Wednesday, April 28, 2010

SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT PANGRUWATING DIYU (Bagian 6 )

Disarikan kembali oleh : Pinandita Astono Chandra Dana (Sekum PSN Pusat)


Salah satu ilmu rahasia para dewata mengenai kehidupan di dunia adalah Serat Sastrajendra. Secara lengkap disebut Serat Sastrajendrahayuningrat Pangruwatingdiyu. Serat = ajaran, Sastrajendra = Ilmu mengenai raja. Hayuningrat = Kedamaian. Pangruwating = Memuliakan atau merubah menjadi baik. Diyu = raksasa atau keburukan. Raja disini bukan raja dalam artian harfiah, melainkan sifat yang harus dimiliki seorang manusia mampu menguasai hawa nafsu dan pancainderanya dari kejahatan. Seorang raja harus mampu menolak atau merubah keburukan menjadi kebaikan.

Pengertiannya bahwa Serat Sastrajendra adalah ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk merubah keburukan mencapai kemuliaan dunia akhirat. Ilmu Sastrajendra adalah ilmu KEBATINAN yang menekankan sifat MENEGAKKAN KEBENARAN DARI SEGALA KEBATHILAN, sifat memimpin dengan amanah dan mau berkorban demi kepentingan rakyat.

Melalui ilmu Sastrajendra maka simbol sifat sifat keburukan raksasa yang masih dimiliki manusia akan menjadi dirubah menjadi sifat sifat manusia yang berbudi luhur.

Berikut kami sajikan kembali kisah lanjutannya (Bagian ke 6 ) :

Sedangkan dikerajaan Lokapala, sang raja Prabu Danareja duduk tercenung, melamun. Makanan yang disiapkan oleh ibundanya, tak disentuh. Hari demi hari hingga datangnya bulan, sang anak puasa.

”Wahai anakku”, kata sang Ibu, ”mengapa engkau biarkan dirimu tersiksa oleh puasa?”

”Ibu, aku sangat merindukan kekasihku Dewi Sukesih. Kapankah Ayahanda dan Dewi Sukesih pulang. Kerinduanku pada Dewi Sukesih melenyapkan seleraku pada makanan apapun. Apapun kenikmatan dunia tak ada artinya dibandingkan kerinduanku kepada kekasihku, Dewi Sukesih.”

”Wahai anakku, ayahmu pasti berhasil membawa Dewi Sukesih. Dan aku ini, ibumu, telah membuktikan kepatuhan dan janji yang benar dari ayahmu. Sebagai wanita, sebagai isteri aku puas, sebagai orang tua anak-anakku, ayahmu telah menghantar aku ke alam yang sangat tinggi dari kenikmatan harkat wanita. Apalagi engkau sebagai anaknya, pasti diangkat lebih tinggi.”

Namun betapa kaget keduanya, ketika ada yang datang, yang ternyata adalah Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih.

”Mengapa mata ayah demikian redup?”, berkata Prabu Danareja, ”Dimana kegagahan Ayah?”

”Wahai anakku, aku telah mencuri cinta, mencuri cinta kepada anakku sendiri. Cintamu kepada dewi Sukesih telah aku curi. Sekarang kekasihmu adalah ibu tirimu.” Maka sujudlah Begawan Wisrawa kepada anaknya sendiri.

Sang anak tak mampu berkata-kata, diam seribu basa, sudah tidak ada lagi perasaan apapun dalam jiwanya. Dirinya sudah menjadi patung yang tidak mempunyai rasa hidup. Dirinya tak dapat menyalahkan ayahnya ataupun menyalahkan Dewi Sukesih, karena jiwanya menjadi batu yang tak punya rasa.

”Wahai anakku Danareja, ampunilah ayahmu ini. Ayahmu gagal dalam memenuhi keinginanmu. Namun biarlah semua apa yang aku raih sebagai manusia dalam tapaku, dalam meninggalkan kemasyhuran tahta dan harta. Maka seandainya Hyang Widhi memberikan nilai-nilai kepada aku, biarkanlah aku berikan kepadamu, wahai anakku.

Biarkanlah aku tidak ada arti selama alam raya ada, sampai aku bertemu dengan Hyang Widhi nanti. Biar kemegahan di hadapan Tuhan engkau yang merasakan, wahai anakku. Karena diantara noda dosaku, aku merasa lebih cinta kepada anakku. Engkau adalah kulahirkan dengan kesucian jiwaku. Namun engkau dihancurkan harapanmu, oleh rasa ayah yang dapat menyelamatkan anaknya.”

Kemudian sang Begawan bersimpuh kepada isterinya,

”Maafkanlah aku, wahai isteriku.”

”Wahai kanda”, berkata sang isteri, ”Tiada yang harus engkau ungkapkan. Namun cintaku yang murni, dalam kerinduan begitu utuh dan indah manakala kerinduanku sebagai wanita muncul. Dan aku tenang dengan cinta itu karena engkau, wahai suamiku, sedang bertapa dalam Sastra Jendra Hayuningrat. Namun kali ini cintaku merasa di uji. Yang berarti aku tidak perlu lagi merindukan dirimu. Manakala aku paksakan merindukan cinta pada suamiku, berarti aku harus berhadapan dengan cemburu, karena engkau telah memiliki isteri yang baru. Biarkanlah cinta ini akan kugenggam.

Kalaupun aku rindu kepadamu, itu adalah kerinduan dari kenangan masa lalu kita. Biarkanlah cinta ini aku persembahkan teruntuk Sang Hyang Wenang. Maka tidak ada ampunan dariku. Pergilah, aku pun seharusnya seperti isterimu Dewi Sukesih, namun aku lebih beruntung karena aku telah dihantar oleh harkat.”

Dewi Sukesih dihantar kesombongannya dalam merasa dirinya mampu memedar Sastra Jendra Hayuningrat.

Maka kedua orang ini berjalan setapak demi setapak di muka bumi ini. Hingga di suatu saat datanglah suara atau wangsit dari Kahyangan. Batara Narada menyampaikan wangsit Sabdo Palon pada keduanya :

”Wahai anak-anaku, jangan sesali kemalanganmu, apakah engkau lupa wahai anakku. Kemalangan adalah hak setiap penduduk bumi, hidup itu sendiri adalah kemalangan. Wahai anak-anakku! Dunia adalah kemalangan, kamu harus ramah terhadap kemalangan. Jangan engkau lawan kemalangan. Kalau engkau ingin mendapatkan pengakuan penghormatan dari Sang Hyang Wenang, terimalah kemalangan sebagai kesadaran kehidupan di muka bumi ini. Karena kemalangan menyimpan rahasia kebahagiaan, kebahagiaan mereka yang ada di muka bumi, itu ada di balik kemalangan. Jangan engkau lawan, akrabilah, hingga kemalangan memberikan permata kebahagiaan kepada engkau”, Sabda Batara Narada.

”Wahai anakku, setinggi apapun harkat manusia, setinggi apapun ilmunya, ibadahnya, dharmanya, itu tak akan mampu mencari jatidirinya, karena jatidiri semakin dikejar semakin jauh. Jatidiri adalah dekat dalam jauh, jauh dalam dekat. Kau harus pandai-pandai melihat dimana ada jatidiri, tapi jangan mencoba memetik. Jatidiri bukan milik makhluk tapi milik Sang Hyang Tunggal”, demikian Sabda Palon dari Batara Narada.

”Dan engkau pun lupa wahai anak-anakku, kejahatan adalah bagian nafas kehidupan manusia. Segala apapun nilai-nilai yang suci dan benar, itu tetap ada dalam nafas kejahatan. Karena dagingmu menghirup udara kejahatan, darahmu mengecap udara kejahatan, fikiranmu menerima air kajahatan. Dan jiwamu adalah samudera kejahatan”, sabda Batara Narada,

”Dharma yang luhur dan agung tetap harus tersimpan dalam gelombang kejahatan. Karena itu anakku, kejahatan jangan kau lawan. lkutlah dengan kejahatan, tetapi manakala kejahatan akan menghancurkanmu, simpan dulu kejahatan. Biarkanlah kejahatan jadi milik hawa nafsumu, bukan milik anak-anakku. Engkau adalah milik kebenaran.

