Wednesday, November 11, 2009

Sasmita Narendra Nusantara ; Mbah Surip dan WS Rendra

Oleh : Tri Budi Marhaen Darmawan


Mbah Surip (Urip Ahmad Riyanto) dan WS Rendra (Wahyu Sulaeman Rendra) merupakan bahasa alam (simbol) dg hakekat yg amat sangat tinggi utk bangsa ini. Sastra Jendra Hayuningrat, wujud karya SENI (SENtuhan rohaNI) yg dikumandangkan oleh kelompok SENIMAN Sejati negeri ini sbg manifestasi “SENtuhan rohaNI MANusia Sejati” di abad ini.

Bukti Tuhan Maha Pemurah dan Maha Kasih kpd semua hamba Nya. Tuhan Maha Adil menggunakan media pesan Nya yg dpt diketahui dan dikenali oleh segenap bangsa ini tanpa terkecuali. Bebas dari hijab atau sekat apapun. Sejatinya Sasmita Narendra ditujukan kepada para raja atau pemimpin (ulama dan umaro’) sebagai kritik membangun guna pembenahan implementasi kebijakannya dallm memimpin rakyat. Tapp tidak ada salahnya di era sekarang ini kita sebagai rakyat biasa berupaya mengenalinya. Karena para pemimpin di jaman ini sudah tidak lagi memiliki kearifan dalam kepedulian dan tanggap akan sasmita alam. Semua Petunjuk Tuhan berupa ayat-ayat suci yang tertulis di semua kitab suci dan ayat-ayat suci yang terbentang di alam nyata maupun gaib diperuntukkan bagi hamba-hamba Nya yg sadar (eling dan waspada) dan mau berpikir atau merenung.

Banyak hakekat yang bisa dibedah dari sosok seniman yang tengah besar namanya seperti Mbah Surip dan “raja seniman sastra/teater” WS Rendra yang telah besar namanya sejak dulu hingga kini. Yang pasti mereka sebagai sosok seniman melambangkan “Kebebasan Sejati”. Orang-orang yang ingin Merdeka dalam hidupnya, tidak terikat oleh apapun dan siapapun. Bahkan tidak ingin terjajah oleh segala penindasan dan bahkan hawa nafsunya sendiri.

Mereka adalah lambang orang-orang yang “Apa Adanya” dalam melakoni hidup. Yang mereka ekspresikan hanyalah “Keindahan” semata, baik yang tengah dirasakan maupun ingin dirasakan menjadi sebuah pengharapan. “Jamillun min jamalullah. Inallaha wa yahibuj jamal”. Segala keindahan adalah milik Tuhan, oleh karena Tuhan Maha Indah. Sampai-sampai demi sebuah keindahan yang ingin diungkapkan dan digapai, seringkali mereka melupakan dirinya. Ini nampak dari rambutnya yang dibiarkan panjang bahkan bergimbal.

Kalau meminjam istilah di dalam Tasawuf, semua yang melekat pada sosok “seniman sejati” adalah lambang “Ketawadhu’an” (rendah hati), Kezuhudan (tidak ingin diikat dan terikat dengan dunia), Qona’ah (menerima apa adanya), Jujur, Sabar dan Ikhlas, serta Istiqomah (setia dan konsisten menjalani jalan hidupnya).” Secara hakekat inilah yg menjadi harapan Tuhan kepada segenap hamba Nya tanpa terkecuali sesuai dengan titah dan kodratnya.

