Sunday, August 30, 2009

Berita Duka Cita,

Om Swargantu, Moksantu, Sunyantu, Murcantu, Om Ksama Sampurna ya namah swaha.

Om wayur anilam amertam athedam bhasmantam sariram, om krato smara klibe smaram kritam smara.


Telah lebar ( Berpulang) Ida Pedande Gde Oka Kemenuh hari Minggu, 30 Agustus 2009 +/- Jam 1.53 di Rumah Sakit Puri Cinere Jakarta Selatan.

Saat ini jenazah beliau disemayamkan dirumah duka Griya Limo - Depok Jawa Barat.

Kami Pengurus Pusat Pinandita Sanggraha Nusantara, menyampaikan turut Berduka Cita, Semoga Atma beliau Ida Pedanda Gde Oka Kemenuh bersatu dengan Ida Shang Hyang Widhi Wasa, serta segala dosa-dosa beliau diampuni dan keluarga yang ditinggalkan diberikan kekuatan ketabahan untuk menghadapinya.

Om Shanti-Shanti-Shanti om.

Thursday, August 27, 2009

Workshop Calon Pemangku Se-Jawa Barat

Dalam rangka meningkatkan kualitas SDM dan regenerasi dibidang kepemangkuan, Pembimas Hindu kanwil. Dep Agama Jawa Barat mengadakan kegitan Workshop Calon Pemangku se-Jawa Barat. Kegiatan dilaksanakan dari tanggal 22-23 Agustus 2009 bertempat di Hotel Endah Parahyangan –Bandung. Workshop kali ini diikuti oleh perwakilan dari masing-masing Kabupaten/Kota se-Jawa Barat berjumlah 50 orang (46 laki-laki dan 4 orang wanita).

Kegiatan dibuka oleh Pembimas Hindu Kanwil Dep. Agama Jawa Barat, bapak Drs. I Made Dwiana. Dan pengarahan diberikan oleh Ketua Sanggraha Nusantara Korwil Jawa Barat, bapak Pinandita Drs. I Ketut Jansen.

Pada sesi pertama diberikan materi Sesana Pinandita oleh Drs. I Nyoman Susila M.Si (Kasubdit Penerangan Hindu, Ditjen Bimas Hindu Dep. Agama) dan di sesi kedua beliau juga menyampaikan materi Manggala Upacara (tatacara memimpin upacara keagamaan). Karena menariknya materi diskusi bahkan berlangsung sampai malam jam 23.00.

Tanggal 23 Agustus 2009 dimulai jam 07.00-10.00, materi disampaikan oleh I Wayan Sudarma (Penyuluh Agama Hindu Kota Bekasi), beliau juga salah seorang pinandita Pura Agung Tirta Bhuana Bekasi. Materi yang disampaikan berkaitan dengan Tetikesa Mantra, baik tata cara mengucapkan, dan dilanjutkan dengan praktek genta, dan diakhiri dengan diskusi yang sangat menarik.

Setelah istirahat, acara dilanjutkan dengan sesi Pitra yajna yang disampaikan oleh I Ketut Astawa, S.Ag (seorang Praktisi agama), yang dilanjutkan dengan sesi praktek memandikan sawa (jenasah). Dan diakhiri dengan diskusi seputar mekingsan di geni, ngaben sampai upacara ngelinggihan dewa hyang.

Acara workshop ditutup pada sore hari pada tanggal yang sama, oleh Pembimas Hindu. Dalam kesan-pesan peserta disampaikan, agar kegiatan sejenis ditingkatkan volume pelaksanaannya, termasuk juga prakteknya. Dan jika memungkinkan agar ada pelatihan khusus praktek ngagem genta dan irama mantra. Dan juga disarankan agar diterbitkan buku panduan resmi oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia maupun Ditjen Bimas Hindu yang lebih lengkap agar dapat dijadikan acuan baku oleh para pinandita dalam melaksanakan pelayanan sehingga perbedaan-perbedaan yang ada di lapangan selama ini dapat diminimalkan.


