Tuesday, July 13, 2010

"Realisasi PANGRUWATING DIYU" dan Sejarah ” CUPU MANIK ASTAGINA ” (Bagian 6)

Disarikan kembali oleh : Pinandita Astono Chandra Dana

Cupu Manik Hayuningrat dilemparkan oleh rasa dikhianati dan rasa kecemburuan pada Batara Surya. Cupu Manik pun melayang di udara dengan derasnya dan jatuh di suatu tempat dalam keadaan terpisah. Tutupnya masuk ke dalam suatu hutan sedangkan badannya jatuh di lain tempat, di negeri Ayodya.

Tutup Cupu manik Hayuningrat menjadi telaga Sumala, sedangkan badan dari Cupu Manik Hayuningrat menjadi telaga Nirmala. Dan cahaya yang ada di dalamnya memancar membias, menghiasi angkasa bumi ini. Menghiasi seluruh cakrawala dan isinya.

Ternyata cahaya ini meradiasi Alam Raya ini dan intinya masuk ke dalam diri isterinya, Dewi Windradi.

Sang Dewi diam, bungkam, dan menjadi batu! Menjadi Arca! Menjadi patung!
Manakala Dewi Windradi menjadi arca. berarti tugas dirinya membawa Hayuningrat untuk meruwat suaminya dan melahirkan anak-anaknya, selesai sudah. Dewi Windradi dengan cintanya pergi ke Nirwana dan meninggalkan syahwatnya di bumi ini. Pernikahan Agung dirayakan kembali dengan para dewa. Dewi Windradi hidup dengan bahagia yang sempurna di Nirwana.

Resi Gotama, walaupun sudah membuang Cupu Manik Hayuningrat beban emosinya masih dirasakan begitu berat. Maka arca dari Dewi Windradi ini dipukulnya, diinjak dengan segala kemarahannya. Tidak hanya sampai di sini, sang resi pun mengerahkan segala ilmunya, segala kesaktiannya. Patung Dewi Windradi dilemparkannya! Patung Dewi Windradi melayang tinggi sekali hingga membelah awan dan akhirnya jatuh, di negeri Alengka.

Cupu Manik Hayuningrat :

Tutupnya jatuh di sebuah hutan, kemudian berubah menjadi telaga Sumala. Yang berisi air kehidupan dunia yang keruh. Keruh oleh berbagai polusi nafsu manusia di dunia.

Cupunya jatuh di negeri Ayodya, berubah menjadi telaga Nirmala. Yang berisi air kesucian. Perpaduan air kehidupan dunia dengan ”sinar permata surgawi.”

Manakala Dewi Windradi menjadi patung, saat itu pula sang Dewi sempurna fisik yang berdarah dan berdaging, dan fisik ”Atma-nya” hadir di Nirwana bertemu dengan suami tercinta Batara Surya. Pernikahan Agung dirayakan kembali, para Dewa sebagai saksi, sampai menikmati kebahagiaan yang paling sempurna.

Dalam waktu yang bersamaan, saat sang Dewi menjadi patung. Tubuh Dewi Windradi yang di penjara di bawah istana ayahnya, hilang! Moksa. Manakala sang ayah datang seperti biasa, menengok anaknya. Sang Dewi lenyap tanpa bekas. Maka menangislah sang ayah dengan penyesalan yang dalam dan jerit permohonan ampun kepada para dewa. ”Betapa mulianya anakku, moksa, tak berbekas.”

Jadi definisi dari ”moksa” adalah, seperti yang terjadi demikian. Moksa adalah kembalinya tubuh, jiwa dan rukh anak manusia ke alam yang lebih suci dari bumi ini. Tanpa mensisakan daging tubuhnya sebagai mayat. Hal ini sering terjadi di kalangan Pendeta, para Resi, di abad-abad yang telah lalu.

Resi Gotama setelah melempar patung isterinya, Dewi Windradi, emosinya yang semula bergemuruh mulai mereda. Sang Resi mencari-cari anak-anaknya, namun ketiganya sudah tidak ada. Ternyata anak-anaknya mengejar-ngejar Cupu Manik Hayuningrat yang dilempar oleh ayahnya sendiri.

