Oleh : Jro Mangku Shri Dhanu
Ye tvā devosrikaṁ manyamānāḥ pāpā bhadram upajivanti pajrāḥ,
Na dūḍhye anu dadāsi vāmaṁ bṛhaspate cayasa piyārum.
Ṛgveda I.190.5
Wahai Guru Para Dewa, janganlah memberikan kekayaan terhadap
mereka yang bodoh, yang penuh dosa dan licik, dan hidup semata-mata
atas kemurahan-Mu, yang menganggap-Mu bagai sapi jantan tua.
Tetapi Engkau mendukung mereka yang
mengabdikan hidupnya kepada-Mu.
Pendahuluan
Topik tulisan di atas sepertinya sangat sulit dirangkai, dan khusus kata setan (satan) terjemahannya dalam bahasa Sanskerta adalah piśaca atau paiśaca. Kata yang maknanya sejenis dengan kata tersebut, di antaranya adalah rakṣasa. Di dalam bahasa Inggris disebut devil yang arinya setan. Kata devil berasal dari bahasa Yunani ‘diabolos’. Orang Barat dan Timur sama-sama percaya bahwa piśaca atau setan adalah musuh umat manusia, sekaligus juga musuh para Dewa (Mani, 1989:590).
Selanjutnya kata dosa, di dalam bahasa Sanskerta padannya adalah doṣa, pāpā, dan lain-lain yang maknanya sejenis dengan makna kata tersebut, sedang kata kutukan, padannya dalam bahasa Sanskerta adalah śapa atau śapatha di dalam Ṛgveda (X.87.15) pada mulanya berarti kutukan, dan bukan sumpah seperti sumpah dalam proses pengadilan (Macdonell & Keith, II, 1982:353).
Topik tulisan ini tampaknya seperti mendapat pengaruh dari agama-agama yang digolongkan dalam Abrahamic Religion atau Agama-Agama Semitik, yang di dalam Agama Hindu ketiga kata tersebut sangat sulit dirangkaikan, karena sumber ajaran teologi Hindu berbeda dengan ajaran teologi agama-agama tersebut di atas. Walaupun demikian tulisan ini mencoba mengetengahkan sumber, cerita atau makna dari istilah atau terminologi di atas.
Piśaca, Rakṣasa, dan Asura
Seperti telah dijelaskan di atas, di dalam bahasa Sanskerta tidak dikenal istilah atau kata setan (satan). Kata ini rupanya berasal dari bahasa Arab (setan) atau Ibrani (satan), yang maknanya sangat dekat atau mirip dengan kata paiśaca, rakṣasa, dan asura.
Kata setan (satan) di dalam The Student English-Sanskrit (Apte, 1987:408) adalah paiśaca (masculinum) dan paiśacī (femininum), paiśacagraṇī , paiśacanātha.
Di dalam Ṛgveda (I.133.5) disebut dengan nama paiśacī sedang di dalam Atharvaveda (II.18.4; IV.20.6, 9; IV.36.4; IV.37.10; V.29.4.5.14; VI.32.2; VIII.2.12; XII.1.50) maknanya sama dengan di dalam Ṛgveda, yakni nama dari sekelompok raksasa.
Di dalam Taittirī ya Saṁhitā (II.4.1.1, juga dalam Kāṭhaka Saṁhitā XXXVII.14) mereka diasosiasikan dengan para rakṣasa dan asura yang bermusuhan dengan para Dewa, manusia, dan leluhur.
Di dalam Atharvaveda (V.25.9) mereka digambarkan sebagai kravyād yang artinya ‘pemakan daging mentah’, yang mungkin mengandung pengertian etimologi dari kata paiśaca tersebut.
Hal ini sangat mungkin, bahwa paiśaca seperti diungkapkan oleh Grierson, merupakan musuh manusia, seperti suku asli di Barat Laut, yang sampai pada masa akhir disebut sebagai pemakan daging mentah (tidak mesti disebut kanibal, namun memakan daging manusia dalam rangkaian sebuah upacara ritual).
