Tuesday, August 31, 2010

AGAMA ADALAH PRAKTEK

disajikan oleh : Jro Mangku Gusti Ngurah Suyadnya
(Ketua Umum Pinandita Sanggraha Nusantara Pusat)

DAMAI BESERTAMU
Dimasa kini orang semakin kehilangan kepercayaan pada agama, karena agama telah menjadi terpisah dari kehidupan. Pertengkaran, perpecahan, kebencian dan kekerasan telah memasuki ruang lingkup keagamaan. Menyedihkan, agama yang pada awalnya sebagai perekat persatuan, kini telah menjadi alasan untuk perpecahan antar sekte.
Atas nama sekulerisme, kita membuat kesalahan tragis memisahkan agama dari kehidupan kita. Kita telah membersihkan pendidikan kita di sekolah, perguruan tinggi dari pengaruh Tuhan. Bagaimana pendidikan semacam itu dapat bekerja?

Kini agama semakin dilecehkan oleh kaum “liberal” dan kaum ‘intelektual’. Sesungguhnya bukan agama yang telah mengecewakan kita, tetapi kitalah yang telah mengecewakan agama. Kita sering sekali membicarakan agama, tetapi kita tidak menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kita tidak memperhatikan lagi ajaran dari para Awatara,Nabi, Santo tentang kemanusiaan.

Yang dibutuhkan adalah kehidupan, bukan cuma perkataan. Setiap orang bisa saja ke Pura, Mesjid, Gereja, ke Kuil setiap hari, membacakan doa-doa, menyanyikan lagu-lagu pujian, membaca ayat-ayat Suci dari Kitab Sucinya tanpa hentinya, puasa dari pagi hingga malam, namun jika perbuatannya tidak terpengaruh oleh agama dalam kesehariannya, yang berangkuan tidaklah lebih dari sebuah mesin perekam!

Seseorang bisa saja menyampaikan khotbah-khotbah, dharma wecana, pencerahan yang memberi inspirasi, menuliskan analisa mengenai Bhagawadgita, Upanishad, Brahmasutra, atau kitab suci yang lainnya, tetapi jika kehidupan yang bersangkutan tidak menyiratkan kebenaran-kebenaran atas ajaran ajaran ini, maka yang bersangkutan tidaklah lebih dari mesin pencetak.

Di masa kini dunia tidak lagi membutuhkan mesin perekam, pencetak belaka, yang dibutuhkan adalah kehidupan, bukan perkataan. Yang dibutuhkan adalah perbuatan, bukan upacara semata. Agama harus diartikan kembali dalam bentuk energi, vitalitas, dan kehidupan.

Apa yang terjadi saat ini?

Dalam dunia yang terpecah oleh sekte, agama dimanfaatkan oleh pihak-pihak tak bermoral untuk menyebarkan kebencian atas nama agama dan kepercayaan mereka. Pada saat yang bersamaan, telah menjadi kebiasaan bagi para politisi untuk menyalahkan agama atas nama kejahatan dalam masyarakat.

Saat ini kemanapun kita menoleh, kita melihat hasrat akan kedudukan, kerkuasaan dan ketenaran; ketamakan akan harta. Saat ini negara-negara seakan akan berkelana dalam hutan kegelapan dimana kekuatan berarti kebenaran. Saat ini manusia berdiri ditengah reruntuhan nilai dan idealisme. Ibu Pertiwi merinding ketakutan di saat anak-anaknya sibuk membangun senjata senjata kematian dan kehancuran.

Psichiater Swiss Carl Yung mengatakan: “Peradaban masa kini menderita karena manusia telah mengasingkan diri dari Tuhan” Bukankah ini musibah terbesar yang telah menimpa manusia modern?

Kita hidup dalam zaman kemajuan ilmiah dan perkembangan teknologi yang luar biasa. Ilmu pengetahuan telah menganugrahkan pada kita begitu banyak kenyamanan, kemudahan, begitu banyak peralatan, sayangnya semua ini telah membesarkan ego kita dan membutakan kita terhadap kebenaran mengenai diri kita sendiri, bahwa kita sesungguhnya adalah ciptaan Sang Pencipta. Kegagalan terbesar peradaban modern adalah kita bergerak menjauh dari Tuhan sampai kita melupakan bahwa kita semua adalah ciptaan-Nya.

