Tuesday, March 23, 2010

SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT PANGRUWATING DIYU (Bag. 1)

Disarikan kembali oleh : JM Astono Ch. Dana (Sekum PSN Pusat)


SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT merupakan susastra suci keilmuan tentang kunci rahasia kehidupan yang sangat adi luhung yang dipedar dan dibeberkan secara lugas dalam epos wiracarita RAMAYANA, yang kisahnya terjadi berkaitan dengan proses kelahiran DASAMUKA RAHWANA jauh sebelum kelahiran RAMADEWA.

Berikut ini kami mencoba menyajikan dan menguraikannya dalam beberapa bagian/episode secara bersambung, semoga para pembaca yang budiman berkenan untuk mengikutinya. Nuhun........

Dalam kitab Ramayana, alkisah ada seorang raja yang mengundurkan diri dan diserahkan pada anaknya. Raja tersebut yang menjadi Begawan Wisrawa, menyerahkan pada putranya Prabu Danareja di kerajaan Lokapala.

Di negeri yang lain, Alengka, diperintah oleh Prabu Sumali yang dibantu oleh adiknya Arya Jambumangli, dan puterinya yang sangat cantik sedang diperebutkan oleh para raja. Namanya Dewi Sukesih.

Setiap raja yang melamar Dewi Sukesih ini di bunuh (harus berhadapan dalam perang tanding) pamannya, Arya Jambumangli. Sehingga tak ada lagi raja-raja yang mampu mengalahkan pamanda Dewi Sukesih. Satu-satunya raja yang masih ada ialah putera Begawan Wisrawa, Prabu Danareja. Namun raja ini kalah kuat ilmunya, kalah kuat oleh pamanda Dewi Sukesih.

Oleh karenanya Begawan Wisrawa turun dari pertapaan. ”Ada apakah anakku, dalam tapaku, aku melihat kegelapan. Mengapa negeri ini, yang kita cintai, dalam kesengsaraan? Air bening untuk hidup rakyat tidak lagi ramah. Seluruh air kembali lagi pada sumbernya di bawah samudera. Bunga-bunga layu sebelum berkembang, buah yang ada pun tak sempat masak. Diapakan negeri kita ini, wahai anakku?”

”Wahai ayahanda, seluruh kehidupanku dirampas oleh cinta Dewi Sukesih, dan aku tak mampu memikirkan bangsa ini, negeri ini. Yang kupikirkan adalah kecantikan Dewi Sukesih”, berkata Prabu Danareja.

”Wahai anakku, Sang Dewa marah padamu. Karena engkau telah mematikan kesuburan negara ini dengan asmara, wahai anakku, jangan jadikan asmara ke dalam pekerjaan yang besar. Karena asmara adalah dunia kecil yang mampu menghancurkan dunia yang besar”, kata Begawan Wisrawa.

”Wahai anakku, jangan engkau melihat kebenaran-kebenaran yang ada di muka bumi ini, melalui perasaan asmaramu. Keluhuran nilai akan ternoda, tak bermakna, manakala diteropong oleh perasaan asmaramu. Namun demikian, aku ayahmu pernah merasakan perasaan asmara. Biar aku yang melamarkan, menyunting Dewi Sukesih. Ayahnya adalah sahabatku. Cintaku untukmu wahai anakku, biarlah aku, ayahmu mewakili datang ke kerajaan Alengka.”

Sesampainya Begawan Wisrawa di kerajaan Alengka, kebahagiaan batin dari raja Alengka, Prabu Sumali, menyatu dalam pelukan mesra dengan sahabatnya ”Wahai sahabatku Prabu Sumali, ada apakah? Kesenduan di matamu tak mampu engkau sembunyikan”, bertanya Begawan Wisrawa.

”Wahai sahabatku Begawan Wisrawa, gara-gara anakku, darah para raja harus mengalir di negeri yang kucintai ini, Alengka.”

”Karena itu aku datang untuk menyunting puterimu, untuk anakku.” Maka dipanggillah Dewi Sukesih oleh ayahandanya, dan diceritakan akan disunting oleh seorang raja dari Lokapala.

”Wahai ayahku, aku mau dikiwini oleh seorang raja atau oleh orang miskin sekalipun. Asal mampu memedarkan, menerangkan Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.”

”Wahai puteri sahabatku, calon suamimu, anakku, takkan mampu. Dan siapapun takkan mampu menerangkan Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, kecuali aku. Harus kutebus makna ini dengan meninggalkan gemerlap kekayaan dan kekuasaan sebagai raja. Namun demikian, biarlah, untuk anakku dan untuk aku, akan aku pedar Sastra Jendra tersebut”, kata Begawan Wisrawa kepada putri Prabu Sumali sahabatnya.

Berkata Begawan Wisrawa pula pada sahabatnya, Prabu Sumali ”Wahai sahabatku, akan aku bawa puterimu, siapkan tempat, sebuah taman sunyi yang hanya ada bunga Kenanga.”