Demikian, walaupun tidak semuanya, sepertinya paiśaca aslinya berarti ‘setan’, yang tampak seperti suku asli, hal itu ditunjukkan dengan identitasnya yang dicemohkan. Satu cabang ilmu pengetahuan disebut paiśacavidyā yang populer muncul pada akhir zaman Veda, di antaranya ditemukan dalam kitab Gopatha Brāhmaṇa (I.1.10) (Macdonell & Keith , II, 1982:533).
Di dalam kitab-kitab Purāṇa, paiśaca dijelaskan sebagai berikut. Makhluk yang berhati dengki yang merupakan perwujudan yang jahat. Setiap orang, di mana saja di bumi ini, sejak baru terjadinya alam semesta dipercaya telah hadir roh yang jahat.
Menurut Mahābhārata (Ādiparva I) paiśaca merupakan ciptaan Dewa Brahmā. Pada masa awal Brahmā menciptakan 18 prajāpati yang dipimpin oleh Dakṣa, Gandharva, dan Paiśaca. Seperti halnya dalam Mahābhārata, dalam kitab-kitab Purāṇa juga merupakan ciptaan Brahmā. Paiśaca merupakan penghasut segala bentuk kejahatan dan memegang peranan penting di dalam kitab-kitab Purāṇa dan Mahābhārata. Paiśaca tinggal di istana Dewa Kubera dan memuja-Nya (Sabhāparva XI.49). Paiśaca tinggal di Gokarṇatī rtha dan memuja Dewa Śiva (Vanaparva LXXXV.25). Paiśaca adalah pemimpin roh-roh jahat. Ṛṣi Marī ci dan ṛṣi yang seperti beliau menciptakan roh-roh jahat (Vanaparva CCLXXII.46). Minuman para paiśaca adalah darah dan makanannya adalah daging (Droṇaparva L.9). Para bhūta (roh-roh jahat) menjadikan Ravaṇa raja mereka (Vanaparva CCLXXV.88). Dalam perang Bhāratayuddha, kuda yang menarik kereta raksasa Alambuṣa adalah para paiśaca (Droṇaparva CLXVII.38). Paiśaca bertempur melawan Karṇa dan ia berpihak menolong Ghaṭotkaca (Droṇaparva CLXXV.109). Arjuna mengalahkan paiśaca saat terbakarnya hutan Khāndava (Karṇaparva XXXVII.37). Paiśaca muncul saat pertempuran Arjuna dengan Karṇa (Karṇaparva XXXVII.50). Paiśaca memuja Dewi Parvatī dan Parameśvara yang sedang bertapa di puncak gunung Muñjavān (Aśvamedhaparva VIII.5). Pada masa berlangsungnya perang Bhāratayuddha banyak paiśaca menjelma menjadi raja (Aśramavāsikaparva XXXI.6) (Mani, 1989:590).
Di dalam susastra Jawa Kuno kata paiśaca ditulis dengan paiśāca yang artinya tidak jauh dengan makna di dalam Veda dan susastra Sanskerta, yakni nama jenis makhluk halus, mungkin disebut demikian karena kegemarannya akan daging (piśa untuk piśita) atau karena warnanya yang kekuning-kuningan; setan, iblis, raksasa, jin, makhluk yang berarti dengki atau jahat.
Di dalam Ādiparva (30) dinyatakan: saṅ Mṛgi makānak piśāca gaṇa bhūta........; kata ini dapat juga dijumpai dalam Bhīṣmaparva 109; Agastyaparva 378; 385; Rāmāyaṇa 8.128; 20.3; 23.29; Sumanasantaka 147.10; Sutasoma 125.11 (Zoetmulder II,1995:826).
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka di dalam kitab suci Veda, kitab-kitab Purāṇa, setan dapat diidentikkan dengan paiśaca, bhūta, rakṣasa, daitya, dan asura yang menghasut atau mendorong terjadinya kejahatan, dapat merasuki setiap orang dan bahkan menjelma menjadi raja sebagai pemimpin sebuah negara, dan lain-lain.
