cintanya terpaut, terampas oleh isterinya, Dewi Windradi. Anak-anak hanyalah mendapat cinta yang sifatnya ”sisa” dari cinta kepada isterinya. Cinta kepada anak, lahir dari aliran sungai kecil dari sebuah samudera. Cinta sang ayah adalah bagian terkecil, karena cinta yang suci kepada anak anaknya yang seharusnya hadir sebelum anak-anaknya lahir itu, terbius oleh cinta segalanya kepada isterinya sendiri.
Namun saat itu sang Resi merasakan bahwa kehadiran cinta kepada anaknya, yang cukup lama terbius oleh kebesaran cinta kepada isterinya, muncul perasaan cinta yang suci kepada anak-anaknya dan tambah memuncak saat dirinya menyadari, betapa selama ini dirinya kurang memperhatikan anak-anaknya.
Ternyata asmara, ”jagad asmara”, mengeruhkan jagad cinta seorang ayah kepada anak-anaknya yang dilahirkan. Seandainya jagad cinta sang ayah memenuhi permukaan bathin seorang anak, sukar memindahkan cinta baru, cinta asmara baru kepada wanita lain. Karena kebeningan cinta seorang ayah kepada anak yang sesungguhnya itu, menghalangi sikap keangkuhan lelaki dalam melangkah di alam dunia ini, dalam mengisi alam dunia ini.
Kebeningan cinta sang Resi kepada anaknya, menggugat jiwa dan fikirannya, betapa dirinya akrab dengan harkat kelaki-lakiannya. Dan terlalu akrab dengan cinta egonya, kepada isterinya. Saat itu pula sang Resi merasa berdosa yang sangat, kepada putera puterinya.
Maka dirangkullah putera-puterinya, Subali, Sugriwa dan Retna Anjani.
”Anak-anakku, maafkanlah dosa ayahmu ini, yang telah lama menyimpan kebeningan cinta yang seharusnya ada, telah kuselipkan di ’gunung kemurkaan’ aku sebagai laki-laki, wahai anakku! Cinta yang bening kepadamu kusembunyikan di sela nafas kelaki-lakianku, di sela nafas syahwatku. Tak mungkin engkau kehilangan kebeningan cinta yang ada dalam dadaku, tak mungkin sirna, kalau aku tak mengejar-ngejar syahwat selama seabad. Karena itu anak-anakku, maafkanlah ayahmu”, kata resi Gotama.
”Ayahku, apapun dosa yang dirasakan, kesalahan yang dipanggul oleh punggung jiwamu, itu adalah bukan hak kami untuk menilai”, jawab Retna Anjani,
”Itu adalah hak engkau dengan jatidirimu dan dengan segala alam yang telah membesarkan kami semua.”
”Namun demikian, kami sebagai anak-anakmu, tak mampu mengelak untuk tidak memaafkan engkau, ayahku. Kami tidak akan mempersembahkan maaf kepadamu, tapi kami akan berikrar kepada Hyang Widhi, Hing Murbeng Agung. Bahwa engkau adalah ayah yang baik bagi kami semua. Engkau adalah ayah yang sempurna dan berharkat tinggi, telah membesarkan kami semuanya. Kami bersaksi, atas segala kebaikan yang telah engkau berikan kepada kami. Semoga alam pun bersaksi atas kebaikan engkau, wahai ayahku tercinta.”
”Ayahanda, tak mungkin kami menerima keluh kesah tentang dosa masa lalu, tentang keresahan kebeningan cinta yang tak mampu engkau ungkapkan, engkau ekspresikan kepada kami”, Subali menyambung kata-kata adiknya,
”Karena kami terlahir dari betapa cintanya engkau kepada ibuku. Tanpa cinta kepada ibuku, tak mungkin kami terlahir ke dunia ini. Dan biarlah, wahai ayahku, cintamu kepada ibu kami, sebagai pembelian kembali beningnya cinta engkau, untuk kami, dan menghantar ayahanda untuk melangkah ke Nirwana yang dituntun oleh para dewa. Tinggalkanlah kami wahai ayahanda, menuju keagungan singgasana maaf yang diberikan kepada ibu.”
Betapa sang ayah terharu mendengar kebesaran jiwa anak anaknya. Padahal sebelumnya, anaknya bertanya, ”Mengapa kami berwajah kera? Bertubuh monyet?”
Sang resi telah memberi kebanggaan nurani, bahwa rendah diri adalah kekuatan untuk mengalahkan keangkuhan dunia ini. Namun kali itu, anak-anaknya membutuhkan dirinya tentang ungkapan sebuah hati yang rendah diri. Dari buruk rupa dan jelek tubuh sang kera. Dan sang ayah merasa, kemanusiaan dirinya yang gagah, yang mampu bertapa, sakti mandraguna, merasa menjadi ”lelanang jagad.” Sirna sesaat oleh ungkapan kesucian, keikhlasan bathin anak-anaknya.
Manakala anak-anaknya selesai mengikrarkan itu semua, saat itu pula sang resi, moksa. Ilmunya kembali, tapanya satu abad hanya untuk meminta bidadari kepada Hyang Widhi, terhapus oleh rasa maaf yang sangat kepada isterinya. Dan dimaafkan oleh putera-puterinya. Kembali kepada jati diri yang paling bening dari jiwanya. Kembali kepada jati diri yang paling suci dalam hatinya. Maka beliau moksa pergi ke Suralaya.
Suralaya adalah puncak kebahagiaan, berbatasan dengan nirwana. Puncak yang diraih oleh Sastra Jendra dari Wisrawa dan isterinya. Suralaya adalah tempat surgawi yang sudah terisi energi ke-Widhi-an, tapi masih terhalang oleh pintu ”Sela Manangkep.”
Tatkala resi Gotama ke angkasa sambil menangis, tetes airmatanya membasahi ketiga putera-puterinya. Maka lenyaplah sang ayah dari pandang mata kepala putera-puterinya. Akhirnya masing-masing melaksanakan tapanya, sebagaimana di amanatkan sang ayah.
Subali menuju gunung Sunyapringga, melaksanakan ”tapa ngalong.”
Sugriwa ke hutannya Sunyapringga, melaksanakan ”tapa ngidang.”
Retna Anjani di telaga Nirmala, melaksanakan ”tapa nyantuka.”
SUBALI
Subali, dalam kesunyian tanpa cinta ibunda dan tanpa cinta sang ayah. Keheningan gunung Sunyapringga, menambah mencekamnya kerinduan cinta yang ditinggalkan oleh kedua orangtuanya.
”Wahai gunung, siapakah yang mengisi kekosongan cinta ini?”
”Aku sendiri hening dari kekayaan cinta kepada diriku sendiri, jangankan aku mencintai diri sendiri, aku ini pun terkoyakkan oleh cinta orangtua kami, wahai gunung Sunyapringga. Sempurnakanlah kesunyian kami, sempurnakanlah kekosongan cinta kami. Supaya kami, masuk ke alam rahasia, supaya kami masuk ke alam yang oleh dunia dirahasiakan. Ke alam yang oleh hutan dirahasiakan, ke alam yang oleh tumbuh-tumbuhan dirahasiakan. Wahai gunung, gunakanlah kesepian kami sesepi-sepinya, supaya kami melupakan diriku sendiri. Janganlah engkau biarkan tubuh kami, jiwa kami, dan fikiran kami, terpenjarakan oleh kesepian yang kepalang tanggung. Kesepian yang sempurna mampu membebaskan diriku dari rasa memiliki tubuh dan jiwa ini.”
Demikianlah Subali dalam ”tapa ngalong-nya”, kaki ke atas berpegangan pada dahan pohon dan kepala! Menghadap ke bumi.
Di puncak kesepian Subali yang paling pekat, sang daging seperti meninggalkan dirinya, bukan daging yang ditinggalkan oleh dirinya. Satu-persatu, tangannya meninggalkan dirinya, daging di perutnya, tulang di kakinya, satu-persatu organ tubuh meninggalkan dirinya, yang tersisa adalah jantung dan hati, yang terasa masih ada.
”Mengapa jantung dan hati tidak mau pamit dariku? Bukankah karena engkau, aku merasa memiliki tubuh ini? Bukankah karena engkau, aku merasa memiliki denyut daging dan getar syaraf? Bukankah karena engkau, wahai hati, aku dapat memandang dengan mataku pesona dunia ini? Cepatlah engkau berjalan! Tinggalkan aku.”
Hati dan jantung menjawab :
”Bukan aku tak mau berpamitan kepadamu, namun katakanlah, bahwa aku pernah hadir dalam dirimu, dalam memperkenalkan dunia ini dengan isinya. Tanpaku, engkau tak mengerti arti duniawi, tanpa kami, engkau tak mampu bercengkerama dengan dunia. Izinkanlah kami pamit dan isilah jejak kami oleh dirimu. Dan suatu saat kami akan datang lagi mengisi tempat ini.”
Maka jantung dan hati pamitan tanpa kesedihan dan kegembiraan. Subali pun melepas organ tubuhnya yang terakhir.
Manakala hati dan jantung meninggalkan dirinya. Saat itu pula seluruh pohon-pohon di hutan Sunyapringga berbicara menyampaikan rahasia dirinya. Menyampaikan rahasia dirinya. Menyampaikan rahasia alam ini dan menyampaikan rahasia para dewa.
Hingga setiap pohon bercerita, aku ditakdirkan berbuah sampai sekian. Berapa yang gugur, berapa yang matang dan berapa yang dimakan ulat. Kami ditakdirkan berdaun sekian, dari pucuk pertama dan daun terakhir yang gugur.