Pisahkanlah kepemilikan kejahatan dan kebenaran, tanpa harus melawan kejahatan. Manakala engkau mencoba melawan kejahatan, engkau akan di makan oleh kejahatan itu sendiri. Begitulah wahai anak-anakku, dari Sabda Palon Hing Puri Agung Hayuningrat yang ada di Puncak Tahta Kerajaan Arya Loka di Parahyangan.”

Tahta Parahyangan adalah menyimpan tahta Kahyangan, didalammya ada Sabda palon, yang bisa di kumandangkan oleh Batara Narada, Dewa nilai-nilai, Dewa kesucian dan Dewa kearifan.

”Wahai anak-anakku, kemalangan memadu dengan kejahatan. Maka hukum dunia, hukum bumi adalah anak yang lahir dari kejahatan dan kemalangan. Terimalah hukum dunia dari anak perpaduan perkimpoian kemalangan dan kejahatan, dan ramahlah kepada hukum-hukum yang lahir dari keduanya. Karena daging dan darah sangat dekat dengan hukum bumi yang dilahirkan dari bayi-bayi dari perkimpoian kemalangan dengan kejahatan. Itulah Sabda Palon, wahai anakku.”

”Karena hukum dunia lahir dari kedua faktor tadi, maka kemanapun manusia pergi dalam mencari jatidirinya, apalagi mencari Maha Pencipta, tetap kesombongan dominan dalam diri manusia. Kalaupun memiliki ketersembunyian Nurani, tetap kesombongan perahu besar dalam mengarungi samudera kehidupan dunia. Terimalah itu semua sebagai takdir, wahai anak-anakku. Itulah Sabda Palon.”

”Wahai anak-anakku, Sastra Jendra bukanlah wedaran budi yang luhur, bukanlah wedaran dari kesucian yang tinggi, bukanlah wedaran dari ilmu yang sangat tinggi. Melainkan seruan kekuatan hati Nurani yang tersembunyi, karena hati Nurani, walaupun kalah oleh kekuasaan kejahatan, tetap suaranya mampu sampai ke Nirwana. Sampai pada puncak Nirwana, Tahta Parahyangan. Karena hanya Nuranilah yang mampu menggedor pintu Tahta Kahyangan.”

”Anakku, dalam ’diri yang jahat’, dalam ’diri yang malang’, simpanlah desir suara kecil dari Nurani. Walaupun kecil mampu sampai menggedor Tahta Parahyangan. Supaya bumi menjadi subur oleh Parahyangan. Dan janji Hyang Maha Tunggal, suatu saat bumi ini harus menjadi Parahyangan, baru Sang Hyang Wenang, Hing Murbeng Agung, akan tersenyum dan melupakan kemarahannya kepada penduduk bumi ini. Jadikanlah wahai anakku, turunanmu membawa Amanat Tahta Parahyangan. Itulah Sabda Palon, wahai anakku.”

”Dan mengapa engkau teruji, diuji oleh gelora syahwat yang tinggi, sehingga engkau menjadi suami isteri? Itu semua adalah suatu kekuatan yang tak mampu lagi dibendung olehmu. Terimalah darah-darah yang menetes dari setiap rahim yang akan lahir ke dunia, dengan demikian engkau telah memberikan kekuasaan kemalangan dari kejahatan lebih kokoh di dunia ini, hingga Hyang Widhi bosan kepada kekuasaan kemalangan dan kejahatan di dunia ini. Kebosanan Sang Hyang Widhi, itu akan menimbulkan ’kerinduan’ Sang Hyang Widhi datang langsung ke bumi yang hina. Itulah janji-Nya, untuk membangun Parahyangan. Wahai anakku, itulah Sabda Palon.”

”Maka kemalangan manusia dengan noda dosa tidak lagi harus diruwat. Karena Sang Hyang Widhi Maha Agung akan turun ke muka bumi, yang didampingi oleh adikku Batara Guru.”

”Batara Guru, adalah menjadi kendaraan yang indah dari Sang Hyang Wenang Hing Maha Agung, untuk mensucikan segala darah-darah yang telah engkau tampung, yang telah engkau simpan, supaya Parahyangan menjadi kenyataan. Parahyangan itu hanya bisa dilakukan, dibentuk, dipersiapkan oleh adikku Batara Guru, dan disempurnakan oleh kerinduan Yang Maha Agung untuk menjadikan parahyangan bagian dari jagad Kahyangan. Walaupun sesaat, tapi senyuman Hing Murbeng Agung menerpa, mengagungkan, mensucikan semua yang suci. Dan Pangruwating Diyu sudah tidak ada lagi. Karena Pangruwating Diyu telah menjadi Kendaraan kejahatan dan kemalangan, untuk kembali kepada pusatnya yang amat rahasia.”

”Yang ada adalah Batara Guru menjadi Satria Lelanang Jagad. Dialah nanti di bumi yang akan memedar ’Naya Genggong’. Naya Genggong akan dipedar oleh keagungan Lelanang ing Jagad dari Sang Hyang Jagad Nata, Prabu Siliwangi Kahyangan, ngahyang (moksa) dan muncul dimuka bumi. Di bumi yang ditentukan dalam tugasnya adalah memedar Naya Genggong.”

”Naya Genggong anakku, adalah Gemah Ripah Loh Jinawi. Hanya Prabu Jagad Nata, Panata Jagad, Panata Negara, Panata Manungsa, yaitu adikku sendiri [Batara Guru] yang mampu demikian. Karena menjadi ’raga’nya Hyang Widhi.”

”Adikku tidak lagi sebagai Dewa, tetapi menjelma menjadi manusia yang berdarah berdaging. Ilmu punah! Karena budi menjelma. Budi dan jatidiri bukan lagi rahasia, tapi menjelma menjadi darah dan daging adikku sendiri, untuk memedar Naya Genggong, Gemah Ripah Loh Jinawi.”

”Wahai anakku, terimalah kemalangan dan kejahatan di dalam wadah keikhlasan supaya dengan cepat dan pasti mengundang Adikku dan Sang Hyang Agung turun ke bumi. Dan darah-darahmu, yang ditampung dari darah umat Manusia. Tambah banyak penampungan tetes darah Perawan, tambah cepat mengundang Sang Hyang Batara Pengasih Sukma, Panata Gama, Panata Buana, Panata Cinta, Panata Asmara, Batara Panata Sakti untuk segera hadir.”

”Wahai Dewa Narada”, berkata Begawan Wisrawa, ”Mengapa demikian? Kenapa Sang Hyang Murbeng Agung turun ke bumi ini? betapa malu. Aku tenoda, noda ini harus didekati oleh Yang Punya Kesucian, Sumber Kesucian. Mungkinkah itu terjadi? betapa malu, aku.”

”Wahai anakku, biarkanlah rasa malumu terkikis habis oleh senyuman dari Batara Hing Murbeng Asih. Dan Batara Hing Murbeng Asih sudah sejak lama hendak turun ke dunia ini, cuma Batara Narada masih malu untuk mengajak Sang Hyang Widhi datang ke bumi ini. Karena genangan darah belum lengkap mengisi mangkok kehidupan dunia ini.”

Bersambung......

Wednesday, April 21, 2010

SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT PANGRUWATING DIYU (Bagian 5)

Disarikan kembali oleh : Pinandita Astono Chandra Dana (Sekum PSN Pusat)


Salah satu ilmu rahasia para dewata mengenai kehidupan di dunia adalah Serat Sastrajendra. Secara lengkap disebut Serat Sastrajendrahayuningrat Pangruwatingdiyu. Serat = ajaran, Sastrajendra = Ilmu mengenai raja. Hayuningrat = Kedamaian. Pangruwating = Memuliakan atau merubah menjadi baik. Diyu = raksasa atau keburukan. Raja disini bukan raja dalam artian harfiah, melainkan sifat yang harus dimiliki seorang manusia mampu menguasai hawa nafsu dan pancainderanya dari kejahatan. Seorang raja harus mampu menolak atau merubah keburukan menjadi kebaikan.

Pengertiannya bahwa Serat Sastrajendra adalah ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk merubah keburukan mencapai kemuliaan dunia akhirat. Ilmu Sastrajendra adalah ilmu KEBATINAN yang menekankan sifat MENEGAKKAN KEBENARAN DARI SEGALA KEBATHILAN, sifat memimpin dengan amanah dan mau berkorban demi kepentingan rakyat.

Melalui ilmu Sastrajendra maka simbol sifat sifat keburukan raksasa yang masih dimiliki manusia akan menjadi dirubah menjadi sifat sifat manusia yang berbudi luhur.