=======
"Your Hand On Works But Your Heart On God "

Friday, August 7, 2009

catatan Dharma Yatra: Upacara Ngenteg Linggih Pura Segara Kahyangan Jagat Batu Putih

Oleh : Jro Mangku Shri Dhanu

Om Swastyastu

Bertepatan dengan hari suci Saraswati tanggal 1 Agustus, umat Hindu Ketapang-Lampung Selatan melaksanakan uapacara Ngenteg Linggih Pura Segara Kahyangan Jagat Batu Putih. Pura ini telah berdiri sejak tahun 1978, yang saat itu diprakarsai oleh Guru Yase (saat ini menjadi pini sepuh) umat di Kec. Ketapang, namun masih berupa pelinggih sederhana, baru sejak tahu 2007 diadakan upacara pemugaran dan selesai pada tahun 2009 ini. Adapun luas areal pura ini sekitar, 5000 m₂ terletak di atas hamparan bukit kapur dengan pemandangan pantai yang sangat indah itulah sebabnya di sebut Pura Batu Putih dan hanya berjarak kurang dari 16 Km dri pelabuhan Bakauheni,

Upacara dipimpin oleh empat orang pandita, yakni: Romo Jati dari Jakarta, Pandita Resi Gunung Sari , Pandita Mpu Dharma Jati, dan Pandita Resi Dwijaksara (ketiganya dari Lampung). Upacara diawali dengan upacara pecaruan, melaspas, mendem pedagingan, kemudian dilanjutkan dengan upacara mendak nuntun dan Ngenteg Linggih, dan bertepan dengan hari suci saraswati melaksanakan pujawali untuk pertama kalinya.

Di hari yang sama pura ini juga diresmikan penggunaannya oleh Bupati Lampung Selatan, yang diwakili oleh Asisten II Bidang Kemasyarakatan Bapak Drs. Hi. Tamsiri, MM., Turut hadir dalam acara ini yakni: Direktur Urusan Agama Hindu Ditjen Bimas Hindu; Bapak I Ketut Lancar, SH, M.Si., Kajati Prop. Lampung: Bapak Ketut Artana, Kakanwil Hum & Ham Prop. Lampung: Bapak Gede Widiarta, Sekretaris Parisada Prop. Lampung: Bapak I Ketut Seregig, SH., MH., Pembimas Hindu Prop. Lampung: Bapak I Wayan Mirta Astawa, S.Ag., MM., Ketua WHDI Prop. Lampung: Ibu Ning, dan tokoh-tokoh lintas agama. saya dapat ngayah di bagian upakara dan mendampingi para Pandita.........jadi sekalian nunas ilmu .....

Acara seremonial diawali dengan tari penyambutan yang dibawakan oleh Mahasiswa IHDN Denpasar, kemudian pembacaan sloka Weda, dan laporan oleh Ketua Panitia, Bapak I Wayan Suda, S.Pd. dalam laporannya ketua panitia mengatakan bahwa pura ini dibangun melalui perjuangan dan perjalanan yang cukup panjang, beliau juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu pendanaan pembangunan pura ini. Disamping swadaya masyarakat, pendanaan pembangunan juga mendapat bantuan rutin dari pemerintah daerah sejak tahun 2007-2009. Juga mendapat bantuan dari Dirjen Bimas Hindu dan Gubernur Bali: Bapak Bapak Dewa Made Beratha.

Dalam sambutannya Bupati Lampung Selatan (yang dibacakan oleh Ass. II) mengatakan bahwa keberadaan Pura Segara ini, agar dapat dijadikan sarana oleh umat Hindu di Lampung sebagai media untuk meningkatkan kualitas kerohanian, sehingga dapat turut menjaga keharmonisan dan keamanan Lampung Selatan. Dengan kondisi pura yang begitu megah dan indah beliau berharap agar tempat di sekitar kawasan pura ini dapat juga dijadikan sebagai obyek wisata, terutama wisata rohani. Disamping itu beliau juga mengemukakan dengan melihat realita bahwa umat Hindu di Lampung selatan ini tergolong banyak maka pada tahun anggaran 2010 ini beliau akan menyiapkan formasi guru agama bagi umat Hindu, sehingga pengembangan SDM Hindu dapat ditingkatkan. Acara diakhiri dengan doa yang dibawakan oleh Bapak Drs. I Nengah Maharta, M.Si. kemudian dilanjutkan dengan penanda tanganan prasasti dan peninjauan lokasi pura. Acara ditutup dengan ramah tamah menikmati makan siang di atas tebing, di kawasan pura segara.


