Tuesday, July 28, 2009

KORWIL PSN ke 19 telah terbentuk

Om Awignham Astu Namo Sidham, Korwil PSN ke 19 telah dilantik dan dikukuhkan pada hari Minggu, 26 Juli 2009.

Bertempat di Balai Diklat Koperasi Kanwil Koperasi dan UKM Propinsi Bengkulu pada pukul 9.30 WIB telah dilantik dan dikukuhkan kepengurusan Pinandita Sanggraha Nusantara (PSN) Koordinator Wilayah (Korwil) Propinsi Bengkulu oleh Pengurus Pusat PSN.

Acara ini terselenggara berkat bantuan dan dukungan total dan tulus dari Bapak I Gede Karsana, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia Propinsi Bengkulu beserta para pengurus PHDI lainnya juga berkat dukungan yang luarbiasa dari Pembimas Hindu Kanwil Departemen Agama RI Propinsi Bengkulu.

Pada tanggal 25 Juli 2009 ketika jam telah menunjukkan pukul 11.00 WIB telah dibuka dengan resmi pertemuan para Pinandita dan Serati Banten se propinsi Bengkulu oleh bapak Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama RI Propinsi Bengkulu.

Dilanjutkan dengan Session 1 ; sosialisasi tentang Pinandita Sanggraha Nusantara (PSN), tentang Badan Dharma Dana Nasional (BDDN) dan diskusi tanya jawab oleh Sekretaris Umum PSN, Kemudian dilanjutkan dengan Session 2 ; pemaparan Dharmaning Kepemangkuan dan Serati Banten serta diskusi tanya jawab oleh Ketua III PSN Bidang Sosial Kemasyarakatan & Humas.

Pada malam harinya disepakati pemilihan pengurus PSN Korwil Propinsi Bengkulu periode 2009 - 2014, dengan susunan pengurus sbb :

Pelindung : PHDI Propinsi Bengkulu & Pembimas Hindu Kanwil Depag RI
Dewan Kehormatan : 1. Mangku Wayan Gurem 2. Made Widana 3. IB Nindya

Ketua : Mangku Dewa Gede Ardana
Wakil Ketua : Mangku Wayan Mudita

Sekretaris : Mangku IB Ketut Armada

Bendahara : Mangku Putu Angkat

Seksi-Seksi :

Sie. Diklitbang : Mangku Gede Rata
Sie Org.& Dana : Mangku Ketut Budha
Sie Soskeshumas : Mangku Nyoman Setarsiti
Sie Upcr & Yadnya : Ibu Putu Padmi

Para Pengurus terpilih ini pada keesokan harinya yakni Minggu tanggal 26 Juli 2009 telah dilantik dan dikukuhkan.

Pengurus Pusat PSN mengucapkan selamat dan sukses, semoga pengabdian saudara-saudari senantiasa mendapatkan perlindungan dan bimbingan dari Ida Sang Hyang Widdhi Wasa.

Thursday, July 16, 2009

UPACĀRA MANUSIA YADNYA – (NARA YADNYA)

Oleh : Jro Mangku Made Sudiada


Om Swastyastu,

Om Agni Wijaya Jagatpati ya namaha, Om Visvadeva ya namaha, Om Aim Kalim namo Durgayai namaha, Om Shri Guru Bhyo namah Harih Om, Namame smaranam padame sharanam


A. Pendahuluan Nara yadnya

Ajaran Agama tidak cukup hanya diketahui dan dimengerti saja, harus dibarengi dengan penghayatannya, dari semua itu pengamalan dalam bentuk perilaku sehari-hari kita di dalam bermasyarakat itulah yang paling utama. Semakin sering kita sembahyang, beryajña, membuat Upakāra hendaknya kita dapat meningkatkan sikap, moral dan perilaku kita menuju kualitas yang lebih baik dan benar sesuai dengan kaidah Dharma. Karena setiap Upacāra dan Upakāra yang kita buat pada dasarnya merupakan penjabaran ajaran agama dan memiliki hakekat sebagai pembelajaran diri, dalam menata hidup dan kehidupan sehingga dapat meniti ke tujuan utama kelahiran ini, yaitu ”Mokshartam Jagadhita”

Setiap Upacāra (proses untuk mendekatkan diri dengan Brahman) agama selalu disertai dengan Upakāra (sarana yang dipakai sebagai media pemujaan Brahman), baik dalam wujud kecil (sederhana/kanistama), menengah (madhyama) maupun besar (mewah/uttama), hendaknya dibarengi dengan memahami akan tujuan Upacāra tersebut dan memahami makna Upakāra nya. Oleh karena itu Upacāra dan Upakāra harus mengacu kepada sastra-sastra agama, bukan hanya dilandasi dengan ”Gugon Tuwon, Anak Mula Keto” untuk itulah dalam topic Nara Yadnya ini mari kita mulai membedah tema tama yadnya yang kelihatanya kurang mendapat perhatian dalam pemaknaanya sehingga kental sekali dengan nuansa Tenget dan mule keto khususnya yang berkaitan dengan Ritual upakaranya

Bila dihayati secara mendalam, banten merupakan wujud dari pemikiran yang lengkap yang didasari dengan hati yang tulus dan suci. Mewujudkan banten yang akan dapat disaksikan berwujud indah, rapi, meriah dan unik mengandung simbol, diawali dari pemikiran yang bersih, tulus dan suci. Bentuk banten itu mempunyai makna dan nilai yang tinggi mengandung simbolis filosofis yang mendalam. Banten itu kemudian dipakai untuk menyampaikan rasa cinta, bhakti dan kasih terutama yg dipergunakan untuk Nara Yadnya.