Doṣa, Pāpa, dan Puṇya
Doṣa, pāpa, dan puṇya adalah 3 buah kata yang tampak saling berkaitan. Doṣa dan pāpa atau pāpā di dalam bahasa Inggris diterjemahkan ke dalam kata sin, dan dalam bahasa Sanskerta adalah pāpam, pātakam, kalmaṣam, duritam, agham, duṣkṛam, vṛjinam, aṁhas, kilbiṣam, dan lain-lain (Apte, 1987:427). Kata-kata tersebut di dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan kata dosa yang sama artinya dengan doṣa dalam bahasa Sanskerta. Berlawanan dengan kata doṣa dan pāpā dalam bahasa Sanskerta adalah kata puṇya yang terjemahannya dalam bahasa Inggris merit. Padanan kata lainnya dalam bahasa Sanskerta adalah guṇaḥ, yogyata, pātrata, utkarṣa, puṇyam, dharma, śreṣṭhata, viśeṣaḥ, sukṛtam, śreyas (Apte, 1987:286).
Dalam susastra Jawa Kuno, kata doṣa berarti: (1) dosa, kesalahan, pelanggaran; (adj.) bersalah. Lihat juga istilah daṇḍadoṣa, guṇadoṣa, nirdoṣa, paridoṣa, sadoṣa, sthānadoṣa, sodoṣa. Terminologi tersebut terdapat dalam Virātaparva 94; Udyogaparva 103; Uttarakaṇḍa 25; 68; Ślokāntara 30.10; Arjuna Vivāha 35.6; Ghaṭotkacāśraya 38.3; 42.3; Bhomakavya dan Kidung Harsavijaya 6.46 (Zoetmulder I, 1995:225).
Kata pāpa dalam bahasa Jawa Kuno mengandung arti yang lebih luas, yakni: (1) dosa, kebiasaan buruk; kejahatan, kesalahan, hukuman/siksaan karena dosa. Terminologi ini dapat dijumpai pada Ādiparva 47; 81; Udyogaparva 9, Brāhmāṇḍapurāṇa 52; Rāmāyaṇa; Sutasoma 34.8: nora pāpa kadi pāpa niṅ anak atiduṣṭa riṅ yayah. (2) kemalangan, kesusahan, kesukaran, kesukaran, keadaan yang tidak menyenangkan, kesengsaraan. Dapat dijumpai dalam Virātaparva 75; manahên pāpa; Agastyaparva 366; Arjuna Vivāha 16.9: lêhêṅa juga ṅ pêjah saka ri pāpa pāpa anahên iraṅ lawan lara.Smaradahana 24.8, (3) jahat, buruk, jelek, nakal, celaka, malang, sengsara, orang jahat, penjahat, orang yang berdosa. Lihat juga: atipāpa, mahā pāpa, mahātipāpa. Virātaparva 31; Bhīṣmaparva 111; Uttarakaṇḍa 44; Sutasoma 35.7; Kidung Harsavijaya 3.95: woṅ pāpa kawêlas hyun (Zoetmulder I, 1995:758).
Agama Hindu pada dasarnya sangat konservatif, dan banyak aturan yang digunakan termuat di dalam kitab suci Veda dan masih efektip diikuti untuk aktivitas rutin sehari-hari oleh jutaan umat Hindu. Beberapa di antaranya adalah ajaran Karmamārga (jalan kerja). Agama Hindu seperti agama-agama tradisi lainnya, selalu mengingatkan pada pentingnya penekanan pada pelaksanaan etika dan moralitas yang masih terpelihara, tetapi juga selalu diperbaiki. Gagasan terhadap hukuman dan pertobatan terhadap dosa menempati posisi yang luas dalam kehidupan kebanyakan umat Hindu.
Upacara siklus hidup yang disebut saṁskāra menunjukkan hal itu, tidak hanya diikuti oleh anggota ke dalam tingkatan hidup selanjutnya, tetapi juga mengembangkan kekuatan spiritual mereka dan meyakini kebutuhan personal mereka (Klostermaier, 1990:146).
Di dalam Bhasmajabalopanisad (165) yang merupakan Upaniṣad yang bersifat Śaivaistik, dijelaskan pahala bagi mereka yang mempergunakan atribut (lakṣaṇa) yang berkaitan dengan sekta ini, di antaranya tripuṇḍra, yang merupakan tiga garis sejajar dioleskan pada dahi sebagai bentuk penghormatan kepada Dewa Śiva yang terbuat dari abu. Di dalam Upaniṣad tersebut dijelaskan tentang keutamaan dan kesucian penggunanan abu (vibhuti) yang dibuat dari kotoran sapi, dan bagaimana abu tersebut digunakan.