=======
"Your Hand On Works But Your Heart On God "
=======
also look me at: www.dharmavada.wordpress.com

Wednesday, August 5, 2009

SARASVATĪPŪJĀ PENDORONG SEMANGAT BELAJAR DAN CINTA ILMU PENGETAHUAN

Oleh : Jro Mangku Shri Dhanu


Kavyaṁ vyākaraṇaṁ tarkam,
Veda śāstraṁ Puraṇakam.
Kalpaśiddhīni tantrāni,
Tvat prasadat samārabhet.

(Atas karunia Hyang Sarasvatī umat manusia mempelajari kitab suci Veda dan sastra, syair, tata-bahasa, logika, berbagai disiplin dan sejarah) Sarasvatīpūjā, 5.




1. Sarasvatī, dewi ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan

Di Indonesia, setiap hari Sabtu Umanis Wuku Watugunung, hari terakhir dari Wuku terakhir dan hari Minggu Pahing Wuku Sinta, hari pertama dari Wuku pertama merupakan hari pemujaan kehadapan dewi Sarasvatī, dewi ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan. Bagi umat Hindu, memuja berbagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa yang jumlahnya tidak terbatas itu adalah merupakan sarana untuk mendekatkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa. Di antara ribuan manifestasi atau Udbhava-Nya itu terdapat tiga manifestasi utama Sang Hyang Vidhi, Tuhan Yang Maha Esa, yakni Brahma, Viṣṇu dan Śiva sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur alam semesta dan segala isinya.

Dalam sekala kecil, dalam setiap sel dari makhluk hidup terjadi proses pencipta, tumbuh dan terpelihara dan lebur dalam bentuk kematian. Kata Brahma dalam bahasa Sanskerta berarti: bertambah besar, meluap, mengembang dan sejenisnya. Brahma disebut Svayambhu, yang artinya tercipta dengan sendiri-Nya karena tidak ada yang menciptakan- Nya. Sakti Brahma adalah Sarasvatī yang artinya yang mengalir tiada hentinya, pencipta huruf, penganugrah ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan, yang menurunkan kitab suci Veda, pemberi inspirasi, pendorong semangat belajar dan sejenisnya. Brahma yang disebut juga Caturmukha dan Caturbhuja menunjukkan bahwa Tuhan Yang Maha Esa menguasai seluruh alama semesta dengan kemahakuasaan( Cadu Śakti)-Nya yang sangat dahsyat.

Kata Viṣṇu berarti: pekerja yang tekun, yang meresapoi segalanya, yang memelihara segala dan sejenisnya. Sakti Viṣṇu adalah Śrī dan Lakṣmī yang di Bali disebut Śrī Sādhanā dan Bhaṭārī Melanting. Kata Śrī berarti kebahagiaan, kemakmuran, keberuntungan, kekayaan, kebesaran, keagungan, kecantikan, kemuliaan dan sejenisnya dan Lakṣmī berarti kesejahtraan, kemakmuran, keberuntungan, kecantikan, keindahan, kenang-kenangan yang indah dan sejenis dengan itu. Sedang Sādhanā berarti merealisasikan, jadi Śrī Sādhanā dimaksudkan mewujudkan atau merealisasikan kesejahtraan dan kebahagiaan dalam diri, keluarga dan lingkungan masyarakat. Selanjutnya Śiva berarti: yang memberikan keberuntungan (kerahayuan) , yang baik hati, yang ramah, suka memaafkan, menyenangkan, memberi banyak harapan, membahagiakan dan sejenisnya.

Sakti Śiva adalah dewi Durgā dan Parvatī. Kata Durgā berarti yang sulit dilalui, yang sulit di atasi, dibendung dan yang tidak dapat ditentang. Segala kuasanya selalu terjadi, tidak pernah gagal dalam menjalankan missinya sedang Parvatī adalah dewi gunung yang juga bermakna menganugrahkan kemakmuran, sebab pada wilayah yang banyak terdapat gunung, di sanalah sungai-sungai mengalir dan pada wilayah-wilayah itu selalu merupakan daerah-daearh yang subur yang memberikan kemakmuran kepada umat manusia.