Apa itu Manusia/Nara yadnya Kenapa ada manusia yadnya……?.

Manusia yadnya merupakan korban suci yang dilaksanakan dengan cara tulus dan ihklas yang berkaitan dengan siclus pertumbuhan dan perkembangan manusia, dari mulai dengan petemon kame Bang kelawan petak ( predana & Purusa ) sampai dgn Wiwaha samskara.

Dalam hindu ada suatu sradah yang mengatakan bahwa kita menjelma sebagai manusia dengan dibekali tiga hutang ( Tri Rna ) dan kemudian merupakan kewajiban kita untuk melunasinya yaitu :

1, Dewa Rna – Pencipta alam semesta dengan segala isinya termasuk manusia, Binatang, tumbuh tumbuhan ( sarwa prani hitang karah ) ada unsur Dewa dan Alam semesta shg hal ini kemudian Dilunasi dengan Dewa Yadnya dan Bhuta Yadnya

2. Pitra Rna - disini ada unsur Pitatara / Leluhur kemudian ada unsur samsara turunan, sehingga selain kita melakukan Pitra yadnya juga memberikan yadnya kepada keturunan kita yang merupkan leluhur kita yang sudah mengambil wujud samsara.

Dilunasi dengan Pitra Yadnya dan Manusia Yadnya

3. Rsi Rna - Dilunasi dengan Rsi Yadnya



B. Tujuan Nara Yajña

Tujuan pokok NaraYajña, antara lain:

1. Sebagai sarana untuk menciptakan keseimbangan (tri Rna- khususnya Pitra Rna).

2. Untuk menjabarkan dan menyebarluaskan ajaran Veda yang bersifat rahasia

3. Sebagai sarana menyeberangkan Ātma untuk mencapai Moksha

4. Sebagai sarana untuk menyampaikan permohonan kepada Hyang Widhi.

5. Sebagai sarana untuk menciptakan suasana kesucian dan penebusan dosa.

6. Sebagai sarana pendidikan yang bersifat praktis (Ida Pandita Mpu Jaya Wijayananda)



C. Landasan Nara Yajña:

Setiap Yajña yang ingin dibuat/diadakan harus memenuhi kriteria yang terdapat dalam Veda, hal ini dimaksudkan agar yajña tersebut berkualitas Śāttvam, karena hanya kualitas yajña yang Śāttvamlah yang dapat menghantarkan orang yang mengadakan yajña mencapai kemanunggalan dengan Brahman, adapun landasan yajña sesuai dengan Manavadharmasastra, VII.10, yaitu:

1. Iksa; tujuan yang ingin dicapai melalui yajña tersebut harus jelas

2. Sakti; harus disesuaikan dengan tingkat kemampuan yang dimiliki, baik kualitas SDM, maupun pendanaannya, jangan sampai meninggalkan hutang.

3. Desa; disesuaikan dengan tempat dimana yajña itu akan dilakukan, kearifan daerah setempat (lokal genius) harus dihargai sehingga tidak ada kesan pemaksaan

4. Kala; situasi atau keadaan wilayah, masyarakatnya juga harus diperhatikan sehingga yajña tersebut efektif dan efisien serta bermanfaat positif

5. Tattva; harus merujuk pada ketentuan sastra agama baik Sruti, Smrti, maupun Nibandha.

Disamping hal tersebut di atas, agar yajña tersebut berkualitas Śāttvam harus memenuhi standar/mutu seperti apa yang telah ditetapkan dalam Bhagavadgītā, XVII. 11-14, yaitu:

l Sraddha; dilakkan dengan penuh keyakinan dan kemantapan hati

l Sastra; sesuai dengan petunjukk sastra

l Gita; terdapat lagu-lagu pujian kepada Hyang Widhi

l Mantra;terdapat doa-doa pujaan yang dihaturkan untuk memeuliakan Hyang Widhi

l Lascarya; dilakukan dengan penuh kesadaran dan ketulusan hati

l Daksina; pemberian penghormatan berupa rsi yajña kepada Sang Sadhaka (pandita/pinandita)

l Annaseva; menjamu dengan senang dan tulus setiap tamu dengan makanan dan minuman yang menyehatkan badan dan rohani

l Nasmita; tidak ada unsur pamer atau jor-joran.



E. Tujuan Upacāra Nara yadnya

Secara umum tujuan diadakanya Upacāra Nara yadnya menyangkut empat hal, yaitu:

1. Yang bersifat umum dan kepercayaan adalah: untuk melenyapkan pengaruh yang kurang baik kepada anak anak kita; mengundang atau menambahkan pengaruh-pengaruh yang baik dan memberikan kekuatan; untuk memperoleh tujuan hidup sekala-niskala; sebagai pernyataan umum yang dimaksud menurut tujuan Upacāra itu sendiri.

2. Sebagai pembinaan moral (budhi kepada anak anak kita) sehingga memungkinkan berkembangnya sifat-sifat: welas asih dan pengampunan; tahan uji; bebas dari iri hati; meningkatnya kesucian rohani; wajar dan tenang dalam menghadapi segala cobaan hidup; suka berderma dan tidak rakus/lobha.

3. Untuk pengembangan kepribadian anak anak kkita dari Avidya (kegelapan bati) menuju Vidya (memiliki pengetahuan) menuju Vijñana (bijaksana) menuju Kstrajña (kesadaran illahi).