Berikut kami sajikan kembali kisah lanjutannya (Bagian ke 5) :


”Wahai Kakanda, benar! Ternyata mereka masih merindukan dosa-dosa yang tersembunyi. Sekalipun sudah sampai ke jagad alam yang paling suci, melampaui kesucian kita para Dewa. Mereka masih memiliki kelamin yang ada dalam Jagad Sastra Jendra Hayuningrat. Wahai Kakanda, betapa keagungan dan kesucian Sastra Jendra masih harus diperankan oleh kelamin mereka. Mereka dengan kelaminnya harus kembali ke bumi.”

Sesungguhnyalah bahwa pada saat keduanya didera oleh birahi yang maha dahsyat, semakin tinggi birahi dirasakan oleh keduanya, maka semakin turunlah mereka dari Kahyangan. Desah erang kejantanan sang Begawan dan jeritan kewanitaan sang Dewi dipuncak hubungan kelamin sempurna, keduanya sudah berada di Taman Arga Soka. Taman yang memang dipersiapkan bagi keduanya oleh Prabu Sumali, ayahanda Dewi Sukesih.

Begitu sadar, maka keduanya dalam keadaan tanpa busana. Reaksi pertama dari keduanya adalah dengan cepat mengambil busana masing-masing yang ternyata tergeletak di sebelah mereka, dan segera menutupi tubuh masing-masing.

Keduanya pun dilanda, dicekam oleh rasa malu yang sangat! Setelah keduanya selesai mengenakan busana masing-masing, nampaklah bahwa busana sang Dewi, busana indah puteri seorang raja yang serba putih, penuh noda darah keperawanan sang Dewi.

Gugurlah Bunga Menur seorang gadis yang suci.

Berkata sang Begawan pada Dewi Sukesih, ”Wahai Dindaku, kita telah terikat sebagai suami isteri dan kita tidak perlu menikah kembali atas persetujuan orang tuamu. Kita tidak perlu akad nikah yang diresmikan oleh rakyat, oleh umat. Dan kitapun malu minta kepada sang Dewa untuk diresmikan dan disyahkan. Kita dinikahkan oleh syahwat kita. Bukan dinikahkan oleh alam ini, bukan dinikahkan oleh orang-tua kita, dan bukan pula dinikahkan oleh Sang Hyang Wenang, Tuhan yang Maha Esa.”

Dewi Sukesih menangis dengan segala penyesalan, dan air mata pun berderai tak henti-hentinya. Sementara sang Begawan tak berkata-kata, tak ada kalimat yang menyatakan tentang mohon pengampunan dosa. Tiada kata-kata yang menyatakan tentang rasa kebersalahan atau penyesalan dari sang Begawan.

”Wahai Dindaku”, kata sang Begawan, dengan nada getir yang kering, ”Engkau masih untung, kesakitan jiwamu dan rasa bersalahmu masih bisa diwakili oleh derai air matamu. Tapi aku tak mampu lagi yang bisa mewakili rasa sakit dari rasa bersalah ini.”

Ternyata walaupun tak ada kata atau kalimat yang menyatakan perasaannya ataupun derai air mata dari sang Begawan, ternyata sang Begawan lebih tinggi rasa penyesalannya. Karena dia adalah pendeta, seorang yang dianggap dekat dengan Hyang Widhi, seorang resi, seorang yang sangat suci.

Rasa penyesalan tak lagi mampu dapat diwakili oleh perangkat apapun, sekalipun dalam bentuk tangisan.

Maka berkatalah sang Begawan, ”Dindaku, menangislah sepuasmu sekalipun tidak akan mensucikan noda-noda kita. Darah yang ada dalam busanamu menyebabkan semua anak manusia yang akan datang ke dunia ini harus tercekam, terpenjara kerinduan malam pertama pengantin. Biarlah, kita korban dari keserakahan nafsu kita sendiri.

Biarkanlah kita menjadi korban dari syahwat yang lebih besar dari raksasa apapun. Biarkanlah kita menjadi tumbal, menanggung dosa semuanya yang akan lahir ke dunia ini”, sang Begawan tercenung sejenak,

kemudian katanya,
”Wahai Dindaku, sperma yang keluar dari kelaminku telah menetes dalam jagad kewanitaanmu. Biarlah sperma itu menjadi makhluk baru dalam rahimmu, menjadi makhluk baru yang penuh kemerdekaan. Apapun sang janin jadinya. Kita serahkan kepada hawa nafsu yang telah kita ukir bersama. Biarlah sang nafsu yang telah kita ukir bersama akan membangunkan janin bayi yang ada didalam perutmu.

Wahai Dindaku, kita harus siap mencintai, merawat dan mendidik bayi-bayi yang akan lahir. Anakmu adalah anakku, anakmu seharusnya cucuku, tapi anakmu adalah anakku. Apapun sifat dari bayi ini, kita tak boleh mengurangi cinta kita pada mereka, kita didik dengan segala pengorbanan tanpa harus menuntut.

Sekalipun kita didik sebaik mungkin, karena lahir dari dosa kita, kitapun tak mampu untuk menjadikan mereka anak baik yang mendapat ridho dari sang Dewa. Biarkanlah berkembang dengan sifat keangkaraannya, dengan penuh kesalahannya. Biarkanlah anak kita berkembang dengan keinginannya, asal kita mensisakan kasih sayang yang ikhlas untuk mereka.

Dengan segala perlindungan dan pendidikan. Dan baik tidaknya anak ini bukan tugas kita lagi. Itu adalah tergantung kearifan dari Sang Hyang Widhi yang menciptakan kita. Kitapun tak mampu berdoa untuk mohon itu, karena doa itupun sudah mengutuk kita dari dalam perbuatan syahwat yang akan mengukir sampai akhir dunia.”

Maka rasa malu keduanya untuk berhadapan dengan mereka yang dicintai, harus tetap dilakukan. Sang Begawan harus mohon maaf, harus mencium kaki sahabatnya sendiri, Prabu Sumali. Dan harus minta maaf pada anaknya sendiri, Prabu Danareja, sebagai raja Lokapala.

Sementara itu di Alengka, di dalam istananya yang megah, Prabu Sumali muncul kerinduannya yang sangat pada puterinya. Dan kerinduan yang menggelisahkan Prabu Sumali, bersamaan dengan masuknya Betari Uma ke dalam jagad kewanitaan Dewi Sukesih.

”Wahai sang Dewa, mengapa puteriku yang kucintai hingga hari ini belum juga pulang. Sedangkan Semua rakyat menunggu anakku dalam membawa oleh-oleh dipedarnya Sastra Jendra Hayuningrat. Sekalipun darah para raja tidak mengalir lagi di tanah Alengka ini, namun kerinduanku pada puteriku laksana genangan darah yang tak mampu mengalir.

Mengapa aku gelisah wahai Dewa Maha Agung aku merindukan puteriku dengan segala kegelisahan. Jangan Engkau jadikan kegelisahanku sebagai ayah, menjadi kenyataan, Wahai Dewa Agung.”

Demikian ungkapan perasaan Prabu Sumali yang sedang dilanda kegelisahan. Di puncak kekhawatiran Prabu Sumali yang menanti penuh harap-harap cemas kepulangan puteri tercinta. Datanglah Dewi Sukesih bersimpuh di kaki ayahandanya, menangis dengan segala jeritan.

”Wahai Ayahanda, aku menciptakan bencana dan aku terbentur bencana, yang diciptakan dari keinginan dan keyakinanku sendiri.”

Betapa terkejut Prabu Sumali, ”Ada apakah gerangan wahai anakku.”

”Aku menciptakan bencana wahai ayahda, bencana yang memporak-porandakan semua yang kumiliki. Kini anakmu tak memiliki apa-apa, selain noda-noda dosa dan berkas-berkas syahwat yang begitu agung bercokol dalam jiwaku wahai ayahanda”, Kata Dewi Sukesih diantara sedu sedannya.

”Terangkanlah musibah itu, wahai Puteriku”, kata sang ayah, Prabu Sumali. Namun Dewi Sukesih diam…..terbungkam. Dalam diamnya air matanya tetap mengalir, tapi air mata darah yang terus menetes, mengalir. Ruang-ruang megah dari istana raja yang penuh dengan hiasan dan permadani yang indah, tegenang darah air mata sang Dewi. Alam diam. Dunia sepi. Semua rakyat tidur dalam kesyahduan. Bulan padam. Matahari padam. Kehidupan pun terhenti.