Dan hewan-hewan pun, bercerita tentang kerahasiaan dirinya secara sempurna.
Maka telinga-telinga dari bathinnya, mendengar semua suara yang ada di dunia ini. Penglihatan mata bathinnya, tembus membelah samudera, masuk ke langit. Subali mulai masuk ke alam kebahagiaan bertemankan rahasia-rahasia. Dikatakan rahasia, karena terhalang oleh daging. Namun saat itu bukan rahasia lagi. Ternyata di balik daging, ada keindahan yang lebih sempurna, dari syahwat itu sendiri, dari indera itu sendiri, dari fikiran itu sendiri.
Subali menuju alam pertapaan yang sangat ramai. Sendiri dalam kesepian tetapi ramai dalam kehidupan. Subali dalam ”tapa ngalong-nya” menyaksikan kehidupan dunia. Setiap manusia terlihat takdimya. Tingkah laku, gerak tubuh yang menghasilkan problematik hidup setiap individu manusia, jelas di saksikan. Persoalan umat pun dilihatnya secara sempurna.
Maka pengetahuan-pengetahuan, ilmu, bukan datang dari pelajaran-pelajaran yang didapatkan dari ayahandanya. Semua memberikan pelajaran, semuanya yang dilihat memberikan pengertian. Dunia bukan lagi sekedar benda. Dunia adalah kalam Widhi yang bergerak-gerak. Dunia adalah ungkapan wahyu Hyang Widhi yang bercerita. Sabda-Nya mengalir tanpa perantara. Sabda yang bukan melalui malaikat, tapi sabda yang berasal dari isyarat alam, sebagai perwakilan-perwakilan sang Maha Kuasa.
SUGRIWA
Sugriwa di dalam ”tapa ngidang-nya”, tak seperti Subali. Kalau Subali, dalam ”tapa ngalong-nya”, ditinggalkan oleh seluruh organ tubuhnya. Maka yang dialami Sugriwa adalah organ tubuhnya tetap dirasakan utuh, tapi dirinya ditinggalkan oleh fikirannya.
Yang pertama kali meninggalkan dirinya adalah illusinya, ”Selamat tinggal wahai diriku”, kata ilusi,
”Aku akan mengangkasa dan akan kembali ke alamku sendiri, di awang-awang jagad raya, di mega-mega yang tak bersisi. Karena kami bercerita tanpa ada awal dan akhir, karena kami mengungkap masalah tanpa judul. Dan engkau mengenal aku, karena rekayasa perasaamu sendiri. Yang sesungguhnya, aku tidak ada. Aku adalah embun yang kembali kepada embun. Aku adalah asap yang kembali kepada awan. Aku tidak memiliki judul, kalaupun berjudul, bukan aku yang membuat. Tapi engkau yang membuat judul atas angan-anganmu tentang kehidupan ini.”
”Selamat jalan daya khayalku. Engkau terlalu kucintai, dan engkau jangan terlalu jauh melayang-layang di angkasa. Tanpa engkau, aku tidak mampu memahami dunia ini. Tanpa engkau, aku akan terpenjara oleh kenyataan hidup. Tapi engkau membebaskan diriku dari keterpenjaraan kehidupan yang sesungguhnya. Engkau adalah memberikan kemerdekaan semantara kepadaku”, demikian Sugriwa.
Perpisahan ini adalah tangisan, walau daya khayal dari illusi, tetapi tetap ditangisi, dan perpisahan ini terasa menyakitkan.
”Tanpamu, aku kehilangan diriku sendiri. Karena aku dikatakan sebagai manusia karena dirimu, yang telah hadir dalam diriku sebelum aku dilahirkan di muka bumi ini.”
Maka setelah kepergian daya cipta illusi, daya lamun, berpamitan pada logika. Logika berkata tentang atas dan bawah, sisi dan ujung, jumlah, matematika, sebab akibat, analisa-analisa, kesimpulan-kesimpulan, penjelasan mengapa begini, mengapa begitu, mengapa demikian.
”Selamat tinggal wahai Sugriwa. Aku matematika harus berpisah dari fikiranmu. Engkau sering resah karena perhitungan-perhitungan dariku. Engkau sering bergulana, karena aku menari dalam hitungan jumlah, dan engkau sakit oleh kekurangan-kekurangan. Dan engkaupun sering gembira manakala aku menambah. Engkau dipenjarakan olehku, dari sebuah sebab akibat. Yang paling menggoda kekhawatiran adalah aku, Sugriwa. Namun ingatlah aku, kenanglah aku! Tanpa aku, engkau tidak akan dapat mengerti, mengapa engkau harus mengejar-ngejar Cupu Manik Hayuningrat, karena aku, engkau dipicu dalam usaha dan ikhtiar.”
”Selamat jalan, wahai sebab akibat, suatu saat aku merindukanmu.”
”Ya! Aku akan datang manakala sang dewa telah mensucikan engkau. Dan akupun akan datang dengan sebab akibat dan matematika, jumlah dan kurang. Namun aku akan berbakti kepada ’kesucian’ engkau, yang telah disucikan dalam pertapaan yang panjang.”
”Berilah aku keleluasaan untuk mencari rahasia-rahasia alam, untuk mencari rahasia-rahasia mega-mega mengangkasa. Supaya manakala aku kembali, bila engkau mengenal aku 3+2=5, tapi 3+2 adalah 5+x+n+n, aku adalah kaya. Kalau pun aku matematik, tapi mampu membelah rahasia gaib, kalau engkau menambah kesucian dirimu. Karena aku harus diperkosa oleh kesucian dirimu. Bukan aku yang memperkosa dirimu, wahai Sugriwa”, demikian kata logika.
Yang terakhir pamit adalah fikirannya :
”Aku pamit Sugriwa. Telah lama aku bercokol dalam ruang-ruang fikiranmu. Aku adalah rencana yang panjang dari dirimu. Penggalan- penggalan kamar yang telah kau isi dari rencana kerja itu adalah aku. Biarlah aku kembali kepada pusat perencanaan Yang Maha Sempurna, Sang Pencipta Rencana itu sendiri, Hyang Agung Mahesa. Hing Murbeng Mahesa, adalah tempat aku kembali karena di sana ada rencana Yang Maha Sempurna. Aku adalah bayangan-bayangan kecil dari rencana-Nya. Aku adalah wayang dari rencana, dan engkau mau menggapai rencana dalam bayangan dirimu sendiri. Aku mengucapkan salam kepada dirimu. Dan aku pun, terima kembali suatu saat, manakala engkau telah membuat ’Istana kesucian’ di dalam fikiranmu. Fikiranmu adalah rukh, fikiranmu adalah sayap-sayap yang ku isi. Tanpa rukh, aku tak mampu hadir dalam sayap rukh. Kau kembali kepada jati yang tersuci dari rukhmu sendiri. Hewan tanpa rukh, aku pun tak mampu hadir di alam mereka.”
Maka menangislah Sugriwa dalam tapanya. Betapa kesepian panjang tanpa perhitungan, tanpa rencana, tanpa obsesi. Obsesi adalah kenakalan alam fikiran, gejolak alam fikiran akibat rencana yang diperhitungkan secara rinci dan sangat matematis. Sangat berfungsi dalam matematik dan pengetahuan alam.
Maka keheningan mengiringi Sugriwa, dan di puncak kesepiannya Sugriwa melihat perhitungan lain. Sugriwa mengetahui jauhnya bumi dengan bulan, mengetahui berapa banyak energi matahari yang selama ini telah mengalir ke bumi, berapa usia dunia ini dengan matematika yang tanpa batas logika. Bulan pun bercerita telah berapa kali mengelilingi bumi ini dan mengelilingi matahari. Matahari pun bercerita berapa jumlah energi panas yang disimpan dalam tubuhnya. Oksigen dan hidrogen menari-nari, memberikan informasi tentang eksis dirinya.
Maka rahasia jumlah dari hari dan tahun yang telah terlalui oleh alam ini, dari berapa jumlah yang akan lahir dari tahun dan bulan, diketahuinya dalam jumlah. Rencana pun teraba, kapan kiamat, kapan gunung hancur, kapan planet bertemu planet, meteor dengan meteor, komet dengan komet. Dan berapa jumlah planet yang ada di cakrawala ini, diketahui dengan pasti dan sistematis. Karena rukh, ternyata sumber logika yang paling murni. Yang terpandai dari otak. Otak ternyata jagad terkecil dari transfer fikiran, kepandaian rukh itu sendiri.
Sugriwa dalam tapa ngidangnya, menemukan rahasia jumlah dan perencanaan, mengetahui sebab dan akibat, awal dan akhir dari sesuatu proses.
Subali mata bathinnya bertambah tajam dalam dialog dengan alam dan sifatnya.
Sugriwa kepandaian rukhnya, menghitung dan membuat rencana dari sisi jumlah dan dimensi.
Subali adalah makna sifat yang dimensional dari fisik alam ini.
Sugriwa adalah dimensi jumlah dari fisik sifat alam ini.
Tapa ini ”wajib” bagi makhluk di muka bumi. Karena adalah tanggung jawab kepercayaan Hyang Widhi kepada manusia. Manusia sebagai perawat dunia dengan bermodalkan dua faktor tersebut di atas. Tanpa modal dua faktor ini, adalah tinja yang ada di bumi, kotoran yang menodai bumi ini.