4. Untuk pengembangan spiritual sehingga terbebasnya Ātma dari belenggu samsara atau manunggaling kawulo lan gusti



F. Jenis Jenis Nara Yadnya secara garis besarnya adalah sebagai berikut

1. Pagedong – Gedongan Prenatal education Ceremony

2. Bayi Lahir – Ritual Pemendeman ari ari / Placenta

3. Puput Puser – Batas Cuntaka sang ayah.

4. Pelepas aon – Bayi suci semua damah sudah dianggap hilang sekaligus

pemberian nama serta pemasangan gelang Tridatu

5. Dedinan Syiklus pancawara dan saptawara ketemu ( satu bulan 35 hari )

6. Tutug akambuhan 42 hari, batas cuntaka sang istri

7, Tiga Bulan ( 105 ) hari

8. Wetuan – Otonan 210 hari

9. Menek bajang – Rajasewala Ngeraja singa

10. Potong gigi – Mepandes.

11. Wiwaha sanskara.


Demikian kupasan upakāra Narayadnya, sehingga dengan pemahaman ini dapat menumbuhkan kesadaran, keyakinan, dan kemantapan umat Hindu dalam membuat dan menghaturkan Nara yadnya dan melaksanakan ajaran Narayadnya agama Hindu yang penuh dengan simbol-simbol, sehingga dapat mengikis dogma “Anak Mula Keto”, di masa yang akan datang. Dan yang terpenting umat dapat menjadi sumber tauladan bagi keluarga dan anak-anaknya, dengan memberikan pelatihan secara konfrehensif sebagai bentuk kepedulian akan tradisi Veda yang penuh dengan Nyasa/simbol, serta dalam penerapan Sistem Pembelajaran Tuntas. Dengan demikian akan terlahir umat yang memiliki kualifikasi kecerdasan IQ (kecerdasan intelek), EQ (kecerdasan emosional), SQ (kecerdasan spiritual), ETQ (kecerdasan etetika) sehingga eksisitensinya sebagai umat Hindu tidak akan memudar.



Om Shanti Shanti Shanti .....

Tuesday, July 14, 2009

“KISAH SUNGAI GANGGA DAN KAJIAN FILOSOFIS TRI HITA KARANA”

Ide Cerita: I Wayan Sudarma (Shri Danu D.P)- Bekasi

pernah dipentaskan dalam bentuk drama tari di Pura Agung Tirta Bhuana -Bekasi Th. 2007


PENDAHULUAN

Umat Hindu memercikkan, meminum dan mengusapkan AIR SUCI pada kepala dan mukanya sebagai pengakhir dari persembahyangan mereka. Untuk mengetahui apa yang dinamai AIR SUCI dalam Agama Hindu kami akan memulainya dengan menguraikan mengenai air Suci Sungai Gangga, yang ada di Bharata Warsa yaitu India.

Dunia Barat, yang kini terkenal menjadi tempat pusat kemajuan teknologi mutakhir itu, pada jaman turunnya wahyu Veda di Dunia Timur, masih merupakan hutan rimba yang dihuni oleh manusia-manusia primitive.

Dengan turunnya wahyu Veda, berarti dimulainya peradaban manusia, dan itu dimulai dari Dunia Timur. Wahyu Veda disabdakan Hyang Widhi ke dunia melalui para Maharsi Bangsa Arya, yang terkenal genius itu. Sabda Tuhan tersebut diterima oleh para Maharsi melalui pendengarannya, sehingga kemudian sabda tersebut dinamai Sruti. Para Maharsi mampu mengingat-ingat wahyu Veda tersebut sampai akhir hayatnya.

Sebagai penerima wahyu, para Maharsi meiliki kewajiban untuk menyebarluaskan wahyu
tersebut kepada masyarakat. Dalam penyebarluasan Veda inilah para Maharsi
mengalami kesulitan, karena kemmpuan masyarakat berbeda-beda. Bagi mereka yang
pikirannya mampu, diberikan pelajaran setara ilmiah. Tetapi bagi yang sangat
awam, diajar Veda dengan penafsiran. Tafsir-tafsir Veda tersebut dinamai Smrti.

Salah satu macam tafsir Veda yang disebut kitab-kitab Purana, memuat
dongeng-dongeng keagamaan. Kini, kitab-kitab Purana tersebut berjumlah 36 pustaka. Bagi yang terpelajar, mungkin akan tersenyum tidak percaya bila telah membaca kitab-kitab Purana tersebut. Bahkan menuduh, bahwa penulis kitab-kitab Purana itu pembohong, penipu masyarakat yang sangat awam. Akan tetapi, pendapat tersebut akan hilang, apabila ia tahu, bahwa penulisan dongeng-dongeng dalam kitab-kitab Purana tersebut hanya merupakan simbolik-simbolik, merupakan gambran-gambaran yang mudah dimengerti oleh orang awam, yang mengandung makna dan kebenaran yang dapat diterima dengan wajar.

Jadi penulisan dongeng dalam kitab-kitab Purana tersebut, hanya merupakan media
atau alat pendidikan yang sederhana dan mudah bagi orang awam.


KISAH SUNGAI GANGGA DAN KAJIAN FILOSOFIS TRI HITA KARANA

Tentang kesucian sungai Gangga juga dimuat dalam kitab Purana. Berbentuk cerita yang sangat menarik bila dibacakan.