Berdasarkan tinjauan etimologis dan makna semantik nama-nama yang ditujukan kepada keagungan dan kemahakuasaan- Nya adalah hal-hal yang sangat didambakan oleh umat manusia. Demikian pula adalah merupakan kewajiban bagi umat manusia untuk mempersembahkan pūjā bhakti atas karunia yang telah dilimpahkan kepada umat-Nya itu. Bagi umat Hindu, perwujudan rasa syukur dan terima kasih yang tulus kepada-Nya dilakukan melalui pemujaan, mempersembahkan kesucian hatinya kepada-Nya melalui peringatan atau perayaan hari-hari besar agama, seperti halnya hari Sarasvatīpūjā yang kita rayakan bersama.

Kini timbul pertanyaan, mengapa hari Sarasvti jatuh pada pertemuan Wuku terakhir dan pertama dalam perhitungan kalender Bali-Jawa, apakah perayaan Sarasvatī di India juga jatuh pada hari yang sama, hari Sabtu Umanis Wuku Watugunung ?

Sesuai dengan sejarah perkembangan agama Hindu di India dan di negara-negara lainnya. Kedatangan agama Hindu di daerah-daerah itu tidak mengubah atau menghapuskan pola budaya masyarakat setempat, justru mengangkat (mempermulia) unsur-unsur budaya-budaya setempat dengan memasukkan nilai-nilai ajaran agama Hindu di daerah yang memeluk agama Hindu yang dikenal dengan Sanatana Dharma, yakni ajaran yang beṛṣifat kekal abadi.

Di India kita tidak mengenal sistem Wuku (Pawukon) seperti kalender Jawa-Bali (Nusantara) seperti yang kita waris kini. Oleh karena itu perayaan Sarasvatīpūjā di sana tidak bersamaan jatuhnya dengan perayaan Sarasvatīpūjā di Indonesia. Di India pemujaan kepada Hyang Sarasvatī umumnya dikaitkan dengan Durgāpūjā, Dīpavalī dan Rāmanavāmi, yang jatuhnya pada sekita awal bulan Nopember dan April setiap tahun.

Dengan demikian, Sarasvatī juga dipūjā dua kali dalam setahun (tahun Masehi) seperti halnya di Indonesia. Mengapa Sarasvatīpūjā jatuh pada hari terakhir dan hari pertama dari tahun Wuku ? Rupanya hal ini dapat dijelaskan bahwa ketika agama Hindu masuk ke Indonesia, orang Nusantara (khususnya Jawa dan Bali) sudah mengenal sistem tahun yang dikenal dengan Wuku atau Pawukon itu.

Demikianlah hari-hari pemujaan kepada Iṣṭadevatā-Iṣṭadevatā, yakni manifestasi- manifestasi Tuhan Yang Maha Esa tertentu yang sangat didambakan oleh umat manusia yakni pengetahuan, kesejahtraan, kemakmuran, keberuntungan, keselamatan dan sejenisnya yang terdapat di India dimasukkan dalam sistem kalender Wuku itu. Sebagai contoh, hari-hari pemujaan kepada Iṣṭadevatā-Iṣṭadevatā seperti pemujaan kepada Sarasvatī dijatuhkan pada hari Sabtu Umanis Watugunung dan Minggu Pahing Wuku Sinta, hari Ayuddhapūjā dijatuhkan pada Tumpek Landep, hari Śaṁkarapūjā dijatuhkan pada Tumpek Variga, Śrī Lakṣmīpūjā pada Senin Pon dan Selasa Wage Wuku Sinta, Gurupūjā (Parameṣṭiigurupūjā) pada hari Rabu Kliwon Sinta dan lain-lain.


2. Meningkatkan semangat belajar

Adalah sangat memperihatinkan bahwa semangat belajar khususnya semangat membaca buku sebagai dilansir oleh berbagai media massa adalah sangat lemah di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya, khususnya di Asia. Hal ini secara sederhana dapat dilihat dari jumlah penerbitan buku setiap tahunnya dan kebiasaan masyarakat untuk membaca buku sangat jarang kita temukan di tempat-tempat istirahat, di ruang tunggu rumah sakit atau praktek dokter, di taman-taman kota, di kereta api atau dalam perjalan dengan transfortasi lainnya.