Sabda Batara Narada dari Nirwana :
”Cucuku, Subali dan Sugriwa. Engkau pantas merawat dunia, engkau pantas mencintai bumi ini, pantas sebagai penghuni yang syah dari alam yang Tuhan telah ciptakan. Engkau adalah jagad, dimana dunia akan bersekutu dengan jagad dirimu. Bukan engkau yang bersekutu dengan bumi. Tapi bumi kembali bersekutu ke dalam jagad rukh dan jiwamu. Karena Hing Murbeng Agung, Sang Hyang Wenang, tak mungkin memberikan kepercayaan kepada penghuni yang namanya manusia, kalau tidak lebih mulia dari alam dan isinya.”
RETNA ANJANI
Retna Anjani, tapa nyantuka, seperti kodok yang berendam di air Sumala. Air kehidupan yang sudah keruh. Retna Anjani dalam kesunyian.
Kesunyian hatinya, kesunyian jiwanya, tambah mencekam dengan dinginnya telaga Sumala. Malam hari bertemankan kodok-kodok yang bernyanyi, menambah kerinduan dan keharuan kepada bundanya. Gigil tubuh Retna Anjani dan dinginnya air keruh Sumala, menghantar dirinya pada puncak kesempurnaan dari kesepiannya. Retna Anjani, tidak seperti Subali dan Sugriwa, yang diperlihatkan seluruh rahasia alam ini. Di puncak kesempurnaan kesepiannya, Retna Anjani :
- fisiknya tidak lagi memberikan perasaan,
- fikirannya tidak lagi memberikan pengertian, namun
- jiwanya sebagai wanita yang feminim, yang lembut, yang penuh kebijaksanaan, terbuka.
- jagad kesucian seorang wanita, pintunya terbuka.
Retna Anjani, masuk ke jagad cinta yang tertinggi. Dan dijemput oleh sebentuk cinta.
”Selamat datang Ratu Retna Anjani, aku adalah kerinduanmu. Tanpa aku, engkau tidak akan merindukan sesuatu, tidak akan merindukan apapun. Mengapa aku ada dalam jagad dirimu? Mengapa aku bertemu dengan dirimu? Padahal aku sering, aku tak pernah memperkenalkan diri kepada penghuni bumi yang namanya wanita. Karena aku tersembunyi, bisa di rasakan tak mungkin di raba. Bisa dihayati tak mmgkin di fikirkan. Karena aku, tersembunyi dalam emosi. Kalau pun aku datang memperkenalkan diri, membentuk diriku sendiri di hadapanmu, karena engkau telah masuk, mengalami terpaksa, hadir di dalam Cupu Manik Hayuningrat. Hayuningrat menyebabkan ketersem-bunyian aku di dalam emosimu sebagai wanita, tak kuasa tidak menjelmakan diri di hadapanmu.”
Hayuningrat :
- mampu menjelmakan sesuatu nilai-nilai menjadi nyata,
- sesuatu perasaan menjadi benda,
- sesuatu khayal menjadi teraba.
”Dan kerinduan yang engkau rasakan, karena aku adalah kerinduan kepada kesejukan kasih sayang ibu. Dan semua manusia merasakan kesejukan kasih sayang ibu, dan kenyataan perlindungan ayah. Dan untukmu wanita, merindukan perlindungan ksatria seorang lelaki. ltu adalah aku, kerinduan.”
”Selamat berjumpa wahai kerinduan, maafkan aku. Karena seusai tragedi aku menjadi kera, kerinduan apapun tak pernah hadir lagi dari jiwaku. Kalaupun kau ada dan memperkenalkan diri kepadaku, akupun terpaksa mengucapkan selamat datang, wahai kerinduan. Wahai kerinduan, ajaklah aku kepada misteri yang ada dalam jagad cinta. Jagad cinta wanita yang ada dalam jiwaku.”
Maka kerinduan, memperkenalkan perasaan lain, datanglah rasa nyaman, rasa terlindungi.
”Siapakah engkau?”, kata Retna Anjani.
”Aku adalah rasa tenteram karena kenyamanan, rasa aman karena perlindungan.”
”Siapa dirimu?”
”Aku adalah Hawa. Karena aku, terlahir generasi manusia. Karena aku manusia mewariskan cinta kepada keturunannya. Tanpa aku, manusia akan meninggalkan keturunannya. Aku adalah ’hawa kasih sayang’ yang tersembunyi dalam rasa aman, yang diam di dalam kerinduan. Dan aku sebenarnya cahaya dari perlindungan Hyang Widhi. Kerinduan kepada orang tua, kepada anak, kepada kekasih itu pun anak-anak yang dariku, Hawa. Dan aku adalah percik cahaya dari rasa aman yang datang dari Sang Hyang Widhi, kepada makhluk-Nya”, demikian sang kerinduan memperkenalkan dirinya.
Dan kerinduan tidak akan berfungsi. Kerinduan akan mati, manakala kerinduan hanya sampai kepada suami, hanya sampai kepada isteri, manusia. Hanya sampai kepada anak-anak dan kekasih. Kerinduan yang terhenti, adalah memotong cinta yang panjang dari makhluk kepada Penciptanya.
”Wahai ratu, jangan engkau terhenti di belokan cinta, terhenti di tikungan cinta. Karena engkau akan diperbudak oleh kerinduan itu sendiri. Kerinduan seperti itu meresahkan dan menyiksa, karena kerinduan belum usai, belum pulang kembali kepada sumbernya, Sang Hyang Widhi. Maka jadikanlah aku, Hawa, sebagai jembatan cahaya yang panjang. Supaya engkau melaju, mengalir menuju sumber Cinta. Bawalah cinta engkau kepada orangtuamu bersama aku, kembalikan dengan cahayaku kepada sumbemya. Bawalah cinta asmaramu kepada ksatria, idamanmu, memakai perahu cahaya yang mengalir di samudera yang panjang. Menuju pulau-pulau Sumber Cahaya Cinta Sang Hyang Murbeng Asih. Jangan engkau biarkan, dirimu dalam cinta, tenggelam dalam samudera cinta yang terseok-seok di bawah samudera asmara. Namun asmara akan menjadi lebih indah, manakala aku mengisinya dengan cahaya yang panjang sebagai jembatan cinta kepada sumbernya, Hing Murbeng Asih, Tuhan Yang Maha Esa.”
”Wahai Hawa”, kata Retna Anjani, ”Adakah dibalik engkau yang aku ingin kenal padanya?”
”Ada, di belakangku adalah dirimu yang sejati. Diri sejati yang merindukanmu yang ingin memberikan cinta kasih kepada semua yang ada. Tidak saja ksatria yang engkau berikan cinta, tidak saja ayah ibumu yang engkau berikan cinta. Tapi alam raya dan isinya, menunggu dengan sangat, dari abad ke abad, berjuta tahun, alam raya dan isinya, menunggu belaian kasih sayang dari jati dirimu sebagai wanita.”
Manakala Hawa tersibak, tampaklah di belakangnya. Dimana Retna Anjani rasanya seperti mengaca di kaca yang besar, segalanya persis. Persis wajah, sama persis tubuhnya. Sebagaimana Retna Anjani sendiri.
”Ucapkanlah salam kepada dirimu sendiri. ltu bukan bayangan, itu adalah dirimu yang sesungguhnya, wahai Retna Anjani”, kata Hawa.
Retna Anjani membanding-banding dirinya, dengan tubuh yang ada di depannya. Mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki, ternyata ada bedanya. ”Mengapa payudara yang di depanku bersinar terang?”
”Oh Retna Anjani”, kata Hawa, ”Cahaya itu adalah warisan dari cinta sebening kaca, cinta yang sempurna, yang telah disimpan oleh Bundamu yang telah melahirkanmu. Dan engkau pun akan mewariskan cahaya itu, memberikan kehidupan kepada anak-anak manusia. Beribu bayi bergantung kepada cahaya dari payudara, karena kesaktian alam berkumpul dalam cahaya itu. Memberikan vitamin dan kesegeran (air susu), kepada setiap bayi yang dilahirkan. Dan engkau telah menghisap kesaktian ibumu sendiri dengan keikhlasan yang sempurna. Cinta ibumu, membuat iri semua dewi di Kahyangan. Karena mereka tak memiliki cahaya dari payudara. Yang mereka miliki adalah keagungan nilai dari payudara, yang tidak bisa memberikan susu kepada bayi-bayi. Kalau pun bidadari diturunkan ke dunia, matilah setiap bayi, karena tak mampu memberikan susu. Berbahagialah engkau, wahai Retna Anjani, sebagai manusia yang berharkat bidadari.”
”Bisakah aku bertemu ibuku di payudara yang bercahaya?”
”Bisa, wahai Retna Anjani, mengapa tak kau panggil kalau rindu pada ibu?”
”Karena aku tak mampu, tak sempat mengungkapkan maaf dan terima kasih.
Bahwa aku telah dilahirkan, pernah dikandung dan telah dibesarkan. Tragedi Cupu Manik Hayuningrat, menyebabkan aku tak sempat mengungkapkan terimakasih dan sujudku kepada bundaku.”
”Wahai ratu, panggillah bundamu”, kata Hawa.
Maka dipanggil bundanya. Susu yang bening dan bercahaya itu, seperti alam yang di dalamnya ada bundanya. Dewi Windradi tersenyum.
”Peluklah aku, anakku.”
Maka dengan tangisan yang menjerit, dipeluknya ibunya. Namun yang ada hanya bayangan sinar saja. Ternyata Retna Anjani meninggalkan tubuhnya sendiri, kembali kepada dirinya yang sejati.
Retna Anjani berjalan dan berjalan semakin jauh, di jagat dirinya yang sungguhnya. Maka sampailah kembali kepada dirinya yang sedang bertapa.