“Untuk para Brāhmaṇa mengenakan bhasma (abu) merupakan perilaku yang baik dan benar. Tanpa menggunakan tanda-tanda tersebut, seseorang tidak dapat minum atau mengerjakan sesuatu. Hendaknya ia menggunakan tanda-tanda (dari abu) itu dengan diikuti pengucapan gāyatri-mantra atau mempersembahkan sesajen pada api suci. Dengan menggunakan tanda-tanda itu seseorang berjalan di jalan yang benar untuk menghancurkan semua dosa dan mencapai keselamatan (mokṣa)….. Ia yang menggunakan tanda-tanda dari abu tersebut pada pagi-pagi benar, yang bersangkutan akan dibebaskan dari segala dosa yang dilakukan pada malam sebelumnya, termasuk juga dosa yang berasal karena mencuri emas.
Ia yang melakukan (dosa) pada siang hari dan bermeditasi kepada matahari, dibebaskan dari dosa akibat menikmati minuman yang memabukkan, mencuri emas, membunuh Brāhmaṇa, membunuh sapi, membunuh kuda, membunuh gurunya, dan membunuh bapak dan ibunya. Dengan memohon perlindungan melalui abu suci itu tiga kali sehari, ia memperoleh pahala dari belajar Veda, ia memperoleh kemuliaan (jasa baik) karena menyucikan diri di seluruh 35.000 patī rthan (pura tempat air suci), ia mencapai kesempurnaan hidup”(Klostermaier, 1990:153).
Di dalam kitab Chāndogya Upaniṣad (V.10.9-10) dinyatakan bahwa: “Ia yang mencuri emas, yang minum minuman keras, yang tidak menghormat tempat tidur gurunya, ia yang membunuh Brāhmaṇa, keempat orang itu jatuh dalam dosa (mahāpātaka), dan yang kelima adalah yang bergaul dengan mereka. Tetapi, orang yang tidak ternoda oleh kejahatan, walaupun iam bergaul dengan orang yang demikian. Ia menjadi suci, bersih, mencapai dunia kebajikan (puṇyaloka), ia yang mengetahui hal ini, sungguh ia mengetahuinya” (Radhakrishan, 1990:434).
Selanjutnya Manusmṛti (VIII.381) menyatakan: “Tidak ada perbuatan kriminal yang lebih besar dari perbuatan membunuh Brāhmaṇa, karena itu hendaknya jangan sekali-sekali terpikir di dalam hati untuk melakukan hal itu”(Pudja & Sudharta, 2004:429).
Di dalam kitab yang sama (VIII.350-251) dinyatakan: “Seseorang boleh membunuh seorang pembunuh, tanpa ragu-ragu yang dengan maksud membunuh apakah ia seorang guru, anak-anak, orang yang sudah berumur, atau seorang Brāhmaṇa yang akhli di dalam Veda. Dengan membunuh seorang pembunuh, pembunuhnya tidak berbuat salah (dosa), apakah ia lakukan di depan umum atau terang-terangan dalam hal itu kemarahan melawan kemarahan (Pudja & Sudharta, 2004:422). Di dalam Vaśiṣtha Dharmasūtra (III.15-18) dinyatakan bahwa seorang yang melakukan pembunuhan terhadap pelaku sad ātatāyi (ātatāyin) maka pembunuh itu tidak dianggap melakukan dosa (Kane, II.1, 1974:149).
Di dalam Bhagavadgītā (XVI.21) disebutkan adanya tiga pintu gerbang neraka yang merupakan doṣa atau pāpa yang mengantarkan ke tiga pintu gerbang neraka, yakni: kāma (moha), lobha, dan krodha. Ketiga perbuatan buruk (pāpakṛt) merupakan pāpa atau doṣa yang mesti dihindari oleh setiap orang, terutama yang ingin sukses menempuh jalan rohani (Tri Mārga).