Guarsa dan Guarsi mengejar Cupu Manik Hayuningrat, hingga masuk ke dalam sebuah hutan, sampai di sebuah telaga. Telaga Sumala.

Demikian pula dengan Retna Anjani yang mengejar Cupu Manik Hayuningrat, telah sampai di satu telaga. Telaga Nirmala.

Guarsa dan Guarsi melihat ikan-ikan membawa benda yang sedang diburu oleh keduanya. Maka Guarsa dan Guarsi, dari sisi yang berbeda, menceburkan dirinya ke dalam telaga itu.

”Wahai ikan, bukan hakmu, Cupu Manik itu. Itu hakku.”

Ternyata dalam pandangan keduanya, ikan-ikan yang ada di telaga itu, di mulutnya membawa-bawa Cupu Manik Hayuningrat. Padahal ikan itu ada dalam ”energi Cupu Manik Hayuningrat” yang berubah menjadi telaga.

Karena bayang-bayang Cupu Manik Hayuningrat terus menerus menggoda ketiganya maka Guarsa dan Guarsi yang masuk ke telaga Sumala, dari tempat yang berbeda berenang terus mengejar ikan hingga ke dasar telaga. Keduanya tenggelam di telaga Sumala yang keruh.

Pun demikian dengan Retna Anjani, di tempat yang lain, tenggelam berenang di telaga Nirmala, telaga air kesucian.

Maka terdengarlah sabda dari Nirwana, dari Dewa yang tidak memperkenalkan eksis nama dan identitas namanya.

Bersabda kepada Guarsa, Guarsi dan Retna Anjani :

”Wahai anak-anak manusia yang berani! Keberanianmu itulah, ombak yang akan mengubur dirimu sendiri. Dan ingatlah! Ketampananmu, kecantikanmu, akan ditelan oleh kegelapan malam.”

Dan ikan-ikan pun bernyanyi bersama :
”Oh! Dua anak manusia”, ditujukan kepada Guarsa dan Guarsi,”Dunia akan kegirangan menjemput kedatanganmu,sebagai dua ekor kera.”

Ternyata Guarsa dan Guarsi gagal menemukan Cupu Manik Hayuningrat, walau keduanya telah menyelami telaga Sumala hingga ke dasamya. Maka keduanya keluar, naik dari telaga, dari sisi yang berbeda. Masing-masing tidak merasa dan tidak menyadari telah berubah menjadi kera.

Pada saat keduanya bertemu :

”Siapa dirimu wahai Kera?”, kata Guarsa.

”Engkau yang kera!” kata Guarsi.

”Kamu yang kera!”

Air keruh telaga Sumala ternyata memberikan perasaan kepada anak manusia, kepada penduduk bumi. Untuk saling berprasangka buruk diantara sesamanya. Warisan air noda kehidupan dunia yang ada dalam Cupu Manik Hayuningrat. Maka keduanya mewarisi ”saling curiga.”

Terdengarlah suara dari Nirwana :
”Wahai engkau berdua! Berkacalah kepada air yang sedang bercanda dengan cahaya mentari.”

Begitu keduanya mengaca di atas air. Kagetlah, keduanya!

”Mengapa aku menjadi kera? Mengapa engkau adikku, menjadi kera?”

”Mengapa engkau menjadi kera, Kakanda?”

Maka keduanya pun berpelukan, berangkulan sambil menangis. Bagaimana pun cinta sebagai adik dan sebagai kakak tetap utuh dalam diri keduanya.”Mengapa kita menjadi kera?”

Terdengar kembali suara dari Nirwana :
”Wahai Guarsa, Guarsi, Engkau kini memiliki nama.Guarsa sebagai Subali dan Guarsi sebagai Sugriwa.”

”Duhai dewa! Kenapa melaknat kami,yang tidak berdosa menjadi kera?”