Gejala ini sebenarnya merupakan kendala dalam meningkatkan kecerdasan bangsa sebagai diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni: melindungi tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahtraan umum dan ikut serta mewujudkan perdamaian dunia. Kondisi ini juga rupanya didukung pula oleh situasi penjajahan dahulu. Di negara-negara bekas jajahan Inggris, pada umumnya masyarakat di sana dengan mudah kita saksikan tradisi mereka membaca buku-buku sebagai pengisi waktu dalam berbagai kesempatan terutama saat menunggu atau saat bepergian dengan berbagai sarana transfortasi.

Belajar atau membaca buku sebenarnya diamanatkan dalam kitab suci Veda dan susastra Hindu yang lain, sebab tanpa belajar atau membaca bagaimana mungkin kita meningkatkan kecerdasan individu, masyarakat dan bangsa kita. Dengan tekun belajar dewi Sarasvatī akan memberikan inspirasi atau kiat-kiat yang dapat meningkatkan kesejahtraan dan kebahagiaan hidup manusia. Perhatikanlah kutipan-kutipan berikut:

Pāvamānīr yo adhyeti ṛṣibhiḥ saṁbhṛtaṁ rasam, tasmai Sarasvatī duhe kṣiraṁ sarpir madhūdakam - Siapa saja yang senang mempelajari kitab suci Veda, yang terdiri dari inti sari yang dipelajari oleh para rsi. Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud-Nya dewi Sarasvatī akan senantiasa menganugrahkan kesejahtraan (susu,mentega cair, madu dan air Soma (panjang umur dan rejeki) yang berlimpah. Ṛgveda IX.67.32.

Satyaṁ vada dharmaṁ cara svādhyāya mā pramadah - Hendaknya setiap orang berbicara benar/jujur, berbuatlah kebajikan (berdasarkan Dharma),tekunlah belajar/membaca buku dan rajin sembahyang, janganlah lalai. Taittiriya Upanisad I,11,1.


Tad viddhi praṇipātena paripraśnena sevayā, upadekṣyanti te jñānaṁ jñāninas tattvadarśinaḥ. - Belajarlah dengan tekun, sujud dan berdisplin, dengan bertanya-tanya dan bekerja dan berbhakti. Guru yang budiman,yang telah sempurna (yang melihat kebenaran) akan mengajarkan kepadamu kebijaksanaan, ilmu dan budi pekerti yang luhur. Bhagavadgītā IV.34.

Śāstra yonitvāt - Untuk memahami keagungan Tuhan Yang Maha Esa dan segala ciptaan-Nya, tidak ada yang lain sebagai sebagai sumber yang valid yaitu hanya kitab suci Veda dan susastranya. Brahma Sūtra Bhāṣya I.1.3.

Sesungguhnya masih banyak ajaran dalam agama Hindu yang dapat kita jumpai seperti dalam kitab-kitab Upaniṣad, Rāmāyana, Mahābhārata, Nītiśāstra baik yang berbahasa Sanskerta, Jawa Kuno ataupun Bali. Di Bali sebuah pupuh Ginadha yang sangat memasyarakat menekankan sekali supaya setiap orang tiada henti-hentinya belajar:

Eda ngaden awak bisa,depang anake ngadanin, gaginane buka nyampat anak sai tumbuh luhu, hilang luhu, ebuke katah, yadin ririh liu enu, ne pelajahin.


Berdasarkan uraian tersebut di atas, sebenarnya dengan persembahyangan memuja kebesaran Sang Hyang Vidhi melalui memuja keagungan dewi Sarasvatī kita dituntut untuk belajar terus, satu sarana yang efektif adalah dengan membaca buku-buku yang bermanfaat. Bila yang melakukan Brata Sarasvatī, memang disebutkan adanya pantangan untuk tidak membaca dan menulis selama pemujaan kepada dewi Sarasvatī, namun maknanya dengan kontemplasi pada hari Sarasvatīpūjā kita berhasil lebih terdorong untuk terus dan giat belajar, oleh karena itu membaca adalah salah satu untuk dapat menguasai terangnya pelita ilmu.