Kitab Ślokāntara 75-78 membedakan 4 macam dosa, yakni doṣa pātaka, doṣa upapātaka, doṣa mahāpātaka, dan doṣa atipātaka yang masing-masing disebut dosa kecil, dosa menengah, dosa besar, dan dosa terbesar, masing-masing sebagai berikut:
(1) doṣa pātaka meliputi: bhrunahā, menggugurkan kandungan, puruṣaghna, membunuh manusia lainnya, seperti sastrawan dan hartawan, kanyācora, melarikan gadis dengan paksa, agrayajaka, yang kawin mendahului saudaranya yang lebih tua,
(2) doṣa upapātaka meliputi: govadha, membunuh sapi, yuwatī vadha, membunuh perempuan muda, bālavadha, membunuh anak-anak, vṛddhavadha, membunuh orang tua, āgāravadha, membakar rumah dan penghuninya.
(3) doṣa mahāpātaka, meliputi: brāhmavadha, membunuh Brāhmaṇa, surāpāna, minum minuman keras atau yang memabukan, suvarṇasteya, mencuri emas, kanyāvighna, memperkosa seorang gadis sampai gadis itu mati, guruvadha, membunuh guru.
(4) doṣa atipātaka, meliputi: svaputrī bhajana, memperkosa putri sendiri, matṛbhajana, memperkosa ibu sendiri, dan liṅgagrahaṇa, merusak tempat suci atau tempat pemujaan (Sudharta, 2003:252-259).
Demikian kitab Ślokāntara yang merupakan ajaran moralitas berupa teks berbahasa Sanskerta dan terjemahan dalam bahasa Jawa Kuno. Lebih lanjut tentang puṇya dapat dijelaskan sebagai berikut. Kata puṇya di dalam bahasa Inggris adalah merit yang padanannya dalam bahasa Sanskerta antara lain: guṇa, yogyata, utkarṣa, śreṣṭhatā, dharma, sukṛtam, śreyaḥ, dan yang sejenis dengan itu (Apte, 1987:286).
Di dalam Manavadharmaśāstra atau Manusmṛti (XII.105-106) dinyatakan: “Seseorang yang ingin memperoleh penyucian dari dharma (dharmaśuddhi) seharusnya menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan. Hanya mereka yang menguasai ‘tarka’ (kemampuan untuk menganalisis sesuatu) dan tidak mempertentangan susastra Veda (Vedaśāstra) dengan ajaran suci Veda, yang merupakan ajaran dharma yang diajarkan oleh para ṛṣi, yang akan menguasai dharma, tidak yang lain”.
Lebih jauh di dalam kitab yang sama (IV.175-176) juga dinyatakan: “Oleh karena itu seseorang hendaknya selalu bergembira melaksanakan kebenaraan, taat kepada ajaran suci (Veda), bertingkah laku terpuji, sebagai orang yang mulia, selalu suci hati……Suatu perbuatan yang bila pada akhirnya tidak memberikan kebahagiaan dan sangat dikutuk di dunia ini (lokavikruṣṭha) bukanlah Dharma dan harus ditinggalkan”. Hal yang sama juga diungkapkan dalam Yajñavalkya Smṛti (VI.156).
Selanjutnya tentang penguasaan ajaran suci Veda, Śrī Kṛṣṇa di dalam Bhagavadgītā (XVI.24) menyatakan: “Oleh karena itu jadikanlah kitab suci menjadi pegangan hidupmu untuk menentukan yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Dengan mengetahui ajaran suci (Veda) tersebut, hendaknya engkau melakukan kegiatan kerja di dunia ini”. Penjelasan tersebut sejalan dengan terjemahan mantra dari Śatapatha Brāhmaṇa (XI.5.7.1) berikut. “Belajar dan menyiarkan ajaran suci Veda.Dia yang mengetahui hal ini mencapai pikiran yang terpusat. Dia tidak menjadi budak nafsunya. Keinginannya akan menjadi kenyataan, dan ia hidup menikmati kebahagiaan. Sesungguhnya dia menjadi penyembuh dirinya sendiri. Dirinya terkendali, penuh bhakti, dengan pikiran yang bijaksana. Dia mencapai kemashyuran dan berbuat baik di dunia ini”. Berdasarkan kutipan tersebut, jelaslah pula bagi kita bahwa ajaran suci Veda hendaknya dapat dijadikan pedoman kebajikan (puṇya) dalam hidup dan kehidupan ini.
