Disarikan kembali oleh : Pinandita Astono Chandra Dana
”Adikku Batara Guru, barangkali engkau terpukau oleh pintu kewanitaannya?”
”Oh tidak Kakanda! Aku mengerti tentang keangkuhan wanita, tentang feminim, tentang harkat wanita. Tentang wanita yang merindukan, aku mengerti, aku memahami. Tetapi ada kekuatan yang mengusirku kembali ke tempat ini”, kata Batara Guru.
”Kalau demikian, aku akan mengadu kepada Hing Murbeng Agung yang berada dipuncak Surga”, demikian Batara Guru.
”Kahatur Hing Murbeng Agung, apa dan bagaimana Engkau tahu tentang semua, yang ada dalam jagad tamu yang satu ini. Berikanlah penerangan.”
Maka Hing Murbeng Agung, Tuhan Yang Maha Esa, bersabda :
”Para Dewa yang berada di Nirwana, engkau semua harus malu pada manusia yang akan masuk ke Nirwana ini. Dewi Windradi, sebuah nama yang sudah tertulis di Marcapada, Kahyangan. Namanya sudah tertulis dengan jelas. Wahai Para Dewa! Dewi Windradi adalah nama, yang sudah terukir dalam kalam-kalam-Ku, tulisan-Ku. Manusia itu masuk ke Nirwana ini oleh daya tarik tulisan-Ku. Kalau engkau menahannya, berarti engkau harus melawan Aku, Yang Menciptakanmu.”
Maka semua para Dewa bersujud patuh, para Bidadari menangis pilu, tangisan rindu untuk menjemput Dewi Windradi.
Dalam pada itu, sabda turun lagi :
”Wahai para Dewa, sebenarnya Dewi Windradi hanya mengambil tulisan namanya yang ada di Nirwana. Tetapi Dewi Windradi masih punya tugas di muka bumi, belum saatnya menikmati kenikmatan surgawi, belum saatnya bercengkerama dengan rahmat-Ku. Terimalah sementara, di singgasana Nirwana bersamamu. Namun Aku akan menciptakan Dewa baru untuk menemani sang Dewi.”
Kembali pada ”Cupu Manik Astagina.” Astagina ini isinya adalah puji-puji untuk Hyang Widhi, Nur Cahaya. Kesempurnaan cinta Hyang Widhi berkumpul dalam ”Cupu Manik Astagina.” Maka cahaya yang diambil kembali, cahaya dari Permata. Dan air kehidupannya, diambil oleh Begawan Wisrawa. Cahayanya diambil kembali oleh Sang Hyang Parama Wisesa. Didalamya ada sumber cahaya dari segala cahaya. Astagina adalah Maha Terpuji, dari energi Asma-Nya mengalir puji-pujian Astagina.
Hing Murbeng Agung menciptakan Dewa baru dari cahaya tersebut yang namanya Batara Surya (Batara Indra). Manakala para Dewa, para Bidadari terpekik kagum, dewi Windradi pun tak terkecuali. Terpesona kepada Batara Surya. Dalam jiwanya sang Dewi berkata :
”Betapa indah yang satu ini. Lebih indah dari Nirwana ini.” Dan ternyata ungkapan bawah sadar ini, terucapkan secara lisan.
”Benar wahai Dewi Windradi”, kata Batara Narada.
”Betul wahai Dewi Windradi”, kata Batara Guru,
”Lebih indah dari keindahan Nirwana beserta isinya.”
Ksatria lelanang Jagad, Batara Surya, tersenyum. Senyuman yang menggelisahkan para Bidadari yang ada di surga.
Sang Dewi pun berkata,
” Wahai,……Dimanakah cahaya yang aku kejar sejak dari bumi?”
”Cahaya itu tidak ada di surga ini”, jawab Batara Narada, ”Sudah diambil oleh Hing Murbeng Agung, dalam Cupu Manik Astagina.”
”Izinkanlah aku masuk ke sana”, pinta sang Dewi.
”Tidak bisa”, berkata Batara Guru, ”Kami pun tak mampu, apalagi engkau, wahai Dewi Windradi.”
”Wahai wanita”, berkata Batara Surya, ”Hadapi aku, kalau mampu menghadapi aku, maka engkau berhak untuk naik lebih tinggi lagi. Menuju Yang Maha Pencipta.”
Pada saat Batara Surya berkata-kata, jiwa sang Dewi bergetar!
”Inikah cinta, yang tidak pernah aku miliki selama ini? lnikah syahwat? Yang tidak pernah mampu aku miliki di bumi?”
Getaran-getaran ini melumpuhkan sang Dewi. Sang Dewi terduduk, merunduk.
”Wahai para Dewa, aku kalah! Jangankan datang pada surga yang lebih tinggi tempat Cupu Manik Astagina. Berhadapan dengan Batara Surya pun, aku sudah tak mampu.”
”Wahai Batara Surya, apakah perasaan, seperti yang aku rasakan ini?”
”Itu adalah cinta”, kata Batara Surya.
”Dan apa yang menggetarkan darah dagingku?”
”Itu adalah syahwat.”
”Wahai Batara Surya, dosakah aku memiliki ini semua?”
”Tidak dosa, malah anugerah. Cinta dekat di tempat ini, namun syahwat engkau harus buang dari tempat ini.”
”Bagaimakah cara membuangnya, wahai Batara Surya?”
”Karena itu engkau belum saatnya menikmati surgawi ini. Kau harus membuang syahwat di muka bumi, supaya kegairahan kehidupan manusia bumi bertarnbah gejolaknya dan cepat menurunkan keturunan sebagai khalifah di muka bumi.”
”Berikanlah keindahan hubungan suami-isteri dengan illusi-ilusi yang hadir dalam perasaan. Buanglah syahwatmu wahai Dewi Windradi, supaya para isteri bertambah mesra dengan suaminya.”
”Buanglah syahwatmu wahai sang Dewi, supaya para isteri walaupun sakit oleh suaminya, tetap setia dalam menghadapi rumah-tangga. Syahwatmu akan mengikat rumah-tangga agar tetap setia sebagai isteri. Supaya anak manusia terlindungi dan terawat oleh Ibu dan Ayahnya. Karena asmara yang engkau buang pada jiwa-jiwa mereka.”
”Tumpahkanlah wahai sang Dewi Asmara ini, Asmaradana akan merekah di muka bumi. Dan engkau bisa kembali tanpa syahwat. Hanya cinta”, Demikian Batara Surya.
”Wahai Batara Surya, cinta ini, untuk siapa?”
”Wahai sang Dewi. Cintamu untuk siapa. Tanyakan pada hatimu, cinta itu untuk siapa.”
”Untuk tempat ini, dengan segala kenikmatan”, kata sang Dewi.
”Bisa, tapi bukan”, jawab Batara Surya.
”Untuk para Dewa yang berada di sini?”
”Benar, tapi tidak.”
Dan dengan malu-malu, ”Untuk engkau, Batara Surya.”
”Kuterima. Tapi aku tak mampu menerima.”
”Lalu untuk siapa wahai Batara Surya?”
”Untuk Yang Menciptakan kita, Hing Murbeng Agung. Maka ungkapkanlah perasaan itu pada Sang Maha Pencipta.”
Dewi Windradi mengerti dan memahami. Maka bersujudlah memohon takdir perjodohan denganTuhan Yang Maha Esa.
”Wahai Sang Hyang Agung, Rajanya para Dewa, Terimalah cinta ini, hanya untuk Engkau.”
Turunlah sabdanya-Nya :
”Dewi Windradi, betapa aku tak sia-sia menciptakan engkau. Betapa aku bangga pada diriku sendiri. Engkau telah membuktikan bahwa Aku adalah Segalanya. Bagi-Ku sendiri apalagi bagi mereka, para Dewa ciptaanku. Dan engkau adalah milik Aku, Kuberikan dengan izin-Ku pada semua para Dewa. Dan akan aku berikan keindahan cintamu, hanya pada seseorang.”
”Siapa?”
”Dia ada di hadapamu, mengerti Dewi Windradi? Dia itu, Batara Surya.”
Batara Surya menjawab :
”Aku menerima. Yang tadinya aku menerima tapi tak bisa merangkul, tapi sekarang aku terima. Engkau adalah isteriku. Kita telah dinikahkan oleh Yang Menciptakan kita. Aku adalah suamimu. Dan mereka, para Dewa dan para Bidadari adalah saksi, pernikahan agung di surgawi ini.”
Dewi Windradi dengan puncak kebahagiaan di atas Sastra Jendra Yang paling bahagia, Hayuningrat. Hayuningrat kewanitaannya sempurna.
Dikatakan Hayuningrat adalah : Suasana-suasana dialog ini semua, mulai dari Dewi Windradi naik ke Nirwana, dialog dengan para Dewa, Sabda Hyang Widhi. ltu semua adalah Hayuningrat. Tanpa ada lagi ”pangruwating” karena sang Dewi dilahirkan tanpa diruwat lagi. Lahir dari ukiran-ukiran cinta, kasih-sayang Batara Wisrawa dan Dewi Sukesih.
Bisakah kita melahirkan anak tanpa diruwat lagi?…..Bisa. Dewi Windradi adalah bukti, anak yang langsung tanpa ruwat. Langsung ada dalam wadah Hayuningrat Sastra Jendra adalah proses pencarian nilai-nilai, dalam mengejar sinar.
Dialog Dewi Windradi dengan Bapaknya, dengan Ibunya, diusir dari Istana, di penjara tubuhnya. Keluar rukh dan jiwanya dari penjara, bertemu dengan orang-tua sejati, berangkat ke langit-langit sampai masuk Nirwana. lni semua adalah Hayuningrat.
Suasana dialog selanjutnya adalah Hayuningrat. ltu adalah kebahagiaan yang sesungguhnya, bukan kenikmatan illusi. Kenikmatan duniawi sebenarnya adalah kenikmatan illusi, manakala kita makan, lidah kita merasakan nikmat. Kita menikmati dengan kenyang. Kenikmatan seksual suami-isteri. ltu semua adalah kenikmatan illusi. semua kenikmatan dunia pada dasarnya adalah illusi, bayang-bayang atau wayang. Senda-gurau dan permainan. Saat sang Dewi akan mengecap kebahagiaan yang sempurna, dirangkullah Batara Surya, suaminya.
Saat itu pula turun sabda Hyang Widhi :
”Wahai Dewi, wahai Batara Surya, belum waktunya engkau menikmati kebahagiaan, walaupun Aku yang telah menikahkan. Tapi engkau belum mampu bersenggama dengan rasa, bersenggama dalam rukhani, bersenggama dalam fikiran. Di surga tidak ada daging dan kelamin. Pulanglah engkau Dewi, bawalah ’Cupu Manik Astagina’ yang isinya cahaya Hayuningrat.”
Maka sejak saat ini, telah datang duplikat kedua ”Cupu Manik Astagina.”
Untuk selanjutnya Cupu Manik ini kita sebut dengan ”Cupu Manik Hayuningrat”, yang dibawa oleh Dewi Windradi.
Sebagaimana sabda-Nya :
”Wahai Dewi Windradi, bawalah ’Cupu Manik Hayuningrat’, supaya kehidupan di bumi walaupun illusi, akan ’adem-ayem’. Hayuningrat, akan membangunkan mimpi-mimpi indah dari kenyataan, akan membangunkan nikmat illusi menjadi kenyataan. Dan supaya Aku pun rindu, pada makhluk yang ada di muka bumi. Bawalah wahai Dewi Windradi.”
Bersambung...................
Welcome
“Pinandita Sanggraha Nusantara”
sebagai wadah pemersatu
Para Pinandita/Pemangku/Wasi/Dukun
di seluruh Nusantara.
Kalender Bali
Profile
Basic Info
Religion & SpiritualtyContact Info
email:sanggrahanusantara@gmail.com office:Pinandita Sanggraha Nusantara "Pura ADITYA JAYA" Jl. Daksinapati No. 10 Rawamangun Jakarta Timur Telp:(+6221) 7098-3858, 770-3574, 546-3858 Fax:(+6221) 546-3811 Bank BRI Cab. Pancoran Jakarta Rekening Britama Nomer : 0390-01-001235-50-8 Bank Mandiri Cab. Jakarta KP Pertamina Rekening Giro Nomer : 119-0004754048 DONASI/PUNIA ANDA SANGAT BERARTI dan BERMANFAAT BAGI PENGEMBANGAN PINANDITA SANGGRAHA NUSANTARA |
Bagaimana blog PSN sekarang?
Thursday, June 24, 2010
Thursday, June 17, 2010
Realisasi Pangruwating Diyu Dan Sejarah ” Cupu Manik Astagina ” (Bagian 3)
Disarikan kembali oleh : Pinandita Astono Chandra Dana
Tetapi dendam kepada Puterinya, tak ada obatnya! Cinta kepada anak tak mampu digantikan atau dialihkan kepada siapapun manusianya. Secinta apapun pada orang lain yang dianggap sebagai anak, tidak seindah dan sekokoh cinta kepada anak yang dilahirkan. Ini hukum alam. Namun, Seandainya manusia bisa mencintai anak yang tidak dilahirkan, itu berarti sedang meraih cinta Hyang Parama Kawi.
Dendam Sang Prabu sebagai ayah, tak mampu terobati. Karena cinta pada anak yang dilahirkan tak bisa dipungkiri, lebih tinggi gejolaknya daripada cintanya kepada anak yang tidak dilahirkan. Dan pada puncak dendamnya, sang raja pun menjatuhkan perintah kepada pasukan pilihan, melalui Senopati tertinggi untuk menangkap Dewi Windradi.
Maka langkah gontai dengan segala penderitaan Dewi Windradi berhadapan dengan pasukan pilihan dari ayahandanya. Sang Dewi pun dikembalikan ke Istana, sebagai tawanan! Dan dipenjarakan di bawah tanah, di bawah istananya sendiri.