PROLOG:

Dahulu, kerajaan Ayodhya pernah diperintah oleh seorang raja yang bernama SAGARA.
Baginda mempunyai dua orang istri.. Dari istrinya yang pertama, Sang Raja
dianugerahi seorang Putra bernama ANSUMAN, dan setelah dewasa menjadi seorang
pertapa. Dan istri kedua baginda mendapatkan putra sebanyak 60.000 orang.

Diceritakanlah, pada suatu hari raja Sagara akan mengadakan Asvamedha Yajna atau Upacara Korban Kuda. Suatu upacara korban, harus didasari kesucian dan ketulusan hati. Nampaknya prinsip tersebut tidak dipegang oleh Sri Baginda. Ia mengadakan
Asvamedha Yajna, hanya ingin mendapatkan kemasyuran dirinya belaka, dan hanya
ingin menunjukkan kekuasaannya.


SITUASI & DIALOG I

Tempat: Kerajaan Ayodhya
Situasi: Paruman Kerajaan

Perdana Mentri : Om Swatyastu Paduka Raja, semoga atas anugerah Hyang Widhi Paduka dilimpahkan kemuliaan, mohon paduka menyampaikan amanat kepada hamba semua, ada tugas apa yang harus kami lakukan sehingga Paduka mengumpulkan kami semuanya ?

Raja Sagara : Wahai rakyatku yang setia……….setelah sekian lama Aku memerintah kerajaan Ini, tak terasa kerajaanku telah tumbuh menjadi kerajaan yang besar. Untuk itu Aku berniat menyelenggarakan Karya Agung yaitu Asvamedha Yajna, bagaimana menurutmu Perdana Mentri?

Perdana Mentri : Ampun Paduka, niat paduka itu sangat mulia, karena Asvamedha Yajna adalah upacara yang paling utama dari semua upacara korban, hamba sangat setuju dan akan mendukung niat paduka tersebut.

Raja Sagara : Perlu kalian ketahui maksudku melaksanakan upacara ini,…….. Aku ingin menjadi raja termasyur dan paling disegani di muka bumi ini, Aku ingin agar semuanya tunduk dan bersujud di bawah kekuasaanku, Aku ingin menjadi penguasa atas dunia ini.

Perdana Mentri : Baik Baginda…….Semua titah paduka akan hamba laksanakan.

Kemudian raja meninggalkan tempat diikuti oleh kedua istri, anak-anaknya dan iiring oleh punggawa kerajaan.


SITUASI II

Pada saat upacara dilangsungkan yang dipimpin oleh pendeta kerajaan, niat jahat dari Sang Raja telah diketahui oleh Dewa Indra, dan untuk menggagalkan maksud
nakal Raja Sagara tersebut, dewa Indra menjelma sebagai ASURA (Orang Jahat).
Ketika Kuda yang dijadikan korban telah dilepas, di tengah perjalanan Kuda tersebut dihalau oleh ASURA hingga masuk ke dalam tanah.


SITUASI & DIALOG III

Tempat : Kerajaan Ayodhya
Situasi: Tegang

Sri Baginda Raja Sagara sangat marah, setelah mengatahui kudanya hilang. Maka
segeralah memerintahkan ke 60.000 putra-putranya untuk mencari kudanya yang
telah menghilang itu.

Raja Sagara : Pengawal…….pengawal …….perdana mentri………..senapati dimana kalian semua, mengapa kuda korbannya bisa hilang ? apa kerja kalian siang dan malam, Aku telah menyuruhmu untuk menjaga dan mengawasi kuda tersebut mengapa bisa hilang ?. Purta-putraku semuanya sekarang kalian cepat pergi…. cari ke seluruh penjuru dan jangan kembali sebelum kalian menemukan kudanya !

Putra Raja : Baik Ayahnda, semua perintah paduka akan hamba lakukan……..hamba mohon pamit ! ( dengan sikap agak terpaksa dan ketakutan)

Demikianlah Sri Baginda Raja Sagara, yang sangat murka memerintahkan putra-putranya untuk mencari kuda korban itu tanpa ada yang berani membantah, walau dalam hati mereka sebenarnya enggan melaksanakan tugas tersebut.


SITUASI & DIALOG IV

Tempat: Pertapaan Rsi Kapila
Situasi: Tegang

Belum lama mengadakan perjalanan, putra-putra Raja Sagara telah dapat menemukan kuda
yang hilang itu. Ternyata kuda itu, berada di pertapaan Rsi Kapila. Hal ini menyebabkan Putra-putra Raja sagara tersebut berburuk sangka terhadap Rsi Kapila. Mereka menuduh Sang Rsi telah mencuri kudanya.

Putra Raja 1: Wahai Sang Rsi ……Kami Putra Raja Sagara dari kerajaan Ayodhya, sedang mencari kuda yajna yang menghilang, dan kami menemukan kuda tersebut di sini, pastilah Sang Rsi yang telah mencurinya ?

Rsi Kapila : Om Swastyastu…..terimalah hormat hamba sebagai abdimu, maaf tuan …..semua yang tuan tuduhkan itu tidaklah benar, kuda itu datang sendiri ke pertapaan hamba !

Putra Raja 2 : Aah…. Dasar pencuri !, mana ada pencuri yang mengaku ?...Kakanda pastilah Dia yang telah mencuri kuda ini, dan dia pantas dihukum atas kejahatannya ini.

Putra Raja 3 : Siksa saja Dia, lalu kita hanyutkan ke sungai, biar tahu rasa…..apa akibatnya kalau mencuri dan berbohong !