Śapatha (Kutukan)
Seperti telah disebutkan pada bagian pendahuluan, kata Śapa atau Śapatha pada berarti kutukan dan bukan sumpah dalam proses pengadilan, seperti dinyatakan dalam Ṛgveda X.87.15. Pengertian yang terakhir ini rupanya muncul belakangan, seperti ditunjukan oleh Atharvaveda III.9.5; IV.9.5; IV.18.7; IV.19.7, dan Ṛgveda VII.104.15, yang menyatakan bahwa Vasiṣṭha terkutuk dan memperoleh kematian bila ia melakukan kejahatan (menyihir orang), dan kematian bagi musuh-musuhnya bila ia tidak melakukan hal itu.
Tentang kutukan atau orang yang mengalami kutukan, informasinya sangat banyak dapat dijumpai dalam kitab-kitab Itihāsa (Rāmāyaṇa dan Mahābhārata) maupun dalam kitab-kitab Purāṇa. Di dalam Rāmāyaṇa karya Vālmī ki terdapat ceritra dikutuknya dewi Ahalyā menjadi batu oleh suaminya sendiri Mahārṣi Gautama, karena dewa Indra menggodanya yang datang ke pertapaan dengan manyamar sebagai Mahārṣi Gautama sendiri. Ahalyā bebas dari kutukan (pariśuddha) setelah kaki Śrī Rāma menyentuh batu tersebut, dan Ahalyā kembali menjadi suci (Mani, 1989:17).
Demikian pula ceritra dikutuknya putra-putra raja Sagara oleh Mahārṣi Kapila dalam kisah turunnya sungai Gaṅgā. Putra-putra raja Sagara berhasil mencapai mokṣa Mahārṣi setelah mendapat siraman air suci Gaṅgā (Mani, 1989:17). Di dalam kitab-kitab Purāṇa sangat banyak ceritra tentang kutukan, bahkan para Dewa juga mengalami hal yang sama.
Vijayalakṣmī berubah menjadi Laṅkalakṣmī , karena kutukan Dewa Brahmā. Vijayalakṣmī adalah salah satu dari Lakṣmī penjaga kekayaan Dewa Brahmā. Suatu hari, salah satu dari padanya lalai melaksanakan tugasnya. Dewa Brahmā sangat marah dan mengutuknya, “Kamu pergi ke tempatnya Rāvaṇa dan jaga menaranya!”. Ia dengan kerendahan hati memohon untuk mengampuni kutukan tersebut. Brahmā bersabda: “Pada saat inkarnasi Śrī Rāma, seorang pahlawan kera bernama Hanumān akan menuju Laṅka dalam usaha mencari istri Śrī Rāma, yang telah diculik oleh Rāvaṇa, dan ia akan menabrakmu. Pada saat itu kamu akan dibebaskan dari kutukan dan kamu akan segera kembali kemari!” Menurutnya, Vijayalakṣmī lahir di Laṅka dengan nama Laṅkalakṣmī . Ketika Hanumān terbang menuju Laṅka, ia mencegahnya, dan saat itu Hanumān menabraknya jatuh ke bumi (Kaṁpa Rāmāyaṇa, Sundara Kāṇda) (Titib, 2004:184)
Suatu hari Brahmā memuja Sang Hyang Śiva dan memohon kesediaannya untuk menjadi putranya sendiri. Sang Hyang Śiva tidak berkenan atas permintaan tersebut. Śiva marah dan mengutuk, “Saya akan menjadi anak anda. Tetapi saya akan menebas wajah anda yang ke-5”. Sejak saat itu Dewa Brahmā hanya memiliki 4 wajah (Caturmukha) (Titib, 2004:199). Demikian cukup banyak śapatha yang dapat ditemukan dalam kitab-kitab Purāṇa.