Tinggallah cekam kesepian yang begitu merasuk dari jiwa ketakutan sang ayah menimbulkan goncangan-goncangan yang sangat hebat dalam dadanya.

Terjadilah kehendak Dewa, cekam kesepian justeru bercerita tentang riwayat puterinya sendiri, tentang riwayat sahabatnya sendiri.

Pengulangan kembali peristiwa Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih, sekaligus ”berulang” dengan melibatkan sang raja. Dari cerita dua tokoh lelaki-wanita dari peristiwa panjang sampai bencana. Alam bercerita kembali tentang peristiwa itu, yang langsung dirasakan oleh Prabu Sumali.

Seusai pengulangan peristiwa itu, Prabu Sumali pun bersujud kepada Sang Dewa Agung, Sang Hyang Widhi.

”Wahai Hyang Maha Agung, Dewa, Batara, apakah ini sebuah perbuatan dari harga manusia, atau ada keterlibatan Engkau dalam mengobarkan, membangunkan api-api birahi yang ada dalam diri kami. Aku tak percaya, sahabatku yang begitu suci, yang mulia akhlaknya, yang suci ibadahnya, yang sempurna dalam meninggalkan kekuasaan kekayaan. Harus terlena oleh peristiwa itu, aku tak percaya! Pasti…….ada keterlibatan Engkau, wahai Dewa Agung di Nirwana.”

Demikianlah Prabu sumali berkata dalam sujudnya. Begitu sujudnya selesai, sang Prabu pun bangkit berdiri.

Tak lama kemudian, sahabatnya, Resi Wisrawa, sujud dipelukan kaki sang Prabu. Maka diangkatnya sahabatnya, dipeluknya.

”Wahai sahabatku, jangan engkau sesali semua ini, karena kita berangkat dari noda, jangan terlalu berharap banyak untuk mencapai kesucian seperti para Dewa. Biarkanlah kesucian menjadi keangkuhan para Dewa di Nirwana.” Sang Prabu Semakin erat memeluk sahabatnya.

”Jangan menyesal, aku tidak saja memaafkan engkau. Tapi cinta aku dalam jiwa sebagai sahabat tambah sempurna untuk mencintai engkau, begitupun cinta aku kepada puteriku. Puteriku korban dari harapannya sendiri. Biarkanlah para Bidadari mengutuk puteriku, tetapi aku yakin, suatu saat puteriku akan mengalahkan harkat Bidadari Kahyangan semuanya. Wahai puteriku, bangunlah, peluklah aku, jangan malu.”

Sang Dewi pun memeluk ayahandanya, di dadanya dia bersandar. Maka tumbuhlah perasaan tentram, setentram bayi dalam pelukan pelindungnya. Sang Dewi pun tenggelam dalam kesempurnaan cinta seorang ayah.

”Wahai puteriku, siapapun engkau dengan noda dosa yang sangat tinggi, cintaku tidak pernah berubah. Cintaku tambah tinggi karena aku tahu engkau memiliki kecintaan kepada rakyat, dan aku tahu engkau memiliki kecintaan kepada orang tuamu, melampaui saudara-saudaramu, melampaui cintanya rakyat kepadaku sebagai raja, dulu. Dan akupun mampu meninggalkan kekuasaan tahta, harta, serta ibumu. Itu adalah karena dorongan cintamu yang agung untuk segera meninggalkan istana, dan segera menuju pertapaan. Itu adalah jasamu, anakku. Dan ini akan menyelamatkan engkau dan mengalahkan keagungan bidadari yang ada di Kahyangan. Senyumlah, puteriku…..”, Sang Prabu mengangkat wajah Dewi Sukesih, ”Senyumlah….”, sang Dewi pun tersenyum.

”Teruskanlah perjalananmu bersama suamimu. Dan engkau wahai sahabatku, bertanggung jawablah, bahwa inilah isterimu. Walaupun engkau tidak dinikahkan oleh alam dan sang dewa. Tapi engkau akan dinikahkan oleh cinta aku sebagai sahabatmu. Wahai Begawan dan engkau wahai Puteriku, akan kunikahkan dengan cinta yang agung, yang pernah engkau berikan padaku, itulah mahar.”

Tak lama kemudian, Prabu Sumali mempersilakan keduanya berangkat.

”Berangkatlah menuju kepada kehidupan. Jemputlah darah-darah yang akan mengalir ke muka bumi ini. Wahai puteriku, tampunglah darah-darah para wanita, engkau membuktikan diri kepada para Dewa. Membuktikan bahwa engkau mampu lebih agung daripada para Bidadari, bahkan dari para Dewa itu sendiri. Berangkatlah, tundukkan dunia ini dengan darah yang engkau tampung, jangan coba kau tundukkan dengan kesucian Sastra Jendra”, kata Sang Prabu mengakhiri pesannya.

Setelah berpamitan maka berangkatlah keduanya, melanjutkan perjalanan.

Bersambung..............

Monday, April 12, 2010

SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT PANGRUWATING DIYU (Bagian 4)

Disarikan kembali oleh : Pinandita Astono Chandra Dana (Sekum PSN Pusat)


Salah satu ilmu rahasia para dewata mengenai kehidupan di dunia adalah Serat Sastrajendra. Secara lengkap disebut Serat Sastrajendrahayuningrat Pangruwatingdiyu. Serat = ajaran, Sastrajendra = Ilmu mengenai raja. Hayuningrat = Kedamaian. Pangruwating = Memuliakan atau merubah menjadi baik. Diyu = raksasa atau keburukan. Raja disini bukan raja dalam artian harfiah, melainkan sifat yang harus dimiliki seorang manusia mampu menguasai hawa nafsu dan pancainderanya dari kejahatan. Seorang raja harus mampu menolak atau merubah keburukan menjadi kebaikan.

Pengertiannya bahwa Serat Sastrajendra adalah ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk merubah keburukan mencapai kemuliaan dunia akhirat. Ilmu Sastrajendra adalah ilmu KEBATINAN yang menekankan sifat MENEGAKKAN KEBENARAN DARI SEGALA KEBATHILAN, sifat memimpin dengan amanah dan mau berkorban demi kepentingan rakyat.

Melalui ilmu Sastrajendra maka simbol sifat sifat keburukan raksasa yang masih dimiliki manusia akan menjadi dirubah menjadi sifat sifat manusia yang berbudi luhur.

Berikut kami sajikan kembali kisah lanjutannya (Bagian ke 4) :


”Memang benar wahai Dindaku”, kata Batara Narada, ”Dewi Sukesih lebih cantik dari semua Bidadari yang ada di Surga. Karena, bilamana manusia bumi mampu mencapai ketinggian harkat, itu melampaui kecantikan dan keindahan penghuni Surga itu sendiri. Manakala anak manusia mencapai ketinggian harkat yang suci dalam keikhlasan, suci dalam kepasrahan, suci dalam rasa memiliki dan dimiliki. Itu adalah lebih tinggi harkatnya dari harga Nirwana itu sendiri, harga Surga itu sendiri”, Batara Narada menerangkan.

Perasaan cinta sang Begawan sebagai seorang ayah, ternyata telah menyelamatkan dirinya dari belaian maut cinta asmara. Dan ternyata kalau cinta, suami isteri telah membuahkan anak, seharusnya ”menambah” kokoh cinta yang ada. Sehingga apabila saat-saat kritis menghadang, terutama dari hempasan badai asmara dari pihak ketiga, ataupun saat-saat kejenuhan mencengkeram jiwa masing-masing, maka cinta kepada anak adalah kekuatan yang agung, dalam menghadapi semua itu.

Ternyata sang Dewa Batara Guru, dalam harkat kedewaannya, sangat menaruh hormat atas kesucian bathinya yang dimiliki oleh insan manusia.