”Anakku engkau harus menerima ganjaran atas dosa-dosamu. Bagi Sang Dewa, wahai anakku, lebih senang kepada aku sebagai raja daripada kepadamu, kepada anak durhaka. Supaya sang Dewa membebaskan dosa-dosamu. Sang Dewa bersabda kepadaku, supaya memenjarakan engkau di bawah tanah.”
”Ayah. Aku terima, aku siap dipenjara. Bukan atas nama Dewa, tapi atas nama cinta Ayah, cinta Ibu. Aku siap dipenjarakan karena hutang cinta dan perawatan saat aku dilahirkan hingga dewasa. Dan akupun yakin sang Dewa akan membebaskan diriku, manakala hutang ini telah selesai.”
Sang Dewi pun dipenjara dengan senyum kepasrahan. Dan disuatu saat, dalam salah satu kunjungan Ayahandanya ke tempat dia dipenjarakan, Sang Dewi menyampaikan isi hatinya kepada sang Prabu.
”Wahai Ayahanda”, ujar sang Dewi, ”Izinkanlah aku mengungkapkan isi hatiku. Ayahku, kenapa aku menolak dijodohkan. Aku tak mengerti apa yang dikatakan cinta kepada lelaki. Jiwaku dan perasaanku tidak tahu tentang cinta itu sendiri, walau kawan-kawanku berkata tentang Ksatria yang gagah dengan segala keceriaan dan perasaan.
Di relung jiwaku, tak ada perasaan cinta seperti itu. Manakala kawan-kawanku bercerita tentang kegagahan lelaki, tubuhnya, keindahan wajahnya dan kesaktiannya. Sekali lagi, di relung hatiku tak mempunyai perasaan kagum kepada mereka. Dan, saudara-saudaraku yang telah menikah, bercerita tentang kenikmatan hubungan suami-Isteri di ranjang. Akupun tak punya perasaan seperti itu, wahai Ayahku. Cinta dan syahwat, barangkali bukan milikku.
Biarkanlah aku merdeka dari cinta dan syahwat. Hanya itulah wahai Ayahanda, yang perlu engkau ketahui kenapa aku menolak permintaanmu. semoga hal ini mengurangi murkamu”, Demikian Dewi Windradi.
Dalam penjara bawah tanah, dalam ruang yang sempit, sang Dewi bertapa. Diantara kerinduan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kerinduan kepada Ibundanya yang telah tiada di istana dan rasa memaafkan kepada ayahandanya. Memadu dalam tapanya. Maka rukhnya, jiwanya, keluar dari badannya.
Fisiknya di penjara tapi rukh dan jiwanya keluar, bebas dari penjara. Begitu keluar dari penjara, ternyata rukh dan jiwanya melihat cahaya. Cahaya itu pun diikutinya. Dan akhirnya dari perjalanan mengikuti cahaya itu adalah, tatkala ternyata cahaya tersebut masuk ke dalam diri seorang wanita, seorang ibu yang sedang menjaga anak-anaknya. Begitu masuk ke tubuh wanita tersebut yang ternyata adalah Dewi Sukesih, Dewi Windradi bertanya,
”Kakanda. Aku datang mengejar cahaya. Cahaya itu masuk ke dalam tubuhmu, cahaya apakah itu?”
Dewi Sukesih karena sudah memakai Atma, lulus dalam Sastra Jendra dan sudah mendapat ridho para Dewa. Cepat menangkap maksud Dewi Windradi ini.
”Wahai anakku, engkau telah hadir. Kerinduan aku tentang anak, dambaan aku tentang anak yang memiliki keindahan bathin dan keindahan hati. Sang Dewa mengutus engkau sebagai anakku. Engkau adalah anakku yang tidak pernah kulahirkan. Rukhmu, Jiwamu adalah anakku. Manakala aku menjelang masuk ke Surgawi. Dalam tubuhku meronta seorang bayi, namun aku belun tersentuh lelaki. Tubuhku meronta, menolak engkau hadir dalam kehamilan. Engkau adalah anakku, bayi yang kurasakan sejak di perbatasan Nirwana. Karena sang Dewa mendengar rontaan hatiku. Kehamilanku diambil alih oleh seorang wanita yang kau kenal sebagai ibumu. Engkau adalah anakku, darah dagingku, jiwaku”, Dewi Windradi pun dipeluknya.
Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih, saat gagal digoda oleh Batara Guru, sebenarnya jiwa masing-masing sudah saling bermesraan. Walau tanpa sentuhan fisik. Saat ini terjadilah ”pembuahan” di bumi, terlahir jabang bayi, Dewi Windradi.
”Yang Maha Agung, Yang Maha Esa. Betapa Engkau mengabulkan kerinduan kepada anak-anakku. Sarpa Kenaka, biarlah terpenjara oleh kemurkaan Engkau. Tetapi anakku yang satu ini adalah Sarpa Kenaka yang telah Engkau selamatkan. Terima kasih, Duhai, Yang Maha Agung”, Demikian doa syukur dari Dewi Sukesih.
”Ibuku, akupun merasa, betapa saat aku dibesarkan oleh ayahku dan ibuku. Aku merasa terasing dalam Istana. Kasih sayang mereka tetap kurasakan, tetapi keterasingan jiwa ini, keterasingan fikiran ini seolah-olah aku bukan anak mereka. Hari ini, ternyata Maha Dewa telah mempertemukan aku dengan Ibuku sejati.”
Demikianlah proses Ibu dan anak yang tidak pernah dilahirkan, namun dititipkan sebagai ”anak titipan.”
”Wahai Ibuku”, kata Dewi Windradi, ”Cahaya yang lebih terang, telah hadir di hadapanku. Izinkan aku mengikuti cahaya ini.”
Dan setelah mendapat restu dari sang Ibu, Dewi Windradi pun mengikuti cahaya itu. Ternyata, cahaya itu berasal dari Batara, Wisrawa yang sedang bertapa. Dan Batara Wisrawa ternyata lebih memahami makna kehadiran sang Dewi.
”Selamat datang wahai anak jati diriku. Engkau telah menggembirakan aku dari kesakitan tentang anak-anaku yang terpenjara. Selamat datang Puteriku, engkau telah membebaskan penderitaan aku dari kecintaan yang dalam kepada Sarpa Kenaka. Engkau adalah jelmaan Sarpa Kenaka yang telah terbebas dari penjara. Engkau lahir dari ukiran cinta kami berdua, engkau lahir dari keikhlasan kami berdua, engkau dari kepasrahan kami berdua. Dan saudaramu Sarpa Kenaka adalah lahir dari ukiran syahwat kami berdua, syahwat yang telah kami renda bersama. Engkau adalah hasil ukiran keikhlasan kami di hadapan para Dewa. Izinkanlah, aku memelukmu, wahai Puteriku.”
Manakala Batara Wisrawa memeluk Dewi Windradi, terjadilah kekuatan yang hebat! Dewi Windradi naik, mengangkasa. Jejak-jejak dari sang Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih, jejaknya sampai ke Nirwana. Diulang kembali oleh Dewi Windradi. Sang Dewi pun berangkat. Langit demi langit, alam demi alam, nilai demi nilai, terarungi. Sastra Jendra Hayuningrat jelas mengalir di jiwa dan perasaannya. Langsung dimengerti dan dipahami, tanpa terjemah dan tanpa penjelasan. Karena Nurani Sang Dewi adalah suara para Dewa di Kahyangan. Nurani Dewi Windradi adalah perwakilan cinta yang diukir oleh Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih. Maka sampailah Dewi Windradi di perbatasan Kahyangan. Sampai di pintu Sela Menangkep. Gerbang Loka dari Surga, Gerbang loka dari kesempurnaan nikmat.
Para Dewa gempar! Para Bidadari ramai!
”Itu ada anak manusia datang kembali akan mencoba masuk ke Nirwana ini”, kata salah satu dari para Dewa.
Sebagaimana biasa, Batara Narada bicara dengan adiknya, Batara Guru.
”Dindaku Batara Guru, engkau ada tugas. Halangilah anak manusia itu. Masuklah ke jagad jiwanya, godalah kewanitaannya. Agar dia gagal masuk ke Nirwana ini.”
Namun betapa kaget batara Guru, tatkala dirinya mencoba masuk ke jagad jiwa Dewi Windradi. Batara Guru mental kembali ke Nirwana.
”Wahai kakanda Batara Narada, aku gagal masuk ke jagad jiwanya. Pintu kewanitaannya tertutup rapat, segala daya sudah kuusahakan. Namun kekuatan tak terlihat keluar dari jagad bathinnya.”
Batara Narada bingung. Mengapa hal seperti ini bisa terjadi?
Bersambung..........
Tetapi dendam kepada Puterinya, tak ada obatnya! Cinta kepada anak tak mampu digantikan atau dialihkan kepada siapapun manusianya. Secinta apapun pada orang lain yang dianggap sebagai anak, tidak seindah dan sekokoh cinta kepada anak yang dilahirkan. Ini hukum alam. Namun, Seandainya manusia bisa mencintai anak yang tidak dilahirkan, itu berarti sedang meraih cinta Hyang Parama Kawi.
Dendam Sang Prabu sebagai ayah, tak mampu terobati. Karena cinta pada anak yang dilahirkan tak bisa dipungkiri, lebih tinggi gejolaknya daripada cintanya kepada anak yang tidak dilahirkan. Dan pada puncak dendamnya, sang raja pun menjatuhkan perintah kepada pasukan pilihan, melalui Senopati tertinggi untuk menangkap Dewi Windradi.
Maka langkah gontai dengan segala penderitaan Dewi Windradi berhadapan dengan pasukan pilihan dari ayahandanya. Sang Dewi pun dikembalikan ke Istana, sebagai tawanan! Dan dipenjarakan di bawah tanah, di bawah istananya sendiri.
”Anakku engkau harus menerima ganjaran atas dosa-dosamu. Bagi Sang Dewa, wahai anakku, lebih senang kepada aku sebagai raja daripada kepadamu, kepada anak durhaka. Supaya sang Dewa membebaskan dosa-dosamu. Sang Dewa bersabda kepadaku, supaya memenjarakan engkau di bawah tanah.”
”Ayah. Aku terima, aku siap dipenjara. Bukan atas nama Dewa, tapi atas nama cinta Ayah, cinta Ibu. Aku siap dipenjarakan karena hutang cinta dan perawatan saat aku dilahirkan hingga dewasa. Dan akupun yakin sang Dewa akan membebaskan diriku, manakala hutang ini telah selesai.”
Sang Dewi pun dipenjara dengan senyum kepasrahan. Dan disuatu saat, dalam salah satu kunjungan Ayahandanya ke tempat dia dipenjarakan, Sang Dewi menyampaikan isi hatinya kepada sang Prabu.
”Wahai Ayahanda”, ujar sang Dewi, ”Izinkanlah aku mengungkapkan isi hatiku. Ayahku, kenapa aku menolak dijodohkan. Aku tak mengerti apa yang dikatakan cinta kepada lelaki. Jiwaku dan perasaanku tidak tahu tentang cinta itu sendiri, walau kawan-kawanku berkata tentang Ksatria yang gagah dengan segala keceriaan dan perasaan.
Di relung jiwaku, tak ada perasaan cinta seperti itu. Manakala kawan-kawanku bercerita tentang kegagahan lelaki, tubuhnya, keindahan wajahnya dan kesaktiannya. Sekali lagi, di relung hatiku tak mempunyai perasaan kagum kepada mereka. Dan, saudara-saudaraku yang telah menikah, bercerita tentang kenikmatan hubungan suami-Isteri di ranjang. Akupun tak punya perasaan seperti itu, wahai Ayahku. Cinta dan syahwat, barangkali bukan milikku.
Biarkanlah aku merdeka dari cinta dan syahwat. Hanya itulah wahai Ayahanda, yang perlu engkau ketahui kenapa aku menolak permintaanmu. semoga hal ini mengurangi murkamu”, Demikian Dewi Windradi.
Dalam penjara bawah tanah, dalam ruang yang sempit, sang Dewi bertapa. Diantara kerinduan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kerinduan kepada Ibundanya yang telah tiada di istana dan rasa memaafkan kepada ayahandanya. Memadu dalam tapanya. Maka rukhnya, jiwanya, keluar dari badannya.
Fisiknya di penjara tapi rukh dan jiwanya keluar, bebas dari penjara. Begitu keluar dari penjara, ternyata rukh dan jiwanya melihat cahaya. Cahaya itu pun diikutinya. Dan akhirnya dari perjalanan mengikuti cahaya itu adalah, tatkala ternyata cahaya tersebut masuk ke dalam diri seorang wanita, seorang ibu yang sedang menjaga anak-anaknya. Begitu masuk ke tubuh wanita tersebut yang ternyata adalah Dewi Sukesih, Dewi Windradi bertanya,
”Kakanda. Aku datang mengejar cahaya. Cahaya itu masuk ke dalam tubuhmu, cahaya apakah itu?”
Dewi Sukesih karena sudah memakai Atma, lulus dalam Sastra Jendra dan sudah mendapat ridho para Dewa. Cepat menangkap maksud Dewi Windradi ini.
”Wahai anakku, engkau telah hadir. Kerinduan aku tentang anak, dambaan aku tentang anak yang memiliki keindahan bathin dan keindahan hati. Sang Dewa mengutus engkau sebagai anakku. Engkau adalah anakku yang tidak pernah kulahirkan. Rukhmu, Jiwamu adalah anakku. Manakala aku menjelang masuk ke Surgawi. Dalam tubuhku meronta seorang bayi, namun aku belun tersentuh lelaki. Tubuhku meronta, menolak engkau hadir dalam kehamilan. Engkau adalah anakku, bayi yang kurasakan sejak di perbatasan Nirwana. Karena sang Dewa mendengar rontaan hatiku. Kehamilanku diambil alih oleh seorang wanita yang kau kenal sebagai ibumu. Engkau adalah anakku, darah dagingku, jiwaku”, Dewi Windradi pun dipeluknya.
Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih, saat gagal digoda oleh Batara Guru, sebenarnya jiwa masing-masing sudah saling bermesraan. Walau tanpa sentuhan fisik. Saat ini terjadilah ”pembuahan” di bumi, terlahir jabang bayi, Dewi Windradi.
”Yang Maha Agung, Yang Maha Esa. Betapa Engkau mengabulkan kerinduan kepada anak-anakku. Sarpa Kenaka, biarlah terpenjara oleh kemurkaan Engkau. Tetapi anakku yang satu ini adalah Sarpa Kenaka yang telah Engkau selamatkan. Terima kasih, Duhai, Yang Maha Agung”, Demikian doa syukur dari Dewi Sukesih.
”Ibuku, akupun merasa, betapa saat aku dibesarkan oleh ayahku dan ibuku. Aku merasa terasing dalam Istana. Kasih sayang mereka tetap kurasakan, tetapi keterasingan jiwa ini, keterasingan fikiran ini seolah-olah aku bukan anak mereka. Hari ini, ternyata Maha Dewa telah mempertemukan aku dengan Ibuku sejati.”
Demikianlah proses Ibu dan anak yang tidak pernah dilahirkan, namun dititipkan sebagai ”anak titipan.”
”Wahai Ibuku”, kata Dewi Windradi, ”Cahaya yang lebih terang, telah hadir di hadapanku. Izinkan aku mengikuti cahaya ini.”
Dan setelah mendapat restu dari sang Ibu, Dewi Windradi pun mengikuti cahaya itu. Ternyata, cahaya itu berasal dari Batara, Wisrawa yang sedang bertapa. Dan Batara Wisrawa ternyata lebih memahami makna kehadiran sang Dewi.
”Selamat datang wahai anak jati diriku. Engkau telah menggembirakan aku dari kesakitan tentang anak-anaku yang terpenjara. Selamat datang Puteriku, engkau telah membebaskan penderitaan aku dari kecintaan yang dalam kepada Sarpa Kenaka. Engkau adalah jelmaan Sarpa Kenaka yang telah terbebas dari penjara. Engkau lahir dari ukiran cinta kami berdua, engkau lahir dari keikhlasan kami berdua, engkau dari kepasrahan kami berdua. Dan saudaramu Sarpa Kenaka adalah lahir dari ukiran syahwat kami berdua, syahwat yang telah kami renda bersama. Engkau adalah hasil ukiran keikhlasan kami di hadapan para Dewa. Izinkanlah, aku memelukmu, wahai Puteriku.”
Manakala Batara Wisrawa memeluk Dewi Windradi, terjadilah kekuatan yang hebat! Dewi Windradi naik, mengangkasa. Jejak-jejak dari sang Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih, jejaknya sampai ke Nirwana. Diulang kembali oleh Dewi Windradi. Sang Dewi pun berangkat. Langit demi langit, alam demi alam, nilai demi nilai, terarungi. Sastra Jendra Hayuningrat jelas mengalir di jiwa dan perasaannya. Langsung dimengerti dan dipahami, tanpa terjemah dan tanpa penjelasan. Karena Nurani Sang Dewi adalah suara para Dewa di Kahyangan. Nurani Dewi Windradi adalah perwakilan cinta yang diukir oleh Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih. Maka sampailah Dewi Windradi di perbatasan Kahyangan. Sampai di pintu Sela Menangkep. Gerbang Loka dari Surga, Gerbang loka dari kesempurnaan nikmat.
Para Dewa gempar! Para Bidadari ramai!
”Itu ada anak manusia datang kembali akan mencoba masuk ke Nirwana ini”, kata salah satu dari para Dewa.
Sebagaimana biasa, Batara Narada bicara dengan adiknya, Batara Guru.
”Dindaku Batara Guru, engkau ada tugas. Halangilah anak manusia itu. Masuklah ke jagad jiwanya, godalah kewanitaannya. Agar dia gagal masuk ke Nirwana ini.”
Namun betapa kaget batara Guru, tatkala dirinya mencoba masuk ke jagad jiwa Dewi Windradi. Batara Guru mental kembali ke Nirwana.
”Wahai kakanda Batara Narada, aku gagal masuk ke jagad jiwanya. Pintu kewanitaannya tertutup rapat, segala daya sudah kuusahakan. Namun kekuatan tak terlihat keluar dari jagad bathinnya.”
Batara Narada bingung. Mengapa hal seperti ini bisa terjadi?
Bersambung..........
Katagori
Pustaka-Pustaka
Thursday, June 10, 2010
Realisasi Pangruwating Diyu Dan Sejarah ” Cupu Manik Astagina ” (Bagian 2)
Cupu Manik Banyu Kahuripan ( Cupu Manik Astagina II )
Setelah Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih dengan sempurna menggunakan Atma yang dikirim oleh Batara Narada dari puncak Nirwana. Sang Begawan naik harkat, jadi Batara.
Batara Wisrawa berkunjung ke Nirwana membawa amanah Hing Murbeng Agung, untuk membawa Cupu Manik Banyu Kahuripan. Yaitu ”Cupu” yang berisi paduan air kehidupan dunia dengan cahaya permata sendu yang ada di Nirwana.
Pada saat Batara Wisrawa berkunjung ke Nirwana, sang Atma membawa fisiknya yang asli, jiwanya yang asli, fikirannya yang asli. Walaupun fisiknya yang biasa, yang dilahirkan bersila, bertapa di dalam pengosongan raga, mati raga. Namun manakala tugas mendidik anak-anaknya memanggil, maka sang Batara harus membawa serta fisik yang dilahirkan, bukan fisik atma. Karena fisik yang dilahirkan lebih pandai dalam menyampaikan ungkapan-ungkapan, ucapan-ucapan, kata-kata. Jadi, kebohongan manusia pada dasarnya berangkat dari ingin memperindah kata-kata dalam semua masalah. Ingin ”memoles” permasalahan yang diungkapkan, supaya lawan bicara tertarik.
Hal ini, sekalipun pas dengan kebenaran hakiki, ungkapan-ungkapan estetika, dialektika manusia, itu di hadapan Hyang Widhi adalah dosa-dosa kecil yang tidak terasa. Demikianlah Batara Wisrawa, dalam mendidik anak-anaknya, tanggung-jawab pada masyarakat, harus bangun dari tapanya. Sepenuhnya dengan fisik daging hasil proses pembuahan kedua orangtua-nya.
Dan manakala Cupu Manik Banyu Kahuripan di bawa kembali, mengalirlah cahaya-cahaya permata surgawi. Menyinari alam raya ini, menyinari semua planet. Dan anehnya, planet-planet lain, begitu terbiasi, teradiasi oleh cahaya Cupu Manik Banyu Kahuripan, maka dengan jelas kegelapan planet tersibak! Benderang oleh cahaya Cupu Manik Banyu Kahuripan ini, bukan oleh cahaya matahari.
Namun manakala sang Batara sampai ke bumi, cahaya itu lebih banyak lagi yang keluar, meradiasi, menyoroti, tapi tidak benderang di muka bumi ini, tidak bercahaya, diterima oleh muka bumi ini. Karena cahaya ini ternyata masuk langsung ke dalam hati manusia, ke dalam jiwa manusia, ke dalam kerinduan secara massal kepada Yang Menciptakan di bawah sadar manusia. Menyinari pemikiran-pemikiran manusia untuk berbuat baik, menciptakan strategi untuk menyajikan kebaikan. Maka seluruh umat manusia memiliki keinginan untuk menjadi baik, ingin menyayangi semua umat, walaupun cahaya ini bergelombang di balik kesadaran masing-masing manusia.
Manakala sang Batara bertapa, cahaya itu semakin bersinar, meradiasi semua permukaan bumi dan manusia itu sendiri. Yang tadinya induk-induk hewan hanya menyusui, tanpa kuasa untuk terus mendampingi hingga anaknya besar. Dan diam tak berdaya, tatkala baru saja melahirkan, harus melayani ajakan senggama dari pejantan. Namun Hikmah dari Cupu Manik Banyu Kahuripan ini, membuat induk-induk hewan dengan sabar menanti, menghantar anak-anaknya hingga besar. Dan ada kekuatan untuk berjuang melawan ajakan senggama sang pejantan.
Bunga-bunga yang tadinya cepat kuncup, enggan kuncup! Dia menuntut pada pencipta untuk menjadi buah. Maka beribu habitat jenis bunga, yang tadinya hanya sampai mekar dan layu, berlanjut menghasilkan berupa buah. Buah-buahan pun yang tadinya sekedar manis, menjadi sangat manis. Sebuah proses alam, evolusi alam raya.
Manakala sang Batara bertapa, saat itu pula jiwa-jiwa manusia berbunga dengan harapan-harapan masa depan yang gemilang, bergerak dalam membangun Dharma, amal Ibadah. Untuk menghasilkan buah bagi dirinya sendiri, buah keimanan bagi dirinya sendiri ataupun buah keimanan bagi umat manusia.
Manakala sang Batara bangun dari tapanya, hewan dan tumbuh-tumbuhan riang gembira dalam memperbesar masing-masing fungsinya.
Namun demikian, Batara Wisrawa sendu. Batara Wisrawa melihat keberkahan cahaya ini diterima oleh semua pihak. Mengapa anak-anakku tidak menerima cahaya ini?
Sebuah pertanyaan yang paling menyakitkan, yang tersembunyi di balik jiwa Batara Wisrawa. Kesakitan bertambah sakit dan luka, karena tak mampu mengadu kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tak mampu memohon kepada-Nya, kalau ada hubungannya dengan anak-anaknya. Jeritan hatinya hanya diobati oleh kesempurnaan cinta kepada anak-anaknya. Suara hatinya bergelora, dalam kesakitan.
”Wahai anakku Rahwana, hanya cinta ayahmu yang dapat menghantarmu. Hanya cinta ibumu yang dapat menghangatkan, dalam membesarkan dirimu.”
”Wahai anakku Sarpa Kenaka, aku tak mampu menghantar engkau dengan cahaya cinta yang kugenggam, tetapi engkau akan kuhantar dengan kekuatan cinta yang kukumpulkan, yang aku besarkan, yang aku rawat dengan segala pengorbanan.”
”Wahai anakku Kumbakarna, tidurlah engkau dalam cintaku, tidurlah engkau dalam genggaman ibumu.”
Itulah. Hanya suara hati yang meronta!
Karena Titis tulis Hing Widhi, tak mampu diubah. Anak-anaknya mengalir, terpenjara oleh takdir yang tak mampu dibedah.
Sang waktu pun bergulir terus, Batara Wisrawa membelainya dengan tapa dan tugas membesarkan anak-anaknya, serta berangkat dan pulang ke Nirwana. Setiap pulang dari Nirwana, cahaya Kesucian Permata Sendu bertambah camerlang, yang tersimpan dalam Cupu manik Banyu Kahuripan. Maka habitat hewan dan tumbuhan terus berkembang dan berkembang. Manusia pun keturunannya bertambah dan berkembang, meramaikan hiruk pikuk kehidupan di muka bumi.
Cupu Manik Hayuningrat (Cupu Manik Astagina III)
Sementara Batara Wisrawa mengisi waktunya dengan tapa dan tugas mendidik anak-anaknya.
Di lain tempat, ada satu negeri. Kerajaan, yang memiliki seorang Puteri yang sangat cantik jelita, Dewi Windradi (Retna Windradi, dalam wayang), tengah diperebutkan oleh para raja, para pangeran, para satria ataupun para pembesar negeri lainnya. Dan sang raja, ayahanda Dewi Windradi begitu terpukau oleh kegagahan raja-raja yang melamar. Sang Dewi pun dipanggil oleh ayahandanya.
”Wahai anakku, Dewi Windradi. Engkau telah mekar, Wanodya yang sangat cantik. Betapa seluruh dunia mengagumi kejelitaanmu, sudah saatnya memilih mereka, menjadi calon suamimu.”
”Anakku Dewi Windradi”, berkata pula ibunya, ”Ibumu dulu memilih ayahmu sebagai tempat menumpahkan kasih sayang. Sebagai kawan dalam berjalan, sebagai sahabat di dalam kegembiraan. Dan, Engkau lahir karena itu semua wahai anakku.”
Namun sang anak meronta, menangis. Menolak! Dan semua raja, semua pangeran, semua ksatria atau siapapun yang melamar di tolaknya. Marahlah kedua orang-tuanya, hingga ia pun akhirnya diadili oleh kedua orang-tuanya.
”Anakku Dewi Windradi, engkau telah mencemari namaku sebagai Raja. Penolakan engkau adalah penghinaan. Penghinaan engkau kepada ayahmu berarti penghinaan raja-raja kepada aku. Engkau telah melawan ayahmu!”
”Wahai ayahku, engkau bapakku ternyata lebih mencintai penghomatan sebagai raja, daripada cinta kepada anakmu”, jawab Dewi Windradi.
”Engkau lebih mencintai penghormatan dari umat, dari masyarakat, daripada cinta padaku. Aku pun, anakmu, harus mengakui bahwa aku lebih menghormati cinta Hing Murbeng Asih daripada aku menerima cintamu sebagai ayah. Dan matahatiku lebih jelas sekarang, wahai ayahku. Engkau tidak mencintai aku, tapi engkau memanfaatkan aku demi ambisimu sebagai raja! Namun hatiku bertambah peka. Betapa cinta Hing Murbeng Agung lebih tinggi, lebih agung, daripada engkau wahai ayahku.”