Śapatha atau kutukan dapat ditemukan tidak hanya dalam karya sastra. Dalam prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh para raja baik di India, di Nusantara, termasuk di Bali ditemukan informasi tentang kutukan tersebut. Bahkan dalam lontar-lontar babad (ceritra-ceritra leluhur) di Bali ditemukan juga hal itu dan umumnya disebut dengan bhī ṣama yang juga di dalamnya terdapat śapatha. Śapatha dapat diakhiri dengan berbagai upacara (ritual, seperti prayaścitta, nilapati atau daṇḍakalêpasan) dan pertapaan (termasuk pula berbagai bentuk puasa) yang dilakukan dengan tekun.
Penutup
Demikian uraian singkat tentang setan, dosa, dan kutukan dalam perspektif Hindu tentunya masih banyak lagi yang perlu diperdalam dan hal yang terpenting bahwa setan jangan mempengaruhi pikiran kita, sehingga tidak melakukan dosa, apalagi perbuatan yang dianggap terkutuk oleh masyarakat.
Daftar Pustaka
Apte, Shivram Vaman.1987. The Student English-Sankrit Dictionary. New Delhi, India: Motilal Banarsidass.
Dvivedi, K.D. 1990. The Essennce of the Vedas. Gyanpur, Varanasi: Vishva Bharati Research Institute.
Kane, P.V.1974. History of Dharmasastra Vols. II. 1, Poona India: Bandarkar Oriental Series.
Klostermaier, Klaus K. 1990. A Survey of Hinduism. New Delhi, India: Munshiram Manoharlal.
Macdonell, A.A. & Keith, A.B.I-II.1982. Vedic Index of Names and Subjects. New Delhi, India: Motilal Banarsidass.
Mani, Vettam.1989. Puranic Encyclopaedia. New Delhi, India: Motilal Banarsidass.
Maswinara, I Wayan. 2003. Bhagavadgita, Teks dan Terjemahan Inggris dan Indonesia. Surabaya: Penerbit Paramita.
Pudja, G. & Sudharta, Tjokorda Rai. 2004. Manawa Dharmasastra, Weda Smrti, Kompedium Hukum Hindu. Surabaya: Penerbit Paramita.
Radhakrishan, Sarvepali.1990. Principal Upanisads. Bombay-New Delhi, India: Oxford University Press.
Sudharta, Tjokorda Rai.2003. Slokantara, Untaian Ajaran Etika, Teks, Terjamahan dan Ulasan. Surabaya: Penerbit Paramita.
Titib, I Made. 2004. Purana, Sumber Ajaran Hindu Komprehensif. Surabaya: Penerbit Paramita.
Titib, I Made.2003. Veda, Sabda Suci: Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Penerbit Paramita.
Zoetmulder, P.J.,1995.Kamus Jawa Kuna-Indonesia. 2 Jilid. Terjemahan Darusuprapta, Sumarti Suprayitna, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
=======
" sathyamvada dharmacara-sampaikan kebenaran dengan cara yang benar"
Welcome
“Pinandita Sanggraha Nusantara”
sebagai wadah pemersatu
Para Pinandita/Pemangku/Wasi/Dukun
di seluruh Nusantara.
Kalender Bali
Profile
Basic Info
Religion & SpiritualtyContact Info
email:sanggrahanusantara@gmail.com office:Pinandita Sanggraha Nusantara "Pura ADITYA JAYA" Jl. Daksinapati No. 10 Rawamangun Jakarta Timur Telp:(+6221) 7098-3858, 770-3574, 546-3858 Fax:(+6221) 546-3811 Bank BRI Cab. Pancoran Jakarta Rekening Britama Nomer : 0390-01-001235-50-8 Bank Mandiri Cab. Jakarta KP Pertamina Rekening Giro Nomer : 119-0004754048 DONASI/PUNIA ANDA SANGAT BERARTI dan BERMANFAAT BAGI PENGEMBANGAN PINANDITA SANGGRAHA NUSANTARA |
Bagaimana blog PSN sekarang?
Monday, December 7, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Katagori
- Article (79)
- Asuransi PSN (2)
- Events (4)
- Pengumuman (17)
- Profile (10)
- Program (2)
- Pustaka-Pustaka (23)
- Religion (11)
- Sarati Banten (1)
- Tirtha Yatra (2)
- Umum (7)
No comments:
Post a Comment