Thursday, March 18, 2010

DIAM DALAM KESUNYATAAN

Written by I W Sudarma



Om Swastyastu-Salam Kasih

Diam dalam Sepi, Menyepi dalam Diam

Apa yang harus saya lakukan?

Merenung...?

Merenungkan apa? renungkan kata apa dan saya

Apa saya? Maksudnya?

Tanyakan: “ siapakah jati diri saya yang sesunguhnya?”

Kadang kita punya pikiran bahwa:



· Saya adalah raga ini yang terlahir oleh kedua orang tua saya. “Jika saya adalah badan, sebelum badan ini dilahirkandimanakah saya?”. Badan mengalami proses pertumbuhan, dari bayi, anak-anak, dan dewasa, selanjutnya tua dan mati. Setelah meninggal badan dikubur atau dibakar, setelah badan terbakar, kemanakah saya?

· Saya adalah pikiran yang punya persepsi akan sesuatu di luar badan saya. Jika saya adalah pikiran, pikiran ini terus berubah sesuai dengan mood atau perasaan saya. Kadang sedih dan kadang gembira, dan saya tahu betul akan perubahan dalam pikiran saya itu. Pikiran saya berubah-ubah, tetapi saya pikir saya sendiri tetap tidak berubah. Walaupun saya selalu berkata “saya sedih ketika pikiran saya lagi kalut dan saya bahagia ketika pkiran lagi senang”. Sedih dan senangnya pikiran saya disebabkan oleh sesuatu di luar diri saya. Lalu siapa saya yang sebenarnya?

· Saya adalah kecerdasan atau otak ini. Ketika saya baru lahir saya tidak bisa berbicara dan ketika saya anak-anak banyak yang saya tidak pahami. Kemudian setelah saya sekolah dan melewati bangku kuliah, saya mulai mengerti akan segala hal, tetapi tidak pernah memahami diri saya sendiri. Saya mulai menyandang predikat diri seorang pelajar, mahasiswa dan selanjutnya adalah predikat sesuai dengan propesi saya sekarang, misalnya saya adalah pegawai bank. Predikat itu hanya untuk ditempat kerja saya. Sementara di rumah saya adalah seorang anak dari orang tua saya. Seorang suami dari istri saya,seorang ayah dari anak saya. Dan disebut Pak Rt oleh warga saya. Semua ini karena kecerdasan saya. Lalu siapa saya yang sebenarnya? Jika predikat itu tidak ada pada saya lagi.

Sebelum saya lahir saya bukan anak dari ibu saya, karena ibu saya sendiri masih gadis dan belum menikah dengan ayah saya. Sebelum menikahpun saya bukanlah seorang suami, tapi bujangan. Dan ketika masih masa berbulan madu, saya bukanlah seorang ayah. Setelah saya tua dan sakit-sakitan, kemudian mati semua predikat saya dengan sendirinya lepas, berganti predikat almarhum. Seorang yang almarhum tidak lagi hidup di dunia ini lalu dimanakah saya? Dan kalau saya sendiri sudah almarhum, apa jadinya saya?

Seorang sutradara film biasanya sangat sibuk mengatur dan mengarahkan syuting film itu, tak jarang harus berpindah lokasi dan keadaan yang disesuaikan dengan adegan. Tidak hanya sang sutradara, semua orang yang terlibat didalam pembuatan film tersebut sibuk dengan tugas dan perannya masing-masing. Adegan demi adegan direkam, hingga menghasilkan sebuah cerita film yang utuh, dengan kisah yang merupakan suatu drama yang terekam di dalam pita kaset. Kalau kita cermati, sebenarnya cerita drama ini bukanlah untuk sang sutradara ataupun aktor itu sendiri, melainkan diperuntukkan bagi penontonnya. Nah, begitu kita mendengar kata penonton, berarti orang yang melihat dan mendengarkan adegan dalam film itu dari awal sampai akhir. Kaset film itu sendiri yang hanya berupa piringan, tidak bisa memberikan nuansa gambar maupun suara, yang biasa dilihat dan didengar, tanpa diputar terlebih dahulu di dalam player. Ketika piringan itu berputar maka terproyeksikanlah pada layar gambar dan suara dari adegan yang telah terekam, seperti aslinya pada saat diambil, sehingga bisa dinikmati kembali!

Sekarang coba diingat kembali!

Sang sutradara ketika membuat film itu, tanpa dia sadari terus sibuk bergerak ke sana- ke mari, untuk menciptakan adegan hidup yang beragam. Setelah selesai, hasilnya hanya berupa piringan yang tidak bisa bergerak sendiri. Dan ketika hendak menyaksikan adegan itu kembali, maka piringan tersebut diputar. Sang sutradara sibuk bergerak, piringannya pun diputar terus oleh player, sehingga adegan demi adegan berubah silih berganti. Nah, bagaimanakah sikap dan posisi penonton ketika menyaksikan film itu? Bukankah penonton hanya duduk diam menyimak jalan cerita itu dengan utuh. Selanjutnya akan ada yang sibuk bertanya, bagaimanakah kelanjutannya cerita itu pada saat film berakhir. Berbeda dengan penonton yang dengan diam menyaksikan dan menyimak adegan demi adegan dengan penuh seksama. Dia akan terbawa dengan alur cerita yang mengalir tak putus-putusnya. Pandangannya akan terfokus ke depan layar. Dia lupa akan keadaan, dirinya dengan sekelilingnya. Dia larut dan terhanyut oleh kisah di dalam film itu, bahkan terkadang dia menangis ketika adegannya memilukan dan habis itu tertawa ketika adegannya berganti dengan yang lucu atau menggembirakan.