Niat buruk para Ksatria tersebut diketahui oleh Rsi Kapila, maka ia mendahului menghukum para Ksatria congkak itu. Melalui pancaran sinar sakti matanya, Rsi Kapila membakar habis ke 60.000 pura Raja Sagara hingga menjadi abu.

SITUASI & DIALOG V

Tempat : Kerajaan Ayodhya
Situasi : Cemas

Prabhu Sagara sangat gelisah, karena sudah cukup lama putra-putranya tidak kembali. Oleh karena itu, Sang Ansuman, putra yang telah menjadi pertapa itu, diperintahkan agar segera menyusul saudara-saudaranya dalam mencari kuda.

Raja Sagara : Pengawal……….segera engkau panggilkan putraku Sang Ansuman, untuk menghadapku !

Pengawal : Baik Yang Mulia

Sang Ansuman : Om Swastyastu ……Ayahnda, terimalah sembah bhakti hamba, kalau boleh hamba tahu apa yang menyebabkan mengapa Ayahnda begitu gelisah ?

Raja Sagara : Bagaimana Ayah tidak cemas, sejak kepergian saudara-saudaramu
mencari kuda yajna, hingga hari ini belum juga kembali, jangan – jangan mereka
mendapat celaka ! Itulsh sebabnya Ayah memanggilmu untuk segera menyusul
saudara-saudaramu mencari kuda terebut.

Sang Ansuman : Jika itu penyebab kegelisahan Ayahnda, saya siap melaksanakan tugas ini dan menemukan kembali kuda dan saudara-saudara saya. Ijinkalah saya menyusulnya sekarang juga !

Raja Sagara : Berangkatlah, doa dan restu ayah menyertaimu !

Sang Ansuman, setelah menghaturkan sembah, segera berangkat napak tilas perjalanan
saudara-saudaranya.


SITUASI DAN DIALOG VI

Tempat : Pertapaan Rsi Kapila

Sampailah Sang Ansuman di pertapaan Rsi Kapila. Ia melihat kuda yang dicarinya. Sang Ansuman, yang telah terbiasa bergaul dengan para pertapa, segera menghadap Sang Rsi. Ia duduk bersila di hadapan Rsi itu, kemudian menyembah kaki Rsi Kapila. Setelah
mengahaturkan sembah, Sang Ansuman memulai pembicaraan

Sang Ansuman : Om swastyastu Wahai Rsi Agung, terimalah sembah sujud saya…… Hamba Sang Ansuman Putra Raja Sagara dari Ayodhya,…….maaf Rsi Agung, kedatangan saya ke sini untuk mencari kuda yang hilang. Mungkinkah kuda yang dipertapaan ini milik keluarga kami ?

Rsi Kapila : Mungkin betul ananda. Kuda itu datang kemari sendiri dan aku hanya merawatnya. Periksalah terlebih dahulu, kalau memang kuda itu yang ananda cari, aku tidak keberatan untuk memberikan kuda itu kepadamu !

Belum sampai Sang Ansuman mengajukan permohonan, ternyata pertapa itu telah
menyerahkan kuda itu kepadanya. Hal ini terjadi karena Rsi kapila sangat senang
melihat Sang Ansuman yang gunawan.

Sang Ansuman : Terima kasih maha Rsi. Namun sebelum ananda mohon diri, perkenankanlah nanda mengajukan sebuah pertanyaan. Tidakkah Maha Rsi melihat ke 60.000 saudara saya, yang juga ditugaskan mencari kuda yang hilang ?

Rsi Kapila : Memang anakku, saudara-saudaramu telah datang kemari ! Rsi Kapila menarik napas panjang, raut mukanya nampak serius, kemudian melanjutkan percakapannya. Mereka datang kemari dengan tidak sopan, melanggar dharmaning ksatria, malah mereka telah berbuat Adipataka (dosa yang sangat besar dan berat). Mereka menuduhku mencuri kuda itu, dan mereka bermaksud akan mencelakakanku. Karena itulah, mereka terpaksa kumusnahkan, dengan menggunakan pancaran sakti mataku. Lihatlah sekeliling pertapaan ini, abu-abu yang berserakan itu adalah abu-abu saudaramu.

Sang Ansuman memandang sekeliling pertapaan. Ia terdiam seribu bahasa. Mukanya yang
tadinya ceria, kini dengan cepatnya berubah menjadi sayu. Ia sangat sedih,
walaupun mereka hanya saudara tiri, namun ia merasa turut kehilangan.

Rsi Kapila : Sudahlah Ansuman, Janganlah bersedih hati. Saudara-saudaramu itu masih bisa dihidupkan kembali. (kata Rsi kapila menghibur).

Sang Ansuman : Betulkah itu Maha Rsi ?

Rsi Kapila : Ya, saudara-saudaramu itu akan hidup kembali bila Dewi Gangga berkenan turun dari Sorga ke Bumi. Lakukanlah tapa, untuk memohon agar Dewi Gangga turun ke dunia !

Ansuman tidak berkata apa-apa, tetapi menganggukkan kepalanya suatu tanda telah mengerti akan nasihat Sang Rsi. Setelah bersujud mohon pamit , Ansuman berdiri, kemudian berjalan menuju tempat kuda diikatkan. Ia menuntun kuda itu pulang dengan langkah yang lunglai.