Ternyata perjalanan Retna Anjani di dalam jagad dirinya yang sesungguhnya, terlihat sebagai cahaya yang gemilang. Maka cahaya gilang gemilang ini adalah cahaya yang mengeluarkan kasih sayang, cahaya yang menebarkan serta merangsang kerinduan semua alam yang menebarkan rasa kasihan yang tinggi. Rasa kasihan yang tinggi ini, sampai ke Marcapada, menembus perbatasan Sela Manangkep, Suralaya dan terus sampai ke Kahyangan.
Para dewa gempar! Cahaya apa ini?
Dan sebagaimana biasa, Batara Narada berdialog dengan adiknya, Batara Guru.
”Dinda Batara Guru, engkau mengerti apa dan bagaimana cahaya ini. Sepertinya cahaya ini bukan milik nirwana, datang dari luar nirwana. Tapi mengapa memberikan benderang yang lebih gemilang dari cahaya yang ada di nirwana?”
”Aku pun tak melihat cahaya ini datang dari puncak nirwana.”
”Wahai Dindaku, ikutilah cahaya itu, darimana datangnya.”
Batara Guru mengikuti cahaya itu yang ternyata sampai ke bumi, yang kemudian sampailah kepada sumbemya, Retna Anjani. Maka terharulah Batara Guru. Cinta yang sempurna yang ada dalam bathin Batara Guru, hampir dikalahkan oleh pesona cinta yang datang dari Retna Anjani.
Proses kembalinya suatu cinta kepada sumbernya.
”Retna Anjani”, sabda Batara Guru, ”Keangkuhanku yang menyebabkan lelaki di lahirkan, goyah dan hampir kalah oleh cahaya yang datang dari dirimu. Kukatakan, engkau kucintai dan engkau kumiliki.”
Batara Guru, muncul kecintaan yang mendalam, melampaui keindahan nirwana.
Dan bersabda Batara Guru :
”Terimalah cintaku ini, cahaya yang sebenarnya belum saatnya ada di bumi. Namun cahaya yang keluar dari dirimu ’mempercepat proses’ untuk segera cahaya ini hadir di muka bumi ini. Dan terimalah bagian dari diriku ini, dan berubah ujud menjadi ’ron jati malela’, daun jati malela.”
Retna Anjani, dalam ”tapa Nyantuka-nya”, memakan makanan apa saja yang mendekati dirinya. Buah yang mengambang, daun yang mengambang. Dan minumnya adalah uap-uap udara, embun pagi. Ron jati malela mengambang, dan masuk ke dalam mulutnya.
Begitu di telan oleh Retna Anjani, dirinya merasakan keindahan yang mempesona. Sebagaimana yang dirasakan oleh Dewi Sukesih sewaktu melayang-layang di puncak kenikmatan cinta dan puncak kebahagiaan di perbatasan kahyangan. Cinta, kerinduan, kerinduan yang tadi memperkenalkan diri, menemukan siapa yang dirindukan.
”Izinkanlah wahai Batara Guru, ternyata engkau kurindukan. Bayanganmu telah lama hadir dalam jiwa ini. Saat aku kecil, bayanganmu seringkali hadir di telaga hatiku. Dan engkau menjadi kenyataan di telaga Sumala ini.”
Sabda Batara Guru :
”Engkau akan mengandung anak kita. Anak kita, bukan lahir dari syahwat. Diukir bukan dari cinta kerinduan, bukan dari ’hawa’, bukan cinta dari jatidirimu sendiri. Tapi perpaduan Hayuningrat yang sudah engkau sucikan di Sumala, bersekutu dengan cahaya yang kubawa dari kahyangan.”
”Telaga Sumala, telaga kehidupan yang kotor, yang cemar. Kini suci kembali, kesucian yang datang dari dirimu dan yang datang dari cahaya permata surgawi. Maka anak kita, menjelma dari kekuatan keduanya.”
Tatkala sang bayi lahir, Batara Guru datang lagi dari nirwana, menaiki Lembu Andhini. Begitu Lembu Andhini melihat Retna Anjani dan bayinya, Lembu Andhini lari kembali ke nirwana, dan mendobrak Sela Menangkep!
Batara Guru terkejut!
”Wahai Andhini. Engkau kurang ajar! Mengapa tanpa izinku engkau kembali ke nirwana? dan engkau menghancurkan Sela Menangkep!”
Maka terdengarlah sabda Batara Narada :
”Dindaku, Andhini adalah kesempurnaan cinta yang tidak pernah berkata-kata, biarlah aku mewakili Andini. Tahukah engkau? Andhini merasa, bahwa Retna Anjani secepatnya dibawa sebagai penghuni nirwana. Dan Andhini kecewa, dan berontak. Mengapa anak sesuci dan seagung itu harus lahir sebagai kera. Andhini tak mampu membendung kemarahan, dari kenyataan seperti ini, kekaguman yang sangat kepada pribadi sang bayi, dikecewakan oleh wajah kera.”
Batara Guru memahami itu semua, dan menghampiri Retna Anjani.
”Isteriku, penghuni nirwana, termasuk tungganganku Lembu Andhini, merindukan kehadiranmu. Karena penderitaamu sudah pindah pada bayimu. Anakmu akan menanggung semua deritamu dalam pertapaan yang panjang. Engkau usailah! Bangunlah wahai isteriku dari tapamu yang panjang. Dosa-dosamu, karena ambisi memiliki Cupu Manik Hayuningrat. Di bawa oleh anakmu, karena dia mampu menghabiskan dan menghilangkan semua dosa.”
”Wahai isteriku, setiap anak yang lahir membawa dosa orang-tuanya dan mampu membuangnya. Namun, karena anak kebanyakan lahir dari dosa, bagaimana bisa membuangnya? Anakmu lahir dari kesucian hatimu, mampu membawa, membuang dan sekaligus melenyapkan dosa, tanpa bekas.”
”Manusia, sekali berdosa, maka dosa itu akan dibawa oleh mereka yang mencinta. Sekali berdosa, maka akan disebarkan oleh yang kau cinta. Sekali berdosa akan diturunkan kepada anak-cucumu. Maka dosa pun bertambah panjang. Hanya Hayuningrat yang mampu mengakhiri.”
”Anak kita, bayimu Hanoman. Mampu melenyapkan dosa turunan, dosa yang dibawa oleh yang dicintainya. Pangruwating Diyu, tak mampu mengakhiri dosa. Hanya memperkecil dosa. Demikianlah wahai isteriku”, sabda Batara Guru.
”Hanoman, anak kita itu. Berilah nama sesuatu yang agung, hatinya seagung gunung yang bening. Kesucian hatinya melampaui, keagungan gunung yang agung. Berilah nama Giri Suci. Keikhlasannya sebening air Sumala, air keruh yang menjadi sebening air surgawi.”
”Ia memiliki kewibawaan. Wibawa dalam jiwanya mampu mengalahkan kewibawaan samudera.
Katakanlah namanya, Jaladri Prawat.”
”Budinya lebih terang dari semua mentari, lebih cemerlang dari semua cahaya cakrawala. Tutur katanya, selembut cahaya yang tak terlihat. Berilah sebuah nama, Surya Sasangka.”
”Rasa juangnya sangat tinggi, tak pernah menyerah kalah, tak mau menyerah, tak mau mengakui akan segala penderitaannya. Penderitaan adalah pengakuan. Anak kita tak pernah mengakui akan rasa kekalahan. Sekali menentukan sikap, seperti angin prahara yang tak mampu dibendung oleh apapun juga. Sebutlah Anita Tanu.”
”Dan apabila saatnya tiba, anak kita harus kembali kepada alam, bergaul dengan penghuni hutan ini. Engkau harus kembali kepada kesempurnaan Hayuningrat, yang sudah menunggu di kahyangan.”
Para pembaca yang budiman demikianlah kisah cerita mengenai Realisasi dari Pangruwating Diyu serta Sejarah Cupu Manik ASTAGINA, yang kami sarikan kembali dari beberapa sumber dan kami sajikan menjadi rangkaian ceritera bersambung.
Semoga kita semua mampu menangkap intisari dan hakikat dari Ajaran Adiluhung SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT, serta mampu mengimplementasikannya dalam setiap langkah kehidupan kita. Om Awighnamastu dumogi bermanfaat.
Ksamaswamam,
Astono Chandra Dana
Katagori
Pustaka-Pustaka
Tuesday, July 13, 2010
"Realisasi PANGRUWATING DIYU" dan Sejarah ” CUPU MANIK ASTAGINA ” (Bagian 6)
Disarikan kembali oleh : Pinandita Astono Chandra Dana
Cupu Manik Hayuningrat dilemparkan oleh rasa dikhianati dan rasa kecemburuan pada Batara Surya. Cupu Manik pun melayang di udara dengan derasnya dan jatuh di suatu tempat dalam keadaan terpisah. Tutupnya masuk ke dalam suatu hutan sedangkan badannya jatuh di lain tempat, di negeri Ayodya.
Tutup Cupu manik Hayuningrat menjadi telaga Sumala, sedangkan badan dari Cupu Manik Hayuningrat menjadi telaga Nirmala. Dan cahaya yang ada di dalamnya memancar membias, menghiasi angkasa bumi ini. Menghiasi seluruh cakrawala dan isinya.
Ternyata cahaya ini meradiasi Alam Raya ini dan intinya masuk ke dalam diri isterinya, Dewi Windradi.
Sang Dewi diam, bungkam, dan menjadi batu! Menjadi Arca! Menjadi patung!
Manakala Dewi Windradi menjadi arca. berarti tugas dirinya membawa Hayuningrat untuk meruwat suaminya dan melahirkan anak-anaknya, selesai sudah. Dewi Windradi dengan cintanya pergi ke Nirwana dan meninggalkan syahwatnya di bumi ini. Pernikahan Agung dirayakan kembali dengan para dewa. Dewi Windradi hidup dengan bahagia yang sempurna di Nirwana.