Para dewa menjawab dari nirwana :
”Engkau harus bersyukur, wahai Subali dan Sugriwa. Jiwa serakahmu sebagai manusia, akan disucikan kembali oleh Hayuningrat. Ketidak mengertianmu untuk memahami dalam mengejar-ngejar Cupu Manik Hayuningrat. Itu akan disucikan oleh Hayuningat syahwatmu yang menggelegar sebagai lelaki, akan disimpan dulu oleh Hayuningrat. Dan semua batas-batas kamar syahwat, batas-batas keserakahan, batas-batas kamar saling ingin mengalahkan diantara sesamamu sebagai manusia. Batas-batas itu diambil alih oleh kami, para dewa. Karena ada cahaya Hayuningrat di telaga Sumala tersebut. Dan keindahan wajahmu, adalah alat dalam membawa keserakahan, rayuan-rayuan syahwat. Hanya ingin nikmat saja, menolak duka. Menggapai harap akan lebih jelas oleh keindahan wajahmu. Karena itu engkau menjadi kera. Supaya habis semua ambisi sebagai manusia di bumi.”

Dalam pada itu, di tempat yang lain. Retna Anjani sedang menangis, menangisi dirinya sendiri. Karena dirinya pun ternyata menjadi kera juga, walaupun tidak seluruh tubuhnya sebagaimana Subali dan Sugriwa, kakaknya. Retna Anjani wajahnya tetap utuh, tapi badannya adalah badan kera. Karena Retna Anjani berenang di telaga Nirmala, di mana air dunia yang suci bercampur dengan Hayuningrat. Retna Anjani menjadi wanita yang tabah dan mempesona.

Sementara itu Resi Gotama, lari-lari mencari anak-anaknya. Dan dalam pencarian itu, sang dewa bersabda kepada resi Gotama :
”Anakku resi Gotama, engkau telah membuang patung isterimu. Batu yang keras, arca yang diam. Jelmaan dari isterimu. Jelmaan dari yang kau cintai. Tahukah engkau, wahai anakku? arca itu adalah egomu. Isterimu engkau perkosa dengan kelamin syahwatmu, menjadi batu! Kesucian dan kelembutan daging dari isterimu, terampas energinya, karena keserakahan seksmu, hingga ampasnya menjadi batu. Dan engkaupun tidak menerima isterimu yang cantik menjadi batu. Bukan persoalan menerima atau tidak, tetapi engkau menangisi syahwatmu, mengapa isterimu menjadi batu, karena engkau tidak mampu lagi melampiaskan cinta dan syahwatmu.

Ketahuilah, wahai resi Gotama. Dan engkaupun membuang korbanmu sendiri. Namun demikian, wahai resi, syahwatmu telah di bawa oleh batu arca ke Alengka. Dan engkau wariskan syahwatmu ini kepada anak-anak Wisrawa. Terutama kepada yang berwajah sepuluh, Dasamuka, Rahwana. Batu dari isterimu yang jatuh di Alengka, menyebarkan energi syahwat yang sempurna. Berarti engkau terbebas dari syahwat yang sempurna. Berarti engkau terbebas dari syahwat kelaki-lakianmu, yang dipuja, dipuji dalam seratus tahun dalam tapamu. Mengapa demikian? Karena engkau telah di ruwat oleh isterimu sendiri, Dewi Windradi. Dengan Hayuningrat”, demikian kata dewa dari Nirwana.

Maka berkata-katalah, dalam sabda para dewa, ilmunya mengalir. Wejangan-wejangan para dewa, yang ilmunya tak mampu di tulis. Berkumpul dalam nurani sang resi. Akhirnya tahulah, mengertilah sang resi. Mengapa dan apa, anak-anaknya sampai demikian.

Resi Gotama pun akan mencari anak-anaknya, yang sudah diketahuinya telah berubah jadi kera. Akhirnya, bertemulah ayah dan anak dalam satu tangis yang indah dan haru.

Kesempurnaan kasih sayang bapak, menyempurnakan Hayuningrat putera puterinya.

”Ayah, mengapa aku menjadi kera?”, bertanya Retna Anjani.