SITUASI DAN DIALOG VII

Tempat: Istana Ayodhya
Situasi: Riang-sedih

Perjalanan yang dirasa dekat pada waktu berangkatnya, kini terasa jauh. Langkah demi langkah, akhirnya tiba pula di Ayodhya. Diikatkanlah kuda itu di kandangnya.
Kemudian Sang Ansuman segera menghadap ayahanda raja, yang suatu kebetulan saat itu semua kerabat sedang berkumpul dalam persidangan. Sebagaimana biasanya, Sang Ansumanpun segera menghaturkan sembah ke hadapan ayahnya.

Sang Ansuman : Om Swastyastu …..sembah sujud hamba ayahnda.

Raja Sagara ; Sang Raja yang menerima sembah itu tahu, bahwa putranya dalam keadaan murung. Sementara semua kerabat, yang turut hadir dalam persidangan itu diam. Tidak seorangpun yang berbicara. Semua memperhatikan Sang Ansuman dengan penuh tanda tanya. Sekali lagi Ansuman mencium kaki ayahandanya, namun sang raja, belum juga mengerti apa yang dirisaukan putranya.

“Apa sebenarnya yang telah terjadi ananda?” Sang Prabu memulai pembicaraan. Dengan kata-kata yang tersendat-sendat,

Sang Ansuman : “Ramanda, saudara-saudarakua telah kena kutuk pastu bhagawan
kapila. Mereka dibakar habis menjadi abu.”

Suasana persidangan berubah seketika. Sekejap jerit tangis meledak memenuhi ruangan.
Air mata bercucuran. Hanya Sri Bagindalah yang tidak meneteskan air mata.
Beliau hanya menunduk sedih. Menyesali kejadian yang menimpa putra-putranya.

Sang Ansuman : “Ayahnda. Janganlah menyalahkan Rsi Kapila, apalagi menghukumnya. Beliau tidak bersalah justru saudara-saudarakulah yang telah berbuat Adipataka (dosa terbesar). Mereka telah merencanakan pembunuhan terhadap sang pertapa.”

Sang Raja: “Betul anakku merekalah yang bersalah. Terus apa yang dinasehatkan pertapa itu kepadamu?”

Sang Ansuman; “Saudara-saudaraku masih bisa dihidupkan kembali,”

Jawaban tersebut mengejutkan semua yang hadir, sehingga menubah suasana persidangan.
Suara tangispun mereda, walau isa-isak tangis masih terdengar di sana-sini.
Mereka dengan tekun mengikuti pembicaraan, penuh harap, agar kejadian yang
mustahil itu dapat terwujud.

Sang Raja : “Apa yang harus kita lakukan Ansuman, Ansuman?”

Sang Ansuman : “Rsi kapila menasehatkan, saudara-saudaraku bisa dihidupkan
kembali, jika Dewi Gangga telah dapat diturunkan dari Surga ke bumi.”

Semua yang hadir dalam persidangan, penuh tanda tanya, tetapi tidak seorangpun yang
berani bertanya. Namun bagi Sri baginda, hal itu sudah cukup dimengerti,
sehingga beliau menganggukkan kepalanya.

Sang Raja : “Ansuman anakku, dalam sastra suci telah disebutkan, bahwa putra adalah pelanjut dharma orang tua. Bersiap-siaplah, sudah waktunya ananda menggantikan ayah, memimpin rakyat Ayodhyajadilah pemimpin yang bijaksana, agar rakyat hidup tentram, damai, dan, sejahtera.”

Kisah selanjutnya, Ansuman menjadi raja di Ayodhya, sedang Prabhu Sagara melakukan
tapa guna memohon turunnya Dewi Gangga. Sampai akhir hayatnya, permohonan
Prabhu Sagara belum terkabulkan. Sehingga Ansuman melanjutkan melakukan tapa.
Tapi masih bernasib sama dengan ayahandanya. Permohonan belum juga terkabulkan.
Dilipa, putra Ansuman, juga menyusul melanjutkan dharma kakeknya. Ia gagal
pula. Dan akhirnya, sang Bagiratha, Putra Dilipa yang terkabulkan
permohonannya.


SITUASI DAN DIALOG VIII

Tempat: di tengah hutan
Situasi: damai

Sang Bagiratha, buyut Prabhu Sagara itu, telah bertapa dengan hebatnya. Sorga
tergoncang oleh tapanya sehingga Dewa Brahma berkenan turun ke bumi.

Dewa Brahma : “Ananda Bagiratha, tapamu begitu hebatnya, yang meresahkan para dewata. Apa yang kau kehendaki?”

Bagiratha : “Dewata yang selalu hamba puja, hamaba memohon agar Dewi Gangga diturunkah ke bumi di sekitar pertapaan Rsi Kapila. Hanya dengan cara itulah leluhurku yang terkena kutuk Rsi Kapila akan hidup kembali dan dibersihkan dari dosa dan noda.”

Dewa Brahma : Permohonanmu terkabulkan Bhagiratha, tetapi ketahuilah, Dewi Gangga akan turun dengan derasnya. Bumi pasti tergoncang karenanya. Segala yang dilaluinya pasti hancur, basmi buta semuanya. Hanya Siwalah yang dapat menghambatnya.”


SITUASI DAN DIALOG IX

Tempat: Di tengah hutan
Situasi: damai

Setelah menerima sembah dari Bagiratha, Dewa Brahma segera kembali ke Brahmaloka. Bhagiratha melanjutkan tapanya, guna memohon turunnya Dewa Siwa. Tak lama kemudian Siwa turun ke bumi mendatangi Bagiratha.