Resi Gotama, walaupun sudah membuang Cupu Manik Hayuningrat beban emosinya masih dirasakan begitu berat. Maka arca dari Dewi Windradi ini dipukulnya, diinjak dengan segala kemarahannya. Tidak hanya sampai di sini, sang resi pun mengerahkan segala ilmunya, segala kesaktiannya. Patung Dewi Windradi dilemparkannya! Patung Dewi Windradi melayang tinggi sekali hingga membelah awan dan akhirnya jatuh, di negeri Alengka.
Cupu Manik Hayuningrat :
Tutupnya jatuh di sebuah hutan, kemudian berubah menjadi telaga Sumala. Yang berisi air kehidupan dunia yang keruh. Keruh oleh berbagai polusi nafsu manusia di dunia.
Cupunya jatuh di negeri Ayodya, berubah menjadi telaga Nirmala. Yang berisi air kesucian. Perpaduan air kehidupan dunia dengan ”sinar permata surgawi.”
Manakala Dewi Windradi menjadi patung, saat itu pula sang Dewi sempurna fisik yang berdarah dan berdaging, dan fisik ”Atma-nya” hadir di Nirwana bertemu dengan suami tercinta Batara Surya. Pernikahan Agung dirayakan kembali, para Dewa sebagai saksi, sampai menikmati kebahagiaan yang paling sempurna.
Dalam waktu yang bersamaan, saat sang Dewi menjadi patung. Tubuh Dewi Windradi yang di penjara di bawah istana ayahnya, hilang! Moksa. Manakala sang ayah datang seperti biasa, menengok anaknya. Sang Dewi lenyap tanpa bekas. Maka menangislah sang ayah dengan penyesalan yang dalam dan jerit permohonan ampun kepada para dewa. ”Betapa mulianya anakku, moksa, tak berbekas.”
Jadi definisi dari ”moksa” adalah, seperti yang terjadi demikian. Moksa adalah kembalinya tubuh, jiwa dan rukh anak manusia ke alam yang lebih suci dari bumi ini. Tanpa mensisakan daging tubuhnya sebagai mayat. Hal ini sering terjadi di kalangan Pendeta, para Resi, di abad-abad yang telah lalu.
Resi Gotama setelah melempar patung isterinya, Dewi Windradi, emosinya yang semula bergemuruh mulai mereda. Sang Resi mencari-cari anak-anaknya, namun ketiganya sudah tidak ada. Ternyata anak-anaknya mengejar-ngejar Cupu Manik Hayuningrat yang dilempar oleh ayahnya sendiri.
Guarsa dan Guarsi mengejar Cupu Manik Hayuningrat, hingga masuk ke dalam sebuah hutan, sampai di sebuah telaga. Telaga Sumala.
Demikian pula dengan Retna Anjani yang mengejar Cupu Manik Hayuningrat, telah sampai di satu telaga. Telaga Nirmala.
Guarsa dan Guarsi melihat ikan-ikan membawa benda yang sedang diburu oleh keduanya. Maka Guarsa dan Guarsi, dari sisi yang berbeda, menceburkan dirinya ke dalam telaga itu.
”Wahai ikan, bukan hakmu, Cupu Manik itu. Itu hakku.”
Ternyata dalam pandangan keduanya, ikan-ikan yang ada di telaga itu, di mulutnya membawa-bawa Cupu Manik Hayuningrat. Padahal ikan itu ada dalam ”energi Cupu Manik Hayuningrat” yang berubah menjadi telaga.
Karena bayang-bayang Cupu Manik Hayuningrat terus menerus menggoda ketiganya maka Guarsa dan Guarsi yang masuk ke telaga Sumala, dari tempat yang berbeda berenang terus mengejar ikan hingga ke dasar telaga. Keduanya tenggelam di telaga Sumala yang keruh.
Pun demikian dengan Retna Anjani, di tempat yang lain, tenggelam berenang di telaga Nirmala, telaga air kesucian.
Maka terdengarlah sabda dari Nirwana, dari Dewa yang tidak memperkenalkan eksis nama dan identitas namanya.
Bersabda kepada Guarsa, Guarsi dan Retna Anjani :
”Wahai anak-anak manusia yang berani! Keberanianmu itulah, ombak yang akan mengubur dirimu sendiri. Dan ingatlah! Ketampananmu, kecantikanmu, akan ditelan oleh kegelapan malam.”
Dan ikan-ikan pun bernyanyi bersama :
”Oh! Dua anak manusia”, ditujukan kepada Guarsa dan Guarsi,”Dunia akan kegirangan menjemput kedatanganmu,sebagai dua ekor kera.”
Ternyata Guarsa dan Guarsi gagal menemukan Cupu Manik Hayuningrat, walau keduanya telah menyelami telaga Sumala hingga ke dasamya. Maka keduanya keluar, naik dari telaga, dari sisi yang berbeda. Masing-masing tidak merasa dan tidak menyadari telah berubah menjadi kera.
Pada saat keduanya bertemu :
”Siapa dirimu wahai Kera?”, kata Guarsa.
”Engkau yang kera!” kata Guarsi.
”Kamu yang kera!”
Air keruh telaga Sumala ternyata memberikan perasaan kepada anak manusia, kepada penduduk bumi. Untuk saling berprasangka buruk diantara sesamanya. Warisan air noda kehidupan dunia yang ada dalam Cupu Manik Hayuningrat. Maka keduanya mewarisi ”saling curiga.”
Terdengarlah suara dari Nirwana :
”Wahai engkau berdua! Berkacalah kepada air yang sedang bercanda dengan cahaya mentari.”
Begitu keduanya mengaca di atas air. Kagetlah, keduanya!
”Mengapa aku menjadi kera? Mengapa engkau adikku, menjadi kera?”
”Mengapa engkau menjadi kera, Kakanda?”
Maka keduanya pun berpelukan, berangkulan sambil menangis. Bagaimana pun cinta sebagai adik dan sebagai kakak tetap utuh dalam diri keduanya.”Mengapa kita menjadi kera?”
Terdengar kembali suara dari Nirwana :
”Wahai Guarsa, Guarsi, Engkau kini memiliki nama.Guarsa sebagai Subali dan Guarsi sebagai Sugriwa.”
”Duhai dewa! Kenapa melaknat kami,yang tidak berdosa menjadi kera?”
Para dewa menjawab dari nirwana :
”Engkau harus bersyukur, wahai Subali dan Sugriwa. Jiwa serakahmu sebagai manusia, akan disucikan kembali oleh Hayuningrat. Ketidak mengertianmu untuk memahami dalam mengejar-ngejar Cupu Manik Hayuningrat. Itu akan disucikan oleh Hayuningat syahwatmu yang menggelegar sebagai lelaki, akan disimpan dulu oleh Hayuningrat. Dan semua batas-batas kamar syahwat, batas-batas keserakahan, batas-batas kamar saling ingin mengalahkan diantara sesamamu sebagai manusia. Batas-batas itu diambil alih oleh kami, para dewa. Karena ada cahaya Hayuningrat di telaga Sumala tersebut. Dan keindahan wajahmu, adalah alat dalam membawa keserakahan, rayuan-rayuan syahwat. Hanya ingin nikmat saja, menolak duka. Menggapai harap akan lebih jelas oleh keindahan wajahmu. Karena itu engkau menjadi kera. Supaya habis semua ambisi sebagai manusia di bumi.”
Dalam pada itu, di tempat yang lain. Retna Anjani sedang menangis, menangisi dirinya sendiri. Karena dirinya pun ternyata menjadi kera juga, walaupun tidak seluruh tubuhnya sebagaimana Subali dan Sugriwa, kakaknya. Retna Anjani wajahnya tetap utuh, tapi badannya adalah badan kera. Karena Retna Anjani berenang di telaga Nirmala, di mana air dunia yang suci bercampur dengan Hayuningrat. Retna Anjani menjadi wanita yang tabah dan mempesona.
Sementara itu Resi Gotama, lari-lari mencari anak-anaknya. Dan dalam pencarian itu, sang dewa bersabda kepada resi Gotama :
”Anakku resi Gotama, engkau telah membuang patung isterimu. Batu yang keras, arca yang diam. Jelmaan dari isterimu. Jelmaan dari yang kau cintai. Tahukah engkau, wahai anakku? arca itu adalah egomu. Isterimu engkau perkosa dengan kelamin syahwatmu, menjadi batu! Kesucian dan kelembutan daging dari isterimu, terampas energinya, karena keserakahan seksmu, hingga ampasnya menjadi batu. Dan engkaupun tidak menerima isterimu yang cantik menjadi batu. Bukan persoalan menerima atau tidak, tetapi engkau menangisi syahwatmu, mengapa isterimu menjadi batu, karena engkau tidak mampu lagi melampiaskan cinta dan syahwatmu.
Ketahuilah, wahai resi Gotama. Dan engkaupun membuang korbanmu sendiri. Namun demikian, wahai resi, syahwatmu telah di bawa oleh batu arca ke Alengka. Dan engkau wariskan syahwatmu ini kepada anak-anak Wisrawa. Terutama kepada yang berwajah sepuluh, Dasamuka, Rahwana. Batu dari isterimu yang jatuh di Alengka, menyebarkan energi syahwat yang sempurna. Berarti engkau terbebas dari syahwat yang sempurna. Berarti engkau terbebas dari syahwat kelaki-lakianmu, yang dipuja, dipuji dalam seratus tahun dalam tapamu. Mengapa demikian? Karena engkau telah di ruwat oleh isterimu sendiri, Dewi Windradi. Dengan Hayuningrat”, demikian kata dewa dari Nirwana.