”Namun demikian…..lupakah engkau wahai Dindaku, bahwa Dewi Sukesih datang ke tempat ini karena masalah mencari calon suami. Sekalipun sudah sampai ke Sastra Jendra, sampai pada puncak nilai dan kesucian. Tapi berangkatnya dari mencari suami. lkatlah keberangkatan mencari suami dengan kesucian Sastra Jendra maka Dewi Sukesih akan ditarik kembali oleh aibnya, dari kekuatan daya tarik bumi. Dan cobalah sekarang masuk lagi ke Begawan Wisrawa, masuk ke pusat jagad lelanang-nya Begawan, keangkuhan kelelakiannya, jagad kegagahannya. Munculkan tentang ’mandra guna’ kelelakiannya. Laki-laki ’Lelanang ing jagad mandra guna wiwaha’. Sekalipun Dindaku tidak merasa memiliki, tapi engkau mampu membawa ’lelanang jagad’ pada jagad kelelakian Begawan Wisrawa.”

Maka masuklah Batara Guru ke alam bathin Begawan Wisrawa, masuk ke pusat jagad lelanangnya (ego maskulin), keangkuhan kelelakiannya, jagad kegagahannya. Batara Guru terkagum-kagum melihat keikhlasan kelaki-lakian sang Begawan. Ternyata dengan sukarela sang Begawan memperlihatkan kekuatan jiwanya, karena mampu meninggalkan keangkuhan kelelakiannya. Ada suatu keindahan didalamnya, keindahan karena sang Begawan Wisrawa telah meninggalkan dirinya sebagai raja, meninggalkan dirinya yang berkuasa atas rakyatnya. Meninggalkan dirinya yang beristerikan seorang ratu. Dan telah meninggalkan semua unsur manusiawi, terutama naluri seksual.

Betapa Batara guru terpukau, terpesona, betapa indahnya! Kahyangan adalah jagad yang penuh dengan kenikmatan nan mempesona, namun jagad bathin sang Begawan ternyata lebih mempesona, lebih anggun.

Kekaguman Batara Guru diketahui oleh kakandanya, Batara Narada. ”Wahai Dindaku, kenapa engkau terpesona? Di jagad kita memang tidak ada pesona keindahan seperti itu. Jagad itu ada di atas jagad Kahyangan ini. Itu sangat dekat dengan Sang Hyang Wenang, sangat dekat dengan Yang Maha Tunggal, Yang Maha Esa, Tuhan kita semua. Jagad bathin yang ada dalam dada sang Begawan adalah jagad tertinggi dari surga. Jagad Widhi.”

”Wahai Kakanda, bagaimanakah cara aku menggodanya?”

”Engkau begitu terpesona sehingga engkau lupa, wahai Dindaku. Kau lupa bahwa jagad itu adanya dalam daging Begawan Wisrawa. Cobalah munculkan, jagad dagingnya, jagad diyu-nya.” Jawab Batara Narada.

Begitu dimunculkan jagad daging sang Begawan, bergetar syaraf-syarafnya, muncul perasaan aneh dari sang Begawan. Terlihatlah, wajah cantik nan rupawan Dewi Sukesih, bertambah cantik. Betapa keindahan jagad suci kahyangan bertambah indah dengan kehadiran Dewi Sukesih. Pesona Kahyangan pun bertambah mempesona oleh wajah dan keindahan tubuh Dewi Sukesih. Terungkaplah rontaan perasaan yang tak bisa lagi dikendalikan. Yang biasanya ”wahai anakku” tapi kini, ”wahai dindaku”

Dewi Sukesih tersentak, kaget!

”Wahai Dindaku”, mengapa kita tidak manunggal ? Manunggal dalam jiwa, manunggal dalam perasaan, manunggal dalam bathin. Manunggal dalam jagad fikiran dan jagad raga kita. Supaya engkau meneteskan darah dari rahimmu, supaya dunia bertambah indah oleh darah-darah yang indah. Marilah kita lewati malam pertama dari sebuah perkimpoian, supaya perkimpoian manusia di dunia tambah dirasakan indah. Dan menjadi dambaan tertinggi dari harapan kehidupan dunia.”

”Wahai Begawan, Aku melihat di matamu yang teduh, keluar mega-mega hitam dari nafsu seluruh manusia. Mengapa engkau ambil alih semua nafsu manusia yang ada di bumi? Yang katanya tak boleh dicela, wahai Begawan, walaupun engkau berhasil untuk tidak menghina dunia, namun kau ambil alih noda nafsu seluruh manusia di seluruh jagad bumi. Mengapa engkau isi mega-mega hitam itu dengan birahi? Yang telah engkau mampu padamkan. Dan engkaupun telah membawa obor birahi dari bumi, padahal aku tak melihat engkau mengambilnya dari bumi. Mengapa demikian, wahai Begawan?”

Tersadarlah sang Begawan.

”Wahai Maha Dewa yang ada di Kahyangan, betapa aku masih mensisakan rasa manusiaku, aku tak pantas menjadi penghuni Kahyangan. Izinkanlah aku dan Dewi Sukesih untuk segera kembali ke bumi, supaya kami tidak terjebak oleh sisa manusiawi kami, yang temyata masih kuat, teguh menjadi raja dalam jiwa kami.”

Begitu ada kesadaran yang suci dari sang Begawan, Batara Guruh terpental jauh. Tidak hanya keluar dari jagad bathin sang Begawan, namun terus jatuh di hadapan Batara Narada di Kahyangan.

Ternyata ada kekuatan yang dahsyat dari miniatur Surga yang ada dalam jagad bathin sang Begawan.

”Wahai Dindaku, ternyata engkau masih tetap kalah oleh mandragunanya kekuatan manusia bumi”, berkata Batara Narada yang nampak kekagetan di paras mukanya.

”Mengapa demikian Kakanda?”

”Karena Sang Hyang Wenang Hing Murbeng Agung, pencipta kita. Walaupun marah kepada penduduk bumi, namun masih menyimpan kekuatan kekuasaan-Nya, yang tersembunyi dalam nurani manusia. Yang tidak diberikan kepada kita.”

”Kalau demikian Kakanda, Sang Begawan sangat pantas menjadi penghuni Kahyangan ini.”

”Lebih dari pantas”, jawab Batara Narada,

”Lebih dari kita para Dewa, lebih dari para Bidadari. Karena kita menjadi penghuni Nirwana ini adalah Titis Tulis Hyang Widhi, sekalipun menolak kita tetap menjadi penghuni Kahyangan ini.

Kalau sang Begawan menjadi penghuni di sini, itu adalah karena perjuangan dari sebuah makhluk. Yang dilahirkan tanpa harkat, namun mampu meraih harkat. Itu adalah bagian pengembangan dari sisi lain Kekuatan Kuasa Widdhi.”

”Kalau demikian berarti Sastra Jendra Hayuningrat bukan milik kita”, kata Batara Guru.

”Benar, kita tidak memiliki Sastra Jendra, walaupun Kahyangan ini adalah buah dari Sastra Jendra Hayuningrat. Sastra Jendra Hayuningrat adalah milik Hyang Widhi, milik Hyang Parama Kawi, yang hanya diberikan kepada mereka penduduk bumi yang mampu mengangkat harkat dirinya".

"Baiklah dinda Batara Guru, sekarang engkau masuklah pada keduanya dalam kebersamaan dengan isterimu, Betari Uma. Bercintalah kalian dengan menggunakan fisik kedua anak manusia itu. Engkau tidak boleh lagi terpesona oleh alam jagad bathin keduanya. Langsung saja kembalikan diyu keduanya. Kita para Dewa punya hak dari Hyang Agung, untuk membangun ’diyu-diyu’ dalam jagad diri manusia.”

Batara Guru pun memanggil isterinya, Betari Uma. ”Wahai kekasihku, kita akan bercinta melalui raga dari kedua orang ini.”

”Wahai Kakanda”, berkata Batari Uma, ”Bukankah kita bercumbu di Surgawi ini tanpa harus bersentuhan fisik? Bukankah keindahan kenikmatan Illahi tanpa harus melewati kelamin? Dan kita tidak lagi memiliki kalamin, kenapa harus memakai kelamin mereka? Bukankah kita akan menodai kesucian yang telah lama kita lakukan.”

”Duhai Dindaku, ini adalah demi kesucian Nirwana. Jangan sampai tersentuh oleh darah dan daging kedua orang ini. Kita usir mereka melalui percintaan kita.”

Maka masuklah Batara Guru dan Betari Uma ke dalam jagad jiwa Begawan Wisrawa, dan Dewi Sukesih. Batara Guru masuk ke alam perasaan lelaki sang Begawan, sedang Betari Uma masuk ke perasaan kewanitaan dari Dewi Sukesih.