”Dewi Windradi!” sang ibu terpekik, ”Oh anakku, engkau jangan melawan ayahmu, walau bagaimanapun juga engkau sudah kami besarkan dalam pelukan cinta dan belaian kasih, mengapa engkau melawan?”
Dengan tenang, bahkan terlalu tenang, Dewi Windardi menatap Ibunya, namun dengan bibir yang agak tergetar.
Dewi Windradi menjawab.
”Wahai Ibuku, aku tahu. Ibu, di dalam kamar hatimu, tersimpan cinta kepada suamimu dan kepadaku sebagai anakmu. Engkau tersudut oleh dua kekuatan cinta, yang kadang-kadang seimbang, yang kadang bertengkar. Wahai Ibuku, Engkau menderita karena pertengkaran cinta kami. Karena itu Ibu, persembahkan kembali pertengkaran itu pada Hing Murbeng Asih. Jangan Ibu tersiksa oleh cinta pada suami dan cintamu kepada aku.”
Sang ayah bertambah murka!
”Dewi Windradi, ternyata engkau adalah anak yang sia-sia, berarti engkau adalah anak yang durhaka! Maka enyahlah dari Istana ini! Aku sudah tidak memiliki anak seperti engkau. Adik-adikmu, kakak-kakakmu, masih banyak yang akan mencintai aku. Dan juga adik-adikmu akan lahir. Akan lahir kembali bayi yang lain. Yang akan lebih mencintai aku daripada Engkau. Enyahlah engkau dari Istana ini!”
Sang Ibu terpekik! Sang Dewi tercekat! Sekilas tampak kilatan di matanya yang bening dan tenang, namun dalam sekejap sinar matanya kembali tenang. Setenang permukaan danau tanpa riak oleh buaian sang bayu, dengan tatap seolah tanpa ada kejadian apapun yang menimpa dirinya. Dewi Windradi, sambil langsung menatap mata sang ayah, dia berkata/
”Wahai ayahku, terima kasih atas jasamu dan perlindunganmu selama ini, itu tidak akan kulupakan, menggores dalam jiwa ini. Dan suatu saat akan aku ungkapkan kepada Hing Murbeng Agung bahwa engkau telah mencintai dan menyayangi aku. Namun akupun akan mengadu pada Sang Dewata Agung, bahwa engkau pun telah menjualku demi ambisimu. Aku, bukan barang, tapi harkat dan hati yang diciptakan oleh Hing Murbeng Agung. Karena ayah menganggapku barang, maka izinkanlah sang barang ini mengucapkan selamat tinggal.”
Maka Dewi Windradi pun meninggalkan istana. Sang Ibu menangis, meronta! Cinta kepada anaknya diputuskan oleh cinta kepada suaminya.
”Suamiku, mengapa engkau kejam seperti itu. Aku lebih tersiksa dari kedurhakaan anak kita, dan cinta inipun mudah-mudahan tidak selamanya utuh padamu. Semoga cinta aku kepadamu wahai suamiku, dibawa oleh cinta Dewi Windradi.”
”Isteriku”, kata Sang Prabu, ”Engkaupun harus tunduk padaku. Seorang isteri adalah kaki dari tubuhku, seorang isteri adalah lutut dari tubuhku, seorang isteri adalah dada dari tubuhku. Aku tidak takut kehilangan jari dari tubuhku, masih ada dada yang lain, masih ada punggung yang lain. Beribu kecantikan wajah, siap untuk diperisteri olehku. Enyahlah engkau! Kalau memang kau lebih mencintai Dewi Windradi.”
”Wahai suamiku cintaku tak utuh, kalau aku bersujud pada Hyang Widhi, namun cintaku utuh kembali, manakala aku menyujudi dirimu sebagai suamiku. Biarkanlah, aku memilih menyujudi Hing Murbeng Asih, supaya aku tidak tersiksa oleh cinta kepadamu. Izinkanlah cinta ini, yang telah kupersembahkan kepada Tuhan. Mengucapkan salam perpisahan, wahai suamiku.”
Sang isteri pun meninggalkan istana. Kepergian kedua wanita ini, masing-masing dengan langkahnya, dengan tujuannya yang belum jelas. Dewi Windradi dan Ibunya, masing-masing melangkah, pergi tak tentu arah. Sekedar mengikuti ujung jari kakinya.
Sang Prabu di Istananya yang megah. Resah, gelisah, berbagai perasaan bergolak di dadanya membakar jiwanya. Sebagai raja, dia merasa tak disujudi oleh hambanya, sebagai suami dia merasa betapa kelelakiannya dicampakkan begitu saja, sebagai ayah betapa dirinya dianggap sepi oleh sang anak. Pergolakan perasaan yang demikian dahsyat dimana antara keangkuhan, merasa terhina dan dilecehkan, silih menyusul, memadu, dan tumpang-tindih dalam jiwanya. Hingga menghempaskan sang Prabu pada suatu dendam. Dendam yang sangat tinggi! Dendam yang menghanguskan jiwanya, dendam yang menghujat dirinya sebagai raja! Dendam sang Prabu kepada Isterinya, untuk sementara waktu terobati dengan mengambil wanita cantik sebagai selir. Nafsu syahwat, keangkuhan lelaki dari sang raja, itu adalah hiburan dalam mengurangi dendam kepada mantan isterinya.
Bersambung..........
Setelah Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih dengan sempurna menggunakan Atma yang dikirim oleh Batara Narada dari puncak Nirwana. Sang Begawan naik harkat, jadi Batara.
Batara Wisrawa berkunjung ke Nirwana membawa amanah Hing Murbeng Agung, untuk membawa Cupu Manik Banyu Kahuripan. Yaitu ”Cupu” yang berisi paduan air kehidupan dunia dengan cahaya permata sendu yang ada di Nirwana.
Pada saat Batara Wisrawa berkunjung ke Nirwana, sang Atma membawa fisiknya yang asli, jiwanya yang asli, fikirannya yang asli. Walaupun fisiknya yang biasa, yang dilahirkan bersila, bertapa di dalam pengosongan raga, mati raga. Namun manakala tugas mendidik anak-anaknya memanggil, maka sang Batara harus membawa serta fisik yang dilahirkan, bukan fisik atma. Karena fisik yang dilahirkan lebih pandai dalam menyampaikan ungkapan-ungkapan, ucapan-ucapan, kata-kata. Jadi, kebohongan manusia pada dasarnya berangkat dari ingin memperindah kata-kata dalam semua masalah. Ingin ”memoles” permasalahan yang diungkapkan, supaya lawan bicara tertarik.
Hal ini, sekalipun pas dengan kebenaran hakiki, ungkapan-ungkapan estetika, dialektika manusia, itu di hadapan Hyang Widhi adalah dosa-dosa kecil yang tidak terasa. Demikianlah Batara Wisrawa, dalam mendidik anak-anaknya, tanggung-jawab pada masyarakat, harus bangun dari tapanya. Sepenuhnya dengan fisik daging hasil proses pembuahan kedua orangtua-nya.
Dan manakala Cupu Manik Banyu Kahuripan di bawa kembali, mengalirlah cahaya-cahaya permata surgawi. Menyinari alam raya ini, menyinari semua planet. Dan anehnya, planet-planet lain, begitu terbiasi, teradiasi oleh cahaya Cupu Manik Banyu Kahuripan, maka dengan jelas kegelapan planet tersibak! Benderang oleh cahaya Cupu Manik Banyu Kahuripan ini, bukan oleh cahaya matahari.
Namun manakala sang Batara sampai ke bumi, cahaya itu lebih banyak lagi yang keluar, meradiasi, menyoroti, tapi tidak benderang di muka bumi ini, tidak bercahaya, diterima oleh muka bumi ini. Karena cahaya ini ternyata masuk langsung ke dalam hati manusia, ke dalam jiwa manusia, ke dalam kerinduan secara massal kepada Yang Menciptakan di bawah sadar manusia. Menyinari pemikiran-pemikiran manusia untuk berbuat baik, menciptakan strategi untuk menyajikan kebaikan. Maka seluruh umat manusia memiliki keinginan untuk menjadi baik, ingin menyayangi semua umat, walaupun cahaya ini bergelombang di balik kesadaran masing-masing manusia.
Manakala sang Batara bertapa, cahaya itu semakin bersinar, meradiasi semua permukaan bumi dan manusia itu sendiri. Yang tadinya induk-induk hewan hanya menyusui, tanpa kuasa untuk terus mendampingi hingga anaknya besar. Dan diam tak berdaya, tatkala baru saja melahirkan, harus melayani ajakan senggama dari pejantan. Namun Hikmah dari Cupu Manik Banyu Kahuripan ini, membuat induk-induk hewan dengan sabar menanti, menghantar anak-anaknya hingga besar. Dan ada kekuatan untuk berjuang melawan ajakan senggama sang pejantan.
Bunga-bunga yang tadinya cepat kuncup, enggan kuncup! Dia menuntut pada pencipta untuk menjadi buah. Maka beribu habitat jenis bunga, yang tadinya hanya sampai mekar dan layu, berlanjut menghasilkan berupa buah. Buah-buahan pun yang tadinya sekedar manis, menjadi sangat manis. Sebuah proses alam, evolusi alam raya.
Manakala sang Batara bertapa, saat itu pula jiwa-jiwa manusia berbunga dengan harapan-harapan masa depan yang gemilang, bergerak dalam membangun Dharma, amal Ibadah. Untuk menghasilkan buah bagi dirinya sendiri, buah keimanan bagi dirinya sendiri ataupun buah keimanan bagi umat manusia.
Manakala sang Batara bangun dari tapanya, hewan dan tumbuh-tumbuhan riang gembira dalam memperbesar masing-masing fungsinya.
Namun demikian, Batara Wisrawa sendu. Batara Wisrawa melihat keberkahan cahaya ini diterima oleh semua pihak. Mengapa anak-anakku tidak menerima cahaya ini?
Sebuah pertanyaan yang paling menyakitkan, yang tersembunyi di balik jiwa Batara Wisrawa. Kesakitan bertambah sakit dan luka, karena tak mampu mengadu kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tak mampu memohon kepada-Nya, kalau ada hubungannya dengan anak-anaknya. Jeritan hatinya hanya diobati oleh kesempurnaan cinta kepada anak-anaknya. Suara hatinya bergelora, dalam kesakitan.
”Wahai anakku Rahwana, hanya cinta ayahmu yang dapat menghantarmu. Hanya cinta ibumu yang dapat menghangatkan, dalam membesarkan dirimu.”
”Wahai anakku Sarpa Kenaka, aku tak mampu menghantar engkau dengan cahaya cinta yang kugenggam, tetapi engkau akan kuhantar dengan kekuatan cinta yang kukumpulkan, yang aku besarkan, yang aku rawat dengan segala pengorbanan.”
”Wahai anakku Kumbakarna, tidurlah engkau dalam cintaku, tidurlah engkau dalam genggaman ibumu.”
Itulah. Hanya suara hati yang meronta!
Karena Titis tulis Hing Widhi, tak mampu diubah. Anak-anaknya mengalir, terpenjara oleh takdir yang tak mampu dibedah.
Sang waktu pun bergulir terus, Batara Wisrawa membelainya dengan tapa dan tugas membesarkan anak-anaknya, serta berangkat dan pulang ke Nirwana. Setiap pulang dari Nirwana, cahaya Kesucian Permata Sendu bertambah camerlang, yang tersimpan dalam Cupu manik Banyu Kahuripan. Maka habitat hewan dan tumbuhan terus berkembang dan berkembang. Manusia pun keturunannya bertambah dan berkembang, meramaikan hiruk pikuk kehidupan di muka bumi.
Cupu Manik Hayuningrat (Cupu Manik Astagina III)
Sementara Batara Wisrawa mengisi waktunya dengan tapa dan tugas mendidik anak-anaknya.
Di lain tempat, ada satu negeri. Kerajaan, yang memiliki seorang Puteri yang sangat cantik jelita, Dewi Windradi (Retna Windradi, dalam wayang), tengah diperebutkan oleh para raja, para pangeran, para satria ataupun para pembesar negeri lainnya. Dan sang raja, ayahanda Dewi Windradi begitu terpukau oleh kegagahan raja-raja yang melamar. Sang Dewi pun dipanggil oleh ayahandanya.
”Wahai anakku, Dewi Windradi. Engkau telah mekar, Wanodya yang sangat cantik. Betapa seluruh dunia mengagumi kejelitaanmu, sudah saatnya memilih mereka, menjadi calon suamimu.”
”Anakku Dewi Windradi”, berkata pula ibunya, ”Ibumu dulu memilih ayahmu sebagai tempat menumpahkan kasih sayang. Sebagai kawan dalam berjalan, sebagai sahabat di dalam kegembiraan. Dan, Engkau lahir karena itu semua wahai anakku.”
Namun sang anak meronta, menangis. Menolak! Dan semua raja, semua pangeran, semua ksatria atau siapapun yang melamar di tolaknya. Marahlah kedua orang-tuanya, hingga ia pun akhirnya diadili oleh kedua orang-tuanya.
”Anakku Dewi Windradi, engkau telah mencemari namaku sebagai Raja. Penolakan engkau adalah penghinaan. Penghinaan engkau kepada ayahmu berarti penghinaan raja-raja kepada aku. Engkau telah melawan ayahmu!”
”Wahai ayahku, engkau bapakku ternyata lebih mencintai penghomatan sebagai raja, daripada cinta kepada anakmu”, jawab Dewi Windradi.