Maka Begawan Wisrawa membawa Dewi Sukesih. Manakala masuk ke taman yang indah, Begawan Wisrawa memandang Dewi Sukesih dengan kecintaan seorang ayah pada anaknya.
”Kesinilah putriku.” Saat itu pula Dewi Sukesih merasa berdiri di bumi ini, dan dunia ini hanya ada di telapak kaki Dewi Sukesih dan Begawan Wisrawa, serta mampu menggapai bulan yang ada, tidak hanya satu, tapi tiga.

”Wahai Dewi Sukesih, engkau mampu menggenggam bulan. Keanggunan dan kemolekan bulan sejak dulu selalu menghina dan memperkecil makna duniawi. Namun dihadapanmu wahai putriku, sang bulan meronta. Cahayanya engkau ambil alih ke dalam jiwamu.”

Saat itu pula, Dewi Sukesih merasa retak hatinya. Sakit yang tiada sebab, seperti benci pada seseorang tapi tak ada orangnya. Resah oleh sesuatu tapi tak ada kesalahan, kesal akan sesuatu tapi tidak tahu sebabnya. Emosi bergemuruh dalam diri Dewi Sukesih!

”Wahai putriku, jangan engkau membiarkan gejolak emosimu menjadi tuan di dalam dirimu. Bulan yang angkuh tak berdaya, karena engkau ambil alih kemolekannya, dan energinya kembalikan pada bulan. Wahai puteriku, engkau tak mampu menerima kemolekan bulan, karena sang rembulan, cahayanya menjadikan bunga-bunga berkembang, menjadikan binatang-binatang memadu cinta, maka berkembanglah keturunan kelestarian alam ini oleh cahaya kekuatan rembulan. Jangan kau ambil alih kedalam jiwamu.

Engkau adalah yang berdarah dan berdaging. Manakala kau menyimpan cahaya rembulan di dalam jiwamu, berarti engkau merampas hak hidup bagi hewan dan tumbuh-tumbuhan. Itulah sebuah permulaan dari Sastra Jendra, wahai puteriku.”

Maka Dewi Sukesih dengan kekuatan bathinnya, mengusir luka didalam bathinnya, kesakitan dalam perasaannya. Bulan yang redup, terampas cahayanya oleh Dewi Sukesih, kembali bersinar terang.

”Wahai Puteriku”, berkata Begawan Wisrawa, ”Sastra Jendra adalah bukan kata-kata, Sastra Jendra bukan kalimat, Sastra Jendra adalah ’sesuatu’ yang mempunyai wadah, tapi ada di alam dunia ini. Ada di bumi ini, ada dalam cakrawala dan ada dimanapun. Tapi Sastra Jendra tak mampu tertampung karena wadahnya belum ada.”

Manakala Begawan Wisrawa mengakhiri kata-kata ini, mengangkasalah keduanya, ke suatu tempat yang sangat jauh. Sampailah ke suatu tempat yang sunyi, mencekam!

”Wahai Puteriku, jangan menjerit, karena disini tiada siapapun. Tiada orang yang bisa dipanggil, tiada apa-apa tempat berpijak. Tidak ada sesuatupun permasalahan.”

”Wahai puteriku, disini kita tidak memiliki dan disini kita tidak dimiliki. Dan engkaupun disini tidak lagi memiliki dirimu sendiri. Dirimu yang berdarah dan berdaging, dirimu yang berjiwa dan berperasaan, adalah ketiadaan.” Demikian sang Begawan bertutur.

”Kita dalam ketiadaan, rasakanlah anakku, manakala engkau kehilangan rasa memiliki, termasuk dirimu sendiri. Kita dalam kematian. Kematian adalah melepasnya rasa memiliki. Dibalik kematian justru ada kehidupan yang sejati. Kehidupan yang tidak dapat lagi dialas oleh definisi, kehidupan yang tidak mulai dari awal dan tidak berakhir dari satu batasan. Itulah Jatining Hurip.”

”Wahai anakku, kematian adalah sebenarnya sebuah proses kehidupan yang lebih luas dari proses kehidupan sebelumnya, kita berada dalam kehidupan yang sejati. Tenang dan tentram, karena merasa tidak dimiliki dan tidak memiliki”, demikian sang Begawan.

”Wahai Puteriku, manakala engkau merasa memiliki, engkau akan menggugat pada yang engkau miliki. Dan merasa engkau dimiliki, engkaupun akan digugat oleh mereka yang merasa memiliki dirimu. Kini kita merdeka, kemerdekaan bathin dan perasaan yang tiada batas.”

”Wahai Begawan, dimanakah dewa-dewa?”

”Di sini tidak ada dewa, wahai Puteriku. Dewa pun tiada, hanya kita. Manakala engkau ingat pada dewa, berarti kita masih ’merasa’ ingin memiliki. Dewa pun tidak ada, hanya kita berdua.”