Dewa Siwa : “Hai, Bagirtha, tidakkah Brahma telah mengabulkan permohonanmu? Apalagi yang kau kehendaki dariku?”

Bagiratha : “Betul, permohonan hamba telah dikabulkan. Namun apa artinya hamba dapat menolong leluhur, tetapi membencanai orang lain? Oleh karena itu, hamba mohon, sudilah kiranya Hyang Siwa menghambat turunnya Dewi Gangga ke bumi secara tidak dahsyat.”

Dewa Siwa : “Permohonanmu kukabulkan,

Bagiratha.” Tanpa menunggu sembah Bhagiratha, Dewa Siwa segera menuju ke puncak gunung Kailasha.

Bhagirathapun segera menuju ke pertapaan Rsi Kapila. Untuk menyaksikan sendiri
keajaiban dunia yang akan segera terjadi itu.


SITUASI X

Sementara itu dunia menjadi gelap gulita dengan cepatnya. Awan hitam tebal menyelimuti bumi, suara gemuruh teriring kilatan petir yang yang dibarengi
dengan suara geledek yang mengerikan. Seolah maha pralaya telah tiba.

Bersamaan dengan itu Dewi Gangga turun ke bumi dengan dahsyatnya. Dewa Siwa yang
menyaksikan peristiwa itu segera berdiri di puncak Gunung Kailasha, anak
pegunungan Himalaya. Dewi Gangga dapat dihadang oleh Dewa Siwa, akan tetapi Dewi Gangga selalu berontak melepaskan diri.

Dewa Siwa segera membelit Dewi Gangga dengan perutnya, sehingga Dewi Gangga kehabisan akal. Namun Dewi Gangga dapat pula melepaskan diri dari lilitan rambut Dewa Siwa. Kini, muncullah Ia sendiri dari kepala Siwa, hanya saja Ia tercerai berai menjadi bagaian-bagaian kecil dan besar, mengalir ke seluruh India sehingga tidak membahayakan daerah-daerah yang di lewatinya. Bagiannya yang terbesar mengaliri pertapaan Rsi Kapila yang kini disebut Sungai Gangga. Bagian-bagian lainnya menjadi Sungai Yamuna, Saraswati, dan sebagainya. Berbahagialah Sang Bagiratha karena permohonannya telah terkabulkan. Leluhurnya telah dibersihkan dari dosa dan noda.

Kini leluhurnya yang terkena kutukan Rsi Kapila, telah hidup kembali.


KAJIAN MAKNA FILOSOFIS

Berkat dongeng tersebut di atas, sampai kini umat Hindu di India bahkan dunia mengakui dan mempercayai bahwa Sungai Gangga adalah sungai yang paling suci di
muka bumi ini. Umat Hindu memujanya bukan karena takut, tetapi mereka memuja
karena tahu bahwa sungai Gangga memilikki keajaiban.

Sekali lagi yang terpelajar harus bisa mengupas simbol-simbol yang terkandung dalam dongeng tersebut, misalnya:

1. Nama Sagara, berasal dari perkataan sanskrta, yang berarti lautan atau samudra.

2. Prabhu Sagara memilikki dua istri. Hal ini merupakan simbol, bahwa lautan itu memilikki dua sifat yang berlawanan, yaitu pasang dan surut (rwa bhineda)

3. Dari istri pertama, Prabhu Sagara mendapatkan Putra satu orang, sedang dari istri yang kedua mendapatkan putra sebanyak 60.000 orang Hal ini menjelaskan bahwa samudralah menadi asal mula beribi-ribu sungai di di dunia. Dan sekian banyak sungai tersebut hanya satu yang dianggap paling suci, yaitu Gangga.

4. ke 60.000 orang putra sagara mencari kuda ke dalam tanah dalam sekali. Itu melambangkan bahwa setiap sungai mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah, yang akhirnya kembali ke samudera.

5. ke 60.000 orang putra sagara terbakar habis menjadi abu. Hal ini melambangkan bahwa sungau-sungai itu bila mati akan kering hanya kelihatan pasir-pasir atau menjadi padang pasir.

6. Sabda Rsi Kapila, yang menyatakan putra-putra Sagara itu akan hidup kembali setelah Dewi Gangga berkenan turun ke bumi, melambangkan sungai-sungai itu akan hidup kembali jika hujan telah turun ke bumi.

7. sabda Dewa Brahma, “Dewi Gangga akan turun ke bumi dengan dahsyatnya dan akan membawa bencana di bumi, meunjukkan bahwa hujan yang lebat akan membawa korban, membencanai makhluk hiudp dan korban harta benda.

8. Dewa Siwa menghadang turunnya Dewi Gangga di puncak gunung Kailasha serta membelit dengan rambutnya, mengandung simbol bahwa kepala Dewa Siwa sebagai simbol puncak gunung, sedang rambut Siwa sebagai simbol akar-akar pohon yang tumbuh di lereng-lereng gunung. Di daerah gununglah hujan yang lebat itu banayak terjadi. Air hujan itu meresap ke dalam tanah kemudian di tahan oleh akar pohon, maka air hujan tidak seluruhnya mengalir ke daerah lembah. Yang tertahan oleh akar-akar kemudian muncul sebagai mata air yang mengalir sepanjang masa, menyebabkan sungai-sungai hidup terus yang memberi kemakmuran.