”Engkau lebih mencintai penghormatan dari umat, dari masyarakat, daripada cinta padaku. Aku pun, anakmu, harus mengakui bahwa aku lebih menghormati cinta Hing Murbeng Asih daripada aku menerima cintamu sebagai ayah. Dan matahatiku lebih jelas sekarang, wahai ayahku. Engkau tidak mencintai aku, tapi engkau memanfaatkan aku demi ambisimu sebagai raja! Namun hatiku bertambah peka. Betapa cinta Hing Murbeng Agung lebih tinggi, lebih agung, daripada engkau wahai ayahku.”
”Dewi Windradi!” sang ibu terpekik, ”Oh anakku, engkau jangan melawan ayahmu, walau bagaimanapun juga engkau sudah kami besarkan dalam pelukan cinta dan belaian kasih, mengapa engkau melawan?”
Dengan tenang, bahkan terlalu tenang, Dewi Windardi menatap Ibunya, namun dengan bibir yang agak tergetar.
Dewi Windradi menjawab.
”Wahai Ibuku, aku tahu. Ibu, di dalam kamar hatimu, tersimpan cinta kepada suamimu dan kepadaku sebagai anakmu. Engkau tersudut oleh dua kekuatan cinta, yang kadang-kadang seimbang, yang kadang bertengkar. Wahai Ibuku, Engkau menderita karena pertengkaran cinta kami. Karena itu Ibu, persembahkan kembali pertengkaran itu pada Hing Murbeng Asih. Jangan Ibu tersiksa oleh cinta pada suami dan cintamu kepada aku.”
Sang ayah bertambah murka!
”Dewi Windradi, ternyata engkau adalah anak yang sia-sia, berarti engkau adalah anak yang durhaka! Maka enyahlah dari Istana ini! Aku sudah tidak memiliki anak seperti engkau. Adik-adikmu, kakak-kakakmu, masih banyak yang akan mencintai aku. Dan juga adik-adikmu akan lahir. Akan lahir kembali bayi yang lain. Yang akan lebih mencintai aku daripada Engkau. Enyahlah engkau dari Istana ini!”
Sang Ibu terpekik! Sang Dewi tercekat! Sekilas tampak kilatan di matanya yang bening dan tenang, namun dalam sekejap sinar matanya kembali tenang. Setenang permukaan danau tanpa riak oleh buaian sang bayu, dengan tatap seolah tanpa ada kejadian apapun yang menimpa dirinya. Dewi Windradi, sambil langsung menatap mata sang ayah, dia berkata/
”Wahai ayahku, terima kasih atas jasamu dan perlindunganmu selama ini, itu tidak akan kulupakan, menggores dalam jiwa ini. Dan suatu saat akan aku ungkapkan kepada Hing Murbeng Agung bahwa engkau telah mencintai dan menyayangi aku. Namun akupun akan mengadu pada Sang Dewata Agung, bahwa engkau pun telah menjualku demi ambisimu. Aku, bukan barang, tapi harkat dan hati yang diciptakan oleh Hing Murbeng Agung. Karena ayah menganggapku barang, maka izinkanlah sang barang ini mengucapkan selamat tinggal.”
Maka Dewi Windradi pun meninggalkan istana. Sang Ibu menangis, meronta! Cinta kepada anaknya diputuskan oleh cinta kepada suaminya.
”Suamiku, mengapa engkau kejam seperti itu. Aku lebih tersiksa dari kedurhakaan anak kita, dan cinta inipun mudah-mudahan tidak selamanya utuh padamu. Semoga cinta aku kepadamu wahai suamiku, dibawa oleh cinta Dewi Windradi.”
”Isteriku”, kata Sang Prabu, ”Engkaupun harus tunduk padaku. Seorang isteri adalah kaki dari tubuhku, seorang isteri adalah lutut dari tubuhku, seorang isteri adalah dada dari tubuhku. Aku tidak takut kehilangan jari dari tubuhku, masih ada dada yang lain, masih ada punggung yang lain. Beribu kecantikan wajah, siap untuk diperisteri olehku. Enyahlah engkau! Kalau memang kau lebih mencintai Dewi Windradi.”
”Wahai suamiku cintaku tak utuh, kalau aku bersujud pada Hyang Widhi, namun cintaku utuh kembali, manakala aku menyujudi dirimu sebagai suamiku. Biarkanlah, aku memilih menyujudi Hing Murbeng Asih, supaya aku tidak tersiksa oleh cinta kepadamu. Izinkanlah cinta ini, yang telah kupersembahkan kepada Tuhan. Mengucapkan salam perpisahan, wahai suamiku.”
Sang isteri pun meninggalkan istana. Kepergian kedua wanita ini, masing-masing dengan langkahnya, dengan tujuannya yang belum jelas. Dewi Windradi dan Ibunya, masing-masing melangkah, pergi tak tentu arah. Sekedar mengikuti ujung jari kakinya.
Sang Prabu di Istananya yang megah. Resah, gelisah, berbagai perasaan bergolak di dadanya membakar jiwanya. Sebagai raja, dia merasa tak disujudi oleh hambanya, sebagai suami dia merasa betapa kelelakiannya dicampakkan begitu saja, sebagai ayah betapa dirinya dianggap sepi oleh sang anak. Pergolakan perasaan yang demikian dahsyat dimana antara keangkuhan, merasa terhina dan dilecehkan, silih menyusul, memadu, dan tumpang-tindih dalam jiwanya. Hingga menghempaskan sang Prabu pada suatu dendam. Dendam yang sangat tinggi! Dendam yang menghanguskan jiwanya, dendam yang menghujat dirinya sebagai raja! Dendam sang Prabu kepada Isterinya, untuk sementara waktu terobati dengan mengambil wanita cantik sebagai selir. Nafsu syahwat, keangkuhan lelaki dari sang raja, itu adalah hiburan dalam mengurangi dendam kepada mantan isterinya.
Bersambung..........
Katagori
Pustaka-Pustaka
Wednesday, June 2, 2010
"Realisasi PANGRUWATING DIYU" dan Sejarah ” CUPU MANIK ASTAGINA ” (Bagian 1)
Disarikan kembali Oleh Pinadita Astono Chandra Dana
Om Swastyastu,
Setelah bersama-sama kita menyimak pendaran-pendaran sastra agung yang pernah diturunkan Hyang Murbeng Awisesa di alam jagat raya ini yakni SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT sebagai PANGRUWATING DIYU, sebagaimana 6 (enam) seri tulisan sebelumnya, maka pada kesempatan ini izinkan kami untuk kembali membuka dan menggali kembali keagungan falsafah suci dari Sastra Jendra Hayuningrat tersebut terutamanya mengenai realisasi dari Pangruwating Diyu.
Sebagaimana diketahui bahwa salah satu ilmu rahasia para dewata mengenai kehidupan di dunia adalah Serat Sastrajendra. Secara lengkap disebut Serat Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.
Serat = ajaran,
Sastrajendra = Ilmu mengenai raja.
Hayuningrat = Kedamaian.
Pangruwating = Memuliakan atau merubah menjadi baik.
Diyu = raksasa atau keburukan.
Raja disini bukan harfiah raja melainkan sifat yang harus dimiliki seorang manusia yang harus mampu untuk menguasai hawa nafsu dan panca inderanya dari kejahatan. Seorang raja harus mampu menolak atau merubah keburukan menjadi kebaikan.
Pengertiannya bahwa Serat Sastra Jendra adalah ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk merubah keburukan mencapai kemuliaan dunia dan akhirat.
Ilmu Sastrajendra adalah ilmu KEBATINAN yang menekankan sifat MENEGAKKAN KEBENARAN DARI SEGALA KEBATHILAN, sifat memimpin dengan amanah dan mau berkorban demi kepentingan rakyat.
Gambaran ilmu ini adalah mampu merubah raksasa menjadi manusia.
Dalam pewayangan, raksasa digambarkan sebagai mahluk yang tidak sesempurna manusia. Misalnya :
-Kisah prabu Salya yang malu karena memiliki ayah mertua seorang raksasa.
-Raden Sumantri atau dikenal dengan nama Patih Suwanda memiliki adik raksasa bajang bernama Sukrasana.
-Dewi Arimbi, istri Werkudara harus dirias sedemikian rupa oleh Dewi Kunti agar Werkudara mau menerima menjadi isterinya.
-Betari Uma yang disumpah/dikutuk menjadi raksesi oleh Betara Guru saat menolak melakukan hubungan suami istri pada waktu yang tidak tepat. Dimana anak hasil hubungan Betari Uma dengan Betara Guru tersebut terlahir sebagai raksasa sakti mandra guna dengan nama “ Betara Kala “ (kala berarti waktu, kala juga berarti keburukan atau kejahatan). Sedangkan Betari Uma kemudian bergelar Betari Durga menjadi pengayom kejahatan dan kenistaan di muka bumi dan memiliki tempat tersendiri yang disebut “ Kayangan Setra Gandamayit “. Wujud Betari Durga adalah raseksi yang memiliki taring dan gemar membantu terwujudnya kejahatan.
Melalui ilmu Sastrajendra maka simbol sifat-sifat keburukan raksasa yang masih dimiliki manusia akan dirubah menjadi sifat sifat manusia yang berbudi luhur. Karena melalui sifat manusia inilah kesempurnaan akal budi dan daya keruhanian mahluk ciptaan Tuhan diwujudkan.
Tulisan ini boleh dianggap sebagai kelanjutan pendaran Sastra Jendra Hayuningrat sebelumnya, dan kisahnya diawali dengan rasa Dendam yang dimiliki oleh Jambumangli yakni pamanda dari Dewi Sukesih kepada Bagawan Wisrawa, untuk lebih lengkapnya silahkan dikuti kisah berikut ini:
Ternyata ada dendam pada Begawan Wisrawa, dari seorang yang sangat sakti yaitu pamanda Dewi Sukesih, Jambumangli. Waktu para raja datang melamar Dewi Sukesih, semuanya dibunuh oleh Arya Jambumangli ini. Namun setelah tahu bahwa si keponakan diperisteri seorang resi, mengamuklah dia.
Datang kehadapan Begawan Wisrawa.
”Wahai Begawan, aku tidak mengira, kesucian dirimu sebagai pengemban Wedha, pengemban kebenaran, pengemban kesucian, ternyata hanyalah srigala yang berbadankan kebenaran dan kesucian. Wahai Begawan! Ternyata kependetaanmu hanyalah sandiwara. Padahal, aku cukup lama di puncak penghormatan hati ini, menyimpan penghormatan kepadamu, penghormatan ini runtuh dalam jiwa ini! Ternyata penghormatan kepadamu sebagai Resi tak pantas! Dan engkau tidak malu menghancurkan puteri Kakandaku, mencuri cinta anakmu sendiri! Dan engkau menodai dirimu sendiri di hadapan rakyat Alengka. Menghitamkan segala kesucianmu di hadapan rakyat Lokapala. Karena itu, aku memiliki ilmu yang belum pernah kugunakan. Seribu Ksatria akan mati, akan hancur oleh ilmuku ini. Aku tidak takut! Sekalipun engkau sakti mandraguna, wahai Resi.”
Ternyata segala caci-maki dan hinaan ini diterima sebagai ’nikmat’ oleh Begawan Wisrawa. Sang Begawan tunduk, malah bersimpuh kepada Arya Jambumangli. Sang Arya yang sedang mengamuk ini memanah sang Resi, dengan panah yang sakti. Berbagai panah menusuk ke tubuh sang resi. Beratus pusaka ditusukkan ke tubuh sang resi, sang resi membiarkan. Diam tak melawan. Karena ini semua dianggap pahala dari karmanya, siksa dunia atas noda yang diciptakannya.
Dalam hati sang Begawan berkata, ”Terima kasih wahai Dewa, Engkau telah menjadikan pengadilan di Nirwana, di dunia ini. Engkau mendahulukan pengadilan di Nirwana, di dunia ini. Bagiku ini adalah kehormatan yang sangat tinggi, wahai Sang Dewa. Ternyata Engkau masih menghormati diriku yang ternoda. Ternyata engkau tidak rela mengadili aku di Nirwana, tapi mengadili aku di jagad bumi ini. Betapa Engkau dan semua para Dewa menghormati aku. Biarkanlah siksaan ini membawa noda-noda dosa yang ada dalam jiwa dan fikiranku, wahai Dewa-Dewa .”
Dan ternyata, setiap senjata yang masuk dan keluar dari tubuhnya, tidak mengeluarkan darah setetes pun. Tambah disiksa oleh Jambumangli, tambah ikhlas, tambah nikmat dan tambah tinggi kesaktian yang ada dalam diri sang Begawan ini. Sampai ilmu apapun telah dikeluarkan, habis semua kesaktian Jambumangli.
”Wahai Resi, Pendeta yang melacur! Pendeta yang bersyahwat! Ternyata engkau sakti. Dan aku tidak menyimpan lagi kesaktian, karena aku tahu, kesaktian engkau karena kekuatan birahi yang engkau agungkan bersama keponakanku, Dewi Sukesih! Ternyata kesaktian engkau melampui kesaktian semua ksatria, karena engkau beli dengan syahwat yang tinggi. Karena engkau beli dengan tapa yang lama di dunia, dengan keserakahan cinta dan keserakahan syahwat menundukkan Dewi Sukesih. Aku mengaku atas kesaktianmu dan aku mengakui, kesaktian itu kau dibeli oleh syahwat dan puasa untuk mengejar syahwat, tapa untuk mengejar syahwat”, demikian Jambumangli.
Yang tadinya hinaan dirasakan sebagai sebuah kenikmatan bagi sang Begawan. Tapi fitnah ini, sanggup menimbulkan rasa sakit di jiwanya. Maka manakala sakit di jiwanya karena tidak merasa seperti itu muncul dengan deras, justru saat itu anak-anaknya yang tiga itu, tambah besar, tambah dewasa dengan cepat, tanpa lagi melalui proses waktu. Ketersinggungan sang Resi, cepat mendewasakan mereka. Sang Resi kembali ke jagad kesuciannya. Hanya jagad kesuciannyalah sebagai Iman seorang resi yang sempurna, yang dapat mengalahkan perasaan – perasaan ketersinggungan tersebut.