Oṁ Kṣama svamām

Oṁ Śāntiḥ Śāntiḥ Śāntiḥ

Monday, August 3, 2009

SIMBOL ILMU PENGETAHUAN, MENGAPA CECAK?

Oleh : Jro Mangku Shri Dhanu

Setiap umat Hindu merayakan Hari Raya Saraswati, dalam banten-nya selalu ada jajan berwujud cecek atau seekor cecak. Bila ditanya mengapa dibuat jajan dengan bentuk seperti itu, jawaban yang kita peroleh, karena lambang ilmu pengetahuan Sang Hyang Aji Saraswati adalah cecak. Cecak adalah binatang yang bijak, sakti, dan magis. Buktinya?

JIKA umat Hindu di Bali ketika sedang nobrol atau berbicara kemudian terdengar bunyi cecak, berarti apa yang bicarakan diyakini telah dibenarkan oleh sang cecak. Sehingga terlontarlah ucapan, "Pukulun Batara Sang Hyang Aji Saraswati". Lantas, mengapa dipilih wujud seekor cecak sebagai lambang ilmu pengetahuan?

Ada yang menjawab bahwa cecak itu adalah binatang keramat atau hewan suci dan cerdik. Ketika dikejar oleh pemangsanya, dia akan melepaskan ekornya. Ekor ini, setelah lepas, akan bergerak-gerak sendiri. Lalu, pemangsa akan tertarik dan perhatiannya beralih ke potongan ekor cecak yang bergerak-gerak tersebut, bukan kepada cecaknya. Dengan cara ini, cecak dapat meloloskan dirinya dari kejaran pemangsanya. Cecak akhirnya bebas berlari dan selamat dari terkaman pemangsanya. Jawaban pembenaran lainnya, bahwa cecak itu mampu berjalan merayap di dinding dan di langit-langit rumah dengan punggung menghadap ke bawah. Telapak kakinya mempunyai alat khusus untuk menempel di dinding dan plafon rumah.

Cerita tambahan lainnya, bahwa Prabu Anglingdharma yang sakti mandraguna, sampai bertengkar dengan permaisurinya gara-gara mendengarkan percakapan dua ekor cecak. Oleh karena Sang Prabu tidak mau menceritakan apa yang telah didengarnya, Sang Permaisuri kemudian melalukan labuh geni, menceburkan dirinya ke dalam api yang berkobar-kobar sehingga hangus terbakar dan tewas. Inilah akibat merahasiakan apa yang telah didengar tentang percakapan dua ekor cecak yang merupakan pasangan suami istri tersebut. Dampaknya amat fatal pada kelangsungan kehidupan rumah tangganya.


Aksara Bali

Betulkah cecak itu binatang yang bijaksana, serba tahu, sakti, keramat, magis, ibarat penjelmaan Sang Hyang Aji Saraswati, lambang ilmu pengetahuan? Benarkah cecak cocok dan tepat dipergunakan sebagai simbol ilmu pengetahuan?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, marilah kita simak terlebih dahulu aksara Bali. Aksara Bali terbagi atas aksara biasa dan aksara suci. Aksara biasa terdiri atas aksara wreastra -- aksara yang dipergunakan sehari-hari, terdiri atas 18 aksara (lihat boks penjelasan aksara Bali), misalnya: a, na, ca, ra, ka, dan aksara swalalita atau aksara yang dipergunakan pada kesusastraan Kawi yang terdiri atas 47 aksara, misalnya: a, i, u, e, o.

Aksara suci terbagi atas aksara wijaksara atau bijaksara (aksara swalalita + aksara amsa, misalnya: ong, ang, ung, mang) dan modre atau aksara lukisan magis. Aksara amsa terdiri atas ardhacandra (bulan sabit), windu (matahari, bulatan,) dan nadha (bintang, segi tiga).Ketiganya melambangkan Dewa Tri Murti -- utpatti-sthiti-pralina atau lahir-hidup-mati. Dewa Brahma dengan lambang api, Dewa Wisnu dengan simbol air
dan Dewa Siwa atau Iswara dengan lambang udara. Aksara amsa adalah lambang
Hyang Widhi dalam wujud Tri Murti.