Maka berkata-katalah, dalam sabda para dewa, ilmunya mengalir. Wejangan-wejangan para dewa, yang ilmunya tak mampu di tulis. Berkumpul dalam nurani sang resi. Akhirnya tahulah, mengertilah sang resi. Mengapa dan apa, anak-anaknya sampai demikian.
Resi Gotama pun akan mencari anak-anaknya, yang sudah diketahuinya telah berubah jadi kera. Akhirnya, bertemulah ayah dan anak dalam satu tangis yang indah dan haru.
Kesempurnaan kasih sayang bapak, menyempurnakan Hayuningrat putera puterinya.
”Ayah, mengapa aku menjadi kera?”, bertanya Retna Anjani.
”Anak-anakku”, kata resi Gotama, ”Zaman telah menjadi tua dan waktu telah lelah. Tapi manusia dan turunannya selalu bisa dilahirkan dengan cepat. Semakin lelah waktu, semakin cepat turunan manusia dilahirkan. Dan waktu pun akan membawa anak manusia kembali melalui gerbang kematiannya. Dalam membawa bekunya sebuah hati dari syahwat yang tak terjaga. Dalam membawa bekunya sebuah jiwa dari ambisi yang belum selesai. Engkau anak-anakku, terbebas dari semua itu. Karena engkau merasa malu dengan wajah dan badan kera-mu.”
”Oh dunia! Bersinarlah karena penderitaan anak-anakku. Wahai dunia! Teguklah airmata mereka, anak-anakku. Supaya kamu semua dapat keberkahan dari Hayuningrat, yang ada dalam diri kami dan anak-anakku.” Wahai dunia! jemputlah airmata-airmata kami, sisa dari kebenaran yang nyata, yang sukar ada dan jelas di muka bumi.Dunia akan semakin kokoh dengan sedu-sedan anak-anak manusia. Penderitaan umat manusia mengokohkan zaman dan mengangkuhkan, ’harga diri’. Namun api-api itu! semoga air mata kami bisa, menghabiskan panasnya jiwa-jiwa yang serakah. Kau akan melihat dunia dengan isinya melalui Cupu Manik Hayuningrat, tapi ingatlah! Kesaktian tak dapat di rebut dengan begitu saja.”
”Wahai anak-anakku, Cupu Manik Hayuningrat, yang kalian perebutkan adalah sebuah pergulatan yang panjang dalam mencapai buah yang nikmat. Mana mungkin engkau dengan mudah meraihnya, anak-anakku. Namun atas kemurahan sang dewa, engkau menjadi kera, karena jagad ambisi yang ada dalam dirimu itu adalah warisan dariku selama bertapa seratus tahun. Maafkanlah ayahmu ini, wahai anak-anakku.”
”Wahai anak-anakku, kesaktian bukan dari usaha manusia. Kesaktian bukan dari usaha pengorbanan apapun. Kesaktian adalah datang tanpa di sadari, dari sebuah hati yang tak mampu lagi merasa berkorban. Kesaktian akan datang manakala manusia sudah tidak rindu lagi untuk dipuja dan dipuji. Karena kesaktian datang tanpa melalui ucapan salam, tapi hadir dalam jiwa manusia. Kesaktian tidak ada dalam dunia ramai, karena kesaktian, wahai anak-anakku, hanya datang kepada mereka yang teraniaya. Maka engkau mendapat kesaktian, wahai anak-anakku, dari rasa rendah diri sebagai kera. Terimalah itu semua. Anak-anakku jangan duka dan sedih, sebab penderitaan sangat di inginkan oleh dunia. Supaya dunia terbebas dari penderitaan yang sia-sia dari umat manusia, supaya Sang Dewata Hing Murbeng Agung menerima. Dan engkau secara tidak langsung mendapat ’titah’ dari Sang Dewata Hing Murbeng Agung, Tuhan Yang Maha Esa. Dan engkau sebenarnya diangkat harkatnya, oleh rasa rendah diri sebagai kera.”
”Tengoklah wahai anak-anakku. Di seberang sana anak manusia berpesta pora dalam kesombongan, berpesta pora dalam syahwat. Siapa yang kuat itu yang menang! Seolah-olah kekuatan adalah miliknya. Seolah mereka mendapat ’titah’, padahal bukan. Tetapi hawa nafsunya sendiri yang mengatas namakan dewa. Dan engkau menjadi kera anakku, kesombongan akan punah. Kesombongan akan sirna. Akan hilang dan musnah. Karena di jiwamu hadir rasa bersalah dan rasa rendah diri sebagai kera. Kerendah-dirian takkan mungkin hadir dalam diri manusia, manakala manusia masih merasa memiliki sesuatu kelebihan, dalam wajahnya, dalam perasaannya juga dalam ilmunya. Demikianlah wahai anak-anakku”, demikian resi Gotama.
”Wahai ayahku”, berkata Subali, ”Kenapa kami ditakdirkan jadi kera? Dimanakah keadilan? Di manakah keadilan jagad raya ini?”
”Anak-anakku, kera adalah ’titah’ yang merindukan kesempurnaan menjadi manusia. Berjuta kera bergelayut di hutan-hutan, beribu kera menangis pilu, karena merindukan jadi manusia. Dan kera-kera itu di ciptakan oleh Hyang Widhi untuk menghantar lahirnya manusia. Dan engkau akan menunggu. Menanti kelahiran manusia suci, yang berangkat dari kera.”
”Engkau menjadi kera karena menunggu kelahiran kesucian manusia yang akan sempurna. Yang harkatnya melebihi harkat para dewa. Para kera selalu prihatin, dengan keprihatinan supaya di angkat kesempurnaan, sebagai kerinduan akan kesempurnaan. Kera merindukan ’limitnya pipi yang berbulu’. Dalam pikirannya itu adalah kesucian manusia yang harkatnya tinggi. Wahai anakku, para kera tidak tahu, bahwa limitnya pipi dan indahnva wajah manusia itu adalah topeng-topeng keangkuhan, yang di pinjam dari api-api neraka. Bahagialah anak-anakku, karena kerinduan itu hadir dalam hatimu dan jiwamu.”
”Dan engkau telah mengambil alih kerinduan para kera dan kerinduan para kera yang sia-sia, yang tak mungkin menjadi manusia. Tetapi dalam dirimu, menjadi keagungan yang akan mengangkat harkat umat manusia, dan menjadikan dirimu sebagai bunga di surgawi kelak.”
”Anak-anakku, namamu terukir sebagai bunga di surga yang paling indah. Pergilah engkau bertapa, wahai anak-anakku. Bermati-ragalah kamu. Tinggalkanlah perasaan dirimu sebagai kera yang buruk rupa. Bawalah kepasrahan pada Hyang Widhi, cinta dari ayah ibumu, simpanlah sebagai kekuatan dalam jiwamu, wahai anakku.”
”Dan ingatlah, ibumu kini kembali ke surga. Dan suatu saat kelak kau menziarahi makamnya, aku menyimpan arca ibumu di Alengka, dalam menjunjung harkat. Peperangan mempertahankan keadilan, menumpas keangkara-murkaan, yang nanti akan dibangun oleh Rahwana. Engkau akan menemukan panutan yang datang dari surgawi, sujud patuhlah pada panutan itu. Karena panutan itu Batara Guru, yang sementara waktu membawa Cupu Manik Astagina. Dia lahir sebagai Rama.”
”Anak-anakku, berbahagialah engkau menjadi kera yang berhati manusia, daripada manusia yang berhati kera.”
Setelah berpamitan pada ayahandanya, maka berangkatlah Subali, Sugriwa dan Retna Anjani bertapa, hidup dalam keheningan mati raga.
Subali pergi ke puncak gunung Sunyapringga, melaksanakan ”tapa ngalong.” Kaki di atas berpegangan pada kayu jati dan kepala menghadap ke bumi. Manakala Subali tapa ngalong, maka terlihatlah kesedihan para kera yang merindukan ingin menjadi manusia.
Sugriwa tapa seperti laku kijang (kidang/menjangan/rusa), disebut ”tapa ngidang.” Berakrab-akrab dengan bumi yang diam. Maka Sugriwa merasakan bagaimana bumi yang selalu memberi makan tanpa beban, kepada manusia. Bagaimana bumi selalu melahirkan buah-buahan dan bunga-bunga untuk kenikmatan manusia dan selalu melindungi manusia dari ”angkara murka.”
Retna Anjani bertapa seperti katak (kodok). Sang Dewi masuk ke dalam Cupu Manik Hayuningrat, jiwanya dalam angkasa keindahan cakrawala, dan tubuhnya, berendam, seperti katak, di telaga Sumala ”tapa nyantuka.”
Bersambung..........
Cupu Manik Hayuningrat dilemparkan oleh rasa dikhianati dan rasa kecemburuan pada Batara Surya. Cupu Manik pun melayang di udara dengan derasnya dan jatuh di suatu tempat dalam keadaan terpisah. Tutupnya masuk ke dalam suatu hutan sedangkan badannya jatuh di lain tempat, di negeri Ayodya.
Tutup Cupu manik Hayuningrat menjadi telaga Sumala, sedangkan badan dari Cupu Manik Hayuningrat menjadi telaga Nirmala. Dan cahaya yang ada di dalamnya memancar membias, menghiasi angkasa bumi ini. Menghiasi seluruh cakrawala dan isinya.
Ternyata cahaya ini meradiasi Alam Raya ini dan intinya masuk ke dalam diri isterinya, Dewi Windradi.