Datanglah suara dari Nirwana, ”Wahai Begawan Wisrawa, bunuhlah Arya Jambumangli. Karena keangkara murkaan yang telah disebar oleh anak-anakmu, cukup melampaui kemurkaan dunia, melampui noda dunia. Jangan sampai ditambah noda-noda angkara Jambumangli. Namun, bunuhlah Jambumangli, bukan dengan siksaan. Tapi bunuhlah dengan kenikmatan yang telah engkau bawa dari Sastra Jendra!”
Maka Sang Begawan mengeluarkan ”alat” dari tubuh dirinya sendiri. Pusaka itu bukan tersimpan di luar tubuhnya, tapi di dalam tubuh fisiknya. Diambillah sebuah pusaka dari perutnya, maka keluarlah satu cahaya kuning yang menyilaukan mata Jambumangli.
Jambumangli yang tadinya marah, mengamuk. Tiba-tiba, tersenyum, keluarlah keringat dari sekujur tubuhnya terus membuka bajunya sendiri, telanjang bulat! Maka tampaklah suatu pandangan yang ganjil.
Jambumangli sebagaimana seseorang (laki-laki) yang sedang dipermainkan oleh suatu birahi yang maha dahsyat, seksnya terangsang, nafasnya mendengus sebagaimana nafas kuda jantan yang binal, gelisah!
Ternyata cahaya kuning dari Pusaka ini, membawa kabar, rekaman-rekaman peristiwa jadi kudanya Begawan sewaktu hubungan suami-isteri, pesta pora seks dengan Dewi Sukesih. Peristiwa itu, terulang kembali! Jambumangli ikut serta dalam pengulangan peristiwa tersebut. Dan di puncak syahwat, Jambumangli berguling-guling di tanah, yang disaksikan oleh sang Begawan. Akhirnya terungkaplah desah Jambumangli.
”Wahai Dewi Sukesih, ternyata aku berhasil memiliki dirimu, engkau jadi isteriku. Aku menyentuh tubuhmu, aku mencium tubuhmu, engkau mencintai aku Dindaku, isteriku. Engkau berhasil menjadi milikku dan aku puas hidup di dunia ini. Kekasihku, Cintaku, Dewi Sukesih”, demikian Jambumangli sambil tersenyum.
Maka senyuman itu sekaligus tarikan nafas yang terakhir. Jambumangli mati dalam kesempurnaan nikmat syahwat bersama Dewi Sukesih, seolah-olah. Padahal memang sesungguhnya terjadi seperti itu, karena Karunia Hyang Widhi terlalu luas. Tetap diberikan kenikmatan dan kenyataan memiliki Dewi Sukesih. Tetapi yang dimiliki bukan keikhlasan kesucian ilmu Sastra Jendra yang sudah ada dalam diri Dewi Sukesih. Yang dimiliki adalah fisik syahwatnya dan kewanitaan Dewi Sukesih. Dibawa serta dalam kematiannya.
Maka datanglah suara dari Nirwana.
”Wahai Begawan, engkau telah menyelesaikan tugasmu membunuh Jambumangli, demi ketenteraman dunia, dengan ilmumu. Dibunuh oleh peristiwa hidupmu, dibunuh oleh pengalaman hidupmu, oleh nafasmu, oleh cintamu. Dibunuh oleh keikhlasanmu dan dibunuh oleh kesaktian engkau. Namun bagian-bagian syahwat yang tersisa dari dirimu, karena peristiwa ’senggama’ telah engkau wariskan kepada Jambumangli. Dan oleh Jambumangli telah dibawa kembali ke sumbernya. Biarkanlah Jambumangli, kematiannya di alam kenikmatan seksual, karena itu semua kehendak Dewa Yang Agung.”
Dewi Sukesih menyaksikan peristiwa ini.
”Kakanda, betapa tragis! Aku takut, aku dibawa. Syahwatku, fisik tubuh kewanitaanku. Aku takut. Bukankah aku manusia yang harus menyertakan perasaan kewanitaanku?”
”Wahai Dewi Sukesih isteriku kau harus mensyukuri”, jawab Begawan Wisrawa. ”Engkau telah diruwat oleh pamanmu sendiri, yang mencintai syahwatmu, yang mencintai kewanitaanmu. Pesona tubuhmu telah sirna kini, di dunia, kembali ke tempat asalnya. Dibawa oleh kendaraan cinta yang ada dalam diri pamanmu.”
Batara Narada pun datang menyampaikan sabdanya.
”Anak-anakku, engkau telah menghantar bayi-bayi hingga besar. Seiring dengan usia bayi yang membesar, seiring pula dengan ampunan dari Yang Maha Murbeng, menyertai engkau. Kini engkau terbebas dari dosa, noda. Engkau suci dari ujung rambut hingga ujung kaki. Suci segala gejolak jagad fikiranmu, suci segala gejolak jagad bathinmu, jagad jiwamu, dan suci pula rukhmu. Aku kirimkan ’Atma’ dari puncak Surgawi, ’Atma’ dirimu. Atma dirimu akan Kukembalikan wahai Begawan, dan Atma dirimu wahai Dewi Sukesih. Pakailah kembali Atma dirimu, jati dirimu, yang telah lama engkau simpan di arsip Kahyangan, atas kehendak Hyang Widhi.”
Maka datanglah cahaya yang persis wajahnya, yang persis fisiknya. Dan sang Atma itupun mengucapkan salam.
”Wahai sang Begawan, aku terlalu lama engkau tinggalkan. Dan aku terlalu lama engkau lupakan, namun aku rindu padamu. Kerinduan ini dapat izin dari Hyang Widhi untuk kembali kepadamu. Terimalah aku, dalam rumah jiwamu, dalam rumah fikirarmu.”
Berkata sang Begawan.
”Selamat datang wahai diriku yang sudah lama kurindukan. Selamat datang hatiku yang sudah lama kulukis dengan kerinduan kepada kebenaran. Selamat datang, wahai jiwaku yang selama ini kugapai, masuklah ke dalam rumahmu, yang sudah lama engkau aku kotori. Masuklah ke dalam rumahmu, yang sudah lama aku nodai. Dan tidurlah dengan nyenyak, di tempat tidur yang terpercik oleh spermaku, Wahai diriku. Masuklah ke jagad yang lama kosong di dunia ini.”
Maka masuklah Atma itu ke dalam diri keduanya, Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih.
Bersabda Batara Narada.
”Wahai Begawan, engkau telah kembali pada dirimu. Engkau telah kembali kepada haq yang telah engkau genggam. Penderitaan yang telah engkau genggam, usai sudah. Pengorbanan yang harus engkau bayar telah selesai, dharma tak perlu lagi karena sang Atma adalah dharma. Ibadah sudah tak perlu lagi, karena sang Atma, adalah ibadah. Engkau menjadi bagian dari kami, para dewa di Surgawi. Dan engkau telah menjadi dewa di dunia ini, di bumi ini. Wahai Begawan, segeralah berkunjung ke Nirwana. Tapi engkau, wahai Dewi Sukesih, masih punya tugas untuk membesarkan anak-anakmu. Maka manakala engkau rindu kepada Hyang Widhi, datanglah ke Nirwana dalam tapamu. Dan manakala engkau terpanggil oleh tanggung-jawab kepada cinta anak-anakmu, bangunlah dari tapamu.”
Sang Dewi menjerit
”Wahai sang Dewa Narada, kenapa aku tak diundang ke Nirwana?”
Batara Narada menjawab.
”Wahai Ratu Bumi, wahai Ratu Dunia, cinta kasihmu masih diperlukan oleh umat manusia. Cinta kasihmu masih diperlukan untuk mengembangkan keturunan manusia untuk mengembangkan semua habitat hewan dan tumbuh-tumbuhan. Supaya daun tetap lestari, supaya bumi tetap berjalan. Engkau harus terima dharma ini sebagai penghormatan dari kami para Dewa. Biarkanlah suami lebih dulu berkunjung ke Nirwana. Tunggulah, sampai sang Dewa mengajak engkau ke Nirwana. Dengan rukhmu, dengan tubuhmu, dengan jiwamu.”
Sang Begawan pun bolak-balik, Nirwana Dunia (bumi) di dalam tapanya. Manakala Begawan Wisrawa dijemput di Nirwana oleh para Dewa, para Bidadari, khususnya Batara Narada dan Batara Guru, dan Batara-batara lainnya. Mereka bertanya kepada sang Begawan ini yang namanya bukan lagi Begawan atau Resi, tetapi sudah menjadi Batara.
Batara Wisrawa (Dalam pewayangan disebut Batara Ismaya).
”Wahai Batara Wisrawa, apakah engkau bisa membersihkan air-air noda dunia dari Permata Kehidupan, Permata yang ada di dinding Nirwana ini? Kami para Dewa tak mampu membersihkan air noda dunia ini, cahaya surga berkurang oleh air noda dunia. Hanya engkau, Batara Wisrawa. Yang mampu membersihkan, dan bawalah kembali air noda dunia ini ke bumi, karena engkau bisa kembali ke bumi.”
Maka Batara Wisrawapun mengumpulkan air noda dunia yang memercik pada permata cahaya di dinding surga. Namun, setelah dibersihkan ternyata cahaya yang berkurang dari surga tak bisa terang kembali.
Berkatalah para dewa, ”Wahai Batara Wisrawa, engkau telah berhasil menyimpan kembali air noda dunia dalam mangkok jagad jiwamu. Tetapi cahaya gemerlap yang biasa ada di Surgawi berkurang. Permata-permata indah yang biasanya mengeluarkan cahaya gemerlap di alam Kahyangan, agak buram. Tetap buram walaupun air noda dunia itu sudah diambil.”
Bersabda Batara Narada, ”Wahai para Dewa, lihatlah! Karena peristiwa anak manusia yang mencoba masuk ke Nirwana, disebabkan oleh ketinggian ilmu Sastra Jendra Hayuningrat, menyebabkan cahaya Nirwana berkurang. Walau sang Batara Wisrawa telah mengambil air noda dunia itu ke mangkok bathinnya, cahaya tetap buram. Permata-permata itu sendu. Permata indah di dinding surga menjadi sendu.”
Batara Narada memberikan istilah kepada sumber cahaya yang ada di surga menjadi redup, permata menjadi sendu, adalah ”Air permata sendu.” Jadilah Air Permata Sendu, permata air kehidupan yang sendu.
Selanjutnya Batara Narada, mohon pada Sang Hyang Widhi di puncak Nirwana,
”Duhai Hyang Widhi Yang Agung, Dewata Sang Pencipta Segala Dewa, hanya Engkaulah yang mampu mengembalikan cahaya yang telah memudar di Nirwana ini.”
Terdengarlah sabda suci dari Hyang Widhi :
”Memang, hanya Aku-lah yang mampu mengembalikan cahaya semua surya yang Aku ciptakan. Hanya Aku-lah yang mampu mengembalikan cahaya. Aku akan turun ke Nirwana, dalam membawa cahaya.”
Maka, Sang Hyang Wenang Maha Dewata Agung, Hing Murbeng Agung, Hyang Widhi Wasa, turun ke Nirwana. Turun dari Puncak Nirwana ke Nirwana membawa serta cahaya, sabda-Nya :
”Siapakah yang bisa menerima ’Anugrah Jodoh’, dari cahaya ini?”
Semua bungkam, semua bisu. Batara Guru bungkam, Batara Narada bungkam, semua Dewa bungkam, Batara Wisrawa pun bungkam.
”Engkau Wisrawa?”, sabda Hyang Agung, ”Bisa membawa Anugrah Jodoh cahaya ini? Engkau telah menyimpan kembali air noda dunia ke dalam jagad jiwamu. Maka Aku terpanggil untuk turun ke Nirwana ini. Berarti engkau bisa mewakili semua dewa-dewa untuk menerima cahaya Nirwana ini.”
Batara Wisrawa tunduk tak berkata-kata, sampai-sampai keindahan perasaannya yang sucipun, padam! Betapa malu. Malu kepada Yang Maha Menciptakan.
”Berarti, siapapun tak mampu menerima cahaya, sumber cahaya dari segala cahaya ini”,
kembali Hyang Widhi bersabda :
”Cahaya puji-pujian dari Negeri-Ku, dari Istana-Ku. Cahaya puji-pujian, cahaya yang terpuji, Nur yang terpuji. Berarti Aku yang harus tentukan siapa yang mewakili sumber Cahaya Terpuji ini. Biarkanlah, Aku lebih tahu, kepada siapa Aku lebih mencintai dari semua Dewa di sini.”
Hing Murbeng Agung memandang semua Dewa, satu persatu. Akhirnya, tatapan kesempurnaan Sang Hyang Widhi terhenti pada Batara Guru.
”Wahai Batara Guru, engkaulah yang paling Aku cintai dari semua makhluk, dari pada Nirwana yang Aku ciptakan dengan segala isinya. Aku pun hampir mengalahkan cinta-Ku pada diri-Ku sendiri. Bawalah Kekuasaan Cahaya ini oleh engkau, wahai Batara Guru.”
Batara Guru sujud. Dan setelah Batara Guru bangun, maka Kecintaan Hyang Widhi pada Diri-Nya sendiri, pindah, ke jagad jiwa Batara Guru. Cinta Hyang Widhi pada Diri-Nya sendiri ada dalam diri Batara Guru. Cahaya Terpuji dari segala Yang Terpuji, diterima.
”Simpanlah dalam jagad dirimu, wahai Batara Guru.”
Maka cahaya Surgawi yang pudar kembali terang, lebih terang dari semula, sebelum terkena air noda dunia. Permata Sendu, kembali gemerlap! Ternyata Cahaya yang ada dalam Jagad Bathin Batara Guru, lebih cemerlang dari cahaya Nirwana itu sendiri.