Begitu masuk ke jagad manusiawi keduanya, maka bergetarlah seluruh syaraf-syaraf inderawi keduanya, memunculkan perasaan aneh yang tak mampu dibendung oleh kedua orang ini.

Reaksi pertama muncul dari alam jiwa, alam pikiran dan alam fisik Begawan Wisrawa.
Dirasakan oleh sang Begawan, dirinya seperti masuk ke suatu padang yang panjang. Dirinya sendiri menjadi kuda jantan yang gagah perkasa, berlari-lari dengan congkaknya. Maka energi birahi sang lelaki menimbulkan meregangnya semua syaraf dan pori-pori tubuh. Maka secara fisik dan dalam alam fikiran, alam jiwa, sang Begawan merasa menjadi kuda jantan yang gagah dengan otot-ototnya yang teguh serta urat-urat yang menegang. Resah! Diterpa birahi. Semakin meregang tubuhnya semakin keras pula keresahan yang menerpa. Melejitlah bak anak panah yang tersentak dari busurnya, sang kuda jantan berlari dengan desah nafas memburu dan keringat yang membanjir, mencari kuda betina! Sang kuda pun meringkik dengan kedua kaki depan terangkat ke atas, menendang, melompat-lompat, tak tahan atas desakan birahi yang maha tinggi, melampaui kekuatan keikhlasan dan keimanan jiwanya sendiri.

Kuda jantan semakin tegang, gelisah! Dalam larinya tidak saja tubuhnya yang menegang dengan urat-urat menonjol, otot kelaminnya pun meregang pula bersama dengan larinya kaki dipadang panjang yang terjal dan berliku.

Betapa hebat udara birahi yang menerpa sang Begawan, birahi yang tidak pernah dirasakan, sekalipun dalam kehidupan remaja dan akil balikhnya. Sang kuda pun turun, naik, di setiap celah-celah gunung, jurang-jurang yang dilaluinya. Berlari terus bak kuda sembrani yang menjelajahi seluruh padang panjang kegelisahan, dengan satu tujuan, mencari kuda betina!

Maka jagad perasaan manusiawi sang Begawan dirasakan lebih sempurna dari puncak hawa nafsu manusia di bumi. Hal ini adalah disebabkan oleh Batara Guru sedang masuk ke pusat jagad manusiawi sang Begawan dan membangunkan, menggetarkan semua simpul syaraf dan indera sang Begawan. Para Dewa punya hak untuk bangunkan diyu-diyu hawa nafsu yang ada dalam jagad manusia.

Dalam waktu yang bersamaan, Betari Uma pun membangun nuansa-nuansa imajiner sang Dewi. Karena sesungguhnyalah bahwa birahi itu tak lebih dari ilusi/imajinasi belaka. Cuma karena imajinasi itu datangnya dari pikiran dan perasaan kita, maka seolah-olah itu adalah sesuatu yang nyata.

Maka Dewi Sukesih pun seperti wanita telanjang yang sedang mandi di telaga Taman Surgawi, telaga Nirmala. Kemudian tangan sang Dewi pun menyentuh-nyentuh tubuhnya yang telanjang, menimbulkan erotisme yang sangat tinggi. Lentik jemarinya pun menelusuri seluruh lekuk tubuhnya sendiri.

Maka seketika kesucian alam Sastra Jendra Hayuningrat, punah!

Bahkan sentuhan sibakan air pun mampu menimbulkan erotisme tersendiri. Berenanglah sang Dewi di telaga Nirmala, dipetiknya bunga-bunga yang tumbuh di atas telaga, sang bunga pun disentuh-sentuhkan pada tubuhnya, sehingga menimbulkan erotisme yang maha tinggi, erotisme yang tidak ada di dunia.

Ternyata benda-benda saja sudah mampu menimbulkan erotisme yang sangat tinggi bagi tubuh sang Dewi, tanpa apapun, tanpa kelamin laki-laki, tanpa pria! Dan betapa hebat nafsu dari Dewi Sukesih ini. Sentuhan-sentuhan bunga teratai surgawi menambah rangsangan erotisme sensual sang Dewi. Ikan-ikan yang ada dalam telaga pun menyentuh dengan nakal tubuh telanjang sang Dewi. Juga menimbulkan kenikmatan yang sangat indah dari sebuah rasa sensual sang Dewi.

Maka puncak sensual sang Dewi masih harus menuntut. Dan naiklah sang Dewi dari telaga yang indah, berguling-guling di taman. Sentuhan-sentuhan rumput di taman menimbulkan erotis yang begitu menggelitik. Dari sela-sela taman muncullah ular besar, sang Dewi membiarkan sang ular menghampiri, kemudian menjalar dan menjilati tubuhnya. Lilitan ular mulai dari ujung kaki hingga lehernya, menimbulkan puncak erotisme yang sangat sempurna. Tidak ada dimanapun. Maka sampailah ke puncak jeritan yang begitu mempesona dari sang Dewi. Jeritan itu adalah kesadaran betapa dirinya merindukan fisik lelaki, merindukan sentuhan lelaki, ciuman lelaki dan terutama merindukan kelamin lelaki. Terlontarlah erangan jerit sang Dewi.

Resah jeritan, desah sang Dewi, berubah diri; membentuk kuda betina yang sedang menggosek-gosek, berguling-guling, menggesek-gesek tubuhnya, tersiksa deraan birahi!

Kuda jantan yang memang sedang mencari kuda betina, bertemulah keduanya. Berguling-guling bersama, saling menggigit sambil bersenggama. Pada saat alat kelamin kuda jantan masuk ke alat kelamin kuda betina, sadarlah sang Dewi! Sadarlah Sang Begawan!

Namun segala sesuatunya sudah terlambat.

Sempurnalah sudah tetesan dari fisik sang Begawan, puncak ketegangan kelamin yang masuk kedalam rahim sang Dewi mengeluarkan sperma. Hubungan suami isteri sempurna melampaui kenikmatan yang telah dirasakan dari semua itu.

Dalam pada itu menjelang puncak hubungan dari keduanya, dengan cepat Batara Guru dan Betari Uma keluar dari tubuh keduanya, lapor pada Batara Narada.


Bersambung..........

Monday, April 5, 2010

SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT PANGRUWATING DIYU (Bagian 3)

Disarikan kembali oleh : Pinandita Astono Chandra Dana (Sekum PSN Pusat)


Salah satu ilmu rahasia para dewata mengenai kehidupan di dunia adalah Serat Sastrajendra. Secara lengkap disebut Serat Sastrajendrahayuningrat Pangruwatingdiyu. Serat = ajaran, Sastrajendra = Ilmu mengenai raja. Hayuningrat = Kedamaian. Pangruwating = Memuliakan atau merubah menjadi baik. Diyu = raksasa atau keburukan. Raja disini bukan raja dalam artian harfiah, melainkan sifat yang harus dimiliki seorang manusia mampu menguasai hawa nafsu dan pancainderanya dari kejahatan. Seorang raja harus mampu menolak atau merubah keburukan menjadi kebaikan.

Pengertiannya bahwa Serat Sastrajendra adalah ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk merubah keburukan mencapai kemuliaan dunia akhirat. Ilmu Sastrajendra adalah ilmu KEBATINAN yang menekankan sifat MENEGAKKAN KEBENARAN DARI SEGALA KEBATHILAN, sifat memimpin dengan amanah dan mau berkorban demi kepentingan rakyat.

Melalui ilmu Sastrajendra maka simbol sifat sifat keburukan raksasa yang masih dimiliki manusia akan menjadi dirubah menjadi sifat sifat manusia yang berbudi luhur.

Berikut kembali kami sajikan lanjutan kisahnya (Bagian ke 3) :


Menjelang gerbang Sela Menangkep, maka goyanglah jagad tersebut. Jeritan-jeritan Raksasa datang. Berjuta raksasa datang, hawa nafsu-hawa nafsu membentuk berjuta raksasa-raksasa. Aroma bau. Bau kematian. Lebih bau daripada mayat basah. Erang harimau raksasa. Kemarahan para raksasa bergelombang.