Untuk membuat sebuah cerita film dengan kisah yang utuh, maka diperlukan paling sedikit satu tahun oleh sang sutradara. Kemudian setelah terekam semua, untuk menyimak kembali adegan tersebut maka memakan waktu kurang dari dua jam. Nah, untuk mengerti jalan cerita dari film itu setelah berakhir, apakah penontonnya yang hanya duduk diam dan menyimak penuh adegan demi adegan tanpa berbuat sesuatu itu butuh waktu selama itu?

Sang sutradara adalah pelaku dalam film itu dan kadang kala tidak dikenal wajahnya, karena tidak ada dalam setiap adegan di dalam film tersebut. Demikian pula playernya, yang hanya berupa alat, walaupun terus tak henti-hentinya memutar piringan, tak ada yang sadar dan peduli akan keberadaannya. Bahkan layar putih sebagai alat utama untuk memproyeksikan gambarpun, kita tidak ambil peduli, perhatian kita hanya terpusat pada adegan yang dibiaskan oleh layar tersebut. Ketika adegannya mencekam kita menjadi ngeri, padahal kalau dipikir itu hanya cerita film.

Ketika di dalam layar terliahat bercak-bercak darah dan kotoran, maka perasaan kitapun ikut mual. Adegan yang mengerikan itu terjadi karena gambar yang bergerak terus dan bercak darah terlihat karena bias warna yang diproyekskan. Ketika terjadi adegan yang seru, layar tetap diam, tidak secuilpun begerak, bahkan ketika terjadi badai atau ledakan, layar sebenarnya tetap dalam keadaan diam. Kesan bergerak disebabkan oleh efek suara dan ketika terliaht bercak darah, sedikitpun layar tidak berubah warna, tetap putih seperti semula, lalu apa yang berubah?

Image atau pikiran kita yang berubah, karena dipengaruhi oleh kesan yang ditimbulkan oleh gambar, dan perasaan kita seolah itu nyata. Sang sutradarapun, ketika hanya duduk menyaksikan adegan film itu sebagai penonton, akan mendapatkan kesan yang tak jauh berbeda dengan penonton yang lainnya. Karena dia tidak lagi sang sutradara, tapi seorang penonton. Walaupun dia sendiri, yang membuat adegan itu, Karena dalam hal ini dia hanya saksi dalam cerita tersebut, tidak sebagai pelaku. Dia tetap dirinya sendiri, yang menyandang predikat sang sutradara ketika proses pembuatan film itu dan penonton ketika lagi duduk dalam gedung theatre. Ketika film berakhir dia tidak akan terpengaruh sedikitpun oleh adegan seru, sedih ataupun adegan percintaan. Dia hanya akan tersenyum senang dan puas seperti halnya penonton yang lain.

Itu hanya cerita dan adegan di film, yang sengaja dibuat untuk ditonton dan dinikmati, yang sebenarnya tak jauh berbeda dengan kehidupan kita yang sesungguhnya. Hidup itu tak beda dengan adegan dalam film. Seperti tragedi dan komedi, tergantung kita melihatnya. Kalau kita memandang hidup ini sebagai tragedi, maka dengan setiap kejadian kita tak henti-hentinya menangis, sebaliknya kalau kita memandang hidup ini sebagai komedi, maka kita akan tertawa dengan diri kita sendiri. Lalu siapakah diri kita yang sesungguhnya?

Badan kita tak beda dengan player, pikiran kita adalah pita kasetnya dan dunia adalah layar putih untuk memproyeksikan gambar, sedangkan hati adalah suaranya yang senantiasa memberikan kesan dalam hidup ini.

Lalu siapakah saya?

Saya:…..adalah penonton atau saksi, yang hanya menyaksikan adegan yang sedang diputar

Siapakah sang sutradara?

Lupakan adengan film sekejap, ketika kita berpikir tentang si pembuat film tersebut, maka kita akan tahu sang sutradaranya, yang sekarang menjadi penonton itu sendiri, ketika duduk diam dan hanya menyaksikan adegan film yang telah dibuatnya dan tidak terpengaruh oleh cerita dalam film itu. Penonton ataupun sutradara adalah predikat yang disandangnya untuk sementara. Lalu siapakah dia yang sebenarnya?

Ketika sang sutradara melupakan sekejap bahwa dia seorang sutradara dan berpikir akan dirinya sendiri, maka dia akan menemukan jati dirinya yang sesungguhnya. Ini bisa dia lakukan kapan saja dan dimanapun. Ketika pikiran dan perasaannya tidak lagi diarahkan ke luar, Ke arah layar ataupun adegan yang diputar, melainkan dengan kesadaran yang penuh, dia mencoba melihat ke dalam dirinya.

Pikiran kita umumnya menerung melihat ke luar, ke dalam objek di sekitar kita dan paling susah untuk melihat ke dalam. Kemampuan untuk melihat ke dalam ini disebut mulat sarira atau dhyana, yang tak lain adalah meditasi yang sesungunya. Dan hasilnya adalah anandam atau kebahagiaan yang tidak habis-habisnya, karena merupakan kebahagiaan tertinggi, yang tak disebabkan oleh sesuatu. Suatu kebahagiaan dari menemukan jati diri yang sesungguhnya.

Ingatlah, inipun akan berkhir, selanjutnya yang tersisa hanyalah kenangan atau kesan belaka

Om ta sat brahmarpanam astu sat cit ananda svarupa

Om Santih Santih Santh Om




"Om Namame smaranam Om Padame sharanam"
=======

No comments:

Post a Comment