Sabda Hyang Widhi, pada Batara Guru.
”Wahai Batara Guru, serahkanlah kembali pada-Ku cahaya itu.”
Batara Guru pun menyerahkan kembali cahaya yang terpuji dari segala yang terpuji, bersama jagad bathinnya sendiri, sebagai wadah. Inilah yang dinamakan Cupu Manik Astagina. Di dalamnya ada Kekuasaan Hyang Widhi, Cinta Hyang Widhi Yang Maha sempurna.
Demikian dipersembahkan kembali pada Hyang Widhi, cahaya tetap cahaya di Nirwana. Cahaya dalam bathin Batara Guru pun tetap bercahaya.
Sabda-Nya : ”Cupu Manik Astagina ini Ku-bawa dulu sementara waktu, ke tempat-Ku. Manakala engkau turun ke bumi, bawalah Cupu Manik Astagina ini. Guna mempersiapkan turunnya Aku di negeri dunia.”
Begitu semuanya usai, Batara Wisrawa menangis.
”Wahai Dewa-dewa, aku tak mau pulang! Ternyata selama waktu yang panjang, engkau, Dewa-Dewa, belum pernah bersua dengan Sang Hyang Widhi, bertatap muka dengan Hing Murbeng Asih. Kebetulan aku ke Nirwana ini, bersama engkau aku bertemu. Akupun bertemu, bertatap muka dengan Hyang Maha Agung.”
Ternyata semua dewa belum pernah bersua, bertatap muka dengan Sang Hyang tunggal. Batara Wisrawa sangat beruntung, namun dampaknya tak mau kembali pulang kebumi.
Akhirnya datanglah Sabda-Nya :
”Wahai Batara Wisrawa, belum saatnya engkau meninggalkan dunia, engkau masih dibutuhkan oleh dunia. Bawalah Cupu Manik Astagina yang telah Ku-genggam, namun cupunya saja. Isilah dengan air kehidupan dunia yang telah tersimpan dalam jiwamu. Cukuplah dunia akan diruwat oleh air yang telah Ku-simpan pada jagadmu yang diisi ke dalam wadah, Cupu Manik Astagina.”
Isi Cupu Manik Astagina yaitu : Nur atau Cahaya suci, tetap digenggam oleh Hyang Widhi Wasa. Maka turunlah Begawan Wisrawa, dari Nirwana kembali ke bumi. Dengan membawa Cupu Manik Astagina yang isinya Air Kehidupan Dunia.
Untuk selanjutnya, Cupu Manik Astagina yang berisi air kehidupan dunia ini, kita sebut sebagai Cupu Manik Banyu Kahuripan.
Bersambung...............
Om Swastyastu,
Setelah bersama-sama kita menyimak pendaran-pendaran sastra agung yang pernah diturunkan Hyang Murbeng Awisesa di alam jagat raya ini yakni SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT sebagai PANGRUWATING DIYU, sebagaimana 6 (enam) seri tulisan sebelumnya, maka pada kesempatan ini izinkan kami untuk kembali membuka dan menggali kembali keagungan falsafah suci dari Sastra Jendra Hayuningrat tersebut terutamanya mengenai realisasi dari Pangruwating Diyu.
Sebagaimana diketahui bahwa salah satu ilmu rahasia para dewata mengenai kehidupan di dunia adalah Serat Sastrajendra. Secara lengkap disebut Serat Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.
Serat = ajaran,
Sastrajendra = Ilmu mengenai raja.
Hayuningrat = Kedamaian.
Pangruwating = Memuliakan atau merubah menjadi baik.
Diyu = raksasa atau keburukan.
Raja disini bukan harfiah raja melainkan sifat yang harus dimiliki seorang manusia yang harus mampu untuk menguasai hawa nafsu dan panca inderanya dari kejahatan. Seorang raja harus mampu menolak atau merubah keburukan menjadi kebaikan.
Pengertiannya bahwa Serat Sastra Jendra adalah ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk merubah keburukan mencapai kemuliaan dunia dan akhirat.
Ilmu Sastrajendra adalah ilmu KEBATINAN yang menekankan sifat MENEGAKKAN KEBENARAN DARI SEGALA KEBATHILAN, sifat memimpin dengan amanah dan mau berkorban demi kepentingan rakyat.
Gambaran ilmu ini adalah mampu merubah raksasa menjadi manusia.
Dalam pewayangan, raksasa digambarkan sebagai mahluk yang tidak sesempurna manusia. Misalnya :
-Kisah prabu Salya yang malu karena memiliki ayah mertua seorang raksasa.
-Raden Sumantri atau dikenal dengan nama Patih Suwanda memiliki adik raksasa bajang bernama Sukrasana.
-Dewi Arimbi, istri Werkudara harus dirias sedemikian rupa oleh Dewi Kunti agar Werkudara mau menerima menjadi isterinya.
-Betari Uma yang disumpah/dikutuk menjadi raksesi oleh Betara Guru saat menolak melakukan hubungan suami istri pada waktu yang tidak tepat. Dimana anak hasil hubungan Betari Uma dengan Betara Guru tersebut terlahir sebagai raksasa sakti mandra guna dengan nama “ Betara Kala “ (kala berarti waktu, kala juga berarti keburukan atau kejahatan). Sedangkan Betari Uma kemudian bergelar Betari Durga menjadi pengayom kejahatan dan kenistaan di muka bumi dan memiliki tempat tersendiri yang disebut “ Kayangan Setra Gandamayit “. Wujud Betari Durga adalah raseksi yang memiliki taring dan gemar membantu terwujudnya kejahatan.
Melalui ilmu Sastrajendra maka simbol sifat-sifat keburukan raksasa yang masih dimiliki manusia akan dirubah menjadi sifat sifat manusia yang berbudi luhur. Karena melalui sifat manusia inilah kesempurnaan akal budi dan daya keruhanian mahluk ciptaan Tuhan diwujudkan.
Tulisan ini boleh dianggap sebagai kelanjutan pendaran Sastra Jendra Hayuningrat sebelumnya, dan kisahnya diawali dengan rasa Dendam yang dimiliki oleh Jambumangli yakni pamanda dari Dewi Sukesih kepada Bagawan Wisrawa, untuk lebih lengkapnya silahkan dikuti kisah berikut ini:
Ternyata ada dendam pada Begawan Wisrawa, dari seorang yang sangat sakti yaitu pamanda Dewi Sukesih, Jambumangli. Waktu para raja datang melamar Dewi Sukesih, semuanya dibunuh oleh Arya Jambumangli ini. Namun setelah tahu bahwa si keponakan diperisteri seorang resi, mengamuklah dia.
Datang kehadapan Begawan Wisrawa.
”Wahai Begawan, aku tidak mengira, kesucian dirimu sebagai pengemban Wedha, pengemban kebenaran, pengemban kesucian, ternyata hanyalah srigala yang berbadankan kebenaran dan kesucian. Wahai Begawan! Ternyata kependetaanmu hanyalah sandiwara. Padahal, aku cukup lama di puncak penghormatan hati ini, menyimpan penghormatan kepadamu, penghormatan ini runtuh dalam jiwa ini! Ternyata penghormatan kepadamu sebagai Resi tak pantas! Dan engkau tidak malu menghancurkan puteri Kakandaku, mencuri cinta anakmu sendiri! Dan engkau menodai dirimu sendiri di hadapan rakyat Alengka. Menghitamkan segala kesucianmu di hadapan rakyat Lokapala. Karena itu, aku memiliki ilmu yang belum pernah kugunakan. Seribu Ksatria akan mati, akan hancur oleh ilmuku ini. Aku tidak takut! Sekalipun engkau sakti mandraguna, wahai Resi.”
Ternyata segala caci-maki dan hinaan ini diterima sebagai ’nikmat’ oleh Begawan Wisrawa. Sang Begawan tunduk, malah bersimpuh kepada Arya Jambumangli. Sang Arya yang sedang mengamuk ini memanah sang Resi, dengan panah yang sakti. Berbagai panah menusuk ke tubuh sang resi. Beratus pusaka ditusukkan ke tubuh sang resi, sang resi membiarkan. Diam tak melawan. Karena ini semua dianggap pahala dari karmanya, siksa dunia atas noda yang diciptakannya.
Dalam hati sang Begawan berkata, ”Terima kasih wahai Dewa, Engkau telah menjadikan pengadilan di Nirwana, di dunia ini. Engkau mendahulukan pengadilan di Nirwana, di dunia ini. Bagiku ini adalah kehormatan yang sangat tinggi, wahai Sang Dewa. Ternyata Engkau masih menghormati diriku yang ternoda. Ternyata engkau tidak rela mengadili aku di Nirwana, tapi mengadili aku di jagad bumi ini. Betapa Engkau dan semua para Dewa menghormati aku. Biarkanlah siksaan ini membawa noda-noda dosa yang ada dalam jiwa dan fikiranku, wahai Dewa-Dewa .”
Dan ternyata, setiap senjata yang masuk dan keluar dari tubuhnya, tidak mengeluarkan darah setetes pun. Tambah disiksa oleh Jambumangli, tambah ikhlas, tambah nikmat dan tambah tinggi kesaktian yang ada dalam diri sang Begawan ini. Sampai ilmu apapun telah dikeluarkan, habis semua kesaktian Jambumangli.
”Wahai Resi, Pendeta yang melacur! Pendeta yang bersyahwat! Ternyata engkau sakti. Dan aku tidak menyimpan lagi kesaktian, karena aku tahu, kesaktian engkau karena kekuatan birahi yang engkau agungkan bersama keponakanku, Dewi Sukesih! Ternyata kesaktian engkau melampui kesaktian semua ksatria, karena engkau beli dengan syahwat yang tinggi. Karena engkau beli dengan tapa yang lama di dunia, dengan keserakahan cinta dan keserakahan syahwat menundukkan Dewi Sukesih. Aku mengaku atas kesaktianmu dan aku mengakui, kesaktian itu kau dibeli oleh syahwat dan puasa untuk mengejar syahwat, tapa untuk mengejar syahwat”, demikian Jambumangli.
Yang tadinya hinaan dirasakan sebagai sebuah kenikmatan bagi sang Begawan. Tapi fitnah ini, sanggup menimbulkan rasa sakit di jiwanya. Maka manakala sakit di jiwanya karena tidak merasa seperti itu muncul dengan deras, justru saat itu anak-anaknya yang tiga itu, tambah besar, tambah dewasa dengan cepat, tanpa lagi melalui proses waktu. Ketersinggungan sang Resi, cepat mendewasakan mereka. Sang Resi kembali ke jagad kesuciannya. Hanya jagad kesuciannyalah sebagai Iman seorang resi yang sempurna, yang dapat mengalahkan perasaan – perasaan ketersinggungan tersebut.
Datanglah suara dari Nirwana, ”Wahai Begawan Wisrawa, bunuhlah Arya Jambumangli. Karena keangkara murkaan yang telah disebar oleh anak-anakmu, cukup melampaui kemurkaan dunia, melampui noda dunia. Jangan sampai ditambah noda-noda angkara Jambumangli. Namun, bunuhlah Jambumangli, bukan dengan siksaan. Tapi bunuhlah dengan kenikmatan yang telah engkau bawa dari Sastra Jendra!”
Maka Sang Begawan mengeluarkan ”alat” dari tubuh dirinya sendiri. Pusaka itu bukan tersimpan di luar tubuhnya, tapi di dalam tubuh fisiknya. Diambillah sebuah pusaka dari perutnya, maka keluarlah satu cahaya kuning yang menyilaukan mata Jambumangli.
Jambumangli yang tadinya marah, mengamuk. Tiba-tiba, tersenyum, keluarlah keringat dari sekujur tubuhnya terus membuka bajunya sendiri, telanjang bulat! Maka tampaklah suatu pandangan yang ganjil.
Jambumangli sebagaimana seseorang (laki-laki) yang sedang dipermainkan oleh suatu birahi yang maha dahsyat, seksnya terangsang, nafasnya mendengus sebagaimana nafas kuda jantan yang binal, gelisah!
Ternyata cahaya kuning dari Pusaka ini, membawa kabar, rekaman-rekaman peristiwa jadi kudanya Begawan sewaktu hubungan suami-isteri, pesta pora seks dengan Dewi Sukesih. Peristiwa itu, terulang kembali! Jambumangli ikut serta dalam pengulangan peristiwa tersebut. Dan di puncak syahwat, Jambumangli berguling-guling di tanah, yang disaksikan oleh sang Begawan. Akhirnya terungkaplah desah Jambumangli.
”Wahai Dewi Sukesih, ternyata aku berhasil memiliki dirimu, engkau jadi isteriku. Aku menyentuh tubuhmu, aku mencium tubuhmu, engkau mencintai aku Dindaku, isteriku. Engkau berhasil menjadi milikku dan aku puas hidup di dunia ini. Kekasihku, Cintaku, Dewi Sukesih”, demikian Jambumangli sambil tersenyum.
Maka senyuman itu sekaligus tarikan nafas yang terakhir. Jambumangli mati dalam kesempurnaan nikmat syahwat bersama Dewi Sukesih, seolah-olah. Padahal memang sesungguhnya terjadi seperti itu, karena Karunia Hyang Widhi terlalu luas. Tetap diberikan kenikmatan dan kenyataan memiliki Dewi Sukesih. Tetapi yang dimiliki bukan keikhlasan kesucian ilmu Sastra Jendra yang sudah ada dalam diri Dewi Sukesih. Yang dimiliki adalah fisik syahwatnya dan kewanitaan Dewi Sukesih. Dibawa serta dalam kematiannya.
Maka datanglah suara dari Nirwana.