”Anak-anakku”, kata resi Gotama, ”Zaman telah menjadi tua dan waktu telah lelah. Tapi manusia dan turunannya selalu bisa dilahirkan dengan cepat. Semakin lelah waktu, semakin cepat turunan manusia dilahirkan. Dan waktu pun akan membawa anak manusia kembali melalui gerbang kematiannya. Dalam membawa bekunya sebuah hati dari syahwat yang tak terjaga. Dalam membawa bekunya sebuah jiwa dari ambisi yang belum selesai. Engkau anak-anakku, terbebas dari semua itu. Karena engkau merasa malu dengan wajah dan badan kera-mu.”

”Oh dunia! Bersinarlah karena penderitaan anak-anakku. Wahai dunia! Teguklah airmata mereka, anak-anakku. Supaya kamu semua dapat keberkahan dari Hayuningrat, yang ada dalam diri kami dan anak-anakku.” Wahai dunia! jemputlah airmata-airmata kami, sisa dari kebenaran yang nyata, yang sukar ada dan jelas di muka bumi.Dunia akan semakin kokoh dengan sedu-sedan anak-anak manusia. Penderitaan umat manusia mengokohkan zaman dan mengangkuhkan, ’harga diri’. Namun api-api itu! semoga air mata kami bisa, menghabiskan panasnya jiwa-jiwa yang serakah. Kau akan melihat dunia dengan isinya melalui Cupu Manik Hayuningrat, tapi ingatlah! Kesaktian tak dapat di rebut dengan begitu saja.”

”Wahai anak-anakku, Cupu Manik Hayuningrat, yang kalian perebutkan adalah sebuah pergulatan yang panjang dalam mencapai buah yang nikmat. Mana mungkin engkau dengan mudah meraihnya, anak-anakku. Namun atas kemurahan sang dewa, engkau menjadi kera, karena jagad ambisi yang ada dalam dirimu itu adalah warisan dariku selama bertapa seratus tahun. Maafkanlah ayahmu ini, wahai anak-anakku.”

”Wahai anak-anakku, kesaktian bukan dari usaha manusia. Kesaktian bukan dari usaha pengorbanan apapun. Kesaktian adalah datang tanpa di sadari, dari sebuah hati yang tak mampu lagi merasa berkorban. Kesaktian akan datang manakala manusia sudah tidak rindu lagi untuk dipuja dan dipuji. Karena kesaktian datang tanpa melalui ucapan salam, tapi hadir dalam jiwa manusia. Kesaktian tidak ada dalam dunia ramai, karena kesaktian, wahai anak-anakku, hanya datang kepada mereka yang teraniaya. Maka engkau mendapat kesaktian, wahai anak-anakku, dari rasa rendah diri sebagai kera. Terimalah itu semua. Anak-anakku jangan duka dan sedih, sebab penderitaan sangat di inginkan oleh dunia. Supaya dunia terbebas dari penderitaan yang sia-sia dari umat manusia, supaya Sang Dewata Hing Murbeng Agung menerima. Dan engkau secara tidak langsung mendapat ’titah’ dari Sang Dewata Hing Murbeng Agung, Tuhan Yang Maha Esa. Dan engkau sebenarnya diangkat harkatnya, oleh rasa rendah diri sebagai kera.”

”Tengoklah wahai anak-anakku. Di seberang sana anak manusia berpesta pora dalam kesombongan, berpesta pora dalam syahwat. Siapa yang kuat itu yang menang! Seolah-olah kekuatan adalah miliknya. Seolah mereka mendapat ’titah’, padahal bukan. Tetapi hawa nafsunya sendiri yang mengatas namakan dewa. Dan engkau menjadi kera anakku, kesombongan akan punah. Kesombongan akan sirna. Akan hilang dan musnah. Karena di jiwamu hadir rasa bersalah dan rasa rendah diri sebagai kera. Kerendah-dirian takkan mungkin hadir dalam diri manusia, manakala manusia masih merasa memiliki sesuatu kelebihan, dalam wajahnya, dalam perasaannya juga dalam ilmunya. Demikianlah wahai anak-anakku”, demikian resi Gotama.