Semua itu ditujukan bagi “Kebahagiaan Hidup” agar terlepas dari jebakan kerusakan moral yang memuncak saat ini. Urip berarti Hidup. Ahmad (Muhammad) berarti Terpuji atau Beradab. Dan ini adalah hakekat Syahadat. Dzat yg menghidupkan segala dzat adalah Allah. Dan Muhammad (Nur Muhammad / Nur Ahmad) adalah segala apa yang tercipta dari Sabda Nya. Jika manusia mampu memahami hakekat Syahadat, lebih dari sekedar ucapan saja, maka Insya Allah akan mampu menemukan Kebahagiaan alias RIYANg To.., Enak to.., Mantep to.. Hidup Terpuji dan Beradab.. Karena mencapai kesadaran bahwa kita manusia ini sejatinya “digèndhong” oleh Hidup itu sendiri. Kalau sudah tidak “digèndhong” alias ditinggal pergi oleh Hidup, ya.. tidak ada sebutan.. alias “Mati”. Mati indrawi, mati hati, mati rasa, akhirnya mati raga menjadi mayat. Meninggalkan kesia-siaan, kebusukan, bahkan musibah bagi yang ditinggalkan. Beruntunglah Harimau mati meninggalkan kulit belangnya, dan Gajah mati meninggalkan gadingnya. Seperti halnya Mbah Surip dan WS Rendra yang mewariskan “Keberkahan” bagi yang ditinggalkan.

Perlambang ini lebih telak lagi karena kita disuruh mengingat dan merenungkan kisah Nabi Sulaeman dan Ratu Balqis. Singkat cerita dimana pada akhirnya Ratu Balqis sebagai lambang “hawa buruk” awalnya, kemudian tunduk kepada Nabi Sulaeman setelah menerima surat yang bertulis kata : “Bismillahirrohmanirrohim”. Setelah itu Ratu Balqis tersadar dari kezalimannya dan mengajak para pembesarnya untuk patuh dan berserah diri kepada Allah SWT. Dan yang lebih dalam tersirat dari hakekat sasmita/perlambang ini adalah bagi siapa saja yang mengabaikan atau menolak bahkan mengingkari pesan ini, maka resiko dan konsekuensinya adalah “tidak akan digèndhong” alias akan ditinggalkan “hidup sejati”nya. Kalau sudah begitu jadinya maka ya akan tersesat di jalan, dan merasakan ketidaknyamanan dari yang semestinya. Karena sejatinya kita ini semua hanya “numpang” hidup, numpang lewat dalam kehidupan di dunia ini. Orang Jawa bilang : “Urip mung sekedar mampir ngombé” (hidup hanya sekedar mampir minum). Jadi bisa dibayangkan jika kita meninggalkan atau melupakan kepada yang memberi tumpangan kita. Dlm hal ini Mbah Surip menawarkan diri untuk menggèndhong daripada kita naik ojek, taxi, dan pesawat sekalipun supaya tidak kesasar karena ditipu daya bahkan kedinginan. Jangan meremehkan Mbah Surip. Kenali dulu siapa Mbah Surip ? Jangan keburu kita terjebak melihat casing luarnya (sosok penampilan luar) untuk kemudian merendahkannya. Waspadalah.. Karena sejatinya Mbah Surip adalah hakekat lambang Urip atau Hidup yang menggèndhong kita selama ini kemana-mana. Haaa… Haaa… Haaa… Sadarkah kita ? Dan Mbah Surip hanya mampu tertawa menertawakan “kelucuan” polah tingkah manusia yang pada tertipu daya dan kesasar karena mengabaikan dan tidak mau memahami Mbah Surip.. èèhh.. HIDUP.. maksudnya.. Haaa… Haaa… Haaa…

( Luar biasa cara Eyang Semar atau Kaki Sabdo Palon dalam “bercanda” (guyon parikeno) menandai kehadirannya kembali di Tanah Jawa atau Nusantara (Jazirah al Jawi) ini pd tgl 5 Agustus 2009, hari Rabu (Buda) Kliwon (Syiwa), wuku Shinta, dan lambangnya Sanghyang Yamadipati (malaikat pati). Budak Angon tengah menggiring 18 Kerbau berjalan dari Selatan ke Utara. Dan yang terdengar hanya suara gentanya saja… Haaa… Haaa… Haaa… Tholé… Tholé… )

Senin (Soma) Kliwon, 10 Agustus 2009

No comments:

Post a Comment