”Wahai Begawan, engkau telah menyelesaikan tugasmu membunuh Jambumangli, demi ketenteraman dunia, dengan ilmumu. Dibunuh oleh peristiwa hidupmu, dibunuh oleh pengalaman hidupmu, oleh nafasmu, oleh cintamu. Dibunuh oleh keikhlasanmu dan dibunuh oleh kesaktian engkau. Namun bagian-bagian syahwat yang tersisa dari dirimu, karena peristiwa ’senggama’ telah engkau wariskan kepada Jambumangli. Dan oleh Jambumangli telah dibawa kembali ke sumbernya. Biarkanlah Jambumangli, kematiannya di alam kenikmatan seksual, karena itu semua kehendak Dewa Yang Agung.”
Dewi Sukesih menyaksikan peristiwa ini.
”Kakanda, betapa tragis! Aku takut, aku dibawa. Syahwatku, fisik tubuh kewanitaanku. Aku takut. Bukankah aku manusia yang harus menyertakan perasaan kewanitaanku?”
”Wahai Dewi Sukesih isteriku kau harus mensyukuri”, jawab Begawan Wisrawa. ”Engkau telah diruwat oleh pamanmu sendiri, yang mencintai syahwatmu, yang mencintai kewanitaanmu. Pesona tubuhmu telah sirna kini, di dunia, kembali ke tempat asalnya. Dibawa oleh kendaraan cinta yang ada dalam diri pamanmu.”
Batara Narada pun datang menyampaikan sabdanya.
”Anak-anakku, engkau telah menghantar bayi-bayi hingga besar. Seiring dengan usia bayi yang membesar, seiring pula dengan ampunan dari Yang Maha Murbeng, menyertai engkau. Kini engkau terbebas dari dosa, noda. Engkau suci dari ujung rambut hingga ujung kaki. Suci segala gejolak jagad fikiranmu, suci segala gejolak jagad bathinmu, jagad jiwamu, dan suci pula rukhmu. Aku kirimkan ’Atma’ dari puncak Surgawi, ’Atma’ dirimu. Atma dirimu akan Kukembalikan wahai Begawan, dan Atma dirimu wahai Dewi Sukesih. Pakailah kembali Atma dirimu, jati dirimu, yang telah lama engkau simpan di arsip Kahyangan, atas kehendak Hyang Widhi.”
Maka datanglah cahaya yang persis wajahnya, yang persis fisiknya. Dan sang Atma itupun mengucapkan salam.
”Wahai sang Begawan, aku terlalu lama engkau tinggalkan. Dan aku terlalu lama engkau lupakan, namun aku rindu padamu. Kerinduan ini dapat izin dari Hyang Widhi untuk kembali kepadamu. Terimalah aku, dalam rumah jiwamu, dalam rumah fikirarmu.”
Berkata sang Begawan.
”Selamat datang wahai diriku yang sudah lama kurindukan. Selamat datang hatiku yang sudah lama kulukis dengan kerinduan kepada kebenaran. Selamat datang, wahai jiwaku yang selama ini kugapai, masuklah ke dalam rumahmu, yang sudah lama engkau aku kotori. Masuklah ke dalam rumahmu, yang sudah lama aku nodai. Dan tidurlah dengan nyenyak, di tempat tidur yang terpercik oleh spermaku, Wahai diriku. Masuklah ke jagad yang lama kosong di dunia ini.”
Maka masuklah Atma itu ke dalam diri keduanya, Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih.
Bersabda Batara Narada.
”Wahai Begawan, engkau telah kembali pada dirimu. Engkau telah kembali kepada haq yang telah engkau genggam. Penderitaan yang telah engkau genggam, usai sudah. Pengorbanan yang harus engkau bayar telah selesai, dharma tak perlu lagi karena sang Atma adalah dharma. Ibadah sudah tak perlu lagi, karena sang Atma, adalah ibadah. Engkau menjadi bagian dari kami, para dewa di Surgawi. Dan engkau telah menjadi dewa di dunia ini, di bumi ini. Wahai Begawan, segeralah berkunjung ke Nirwana. Tapi engkau, wahai Dewi Sukesih, masih punya tugas untuk membesarkan anak-anakmu. Maka manakala engkau rindu kepada Hyang Widhi, datanglah ke Nirwana dalam tapamu. Dan manakala engkau terpanggil oleh tanggung-jawab kepada cinta anak-anakmu, bangunlah dari tapamu.”
Sang Dewi menjerit
”Wahai sang Dewa Narada, kenapa aku tak diundang ke Nirwana?”
Batara Narada menjawab.
”Wahai Ratu Bumi, wahai Ratu Dunia, cinta kasihmu masih diperlukan oleh umat manusia. Cinta kasihmu masih diperlukan untuk mengembangkan keturunan manusia untuk mengembangkan semua habitat hewan dan tumbuh-tumbuhan. Supaya daun tetap lestari, supaya bumi tetap berjalan. Engkau harus terima dharma ini sebagai penghormatan dari kami para Dewa. Biarkanlah suami lebih dulu berkunjung ke Nirwana. Tunggulah, sampai sang Dewa mengajak engkau ke Nirwana. Dengan rukhmu, dengan tubuhmu, dengan jiwamu.”
Sang Begawan pun bolak-balik, Nirwana Dunia (bumi) di dalam tapanya. Manakala Begawan Wisrawa dijemput di Nirwana oleh para Dewa, para Bidadari, khususnya Batara Narada dan Batara Guru, dan Batara-batara lainnya. Mereka bertanya kepada sang Begawan ini yang namanya bukan lagi Begawan atau Resi, tetapi sudah menjadi Batara.
Batara Wisrawa (Dalam pewayangan disebut Batara Ismaya).
”Wahai Batara Wisrawa, apakah engkau bisa membersihkan air-air noda dunia dari Permata Kehidupan, Permata yang ada di dinding Nirwana ini? Kami para Dewa tak mampu membersihkan air noda dunia ini, cahaya surga berkurang oleh air noda dunia. Hanya engkau, Batara Wisrawa. Yang mampu membersihkan, dan bawalah kembali air noda dunia ini ke bumi, karena engkau bisa kembali ke bumi.”
Maka Batara Wisrawapun mengumpulkan air noda dunia yang memercik pada permata cahaya di dinding surga. Namun, setelah dibersihkan ternyata cahaya yang berkurang dari surga tak bisa terang kembali.
Berkatalah para dewa, ”Wahai Batara Wisrawa, engkau telah berhasil menyimpan kembali air noda dunia dalam mangkok jagad jiwamu. Tetapi cahaya gemerlap yang biasa ada di Surgawi berkurang. Permata-permata indah yang biasanya mengeluarkan cahaya gemerlap di alam Kahyangan, agak buram. Tetap buram walaupun air noda dunia itu sudah diambil.”
Bersabda Batara Narada, ”Wahai para Dewa, lihatlah! Karena peristiwa anak manusia yang mencoba masuk ke Nirwana, disebabkan oleh ketinggian ilmu Sastra Jendra Hayuningrat, menyebabkan cahaya Nirwana berkurang. Walau sang Batara Wisrawa telah mengambil air noda dunia itu ke mangkok bathinnya, cahaya tetap buram. Permata-permata itu sendu. Permata indah di dinding surga menjadi sendu.”
Batara Narada memberikan istilah kepada sumber cahaya yang ada di surga menjadi redup, permata menjadi sendu, adalah ”Air permata sendu.” Jadilah Air Permata Sendu, permata air kehidupan yang sendu.
Selanjutnya Batara Narada, mohon pada Sang Hyang Widhi di puncak Nirwana,
”Duhai Hyang Widhi Yang Agung, Dewata Sang Pencipta Segala Dewa, hanya Engkaulah yang mampu mengembalikan cahaya yang telah memudar di Nirwana ini.”
Terdengarlah sabda suci dari Hyang Widhi :
”Memang, hanya Aku-lah yang mampu mengembalikan cahaya semua surya yang Aku ciptakan. Hanya Aku-lah yang mampu mengembalikan cahaya. Aku akan turun ke Nirwana, dalam membawa cahaya.”
Maka, Sang Hyang Wenang Maha Dewata Agung, Hing Murbeng Agung, Hyang Widhi Wasa, turun ke Nirwana. Turun dari Puncak Nirwana ke Nirwana membawa serta cahaya, sabda-Nya :
”Siapakah yang bisa menerima ’Anugrah Jodoh’, dari cahaya ini?”
Semua bungkam, semua bisu. Batara Guru bungkam, Batara Narada bungkam, semua Dewa bungkam, Batara Wisrawa pun bungkam.
”Engkau Wisrawa?”, sabda Hyang Agung, ”Bisa membawa Anugrah Jodoh cahaya ini? Engkau telah menyimpan kembali air noda dunia ke dalam jagad jiwamu. Maka Aku terpanggil untuk turun ke Nirwana ini. Berarti engkau bisa mewakili semua dewa-dewa untuk menerima cahaya Nirwana ini.”
Batara Wisrawa tunduk tak berkata-kata, sampai-sampai keindahan perasaannya yang sucipun, padam! Betapa malu. Malu kepada Yang Maha Menciptakan.
”Berarti, siapapun tak mampu menerima cahaya, sumber cahaya dari segala cahaya ini”,
kembali Hyang Widhi bersabda :
”Cahaya puji-pujian dari Negeri-Ku, dari Istana-Ku. Cahaya puji-pujian, cahaya yang terpuji, Nur yang terpuji. Berarti Aku yang harus tentukan siapa yang mewakili sumber Cahaya Terpuji ini. Biarkanlah, Aku lebih tahu, kepada siapa Aku lebih mencintai dari semua Dewa di sini.”
Hing Murbeng Agung memandang semua Dewa, satu persatu. Akhirnya, tatapan kesempurnaan Sang Hyang Widhi terhenti pada Batara Guru.
”Wahai Batara Guru, engkaulah yang paling Aku cintai dari semua makhluk, dari pada Nirwana yang Aku ciptakan dengan segala isinya. Aku pun hampir mengalahkan cinta-Ku pada diri-Ku sendiri. Bawalah Kekuasaan Cahaya ini oleh engkau, wahai Batara Guru.”
Batara Guru sujud. Dan setelah Batara Guru bangun, maka Kecintaan Hyang Widhi pada Diri-Nya sendiri, pindah, ke jagad jiwa Batara Guru. Cinta Hyang Widhi pada Diri-Nya sendiri ada dalam diri Batara Guru. Cahaya Terpuji dari segala Yang Terpuji, diterima.
”Simpanlah dalam jagad dirimu, wahai Batara Guru.”
Maka cahaya Surgawi yang pudar kembali terang, lebih terang dari semula, sebelum terkena air noda dunia. Permata Sendu, kembali gemerlap! Ternyata Cahaya yang ada dalam Jagad Bathin Batara Guru, lebih cemerlang dari cahaya Nirwana itu sendiri.
Sabda Hyang Widhi, pada Batara Guru.
”Wahai Batara Guru, serahkanlah kembali pada-Ku cahaya itu.”
Batara Guru pun menyerahkan kembali cahaya yang terpuji dari segala yang terpuji, bersama jagad bathinnya sendiri, sebagai wadah. Inilah yang dinamakan Cupu Manik Astagina. Di dalamnya ada Kekuasaan Hyang Widhi, Cinta Hyang Widhi Yang Maha sempurna.
Demikian dipersembahkan kembali pada Hyang Widhi, cahaya tetap cahaya di Nirwana. Cahaya dalam bathin Batara Guru pun tetap bercahaya.
Sabda-Nya : ”Cupu Manik Astagina ini Ku-bawa dulu sementara waktu, ke tempat-Ku. Manakala engkau turun ke bumi, bawalah Cupu Manik Astagina ini. Guna mempersiapkan turunnya Aku di negeri dunia.”
Begitu semuanya usai, Batara Wisrawa menangis.
”Wahai Dewa-dewa, aku tak mau pulang! Ternyata selama waktu yang panjang, engkau, Dewa-Dewa, belum pernah bersua dengan Sang Hyang Widhi, bertatap muka dengan Hing Murbeng Asih. Kebetulan aku ke Nirwana ini, bersama engkau aku bertemu. Akupun bertemu, bertatap muka dengan Hyang Maha Agung.”
Ternyata semua dewa belum pernah bersua, bertatap muka dengan Sang Hyang tunggal. Batara Wisrawa sangat beruntung, namun dampaknya tak mau kembali pulang kebumi.
Akhirnya datanglah Sabda-Nya :
”Wahai Batara Wisrawa, belum saatnya engkau meninggalkan dunia, engkau masih dibutuhkan oleh dunia. Bawalah Cupu Manik Astagina yang telah Ku-genggam, namun cupunya saja. Isilah dengan air kehidupan dunia yang telah tersimpan dalam jiwamu. Cukuplah dunia akan diruwat oleh air yang telah Ku-simpan pada jagadmu yang diisi ke dalam wadah, Cupu Manik Astagina.”
Isi Cupu Manik Astagina yaitu : Nur atau Cahaya suci, tetap digenggam oleh Hyang Widhi Wasa. Maka turunlah Begawan Wisrawa, dari Nirwana kembali ke bumi. Dengan membawa Cupu Manik Astagina yang isinya Air Kehidupan Dunia.
Untuk selanjutnya, Cupu Manik Astagina yang berisi air kehidupan dunia ini, kita sebut sebagai Cupu Manik Banyu Kahuripan.
Bersambung...............
Katagori
Pustaka-Pustaka
Subscribe to:
Posts (Atom)
Katagori
- Article (79)
- Asuransi PSN (2)
- Events (4)
- Pengumuman (17)
- Profile (10)
- Program (2)
- Pustaka-Pustaka (23)
- Religion (11)
- Sarati Banten (1)
- Tirtha Yatra (2)
- Umum (7)