”Wahai ayahku”, berkata Subali, ”Kenapa kami ditakdirkan jadi kera? Dimanakah keadilan? Di manakah keadilan jagad raya ini?”

”Anak-anakku, kera adalah ’titah’ yang merindukan kesempurnaan menjadi manusia. Berjuta kera bergelayut di hutan-hutan, beribu kera menangis pilu, karena merindukan jadi manusia. Dan kera-kera itu di ciptakan oleh Hyang Widhi untuk menghantar lahirnya manusia. Dan engkau akan menunggu. Menanti kelahiran manusia suci, yang berangkat dari kera.”

”Engkau menjadi kera karena menunggu kelahiran kesucian manusia yang akan sempurna. Yang harkatnya melebihi harkat para dewa. Para kera selalu prihatin, dengan keprihatinan supaya di angkat kesempurnaan, sebagai kerinduan akan kesempurnaan. Kera merindukan ’limitnya pipi yang berbulu’. Dalam pikirannya itu adalah kesucian manusia yang harkatnya tinggi. Wahai anakku, para kera tidak tahu, bahwa limitnya pipi dan indahnva wajah manusia itu adalah topeng-topeng keangkuhan, yang di pinjam dari api-api neraka. Bahagialah anak-anakku, karena kerinduan itu hadir dalam hatimu dan jiwamu.”

”Dan engkau telah mengambil alih kerinduan para kera dan kerinduan para kera yang sia-sia, yang tak mungkin menjadi manusia. Tetapi dalam dirimu, menjadi keagungan yang akan mengangkat harkat umat manusia, dan menjadikan dirimu sebagai bunga di surgawi kelak.”

”Anak-anakku, namamu terukir sebagai bunga di surga yang paling indah. Pergilah engkau bertapa, wahai anak-anakku. Bermati-ragalah kamu. Tinggalkanlah perasaan dirimu sebagai kera yang buruk rupa. Bawalah kepasrahan pada Hyang Widhi, cinta dari ayah ibumu, simpanlah sebagai kekuatan dalam jiwamu, wahai anakku.”

”Dan ingatlah, ibumu kini kembali ke surga. Dan suatu saat kelak kau menziarahi makamnya, aku menyimpan arca ibumu di Alengka, dalam menjunjung harkat. Peperangan mempertahankan keadilan, menumpas keangkara-murkaan, yang nanti akan dibangun oleh Rahwana. Engkau akan menemukan panutan yang datang dari surgawi, sujud patuhlah pada panutan itu. Karena panutan itu Batara Guru, yang sementara waktu membawa Cupu Manik Astagina. Dia lahir sebagai Rama.”

”Anak-anakku, berbahagialah engkau menjadi kera yang berhati manusia, daripada manusia yang berhati kera.”

Setelah berpamitan pada ayahandanya, maka berangkatlah Subali, Sugriwa dan Retna Anjani bertapa, hidup dalam keheningan mati raga.

Subali pergi ke puncak gunung Sunyapringga, melaksanakan ”tapa ngalong.” Kaki di atas berpegangan pada kayu jati dan kepala menghadap ke bumi. Manakala Subali tapa ngalong, maka terlihatlah kesedihan para kera yang merindukan ingin menjadi manusia.

Sugriwa tapa seperti laku kijang (kidang/menjangan/rusa), disebut ”tapa ngidang.” Berakrab-akrab dengan bumi yang diam. Maka Sugriwa merasakan bagaimana bumi yang selalu memberi makan tanpa beban, kepada manusia. Bagaimana bumi selalu melahirkan buah-buahan dan bunga-bunga untuk kenikmatan manusia dan selalu melindungi manusia dari ”angkara murka.”

Retna Anjani bertapa seperti katak (kodok). Sang Dewi masuk ke dalam Cupu Manik Hayuningrat, jiwanya dalam angkasa keindahan cakrawala, dan tubuhnya, berendam, seperti katak, di telaga Sumala ”tapa nyantuka.”


Bersambung..........

No comments:

Post a Comment