Dari simbol-simbol itu dapatlah diambil kesimpulan, bahwa tujuan cerita tersebut adalah menerangkan sirkulasi air. Dan juga bermaksud mengajarkan tentang pentingnya menjaga kelestarian alam, yaitu dengan cara menjaga hutan di lereng maupun di kaki gunung. Umat manusia tidak menebang pohon-pohon seenaknya.

Telah menjadi kenyataan, bahwa bencana banjir, tanah longsor yang kini sering terjadi di negara kita bahkan di dunia adalah suatu akibat penggundulan hutan oleh masyarakat, tentunya masyarakat yang sudah tidak mempercayai dongeng-dongeng yang sudah dianggap kuno itu.


=======
"Your Hand On Works But Your Heart On God"
=======

Thursday, July 9, 2009

NILAI – NILAI KEPEMIMPINAN DALAM RAMAYANA

Oleh : Jro Mgk Wayan Sudarma


1. Dasaratha adalah Raja dari
kerajaan Ayodhya. Dasaratha adalah ayah dari Rama yang merupakan Avatara Dewa
Wisnu. Dasaratha merupakan sosok pemimpin yang memiliki karakter kuat. Ini
terbukti dari bagaimana beliau memimpin kerajaan Ayodhya dengan adil dan
bijaksana, sehingga kesejahteraan rakyat dapat tercapai. Dasaratha merupakan
ayah dari Rama, beliau juga merupakan inspirasi dalam sistem pemerintahan Rama.

Adapun nilai – nilai kepemimpinan Dasaratha adalah sebagai berikut :

a. Pracāsta ring rat musuhnira pranata
( Dasaratha merupakan pemimpin yang termasyur / terkenal di dunia, semua musuh – musuhnya tunduk / takut kepadanya)
Dari penjabaran ini jelas dikatakan
bahwa seorang pemimpin harus memiliki wibawa dan kekuatan sehingga musuh tidak
ada yang berani mendekati apalagi berusaha menerbut wilayah kekuasaan.

b. Jaya pāndita raing aji kabeh
( Dasaratha jaya, ahli didalam segala ilmu pemerintahan )
Dari penjabaran ini jelas dikatakan
bahwa seorang pemimpin harus memiliki pengetahuan yang cukup dan harus dapat
dikatakan sebagai orang yang cerdas.

c. Māsih ta sireng swagōtra kabeh
( Dasaratha mencintai semua rakyatnya )
Seorang pemimpin memang harus mencintai
rakyatnya, pemimpin juga harus tahu bagaimana keadaan rakyatnya, tidak hanya
memikirkan dirinya sendiri.

d. Prawίra wihikan sireng nίti
( Dasaratha adalah seorang perwira dan pandai bermain politik )
Seorang pemimpin harus pandai
berpolitik, bukan berarti berpolitik itu sebagai kecurangan, tetapi mengantisipasi
jangan sampai ada yang berniat buruk ingin menguasai wilayah kekuasaan.

e. Priya hita sōjar nirāticaya
( Segala kata – katanya penuh dengan kebajikan serta sangat adil )
Seorang pemimpin yang dipegang adalah
kata – katanya, maka sudah sepatutnya pemimpin yang baik, kata – kata yang
keluar dari mulutnya pun juga harus mengandung kebaikan dan juga berperangai
sangat adil.

f. Parārtha gumawe sukanikang bhuwana
( Dasaratha senang mengerjakan kepentingan – kepentingan orang lain sehingga membuat dunia senang )
Pemimpin yang baik akan selalu
mengutamakan kepentingaan rakyatnya dan mengeyampingkan kepentingan dirinya
sendiri. Inilah karakteristik dari seorang pemimpin

g. Ikanang pratapa dumilah
( Sinar kekuatannya menyala – nyala )
sinar kekuatan disini artinya
kewibawaan. Seorang pemimpin harus memiliki kewibawaan yang berpengaruh
terhadap para lawannya.

h. Sukanikang rāt ya teka ginawenya
( Kesejahteraan dunialah dibuatnya )
Seorang pemimpin yang menjadi
prioritasnya adalah bagaimana mensejahterakan rakyatnya.


2. Rama adalah Avatara dari Dewa Wisnu dan juga merupakan anak tertua dari Raja Dasaratha.
Beliau merupakan salah satu tokoh pemimpin yang memiliki katarakteristik kuat
dalam pemerintahannya. Nilai – nilai kepemimpinan dari Sang Rama adalah sebagai
berikut :

a. Apan mahā sakti rakwa sang Rāma
(Konon Rama sangat sakti )
Sebagai seorang pemimpin memang harus memiliki kesaktian agar para lawan dan musuh takut padanya.

1. Tahana padhanira ri kacaktin
(Sama sekali tidak ada bandingannya dalam kesaktian )
Seorang pemimpin harus memiliki
kekuatan yang tiada tandingannya agar para lawan dan musuh tidak ada yang berani
mendekati, dan tiada satu orang musuhpun yang bisa menandingi kekuatannya.

2. Dānawa rāksasa hilaga, prabhāwa sang Rāma hetunya
(Danawa dan raksasa – raksasa akan musnah disebabkan oleh kekuatan sang Rama )
Pemimpin harus memiliki nama yang kuat
bagi para lawan dan musuhnya, dan dengan kekuatan yang dimiliki tidak ada
seorang lawan pun yang dapat menandingi kekuatannya.

Inilah nilai – nilai yang harus dimiliki
oleh seorang pemimpin, sesuai dengan ajaran yang terdapat dalam Nitisastra



=======
"Your Hand On Works But Your Heart On God"