”Wahai Puteriku, raksasa itu tidak ada di jagad ini, digerbang Kahyangan ini. Itu ada dalam jagad dirimu. Kecantikan wajahmu, itu mengerang seperti harimau. Sesungguhnya kecantikan adalah harimau. Senyummu sebenamya erangan harimau, keindahan tubuhmu sebenarnya raksasa yang buruk muka. Kemarahan mereka, sebenarnya kemarahan dirimu, wahai Puteriku, yang ada di jagad ini. Dan bau yang melampaui bau mayat yang basah, itu hatimu sendiri. Karena manusia tak mampu melepaskan dari rasa persaingan sesamanya, tidak mau melepaskan dari keterpenjaraan benci, kebencian. Perbedaan kebenaran saja, walaupun kebenaran yang sama, itu menimbulkan kebencian. Itulah bau yang sangat buruk, aroma mayat yang rusak, wahai Puteriku. Dan kau masih memiliki hati itu.”

Dan tiba-tiba muncul roh-roh halus, lembut, merekah beraroma sangat wangi, melampaui aroma wangi-wangian apapun. Berpakaian manik-manik putih, berbusana putih murni.

”Itu tidak ada dalam jagad ini, itu ada dalam jagadmu, wahai puteriku. Itu adalah rukhmu, kesucianmu, kelembutanmu. Engkau memiliki kemurnian dari Rukh yang suci.”

Dan tiba-tiba raksasa yang jahat berperang dengan rukh yang suci. Peperangan saling mengalahkan, tiada yang menang, tiada yang kalah. Rukh suci dikalahkan oleh rukh jahat, maka rukh suci bangun kembali seketika. Begitu pula sebaliknya. Maka peperangan tidak lagi dibatasi oleh kemenangan, juga tidak diakhiri oleh kekalahan.

”Wahai anakku, itulah kehidupan dunia. Tidak akan ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Cepatlah kembali pada kehidupan dunia., wahai Puteriku.”

Maka rukh halus dan rukh jahat hilang, yang ada adalah jagad ketenangan dalam hatinya, Kemudian muncullah kekuatan, berupa sinar yang datang dari dada Dewi Sukesih.

”Puteriku, itulah Kencana Rukmi. Diantara keinginan menang, diantara takut kalah, ada sesuatu yang netral. Yang tidak ingin menang dan tidak ingin kalah. Itulah Kencana Rukmi dalam dadamu. Kencana Rukmi inilah tempat paling aman, tempat yang paling menyelamatkan. Di sini di Kahyangan engkau tenteram dan aman. Di bumi pun dengan Kencana Rukmi ini kamu akan selamat.”

Kencana Rukmi, mengikis habis keresahan di malam.hari, kekelaman jiwa dalam kegelapan. Kencana Rukmi memotong harapan-harapan illusi dari sebuah harapan kosong tentang kenikmatan. Kencana Rukmi membenarkan kenyataan hakiki dan menyalahkan kebenaran semu. Karena Kencana Rukmi, laksana sinar yang datang dari sumber Hyang Widhi, tembus sampai ke dasar bumi.

”Ikutilah wahai Puteriku, cahaya itu. Kencana Rukmi alat untuk mengarungi kehidupan. Cahaya dari Hyang Widhi, cahaya Widhi yang sampai ke dasar hati.” Begawan Wisrawa dengan Dewi Sukesih tambah tinggi-tambah tinggi, mengarungi lapisan-lapisan kebahagiaan yang tiada tara, melampaui ketenteraman dan kedamaian. Makna ketenteraman dan kedamaian itu adalah ”sela” atau batasan kecil dari rasa aman di muka bumi.

Tapi dijagad tersebut, di perbatasan alam Kahyangan, kedua orang ini terhanyut oleh alam kebahagiaan. Di mana alam kebahagiaan ini memiliki satu kenikmatan yang tak terhingga, walau masih kosong atau sepi dari energi Ke-Widhi-an. Berarti alam Kahyangan atau alam surga adalah jagad nikmat kebahagiaan yang mengandung energi ke- Widhi-an.

”Wahai Dewi Sukesih”, kata Begawan Wisrawa, ”Kita harus kembali secepatnya ke bumi.”

”Mengapa demikian wahai Begawan?”

”Karena kita ini masih memiliki raga. Di sini, di alam Kesucian tidak ada alatnya untuk mensucikan tubuh kita. Dan tiada mampu alam ini mensucikan jagad kotor yang kita simpan dalam jiwa kita. Sekalipun dunia penuh noda tapi di sana tempatnya ’pensucian’, tempat ’meruwat’.”

”Namun Begawan, saya tak mampu melepaskan kerinduan yang sangat kepada sesuatu yang ada di balik Kahyangan. Kita harus masuk ke pintu Kahyangan”, kata Dewi Sukesih.

”Apakah wahai Begawan, yang menarik jiwa ini untuk masuk ke Kahyangan. Walau pikiranku tidak merindukan kenikmatan Surgawi. Tidak merindukan kenikmatan Kahyangan. Bathinku merindukan yang menciptakan Kahyangan itu sendiri. Apakah itu, wahai Begawan?”

”Itu adalah ’Budi’, jawab Begawan Wisrawa, ”Budi yang ada dalam jiwa kita, yang tersembunyi, karena Budi berangkat dari Ke-Widhi-an. Maka, meronta, bergerak, selalu menuju pada sumber Ke-Widhi-an.”

Maka manakala menjelang Sela Menangkep, pintu surga terbuka, dengan kegembiraan yang sangat, sang Dewi masuk. Yang tadinya Begawan menasehati untuk mengajak pulang, sang Begawan pun tersedot untuk ingin masuk ke pintu Kahyangan tersebut. Maka bumi berguncang-guncang, evolusi matahari berubah, alam raya, acak! Samudera menggelegar, banyak permukaan bumi tergenang air laut. Daratan menjadi lautan. Para raksasa yang tadinya gagah, menangis pilu. Rukh jahat mengerang kesakitan, meronta, memanggil-manggil Hyang Widhi. Memanggil-manggil Tuhannya. Maka yang tadinya raksasa-raksasa dalam jagad sang Dewi pun keluar, masuk ke Kahyangan. Menghalangi pintu-pintu Surga.

”Wahai manusia, belum saatnya engkau meninggalkan dunia. Kasihan bumi kau hina, kasihan bumi kau injak-injak, kasihan bumi kau lecehkan”, kata raksasa-raksasa dan rukh-rukh jahat lainnya.

Para Dewa pun resah!

Maka Batara Guru mengumpulkan para Dewa, para Batara dan para Bidadari.

”Jagad kita, jagad Nirwana ini mulai terancam”, kata Batara Guru.

”Ada anak manusia mencoba masuk kesini, melalui tangga-tangga Sastra Jendra Hayuningrat. Kita harus menutup pintu masuk ini, karena mereka belum saatnya masuk ke Indra Prastha yang kita cintai ini.”

”Wahai Batara Guru, siapakah yang datang?” bertanya Batara Narada.

”Dua anak manusia, perempuan dan laki-laki”, jawab Batara Guru.

”Wahai Batara Guru, kita tidak perlu resah. Tempat kita Kahyangan ini mana mampu dimasuki oleh manusia sebagai perempuan dan laki-laki. Di sini tidak ada batasan perempuan dan laki-laki, kita tidak perlu resah. Dua manusia itu belum saatnya masuk Kahyangan”, Batara Narada melanjutkan keterangannya,

”Karena walaupun mereka sudah masuk ke Sastra Jendra, tetapi di balik hatinya yang terdalam masih merindukan dosa-dosa, masih merindukan noda-noda. Walaupun mereka sudah hening dari kerinduan-kerinduan itu sendiri.”

”Wahai Dindaku”, berkata Batara Guru pada isterinya, Betari Uma.”

”Bagaimanakah pendapatmu, tentang dua orang yang mencoba memasuki Kahyangan ini?”

”Wahai Kakandaku, walau aku wanita tapi di sini aku kehilangan kewanitaanku. Karena kewanitaanku sudah kukorbankan dalam Sastra Jendra yang panjang. Aku dihadapanmu wahai suamiku, bukan lagi feminim. tapi aku adalah aku sebagai sumber awal kehidupan”, jawab Betari Uma.

”Dan bagaimanakah dengan Dewi Sukesih yang mencoba masuk ke Kahyangan ini?”