Bahkan ada ateis muda yang berkata, “Kita tidak membutuhkan Tuhan. Tak ada yang tak bisa dilakukan oleh umat manusia. Manusia telah mampu menginjakkan kakinya di bulan. Roket buatan manusia telah mampu terbang melintasi planet-planet jauh. Manusia telah mampu memasang satelit di luar angkasa. Siapa yang butuh Tuhan di masa kini?”

Tuhan adalah sumber dan penopang kehidupan, dan manusia tak akan bisa menjalani hidup yang sehat secara fisik, mental, moral dan spiritual selama kita tetap memisahkan diri dari Tuhan. Sangat mudah melupakan Ruh suci, namun sekali kita lakukan, hidup kehilangan rasa; “garam kehidupan terasa hambar”. Ya inilah yang telah terjadi pada kita dewasa ini. Hidup telah kehilangan rasanya; garam kehidupan telah menjadi hambar; saat ini semakin banyak orang menyatakan bahwa hidup tak memiliki arti apapun--- oleh sebab itu apa gunanya hidup?

Berkat kemajuan material, kita memiliki semakin banyak cara, tetapi semakin sedikit makna. Materi kemewahan semakin bertambah tetapi angka bunuh diri meningkat juga.
Internet, jaringan luas…. komunikasi berkecepatan tinggi…… tetapi hipertensi terus meningkat. Ruang olahraga dan lift….. tapi lebih banyak yang berpenyakit jantung.
Megabit, gigabit……. Jutaan sel data yang dipindahkan dalam hitungan nanodetik……. tapi semakin banyak kesalahpahaman dan tidak adanya komunikasi nyata.

Hp, SMS, layar datar, LCD, TV plasma, Laptop, resolusi digital yang semakin besar….. tapi tak ada waktu untuk keluarga atau teman-teman.
Rumah Sakit bintang lima, peralatan tingkat tinggi, kamar perawatan yang nyaman….. tapi lebih sedikit kasih sayang dan perhatian.
Standar hidup yang lebih tinggi…… tapi kualitas kehidupan yang kian berkurang!

Apakah obatnya?

Nampaknya dewasa ini, ada keinginan untuk semua yang ‘besar’ dan ‘hebat’. Hal-hal kecil tidak lagi dapat memuaskan kita. Kelihatannya ego-ego kita semakin membesar saja, kita ingin meraih keuntungan yang semakin besar, mendirikan bangunan yang lebih gagah, membentuk yayasan yang lebih hebat, dan menulis buku-buku yang lebih tebal, dimana semua ini hanya akan mengarah pada ketidakbahagiaan yang lebih besar dan lebih berat juga, ini suatu cermin kebobrokan moral. Dasar dasar moral kehidupan umum telah berantakan; nilai-nilai tak lagi dihargai. Di seluruh dunia, pada saat ini juga, ada ratapan mengangankan dunia baru, kehidupan baru. Karena baik pria maupun wanita, tua dan muda, sudah lelah terhadap kondisi dunia yang ada sekarang.

Ratapan ini berasal dari kuil, pura, gereja, dari mesjid-mesjid, dari pabrik dan peternakan, dari pemukiman dan perkantoran, dari jiwa-jiwa yang menginginkan kedamaian, dan hati yang dipenuhi harapan akan datangnya masa depan yang lebih baik.
Saat ini kita telah tiba pada tahap di mana setiap bangsa dan individu harus belajar untuk saling memahami---untuk mencapai kedamaian atau kehancuran! Tidak ada jalan lain!

B A G A I M A N A K I T A D A P A T M E N C A P A I K E D A M A I A N ?

Bila kita cermati secara mendalam selama berabad-abad, berbagai negara termasuk negara kita telah mencari berbagai usaha/cara untuk mencapai perdamaian. Berbagai metode telah dicoba melalui kekerasan, agresi, negoisasi, konfrensi, perjanjian dan diskusi-diskusi. Secara internasional membentuk Persatuan Bangsa Bangsa dimasa lalu, dan kini mereka telah membentuk United Nations, tetapi dimanakah gerangan perdamaian yang sesungguhnya?

Dalam buku dari J. P. Vaswani yang berjudul “Peace or Perish” – Damai atau Hancur –

“Bagaimana bisa ada kedamaian di bumi bila hati manusia bagaikan gunung berapi”.
How can there be peace among the nations, when there is no peace in our homes, offices, schools – in our own hearts?
(SADHU VASWANI).