Maka Dewi Sukesih merasa tenang dan tenteram. Ketenteraman yang sangat tinggi dan indah, kesejukan bathin yang tiada tara. Maka mereka masuk lebih jauh lagi.

”Mari kita masuk lebih jauh ke angkasa ketentraman.”

”Kita akan kemana? Bukankah kita sudah sampai ke alam ketenteraman, wahai Begawan”, tanya Dewi Sukesih”.

”Belum, diatas ketenteraman ada ketenangan, diatas ketenangan ada kemegahan kesejukan. Itu tidak terbatas, wahai Puteriku.”

”Dimanakah puncaknya, wahai Begawan?”

”Puncaknya, ada didalam cinta. Kita menuju cinta, wahai Dewi Sukesih.”

Maka sampailah ke suatu perbatasan. Alam cinta dimasuki.”

”Anakku, kita masuk ke Sastra Jendra. Tiada alam diciptakan oleh Hyang Widdhi, kalau bukan karena cinta. Manusia dan hewan tidak mungkin ada tanpa cinta. Alam raya takkan tercipta tanpa cinta. Kita masuk, wahai anakku ke dalam cinta. Itulah Sastra Jendra.”

Masuklah mereka ke alam cinta. Masuklah Dewi Sukesih ke alam cinta. Maka jiwa bukan lagi terbatas oleh rasa tenteram, dibatasi oleh rasa tenang saja. Tetapi jiwanya tiada. Ketenteraman melampaui Kebahagiaan. Tiada lagi dikatakan bahagia, tiada lagi dikatakan nikmat, tiada lagi dikatakan enak. Diatas segalanya.

Maka gelombang cinta itu menyibakkan rambut Dewi Sukesih yang berkonde. Rambut terurai, bergelombang begitu indah terhempas cinta. Cinta, bisa dirasakan, tapi tak bisa dilihat. Cinta, bisa dinikmati tidak melalui kulit dan daging. Karena saat itu, Dewi Sukesih tidak lagi memiliki dirinya sendiri. Cinta yang sesungguhnya, bisa diraba oleh sesuatu, manakala manusia kehilangan eksis fisiknya, eksis fikirannya dan eksisnya. Maka di alam itu, mengalirlah sungai yang bening. Sungai tak bernama sebagaimana sungai Eufrat, sungai Nil ataupun sungai Ciliwung. Namun sungai itu bening, sungai mengalir membawa energi cinta, kasih sayang.

”Wahai Puteriku, lihatlah sungai. Waktu tidak lagi bergerak, tapi waktu bergerak dibawa oleh kita. Seperti sungai yang melepas air-airnya, dia tetap diam. Waktu harus kita gerakkan, bukan kita yang digerakkan oleh waktu, wahai anakku. Walaupun sungai itu diam, tapi selalu baru. Kehidupan, wahai anakku, harus tetap baru. Usia menguasai kita, tapi kita akan tetap baru, jiwa kita dan perasaan kita. Kita tidak boleh harus tua oleh waktu, kita harus tetap muda, walau kita dirongrong oleh waktu. Kekuatan cinta tidak lagi termakan oleh usia. Tua dan muda, gagal menggoyangkan kemurnian cinta itu sendiri.” Demikian Begawan berkata pada Dewi Sukesih.

”Namun demikian sungai menurun, tidak pernah menanjak, wahai anakku. Lihatlah kehidupan. Kita jangan cari yang menanjak. Kita harus seperti sungai yang mengalir tanpa beban. Berbelok-belok dihimpit oleh gunung. Biasa, kehidupan harus terhimpit namun sekecil apapun himpitan gunung, sungai tetap mengalir, walaupun melalui celah-celah yang sempit.” lman tetap mengalir walau himpitan persoalan hidup seperti gunung yang menggencet.

(Bersambung............)

6 comments:

  1. sebarkan lebih luas untuk pencerahaan umat

    ReplyDelete
  2. Injih pak Suardana, matur suwun mugi bermanfaat untuk kita semua. Rahayu.........

    ReplyDelete
  3. apakah ini ajaran tertinggi...

    ReplyDelete
  4. mudah-an ini tidak hanya dijadikan suatu teori, tapi djadikan perilaku kehidupan kita sehari-dari, karena sesusungguhnya semua ajaran sama yakni berupa air yang bersumber dari mata air tergantung untuk apa kita menggunakannya

    ReplyDelete
  5. masih kah ada seseorang yang seperti Begawan Wisrawa (Ilmu-Nya).....?
    jika ada benar ada,, maka beri tahu lah saya, karna saya,,,
    Fanji Ulung Al-Mahera sang Pencari Kebenaran, Kebenaran yng Haqiqi.

    ReplyDelete
  6. ma'af pak benarkah itu percakapan antara begawan wisrawa&dewi sukesi atau hanya karangan bapak semata , jika benar dari mana sumbernya mohon penjelasannya

    ReplyDelete