”Biarlah, dia masih membawa keangkuhan wanita, sang Begawan pun masih membawa keangkuhan pria. Bukankah Nirwana ini dibentengi oleh keangkuhan rasa wanita dan keangkuhan rasa lelaki? seperti aku, wahai suamiku. Sewaktu aku pernah ke bumi”,
kata Betari Uma selanjutnya,

”Perempuan di puncak keanggunannya, di puncak kesuciannya. Taman bunga di jiwanya, taman bunga di dagingnya, taman bunga di perasaannya. Bunga-bunga Menur tercuri oleh lelaki. Maka wanita tak merasa tercuri kesuciannya oleh lelaki. Bunga Menur, aku pun tercuri oleh lelaki saat di bumi.

Namun aku tak mampu, tak bisa, merampas bunga Menur. Karena keperawanan bukan dua kali, hanya sekali. Keperawananku dicuri lelaki. Seperti seorang gadis yang tidak tahu, bunganya telah dicuri dari Taman hatinya. Rasa ego wanita, merasa tak tercuri kesuciannya. Karena rasa ego wanita, dirinya harus mempersembahkan kepada sang suami. Itulah cinta yang aku rasakan sebagai penduduk bumi, wahai suamiku.”

”Begitupun seorang lelaki, wahai isteriku”, berkata Batara Guru, ”Setelah mencuri bunga Menur dari Taman hati seorang wanita, seperti lebah yang kehilangan sengatnya. Jangan harap mereka mampu menikmati Surga, karena mulutpun mereka tak punya. Lelaki datang ke surga mau menikmati kenikmatan Surgawi, namun seperti kumbang yang datang pada bunga raksasa penuh madu, tapi tak punya alat untuk menghisap. Karena isapannya cuma satu, sudah digunakannya untuk mencuri bunga Menur dari taman hati seorang gadis.”

”Dimanakah Sastra Jendra wahai suamiku? Manakala seorang wanita kehilangan bunga Menurnya, dan saat lelaki kehilangan sengatnya?”

”Sastra Jendra tetap ada”, jawab Batara Guru, ”Menunggu sampai mengerti, kenapa kehilangan bunga Menur dan kenapa kehilangan sengatnya. Tetap tidak berakhir kesempatan untuk meraih Sastra Jendra, wahai isteriku.”

Maka seluruh makhluk di alam raya, berbondong-bondong datang. Diantaranya ada Warudoyong, Pocong, Singabarong, Jerangkong (rukh-rukh yang belum sempat memiliki fisik).

Warudoyong adalah sejenis rukh yang mendambakan fisik, untuk makan tidur.
Singabarong, perlu fisik untuk menyatakan cintanya, untuk menyatakan kebenciannya.
Pocong adalah bentuk rukh yang mendambakan fisik, daging dan darah, supaya kelaminnya bisa kumpul, untuk menikmati seksual. Mereka merasakan sensual, tapi tak punya kelamin karena tak berfisik.

Jerangkong, perlu fisik untuk bisa menyayangi, untuk bisa membunuh, untuk bisa menyiksa sesamanya.

Adapun rukh-rukh marakahyangan, yang pernah hidup di dunia, namun kematiannya masih membawa nafsu secara sempurna.

Brakasaan, Banaspati, Gandarwa dan seluruh rukh-rukh baik yang tidak punya fisik, yang pernah punya fisik, rukh-rukh marakahyangan, para diyu dan para jin, kumpul.

Demonstrasi!

“Wahai Sang Dewa Batara Guru, jangan biarkan dua anak manusia ini masuk, karena kalau mereka masuk dunia akan hancur. Kami belum siap memiliki daging dan darah, wahai Dewa Batara”, berkata rukh-rukh yang belum sempat mempunyai fisik.

”Wahai Dewa Agung, jangan biarkan dua anak manusia ini masuk, karena aku masih ingin lahir kembali ke dunia. Walau sempat hidup di dunia, aku tidak bosannya bergumul dengan darah dan daging. Itu adalah kenikmatanku”, kata rukh-rukh marakayangan.

Maka darah-darah pun mengalir, darah yang aromanya bau, hitam dan kelam berkata,

”Wahai sang Dewa, kami adalah tetesan dosa , kami menangis. Walaupun dunia tidak hancur, manusianya kehilangan kerinduan kepada aku. Bukankah wahai sang Dewa, kerinduan seksual adalah menghisap darah, Kerinduan kelamin adalah penyimpanan darah? Bukankah memakan harta yang lain adalah menghisap darah, dan mengkhianati yang lain adalah berenang dalam darah? Kami adalah darah-darah yang masih punya hak bergenang di bumi. Jangan engkau biarkan darah tidak dirindukan lagi oleh penduduk bumi.”

”Wahai Kakanda”, berkata Batara Guru pada Batara Narada, ”Bagaimanakah cara membendung mereka supaya tidak masuk ke kahyangan ini?”

”Wahai Dindaku, Jagad Kahyangan ini akan mengusir mereka yang masih dibatasi oleh rasa lelaki dan rasa wanita. Memang mereka sudah terbebas dari rasa memiliki dan rasa dimiliki oleh siapapun dan oleh apapun. Tetapi mereka dipisahkan oleh rasa ke-dewi-an dari Sukesih dan ke-resi-an dari sang Begawan Wisrawa. Adindaku, cobalah mereka. Benarkah tidak menyimpan lagi batasan-batasan kerinduan untuk berbuat dosa lagi. Turunlah (masuklah) ke salah satu bergiliran”, kata Batara Narada.

Maka masuklah Batara Guru ke diri Dewi Sukesih, masuk ke alam jiwanya terdalam. Batara Guru tidak masuk ke jagad fikiran dan jagad rukhnya, karena jagad fikiran adalah dunia bumi dan jagad rukh, hanya milik Sang Hyang Wenang.

Begitu masuk kepada sentral terdalam jiwa dewi Sukesih, muncullah perasaan tertentu dalam diri Dewi Sukesih. Dipuncak kesucian dari jagad perbatasan Kahyangan, Keagungan dan Kesucian memadu dengan keagungan dari Begawan Wisrawa. Dalam pandangan Dewi Sukesih, betapa gagah, betapa agung, betapa indah akhlak yang dipancarkan oleh sang Begawan. Menimbulkan kekaguman yang sangat dalam pada perasaan sang Dewi sebagai wanita.

Keagungan jagad Nirwana yang suci, memberi sentuhan keagungan dari sikap Begawan Wisrawa. Maka terlihatlah laksana Dewa Batara Kamajaya, simbol kesempurnaan seorang lelaki. Muncullah cinta asmara yang hebat pada sang Begawan, cinta dari anak ke Bapak, punah! Yang ada hanyalah sebagaimana cinta wanita pada pria. Rontaan-rontaan perasaan ini tidak kuat untuk diungkapkan.

”Wahai Begawan, Aku cinta padamu. Betapa engkau mempesona aku, betapa bertambah indahnya alam ini dan betapa bahagianya jiwa ini, sentuhlah kulitku ini, wahai Begawan.” Sang Begawan pun tersentak kaget!

”Dewi Sukesih anakku!….. Aku datang untuk anakku Danareja. Oh, Dewi Sukesih, kenapa pipimu yang merah dan indah itu harus dipoles oleh kembang api neraka? Dan alismu yang hitam, harus dihitamkan oleh abu neraka? Kulitmu yang halus, mengapa harus diperhalus oleh awan-awan nafsu yang kuning? Yang menyorot tubuhmu yang kuning.”

Maka pada saat Begawan Wisrawa bicara demikian, Dewi Sukesih kembali kepada jagad kesuciannya.

”Mohon ampun Begawan….. Mohon ampun raja Dewa. Aku tidak mengerti, kenapa tumbuh perasaan seperti itu. Dan akupun sadar, betapa aku belum pantas untuk masuk ke Nirwana yang Suci”, berkata sang Dewi dengan terbata-bata.

Begitu kesadaran kesucian dari sang Dewi muncul, Batara Guru terpental dari jagad jiwa Dewi Sukesih yang tersembunyi. Ternyata kekuatan yang terpancar dari kesucian bathin, lebih hebat, lebih sakti dari segala macam ilmu dan kesaktian apapun. Bahkan Batara Guru, seorang Dewa, bisa terpental!

Dalam keterpentalannya, Batara Guru bicara dari jarak jauh kepada kakandanya, Batara Narada.

”Wahai Kakanda, betapa hebat kekuatan yang ada dalam kesadaran yang tinggi dari jagad bathin Dewi Sukesih. Memang pantaslah dia menjadi bidadari Surgawi. Pantas Dewi Sukesih menjadi raja dari segala Bidadari.”

Bersambung.............