Sang Dewi diam, bungkam, dan menjadi batu! Menjadi Arca! Menjadi patung!
Manakala Dewi Windradi menjadi arca. berarti tugas dirinya membawa Hayuningrat untuk meruwat suaminya dan melahirkan anak-anaknya, selesai sudah. Dewi Windradi dengan cintanya pergi ke Nirwana dan meninggalkan syahwatnya di bumi ini. Pernikahan Agung dirayakan kembali dengan para dewa. Dewi Windradi hidup dengan bahagia yang sempurna di Nirwana.
Resi Gotama, walaupun sudah membuang Cupu Manik Hayuningrat beban emosinya masih dirasakan begitu berat. Maka arca dari Dewi Windradi ini dipukulnya, diinjak dengan segala kemarahannya. Tidak hanya sampai di sini, sang resi pun mengerahkan segala ilmunya, segala kesaktiannya. Patung Dewi Windradi dilemparkannya! Patung Dewi Windradi melayang tinggi sekali hingga membelah awan dan akhirnya jatuh, di negeri Alengka.
Cupu Manik Hayuningrat :
Tutupnya jatuh di sebuah hutan, kemudian berubah menjadi telaga Sumala. Yang berisi air kehidupan dunia yang keruh. Keruh oleh berbagai polusi nafsu manusia di dunia.
Cupunya jatuh di negeri Ayodya, berubah menjadi telaga Nirmala. Yang berisi air kesucian. Perpaduan air kehidupan dunia dengan ”sinar permata surgawi.”
Manakala Dewi Windradi menjadi patung, saat itu pula sang Dewi sempurna fisik yang berdarah dan berdaging, dan fisik ”Atma-nya” hadir di Nirwana bertemu dengan suami tercinta Batara Surya. Pernikahan Agung dirayakan kembali, para Dewa sebagai saksi, sampai menikmati kebahagiaan yang paling sempurna.
Dalam waktu yang bersamaan, saat sang Dewi menjadi patung. Tubuh Dewi Windradi yang di penjara di bawah istana ayahnya, hilang! Moksa. Manakala sang ayah datang seperti biasa, menengok anaknya. Sang Dewi lenyap tanpa bekas. Maka menangislah sang ayah dengan penyesalan yang dalam dan jerit permohonan ampun kepada para dewa. ”Betapa mulianya anakku, moksa, tak berbekas.”
Jadi definisi dari ”moksa” adalah, seperti yang terjadi demikian. Moksa adalah kembalinya tubuh, jiwa dan rukh anak manusia ke alam yang lebih suci dari bumi ini. Tanpa mensisakan daging tubuhnya sebagai mayat. Hal ini sering terjadi di kalangan Pendeta, para Resi, di abad-abad yang telah lalu.
Resi Gotama setelah melempar patung isterinya, Dewi Windradi, emosinya yang semula bergemuruh mulai mereda. Sang Resi mencari-cari anak-anaknya, namun ketiganya sudah tidak ada. Ternyata anak-anaknya mengejar-ngejar Cupu Manik Hayuningrat yang dilempar oleh ayahnya sendiri.
Guarsa dan Guarsi mengejar Cupu Manik Hayuningrat, hingga masuk ke dalam sebuah hutan, sampai di sebuah telaga. Telaga Sumala.
Demikian pula dengan Retna Anjani yang mengejar Cupu Manik Hayuningrat, telah sampai di satu telaga. Telaga Nirmala.
Guarsa dan Guarsi melihat ikan-ikan membawa benda yang sedang diburu oleh keduanya. Maka Guarsa dan Guarsi, dari sisi yang berbeda, menceburkan dirinya ke dalam telaga itu.
”Wahai ikan, bukan hakmu, Cupu Manik itu. Itu hakku.”
Ternyata dalam pandangan keduanya, ikan-ikan yang ada di telaga itu, di mulutnya membawa-bawa Cupu Manik Hayuningrat. Padahal ikan itu ada dalam ”energi Cupu Manik Hayuningrat” yang berubah menjadi telaga.
Karena bayang-bayang Cupu Manik Hayuningrat terus menerus menggoda ketiganya maka Guarsa dan Guarsi yang masuk ke telaga Sumala, dari tempat yang berbeda berenang terus mengejar ikan hingga ke dasar telaga. Keduanya tenggelam di telaga Sumala yang keruh.
Pun demikian dengan Retna Anjani, di tempat yang lain, tenggelam berenang di telaga Nirmala, telaga air kesucian.
Maka terdengarlah sabda dari Nirwana, dari Dewa yang tidak memperkenalkan eksis nama dan identitas namanya.
Bersabda kepada Guarsa, Guarsi dan Retna Anjani :
”Wahai anak-anak manusia yang berani! Keberanianmu itulah, ombak yang akan mengubur dirimu sendiri. Dan ingatlah! Ketampananmu, kecantikanmu, akan ditelan oleh kegelapan malam.”
Dan ikan-ikan pun bernyanyi bersama :
”Oh! Dua anak manusia”, ditujukan kepada Guarsa dan Guarsi,”Dunia akan kegirangan menjemput kedatanganmu,sebagai dua ekor kera.”
Ternyata Guarsa dan Guarsi gagal menemukan Cupu Manik Hayuningrat, walau keduanya telah menyelami telaga Sumala hingga ke dasamya. Maka keduanya keluar, naik dari telaga, dari sisi yang berbeda. Masing-masing tidak merasa dan tidak menyadari telah berubah menjadi kera.
Pada saat keduanya bertemu :
”Siapa dirimu wahai Kera?”, kata Guarsa.
”Engkau yang kera!” kata Guarsi.
”Kamu yang kera!”
Air keruh telaga Sumala ternyata memberikan perasaan kepada anak manusia, kepada penduduk bumi. Untuk saling berprasangka buruk diantara sesamanya. Warisan air noda kehidupan dunia yang ada dalam Cupu Manik Hayuningrat. Maka keduanya mewarisi ”saling curiga.”
Terdengarlah suara dari Nirwana :
”Wahai engkau berdua! Berkacalah kepada air yang sedang bercanda dengan cahaya mentari.”
Begitu keduanya mengaca di atas air. Kagetlah, keduanya!
”Mengapa aku menjadi kera? Mengapa engkau adikku, menjadi kera?”
”Mengapa engkau menjadi kera, Kakanda?”
Maka keduanya pun berpelukan, berangkulan sambil menangis. Bagaimana pun cinta sebagai adik dan sebagai kakak tetap utuh dalam diri keduanya.”Mengapa kita menjadi kera?”
Terdengar kembali suara dari Nirwana :
”Wahai Guarsa, Guarsi, Engkau kini memiliki nama.Guarsa sebagai Subali dan Guarsi sebagai Sugriwa.”
”Duhai dewa! Kenapa melaknat kami,yang tidak berdosa menjadi kera?”
Para dewa menjawab dari nirwana :
”Engkau harus bersyukur, wahai Subali dan Sugriwa. Jiwa serakahmu sebagai manusia, akan disucikan kembali oleh Hayuningrat. Ketidak mengertianmu untuk memahami dalam mengejar-ngejar Cupu Manik Hayuningrat. Itu akan disucikan oleh Hayuningat syahwatmu yang menggelegar sebagai lelaki, akan disimpan dulu oleh Hayuningrat. Dan semua batas-batas kamar syahwat, batas-batas keserakahan, batas-batas kamar saling ingin mengalahkan diantara sesamamu sebagai manusia. Batas-batas itu diambil alih oleh kami, para dewa. Karena ada cahaya Hayuningrat di telaga Sumala tersebut. Dan keindahan wajahmu, adalah alat dalam membawa keserakahan, rayuan-rayuan syahwat. Hanya ingin nikmat saja, menolak duka. Menggapai harap akan lebih jelas oleh keindahan wajahmu. Karena itu engkau menjadi kera. Supaya habis semua ambisi sebagai manusia di bumi.”
Dalam pada itu, di tempat yang lain. Retna Anjani sedang menangis, menangisi dirinya sendiri. Karena dirinya pun ternyata menjadi kera juga, walaupun tidak seluruh tubuhnya sebagaimana Subali dan Sugriwa, kakaknya. Retna Anjani wajahnya tetap utuh, tapi badannya adalah badan kera. Karena Retna Anjani berenang di telaga Nirmala, di mana air dunia yang suci bercampur dengan Hayuningrat. Retna Anjani menjadi wanita yang tabah dan mempesona.
Sementara itu Resi Gotama, lari-lari mencari anak-anaknya. Dan dalam pencarian itu, sang dewa bersabda kepada resi Gotama :
”Anakku resi Gotama, engkau telah membuang patung isterimu. Batu yang keras, arca yang diam. Jelmaan dari isterimu. Jelmaan dari yang kau cintai. Tahukah engkau, wahai anakku? arca itu adalah egomu. Isterimu engkau perkosa dengan kelamin syahwatmu, menjadi batu! Kesucian dan kelembutan daging dari isterimu, terampas energinya, karena keserakahan seksmu, hingga ampasnya menjadi batu. Dan engkaupun tidak menerima isterimu yang cantik menjadi batu. Bukan persoalan menerima atau tidak, tetapi engkau menangisi syahwatmu, mengapa isterimu menjadi batu, karena engkau tidak mampu lagi melampiaskan cinta dan syahwatmu.