Selain itu, dalam aksara Bali ada yang disebut pangangge tengenan. Tengenan adalah aksara wianjana (huruf konsonan, huruf mati) yang terletak pada akhir kata yang melambangkan fonem konsonan. Tengenan ini dilukiskan dengan pangangge tengenan serta gantungan (ditulis di bawah aksara) atau gempelan (digabungkan dengan aksara di depannya). Contoh pangangge tengenan: cecek (ng), surang (r), bisah (h), dan adeg-adeg atau tanda bunyi mati. Misalnya kata gamang, kasar, asah, dan aad. Jika kita perhatikan tulisan aksara mang, dapat ditulis ma dengan cecek sebagai aksara biasa atau ma dengan amsa sebagai aksara wijaksara/bijaksara.

Jadi, dilihat dari fungsinya sebagai pangangge tengenan, cecek sama dengan aksara amsa yang berbunyi ng. Berdasarkan hal ini, logislah kalau pangangge tengenan atau aksara amsa yang merupakan simbol Dewa Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa), niasa Hyang Widhi, oleh umat Hindu di Bali dilukis atau diwujudkan dengan simbol binatang cecek atau cecak. Ini bukan berarti binatang cecak itu binatang bijak, cerdik, sakti, magis, atau religius, tetapi semata-mata karena binatang tersebut namanya sama dengan pangangge tengenan cecek atau amsa, yang bunyinya ng (lihat huruf Balinya di boks).

Dengan demikian, agar logis, rasional, dan konsisten pada ajaran Hindu, maka dipergunakanlah binatang itu, yang hanya memiliki dwi pramana (bayu dan sabda, tanpa idep atau pikiran) sebagai simbol Sang Aji Saraswati, lambang ilmu pengetahuan dalam banten Saraswati. Bukan karena cecak itu binatang bijak, cerdik, sakti dan sebagainya. Kemampuan melepaskan ekornya atau merayap di dinding, bukan hasil kreativitasnya atau inovasinya sendiri berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi karena tidak mempunyai idep, tetapi memang merupakan kodratnya sebagai binatang cecak yang diciptakan dan ditakdirkan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa harus demikian.


PENJELASAN PERIHAL AKSARA BALI

* Aksara Wreastra: = a, = na, = ca, = ra, = ka, dstnya.

* Aksara Swalalita: = a, = i, = u, = e, = o.

* Aksara Suci terbagi atas aksara Wijaksara atau Bijaksara (aksara Swalalita + aksara Amsa, misalnya : = ong, = ang, = ung, = mang) dan Modre (aksara lukisan magis, ).

* Aksara Amsa ( Omkara ) terdiri atas: ( ں )Ardhacandra (bulan sabit), ( ๐) Windu (matahari, bulatan,) dan ( ٠ )Nadha (bintang, segi tiga).

* Dewa Brahma berlambang api ( A ), Dewa Wisnu berlambang air ( U ), dan Dewa Siwa atau Iswara berlambang udara ( M ).

* Contoh Pangangge Tengenan: cecek ( ) = ng, surang ( ) = r, bisah
( ) = h, dan adeg-adeg ( ) = tanda bunyi mati. Aksara "mang", dapat ditulis (ma dengan cecek, sebagai aksara biasa) atau (ma dengan Amsa, sebagai aksara Wijaksara/Bijaksara).

* Jadi, dilihat dari fungsinya sebagai Pangangge Tengenan, cecek sama dengan aksara Amsa yang berbunyi "ng". Berdasarkan hal ini, ia merupakan simbol Dewa Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) -- umat Hindu di Bali melukiskan dengan simbol binatang cecek atau cecak. Ini bukan berarti binatang cecak itu binatang bijak, cerdik, sakti, magis, atau religius, tetapi semata-mata karena binatang tersebut namanya sama dengan
Pangangge Tengenan cecek atau Amsa, yang bunyinya "ng" (........).

=======
"Your Hand On Works But Your Heart On God"
=======