Damai!! Seolah-olah kita telah menjadi kebal terhadap kata ini! Walaupun sering kita dengar, kenyataannya begitu asing. Tetapi bukankah kedamaian merupakan tujuan utama dari setiap manusia? Tidakkah kita semuanya merupakan pencinta kedamaian? Kedamaian adalah apa yang diinginkan kita semua. Kedamaian adalah apa yang diangankan oleh umat manusia, masa demi masa. Damai, damai, damai --- dalam satu kata ini anda memiliki rahasia alam semesta.

Damai itu agung, karena nama Tuhan sendiri merupakan kedamaian…. Damai itu agiung, karena meliputi semua anugerah….. damai itu agung, karena bahkan dalam masa peperangan, kedamaian tetap dicari….. Damai itu agung karena melihat saat Messiah datang, Dia akan memulai saat saat kedamaian, seperti dikatakan, “Betapa indahnya pegunungan terlihat dari kaki para pembawa kabar gembira, yang mengumumkan perdamaian.” Bahkan kata Islam itu sendiri berakar dari kata yang berarti damai.

Menurut etimologi, Islam berasal si-lam-mim, yang arti dasarnya adalah keamanan dan kedamaian. Para rsi agung dari India, para rsi dari Aryavanta menyimpan kedamaian dalam hati mereka. Itulah sebabnya di akhir setiap doa Vedic kita mendengar bacaan suci – Om Shanti, Shanti, Shanti!

Menurut para pemikir, kata keramat yang diucapkan tiga kali untuk menyembuhkan kita, melindungi kita, dan membebaskan kita dari ke-tiga jenis kondisi yang menghancurkan kedamaian kita :
1. Adhyatmika – permasalahan mental, fisik dan spiritual yang penyebanbnya adalah dari kita sendiri.
2. Adhibhautikam --- permasalahan dan penyakit yang disebabkan oleh mereka di luar diri kita.
3. Aadhidhaivikam--- permasalahan yang disebabkan oleh fenomena alam seperti hujan, badai, petir, api, banjitr dsb.
Bacaan Om Shanti, Shanti, Shanti memberi kita kedamaian dengan membebaskan kita dari tiga jenis bencana.

Om Shanti Shanti Shanti, rasa tenteram bagi semua, rasa positip bagi semua, kedamaian bagi semua. Shanti adalah Shalomica! Shalomica adalah damai! Om Shanti damai, damai besertamu! Inilah petunjuk yang dibutuhkan oleh semua bangsa dewasa ini. Yesus bersabda mengenai kedamaian ini: Terberkatilah para pencipta kedamaian!

Dalam buku J.P.Vaswani dijelaskan bahwa kedamaian itu terdiri atas tiga dimensi :
Dimensi pertama kedamaian; Kedamaian dari dalam diri sendiri. Dimensi kedua; kedamaian antar kita/antar bangsa, dan dimensi ketiga; kedamaian dengan alam

Apa itu kedamaian? Seperti cinta, kedamaian harus dirasakan. Anda adalah anak Tuhan, dan ia merupakan sumber kebahagiaan yang abadi. Di saat Anda sadar bahwa Anda merupakan anak Tuhan, Anda tak akan membiarkan apapun juga mempengaruhi Anda. Yang perlu Anda lakukan hanyalah melupakan diri Anda sendiri, dan menyadari jati diri Anda sebagai anak Tuhan. Ketika kita sudah melupakan bagian luar diri kita dan melewati dunia nyata yang materialistis dan fenomental, kita semakin mendekati diri kita sesungguhnya di dalam yakni kedamaian.

Dalam Bhagadgita Bab II. 64, 65,
Tuhan memberikan kita gambaran mengenai stitha prajna, manusia seimbang : Seseorang dengan pikiran yang seimbang, yang inderanya terkendali dan bebas dari keterikatan dan pantangan, dia memasuki tahap yang dinamakan prasadam, kedamaian……. Setelah mencapai kedamaian, baginya semua penderitaan berakhir; orang yang penuh kedamaian seperti itu telah mencapai keseimbangan.

Sloka ini semakin mempertegas kebenaran bahwa hanya orang yang tidak terusik oleh hasrat yang tiada habisnya yang dapat mencapai kedamaian; bukan orang yang keinginannya memenuhi nafsu belaka. Sloka ini sangat dekat dengan hati Mahatma Gandhi, dia minta dibacakan setiap hari dalam sembahyang bersama.


Bersambung...........

No comments:

Post a Comment