Ketahuilah, wahai resi Gotama. Dan engkaupun membuang korbanmu sendiri. Namun demikian, wahai resi, syahwatmu telah di bawa oleh batu arca ke Alengka. Dan engkau wariskan syahwatmu ini kepada anak-anak Wisrawa. Terutama kepada yang berwajah sepuluh, Dasamuka, Rahwana. Batu dari isterimu yang jatuh di Alengka, menyebarkan energi syahwat yang sempurna. Berarti engkau terbebas dari syahwat yang sempurna. Berarti engkau terbebas dari syahwat kelaki-lakianmu, yang dipuja, dipuji dalam seratus tahun dalam tapamu. Mengapa demikian? Karena engkau telah di ruwat oleh isterimu sendiri, Dewi Windradi. Dengan Hayuningrat”, demikian kata dewa dari Nirwana.
Maka berkata-katalah, dalam sabda para dewa, ilmunya mengalir. Wejangan-wejangan para dewa, yang ilmunya tak mampu di tulis. Berkumpul dalam nurani sang resi. Akhirnya tahulah, mengertilah sang resi. Mengapa dan apa, anak-anaknya sampai demikian.
Resi Gotama pun akan mencari anak-anaknya, yang sudah diketahuinya telah berubah jadi kera. Akhirnya, bertemulah ayah dan anak dalam satu tangis yang indah dan haru.
Kesempurnaan kasih sayang bapak, menyempurnakan Hayuningrat putera puterinya.
”Ayah, mengapa aku menjadi kera?”, bertanya Retna Anjani.
”Anak-anakku”, kata resi Gotama, ”Zaman telah menjadi tua dan waktu telah lelah. Tapi manusia dan turunannya selalu bisa dilahirkan dengan cepat. Semakin lelah waktu, semakin cepat turunan manusia dilahirkan. Dan waktu pun akan membawa anak manusia kembali melalui gerbang kematiannya. Dalam membawa bekunya sebuah hati dari syahwat yang tak terjaga. Dalam membawa bekunya sebuah jiwa dari ambisi yang belum selesai. Engkau anak-anakku, terbebas dari semua itu. Karena engkau merasa malu dengan wajah dan badan kera-mu.”
”Oh dunia! Bersinarlah karena penderitaan anak-anakku. Wahai dunia! Teguklah airmata mereka, anak-anakku. Supaya kamu semua dapat keberkahan dari Hayuningrat, yang ada dalam diri kami dan anak-anakku.” Wahai dunia! jemputlah airmata-airmata kami, sisa dari kebenaran yang nyata, yang sukar ada dan jelas di muka bumi.Dunia akan semakin kokoh dengan sedu-sedan anak-anak manusia. Penderitaan umat manusia mengokohkan zaman dan mengangkuhkan, ’harga diri’. Namun api-api itu! semoga air mata kami bisa, menghabiskan panasnya jiwa-jiwa yang serakah. Kau akan melihat dunia dengan isinya melalui Cupu Manik Hayuningrat, tapi ingatlah! Kesaktian tak dapat di rebut dengan begitu saja.”
”Wahai anak-anakku, Cupu Manik Hayuningrat, yang kalian perebutkan adalah sebuah pergulatan yang panjang dalam mencapai buah yang nikmat. Mana mungkin engkau dengan mudah meraihnya, anak-anakku. Namun atas kemurahan sang dewa, engkau menjadi kera, karena jagad ambisi yang ada dalam dirimu itu adalah warisan dariku selama bertapa seratus tahun. Maafkanlah ayahmu ini, wahai anak-anakku.”
”Wahai anak-anakku, kesaktian bukan dari usaha manusia. Kesaktian bukan dari usaha pengorbanan apapun. Kesaktian adalah datang tanpa di sadari, dari sebuah hati yang tak mampu lagi merasa berkorban. Kesaktian akan datang manakala manusia sudah tidak rindu lagi untuk dipuja dan dipuji. Karena kesaktian datang tanpa melalui ucapan salam, tapi hadir dalam jiwa manusia. Kesaktian tidak ada dalam dunia ramai, karena kesaktian, wahai anak-anakku, hanya datang kepada mereka yang teraniaya. Maka engkau mendapat kesaktian, wahai anak-anakku, dari rasa rendah diri sebagai kera. Terimalah itu semua. Anak-anakku jangan duka dan sedih, sebab penderitaan sangat di inginkan oleh dunia. Supaya dunia terbebas dari penderitaan yang sia-sia dari umat manusia, supaya Sang Dewata Hing Murbeng Agung menerima. Dan engkau secara tidak langsung mendapat ’titah’ dari Sang Dewata Hing Murbeng Agung, Tuhan Yang Maha Esa. Dan engkau sebenarnya diangkat harkatnya, oleh rasa rendah diri sebagai kera.”
”Tengoklah wahai anak-anakku. Di seberang sana anak manusia berpesta pora dalam kesombongan, berpesta pora dalam syahwat. Siapa yang kuat itu yang menang! Seolah-olah kekuatan adalah miliknya. Seolah mereka mendapat ’titah’, padahal bukan. Tetapi hawa nafsunya sendiri yang mengatas namakan dewa. Dan engkau menjadi kera anakku, kesombongan akan punah. Kesombongan akan sirna. Akan hilang dan musnah. Karena di jiwamu hadir rasa bersalah dan rasa rendah diri sebagai kera. Kerendah-dirian takkan mungkin hadir dalam diri manusia, manakala manusia masih merasa memiliki sesuatu kelebihan, dalam wajahnya, dalam perasaannya juga dalam ilmunya. Demikianlah wahai anak-anakku”, demikian resi Gotama.
”Wahai ayahku”, berkata Subali, ”Kenapa kami ditakdirkan jadi kera? Dimanakah keadilan? Di manakah keadilan jagad raya ini?”
”Anak-anakku, kera adalah ’titah’ yang merindukan kesempurnaan menjadi manusia. Berjuta kera bergelayut di hutan-hutan, beribu kera menangis pilu, karena merindukan jadi manusia. Dan kera-kera itu di ciptakan oleh Hyang Widhi untuk menghantar lahirnya manusia. Dan engkau akan menunggu. Menanti kelahiran manusia suci, yang berangkat dari kera.”
”Engkau menjadi kera karena menunggu kelahiran kesucian manusia yang akan sempurna. Yang harkatnya melebihi harkat para dewa. Para kera selalu prihatin, dengan keprihatinan supaya di angkat kesempurnaan, sebagai kerinduan akan kesempurnaan. Kera merindukan ’limitnya pipi yang berbulu’. Dalam pikirannya itu adalah kesucian manusia yang harkatnya tinggi. Wahai anakku, para kera tidak tahu, bahwa limitnya pipi dan indahnva wajah manusia itu adalah topeng-topeng keangkuhan, yang di pinjam dari api-api neraka. Bahagialah anak-anakku, karena kerinduan itu hadir dalam hatimu dan jiwamu.”
”Dan engkau telah mengambil alih kerinduan para kera dan kerinduan para kera yang sia-sia, yang tak mungkin menjadi manusia. Tetapi dalam dirimu, menjadi keagungan yang akan mengangkat harkat umat manusia, dan menjadikan dirimu sebagai bunga di surgawi kelak.”
”Anak-anakku, namamu terukir sebagai bunga di surga yang paling indah. Pergilah engkau bertapa, wahai anak-anakku. Bermati-ragalah kamu. Tinggalkanlah perasaan dirimu sebagai kera yang buruk rupa. Bawalah kepasrahan pada Hyang Widhi, cinta dari ayah ibumu, simpanlah sebagai kekuatan dalam jiwamu, wahai anakku.”
”Dan ingatlah, ibumu kini kembali ke surga. Dan suatu saat kelak kau menziarahi makamnya, aku menyimpan arca ibumu di Alengka, dalam menjunjung harkat. Peperangan mempertahankan keadilan, menumpas keangkara-murkaan, yang nanti akan dibangun oleh Rahwana. Engkau akan menemukan panutan yang datang dari surgawi, sujud patuhlah pada panutan itu. Karena panutan itu Batara Guru, yang sementara waktu membawa Cupu Manik Astagina. Dia lahir sebagai Rama.”
”Anak-anakku, berbahagialah engkau menjadi kera yang berhati manusia, daripada manusia yang berhati kera.”
Setelah berpamitan pada ayahandanya, maka berangkatlah Subali, Sugriwa dan Retna Anjani bertapa, hidup dalam keheningan mati raga.
Subali pergi ke puncak gunung Sunyapringga, melaksanakan ”tapa ngalong.” Kaki di atas berpegangan pada kayu jati dan kepala menghadap ke bumi. Manakala Subali tapa ngalong, maka terlihatlah kesedihan para kera yang merindukan ingin menjadi manusia.
Sugriwa tapa seperti laku kijang (kidang/menjangan/rusa), disebut ”tapa ngidang.” Berakrab-akrab dengan bumi yang diam. Maka Sugriwa merasakan bagaimana bumi yang selalu memberi makan tanpa beban, kepada manusia. Bagaimana bumi selalu melahirkan buah-buahan dan bunga-bunga untuk kenikmatan manusia dan selalu melindungi manusia dari ”angkara murka.”
Retna Anjani bertapa seperti katak (kodok). Sang Dewi masuk ke dalam Cupu Manik Hayuningrat, jiwanya dalam angkasa keindahan cakrawala, dan tubuhnya, berendam, seperti katak, di telaga Sumala ”tapa nyantuka.”
Bersambung..........
Katagori
Pustaka-Pustaka
Subscribe to:
Posts (Atom)
Katagori
- Article (79)
- Asuransi PSN (2)
- Events (4)
- Pengumuman (17)
- Profile (10)
- Program (2)
- Pustaka-Pustaka (23)
- Religion (11)
- Sarati Banten (1)
- Tirtha Yatra (2)
- Umum (7)